"Kamu....." Mata Fagan melebar tak percaya. Langkahnya seketika terhenti. "Anggada Prayoga?" gumamnya dan langsung membalikkan tubuhnya dan berjalan menjauh dari dua orang yang sedang berbincang di pinggir jalan. Hatinya seperti di remas-remas melihat istri yang sangat ia rindukan telah bersama laki-laki lain yang tak lain adalah sahabat lamanya dulu semasa kuliah. Ya, Anggada Prayoga adalah sahabat lamanya saat masih kuliah dulu. Saat menempuh S1 jurusan bisnis mereka satu universitas setelahnya mereka terpisah karena Anggada memilih kuliah keluar negeri. Jika Fagan melanjutkan S2 nya di jurusan ekonomi berbeda dengan Anggada, pria berwajah sedikit bule itu memilih jurusan psikologi. Fagan berjalan menuju mobil di sisi jalan dimana Bima dan Joni menunggu didalamnya. "Bos.." Bima mengulurkan beberapa lembar foto begitu Fagan duduk di kursi bagian belakang.Dengan menahan nafas, Fagan melihat satu persatu foto yang di berikan Bima. Hatinya serasa di tusuk-tusuk belati melihat setia
"Kapan? Dan dimana?" tanya Meizura. Dalam hati dia sudah tak sabar mengetahui masa lalunya. Jika benar dulu mereka pernah bertemu itu artinya pria yang selama ini ada di mimpinya itu adalah Anggada. "Apa kamu benar-benar penasaran?" Anggada masih saja menggoda Meizura. "Hemmm...." Meizura mengangguk. "Kenapa?" "Karena...." Meizura ragu untuk bercerita. Ia teringat ucapan suster Erina, 'Jangan mudah percaya dengan orang yang baru kamu kenal dan jangan pernah menceritakan kehidupan pribadimu. Itu pedoman hidup yang harus kamu patuhi.'"Permisi!" Suara lembut yang langsung membuat Meizura menoleh. "Suster Erina," gumamnya kaget. 'Kenapa suster ada disini?' sambungnya dalam hati. "Zenia, sudah waktunya pulang." Suster Erina berbicara dengan nada tegas dan itu artinya tidak bisa dibantah. Mau tak mau Meizura beranjak bangun. "Tuan Anggada saya permisi lebih dulu," pamit Meizura sopan. "Eh.... tunggu! Kita bisa ketemu lagi kan?" tanya Anggada sambil memegangi lengan Meizura. "Tentu
"Apa kamu benar-benar menyukai Anggada?"Terlihat Meizura hanya menundukkan kepalanya, sedetik kemudian wanita itu menoleh. "Kenapa kamu menanyakan hal itu? Apa ada hubungannya dengan kamu?" "Hah....itu...." Fagan sedikit kebingungan untuk menjawab pertanyaan Meizura. Tidak salah pertanyaan itu terlontar dari mulut Meizura secara Fagan adalah orang asing yang tiba-tiba muncul dan menyebut dirinya sebagai teman dari suster Erina, lalu mengapa tiba-tiba menanyakan tentang perasaan Meizura? "Ada," jawab Fagan sambil mengangguk tanpa berani membalas tatapan mata Meizura. Merasa aneh, Meizura memicingkan matanya, mulai curiga dengan laki-laki yang baru kemarin dikenalnya. "Aku temannya Anggada. Iya..... aku juga temannya Anggada." aku Fagan. "Kami satu universitas saat kuliah dulu. Aku dan Anggada cukup akrab.... bisa dibilang.... kami sahabat. Kamu bisa bertanya pada Anggada jika kalian bertemu." Tambahnya menyakinkan.. "Oh...." Meizura mengangguk paham. Reflek Fagan menghembuskan na
Pov Fagan. Astaghfirullah...... Dari banyaknya kejadian yang terjadi antara kita mengapa harus kejadian itu yang Zura ingat? Kupandangi wajah cantik yang sangat aku rindukan ini. Sekuat hati aku menahan diri untuk tidak memeluknya. Mengutarakan kata maaf dan rindu yang sudah ratusan malam tertahan di hati. Duh gusti.... Mengapa penyesalan ini semakin membesar memenuhi dadaku menimbulkan rasa sesak yang membuatku sulit untuk bernafas. "Pertama kali aku bertemu dengan temanmu itu di restoran. Saat itu kami tidak sengaja bertabrakan dan dia memelukku supaya aku tidak terjatuh." Lanjutnya bercerita. Wajahnya bersemu merah dengan senyum tipis di bibirnya. Nyuuut......Ada yang terluka di dalam sana namun tidak berdarah. Nyeri dan ngilu terasa di dalam dadaku. Duh gusti Alloh...... bisakah aku ikhlas jika aku benar-benar harus melepasnya untuk pria lain. Ikhlas tidak ikhlas kali ini aku harus melepasnya. Jika memang Zura mencintai Anggada meski dengan hati berdarah aku harus merelakanny
Pov Meizura. Setelah selesai makan dan sholat isya' aku segera pamit tidur pada suster Erina. Kukatakan aku capek dan mengantuk. "Tidurlah, jangan bergadang karena ponsel dan membuat kesehatanmu terganggu!" pesannya saat aku pamit hendak tidur. Suster Erina seperti tahu jika aku sedang mencari alasan. Untuk berjaga-jaga aku berdiam di atas ranjang sampai satu jam lebih. Setelah yakin suster Erina tidak akan masuk kamar lagi, aku segera mengunci pintu lantas berjalan menuju balkon kamar. Sesuai pesan Zio aku berdiri di balkon kamarku sambil memegangi besi pembatas. Kulihat rumah depan nampak sepi. Balkon rumah itu terlihat gelap sama seperti kemarin-kemarin. Sampai hampir satu jam namun tak ada apa-apa. Kaki dan tanganku terasa gatal semua karena digigit nyamuk. Tadi aku buru-buru sampai lupa pakai lotion anti nyamuk. "Apa sih maksudnya? Kenapa juga aku nurutin ucapan pria itu? Bod*h..." umpatku kesal. Dengan hati kesal aku berbalik, baru satu langkah, sebuah notifikasi terlihat
Pov Meizura. "....... Jika Tuhan masih memberiku kesempatan untuk hidup, semoga aku tidak pernah mengingatmu lagi," ucap seorang wanita dengan kepala berlumuran darah. "Aku menyesal.... sangat menyesal...." Suara serak yang terus menggema seisi ruangan. "Zura bangun.....Zura tidak..Zura...." Laki-laki itu berteriak sambil menggoncang tubuh wanita yang dipeluknya. Sesak...... rasanya sangat sesak hingga sulit sekali aku bernafas. Kenapa? Kenapa aku merasa sakit mendengar teriakan dari pria itu. "Zenia.... Zenia.... Bangun!" Sebuah goncangan membuatku membuka mata, ternyata mimpi. Nafasku memburu seperti orang yang habis lari maraton puluhan kilo meter. "Ada apa? Kamu mimpi buruk lagi?" tanya suster Erina dengan wajah khawatir yang berusaha dia sembunyikan. Aku tersenyum tipis lantas beranjak bangun. Kuterima segelas air yang suster Erina berikan padaku. Tak menunggu lama aku pun meminumnya sampai tandas. Rasa kering dan haus selalu terasa setiap aku memimpikan hal itu. "Kuncinya
Pov Meizura. "Khem... khem.... Bisa lepaskan pelukanmu?" Aku jadi canggung. "Emm... aku sulit bernafas kalau kamu memelukku seperti ini." Kudorong dada bidang yang terasa keras ini, perlahan Zio pun melepaskan rengkuhannya. Sama seperti aku dia pun nampak canggung. "Khem.... maaf buat kamu nggak nyaman," ucapnya sambil menggaruk tengkuknya sendiri. "Aku terlalu bahagia mendengar jawabanmu. "Kenapa?" tanyaku heran. Kenapa sesenang itu hanya karena kata-kata yang aku ucapkan karena terinspirasi dari segala pembelajaran hidup yang telah diajarkan suster Erina. "Karena jawabanmu adalah obat untuk lukaku." Pria itu tersenyum tipis tapi entah kenapa membuat ketampanannya bertambah berkali-kali lipat. "Kalau begitu berterima kasihlah sama suster Erina," kataku yang langsung membuat pria berkaos putih itu mengangkat satu alisnya. "Suster Erina lah yang mengajariku tentang arti hidup dan segala macam problematikanya. Bagaimana cara menyikapi dan melampiaskannya?" sambungku lalu menepuk-n
Pov Meizura. Papa langsung marah besar begitu kami sampai di rumah. Awalnya aku bingung dengan sikap Papa yang begitu kasar pada suster Erina hanya karena mereka sampai rumah lebih dulu dari kami. Bunda menyuruhku pergi ke kamarku di lantai dua saat Papa sudah mulai kehilangan kendali.Aku menurut namun di ujung tangga aku mencuri dengar. Barulah aku mengerti jika alasan kemarahan Papa karena suster Erina membiarkan aku berinteraksi dengan Zio. Sepertinya ucapan Zio benar, aku adalah istrinya. Itu sebabnya saat pertama kali kami bertemu Zio nampak sangat sedih karena aku tidak mengingatnya sama sekali. Kejadian itu sudah berlalu dua hari tapi aku masih bisa mengingat setiap ucapan Papa. "Aku membayarmu mahal bukan untuk membantu laki-laki brengs*k itu untuk mendekati putriku. Tapi aku membayarmu untuk menjaganya dari hal-hal buruk yang datang dari masa lalunya." Murka Papa pada suster Erina yang sempat aku dengar dua hari yang lalu. Namun Suster Erina memiliki jawaban yang membua
Tak terasa kehamilanku sudah menginjak tujuh bulan. Dan hari ini akan diadakan tasyakuran tujuh bulanan calon anak kami. Aku begitu bahagia juga berdebar-debar menunggu hari kelahiran anak kami yang tinggal dua bulan lagi. Bukan tanpa alasan aku merasakan kegelisahan ini, dua kehamilanku sebelumnya tidak pernah sampai menginjak bulan ke tujuh. Mas Fagan yang nampak tenang pun sempat takut dan overprotective begitu Kehamilanku menginjak bulan kelima. Bulan dimana dua calon anak kami gugur dan kembali ke pangkuan ilahi tanpa sempat kami dekap. "Hati-hati jalannya, Sayang, jangan buru-buru! Tamunya juga gak akan pergi kok," tegur Mas Fagan saat aku buru-buru ke depan saat mendengar kedatangan Zaskia. "Iya, Mas, ini jalanya sudah pelan kok." Aku Memperlambat jalanku. Disamping karena teguran Mas Fagan juga karena tanganku yang di pegangnya. Pelan tapi pasti hubungan Papa dengan Papa mertuaku pun membaik. Di hari yang kaya orang Jawa di sebut tingkepan ini, keluarga besar kami benar-b
Hari-hari berlalu dengan sangat cepat. Perlahan zemuanya mulai membaik. Hari- hariku terasa penuh warna. Tidka lagi monoton dan penuh sandiwara.Hpir setiap pagi aku terbangun oleh suara Mas Fagan yang sedang muntah-muntah di dalam kamar mandi. Suara cukup keras sampai membuat seisi rumah terbangun tepat jam tiga pagi Ya, diambil baiknya saja, mungkin calon anak kami ingin orang tuanya beribadah di sepertiga malam. Dan anehnya, mual Mas Fagan akan hilang setelah kami berdua mengambil air wudhu untuk sholat sunah.Dan mualnya akan kembali setelah selesai sholat shubuh. Bukanlah itu pertanda. Anak kami pasti akan jadi anak sholeh nantinya.Meski begitu tersiksa dengan mual dan nyidam yang tiba-tiba saja dirasakannya. Namun tak sekalipun suamiku itu mengeluh atau menyalahkan kehamilanku. Mas Fagan begitu sabar dan ikhlas menjalani perannya. Ia bahkan selalu mengunci kamar mandi setiap kali muntah, takut aku menyusul masuk ke dalam katanya. "Sudah di atas ranjang saja, jangan ikut masu
Malamnya suster Erina langsung datang ke rumah bersama seorang bidan setelah siangnya mendapatkan telpon dari Mas Fagan. Perempuan berwajah tegas itu datang dengan membawa alat-alat medis yang tidak semuanya aku tahu namanya. Suster Erina dan dua orang perawat laki-laki menata alat-alat medis atas intruksi snag Bidan. Ya Alloh.... kenapa aku merasa akan menjadi pasien di rumahku sendiri. Aku hanya sedang hamil bukan habis kecelakaan dan sedang koma. Saat ini aku duduk bersandar di atas ranjang dengan Mas Fagan yang setia menemani sambil menggenggam satu tanganku. "Zenia, dengerin Sus, beliau ini teman Sus, namanya Bidan Hana. Dia akan memeriksa kondisimu. Jangan menolak!" Belum apa-apa Suster Erina sudah memberiku peringatan. Meski nadanya dibuat lembut tapi tatapannya itu tatapan tak ingin dibantah. Wanita ini bahkan lebih tegas dari Papa dan Mas Fagan. Aku mengangguk penuh kepasrahan. Sepatah kata penolakan dariku akan berbuntut panjang dan membuatku harus menjalani terapi len
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan kami sudah sampai di pelataran sebuah klinik terdekat dari rumah. Dengan dipegangi pak sopir di sisi kanan Mas Fagan dan aku di sisi kirinya. Kami turun dan menuju kursi tunggu. Sedangkan Bi Sarti lebih dulu turun dan langsung mendaftar di tempat pendaftaran. Di siang hari yang terik seperti saat ini suasana klinik yang nampak lengang, mungkin orang-orang lebih memilih datang di sore hari saat udara lebih sejuk. Hanya ada dua orang pasien yang menunggu antrian. Setelah menunggu sekitar dua puluh menit akhirnya namaku di panggil. Aku sedikit bingung, yang sakit Mas Fagan kenapa Bibi mendaftarkan namaku. "Sayang.... ini klinik bersalin tentu saja nama kamu yang di daftarkan Bibi." ujar Mas Fagan merangkulku lalu mengelus lembut lenganku.Lama-lama Mas Fagan sudah seperti Suster Erina yang bisa membaca isi hatiku. Dan sikapnya lembutnya selalu sukses membuat hatiku bergetar dan semakin merasa bergantung padanya. Kami pun akhirnya masuk dengan
Beberapa hari ini Mas Fagan kurang enak badan. Setiap pagi selepas sholat shubuh dia pasti akan muntah-muntah. padahal perutnya msih kosong. aku pikir itu asam lambung, aku mengajaknya ke dokter untuk periksa tapi bukan Mas Fagan jika tidak keras kepala. Laki-laki itu tegas menolak dan mengatakan akan segera membaik jika aku memanjakannya. Ada-ada saja suamiku ini. Memang ada penyakit yang sembuh hanya dengan dimanjakan? Pagi ini kondisinya semakin membuatku khawatir. Sejak pagi intensitas muntahnya makin sering sampai-sampai membuat tubuh kekarnya itu lemas.Dan sekarang hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil memelukku. Tak sedetikpun aku di izinkan jauh darinya. Bahkan untuk sarapan aku sampai merepotkan Bi Sarti untuk mengantar ke kamar. Tak berhenti berdrama, sarapan pun aku harus membujuknya seperti anak kecil. Ya Alloh...... Mas. Melihatnya seperti ini membuatku teringat kondisiku ketika aku hamil anak pertama kami dulu. Saat itu aku begitu manja dan malas untuk
Pov Meizura. Setelah hari ke tujuh kematian Ardiaz, aku dan Mas Fagan kembali pulang ke rumah Eyang. Jakarta kota yang panas dan sangat bising membuatku tidak betah berlama-lama di sana. Bunda dan Mbak Zahra sangat sedih ketika kami memutuskan untuk pulang kembali ke rumah Eyang. Bunda berusaha membujukku untuk tetap tinggal namun aku menolak. Rasanya masih belum nyaman untuk bertemu dengan orang-orang yang berhubungan dengan masa laluku dan Mas Fagan. Dua hari yang lalu kami pulang dengan diantar Bunda. Beliau menginap satu hari sebelum kembali pulang karena harus mengurus Azqiara yang masih sekolah. Adik sambungku itu masih butuh pengawasan di usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Bunda dan Papa tidak oleh teledor mengingat pergaulan sekarang yang yang begitu bebas. Malam ini kulihat Mas Fagan nampak gelisah. Sejak tadi dia banyak melamun. Sama seperti saat ini, dengan bertelanjang dada, duduk melamun dengan laptop di pangkuannya.Setelah satu jam yang lalu pria jangkung
"Kalian merasa lega...?" sentak Mama dengan wajah sembab dan mata bengkak karena terlalu lama menangis. Segera aku beranjak bangun mundur dan berdiri didepan Zura saat Mama berusaha untuk berdiri. Tak akan kubiarkan siapapun menyentuhnya, termasuk Mama. Sudah cukup penderitaan yang selama ini Zura rasakan. Sebagai seorang suami aku harus lebih protect dan peka terhadap perasaannya. "Ma...." Papa menegur Mama. "Jangan asal bicara! Ingat baik-baik, apa kamu pernah melihat Zura menangis saat ada keluarga yang meninggal? Saat Oma Kasih meninggal dia juga tidak menangis." "Ingat, kamu sudah berjanji kan tadi?" Kembali Papa memberi peringatan Mama. Wajahnya nampak serius. Mama pun menurut, mendengus kasar lalu kembali menangis. "Tolong jangan benci Ardiaz,.. hiks...hikss. Semua salah Mama, Ardiaz tidak bersalah." Dengan sabar Tante Tia mengelus punggung dan lengan Mama. Adik bungsu Mama itu terus menasehati Mama untuk bisa tenang dan ikhlas dengan kepergian Putra keduanya. Tante Tia
Pagi ini selesai sarapan aku akan mengajak Meizura pergi ke makam kedua anak kami. Sudah lama sekali aku tidak kesana. Istriku terlihat lebih bersemangat pagi ini setelah aku mengatakan hendak berziarah ke makam putra dan putri kami. Sudah dari jam tujuh wanita berambut panjang itu duduk di sofa kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Atasan lengan panjang berawarna hitam dipadukan dengan celana krem dan di sampingnya sudah ada kain segi empat berwarna senada dengan celana yang dipakainya. "Kita sarapan dulu," ajakku sambil mengulurkan tanganku kearahnya. Dengan senyum tipis, wanitaku ini langsung menyambutnya. Lekas kami turun menuju meja makan, dimana mertua dan saudara iparku sudah menunggu. Sejak kedatangan kami sampai hari ini keluarga mertuaku selalu menunggu kami saat waktu makan tiba. Entah itu sarapan atau makan malam mereka pasti sudah menunggu kami di meja makan dan mereka baru akan makan saat kami sudah ikut bergabung. Kehangatan begitu terasa diantara semua anggota kel
"Ardiaz kritis. Kondisinya menurun sejak kemarin malam," beritahu Mas Fagan begitu aku dan Bunda sampai di rumah sakit. Kami datang setelah Mas Fagan memintaku menyusulnya ke rumah sakit tentu dengan diantar Bunda. Tadi setelah Bibi menyampaikan pesan Mama Kinanti tentang kondisi Ardiaz, aku tak serta merta ingin datang ke rumah sakit. Kupikir Mama Kinanti menelpon untuk memberitahu Mas Fagan. Pastinya kedatanganku tak terlalu diharapkan setelah ucapanku beberapa hari yang lalu. Tapi ternyata aku salah, Mama Kinanti sengaja menelpon bukan untuk memberitahu Mas Fagan melainkan memintaku untuk datang. Jika bukan karena Mas Fagan yang menelpon dan memintaku menyusulnya mungkin aku tidak akan pernah datang. Mas Fagan sendiri langsung berangkat ke rumah sakit dari kantor. "Jangan berpikir yang tidak-tidak. Kondisi Ardiaz memang sudah memburuk sejak satu bulan lalu. Jadi tidak ada hubungannya dengan kedatangan kita seminggu yang lalu. Jangan dengarkan jika ada omongan yang tak enak." Ka