Adiba tersenyum sinis, "Berkacalah!" ujarnya dengan nada sinis. "Maksudmu?" Fagan memicingkan matanya. "Kak Fagan sendiri yang menyakiti Mbak Zura tentu saja sebagai sesama wanita aku merasa iba melihat nasib buruk Mbak Zura, karena itu aku menasehatinya agar melepaskan orang yang sudah menyakitinya." Zahra berkelit. Fagan tersenyum tipis, "Tidak kusangka kamu memanfaatkan kebaikan dan kepolosan Zura" Fagan mencibir wanita yang sejak kecil selalu dia bela dan sayangi seperti adiknya sendiri."Kak Fagan jangan seenaknya kalau bicara! Aku tulus sayang sama Mbak Zura. Aku bahkan menganggap dia seperti kakakku sendiri," ujar Adiba tidak terima."Kalau kamu benar-benar sayang sama Zura kenapa kamu memperkeruh kondisi rumah tanggaku dengan Zura? Padahal kamu tahu aku sangat mencintainya dan rela melakukan apapun untuknya." Adiba terdiam. Tentang cinta Fagan kepada Meizura, tentu Adiba pun tahu sebesar apa pria itu mencintai istrinya. Namun persaan kasihan dan kebenciannya terhadap sikap
Hari berlalu begitu cepat, namun terasa begitu lambat bagi Fagan. Tak sedetik pun pria itu lalui tanpa penyesalan, hatinya terus tersiksa begitu mengingat istrinya yang sekarang entah dimana? Setiap pagi dan sore pria itu datang menemui Furqon, mencoba meluluhkan hati sang mertua untuk mendapatkan informasi keberadaan istrinya. Namun sama halnya dengan Fagan, ayah kandung Meizura juga sangat keras kepala. Tak ingin memberi kesempatan menantunya itu untuk memperbaiki kesalahannya. Furqon bahkan memberi perintah pada keamanan rumah dan kantornya untuk segera mengusir Fagan begitu dia datang. "Kamu itu tidak tahu malu!!! Beraninya kamu menampakkan wajahmu itu di hadapanku. Ingatlah.., manusia ibl*s sepertimu tidak akan pernah aku biarkan mendekati putriku," Kalimat-kalimat kasar dan bernada cibiran selalu Furqon ucapkan demi menghancurkan hati menantu yang sudah tidak dia harapkan itu. "Mungkin kamu bisa mempengaruhi Zahra dengan omong kosongmu tapi tidak denganku. Bagiku kamu itu pr
Pov Fagan. "Ahkkkk..... " Rasa sakit membuatku tanpa sadar mengerang kesakitan. Membuat beberapa karyawan menatap kearah kami. Kaki kiri Papa Furqon berada di atas tanganku yang baru saja menggapai selembar foto wanita yang sangat aku rindukan. Kreeekkkk..... Aku segera meluruskan jari-jari tanganku saat ijakan iku terasa makin kuat dan di putar-putar seperti mematikan putung rokok. Meski sakit aku tak berniat menarik tanganku, biarlah lecet atau patah sekalian tak apa, asalkan aku bisa kembali melihat wajah cantik istriku meski hanya melalui selembar kertas. Demi Alloh, rindu ini begitu menyakitkan ibarat luka sudah bernanah dan melebar ke seluruh tubuhku. Sesal, sedih dan rindu bercampur aduk membuatku merasa kesakitan dan sesak setiap kali aku mengingatnya. "Cih.... Teruslah bersandiwara, berlagak menjadi suami yang cinta mati sama istrinya di depan umum. Tapi Tuhan tidak tidur, Dia tidak akan mempertemukan kamu dengan putriku." Aku mendongakkan wajahku, menatap Papa mertua
Pov Meizura. Seperti sebelumnya, pagi ini aku setelah selesai bersiap aku segera berangkat menuju tempat kerjaku. Sebuah restoran milik Papa yang ad adi sekitaran pantai. Dengan berjalan kaki aku menuju ke tempat kerjaku itu. Jarak yang harus aku tempuh tidak terlalu jauh hanya sekitar seratus meter. Butuh waktu beberapa menit saja untuk sampai. Tak terasa aku sudah sampai di depan restoran. Pintu restoran masih di kunci. Aku memang berangkat terlalu pagi. Sengaja, karena ada seseorang yang ingin aku lihat sebelum memulai hariku. Seseorang yang sudah membuatku penasaran sejak beberapa bulan yang lalu. Itu juga yang menjadi alasanku ingin bekerja. Seorang pria yang tak sengaja bertubrukan denganku ketika aku hendak menuju restoran milik Papa bersama Bunda dan Azqiara. Seorang pria yang bentuk tubuhnya sama persis dengan seseorang yang selalu muncul dalam mimpiku. Seseorang yang membuatku penasaran tentang masa lalu yang berusaha di sembunyikan oleh semua keluargaku.Awalnya Papa men
Pov Fagan. Kemarin aku langsung mengirim orangku untuk memeriksa ke kota kecil yang kemungkinan menjadi tempat tinggal Zura selama dua tahun ini. Awalnya berniat datang sendiri namun aku harus menyelesaikan semua urusanku di sini terlebih dulu sehingga aku benar-benar fokus untuk mencari Zura. Hal pertama yang aku lakukan adalah menyerahkan posisi CEO Rafiandra's Group pada Ardiaz. Sudah saatnya adikku itu mengban tanggung jawab sebagai pewaris perusahaan keluarga kamu. Karena aku hanya akan memposisikan diri sebagai pemegang saham saja melepas sepenuhnya posisi CEO untuk Ardiaz, tentunya masih dengan bimbingan dari Papa. Sementara untuk perusahaanku sendiri, aku mutuskan untuk sementara waktu memberi kuasa pada Derry untuk memimpinnya. Meski 'ZION', perusahaanku tidak sebesar Rafiandra's Group namun perusahaan yang sudah aku bangun dari nol itu masuk dalam kategori 10 perusahaan terbesar di negaraku ini. Jadi aku juga tidak bisa mengabaikannya, ada ratusan karyawan yang bergantung
Perawat itu terdiam sejenak, "Zenia kehilangan ingatannya, psikis juga belum benar-benar stabil. Apa kamu yakin dengan kembali mengingatmu tidak membuat keadaannya memburuk? Haruskah kamu merusak hidupnya yang sudah bahagia tanpamu?" Mata Fagan melotot tajam pada wanita berpakaian perawat itu. "Siapa kamu bisa berkata seperti padaku, suami dari wanita yang kamu sedang bicarakan? Aku lebih punya hak atas dirinya dari siapapun." Melihat kekesalan di wajah Fagan, Suster Erina menghela nafas. 'Benar kata Pak Furqon, laki-laki ini keras kepala sekali. Sepertinya akan sulit menghadapi orang ini,' batinnya. "Saya dibayar untuk menjaga Zenia. Jadi saya harus menjauhkannya dari semua yang bisa membuat trauma psikisnya kambuh. Anda harus tahu saat ini keadaan Zenia sudah jauh lebih baik dan bahagia dari sebelum terjadi peristiwa itu," jawab Erina sedikit mengungkit kejadian malam itu yang membuat Fagan kembali tersulut emosinya. Matanya menatap Erina tajam, "Kamu hanya mendengar dari satu si
"Semua yang ada di mobil ini adalah saudara saya." Bima berbohong sambil mengulurkan kartu pengenal yang dua hari lalu diterimanya ketika baru pertama menjadi warga perumahan ini. Security yang bername tag Indra memeriksa kartu dan kembali berbicara, "Maaf, kami hanya menjalankan tugas. Jadi, kami mohon kerja samanya. Tolong buka jendela mobil supaya kami bisa mengetahui siapa saja saudara Pak Bima yang kemungkinan akan ikut tinggal di wilayah perumahan ini." Dua security yang berjaga di dalam pos ikut keluar setelah mendapat isyarat dari Indra. Dua pria berseragam security itu mengetuk jendela mobil bagian belakang, memaksa agar Bima mengikuti peraturan yang sudah dijelaskan oleh rekannya. "Buka saja," ujar Fagan dengan suara berbisik setelah memakai kacamata lantas mengacak sedikit rambutnya agar para security itu tidak mengenalinya sebagai Zio Fagan Rafiandra yang beberapa bulan ini sering muncul di televisi. Fagan sedikit gugup saat dua security itu mulai memandangnya dengan m
"Kamu....." Mata Fagan melebar tak percaya. Langkahnya seketika terhenti. "Anggada Prayoga?" gumamnya dan langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh dari dua orang yang sedang berbincang di pinggir jalan. Hatinya seperti di remas-remas melihat istri yang sangat ia rindukan telah bersama laki-laki lain yang tak lain adalah sahabat lamanya dulu semasa kuliah. Ya, Anggada Prayoga adalah sahabat lamanya saat masih kuliah dulu. Saat menempuh S1 jurusan bisnis mereka satu universitas setelahnya mereka terpisah karena Anggada memilih kuliah keluar negeri. Jika Fagan melanjutkan S2 nya di jurusan ekonomi berbeda dengan Anggada, pria berwajah sedikit bule itu memilih jurusan psikologi. Fagan berjalan menuju mobil di sisi jalan dimana Bima dan Joni menunggu didalamnya. "Bos.." Bima mengulurkan beberapa lembar foto begitu Fagan duduk di kursi bagian belakang.Dengan menahan nafas, Fagan melihat satu persatu foto yang di berikan Bima. Hatinya serasa di tusuk-tusuk belati melihat setia
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka