Kening Lily berkerut, dia terkejut mendengar ucapan Risha. "Sesuatu yang buruk? Ada apa bund?" Lily seketika panik, jantungnya berdetak sangat cepat. Lily memikirkan hal buruk terjadi pada papanya. "Apa Papa sakit? Apa terjadi sesuatu dengan Papa? Atau kakek?" Lily tak bisa menyembunyikan rasa khawatir. Dia melihat Juna yang baru datang menatapnya. Lily membuang muka agar Juna tidak mendekat ke arahnya. “Bukan, bukan Papa atau kakekmu, tapi Bibi Monica,” ucap Risha. "Apa?" Lily seketika lega, meskipun perasaan takut masih bercokol di hatinya. "Kenapa? Ada apa dengan Bibi Monica?" tanya Lily. "Dia masuk rumah sakit, Paman Arya bilang dia tidak mau makan dan ingin bertemu denganmu." Lily membuang napas kasar, dia bingung. Monica sakit tentu bukan kesalahannya. “Lalu bagaimana kondisinya sekarang?” Lily bertanya degan nada ragu, dia tak enak hati mendengar Monica tak mau makan. “Masih lemah, Paman Arya meminta tolong agar kamu bisa menjenguk Bibi Monica di rumah sakit,
Lily memutuskan pergi ke ruangan Arsen untuk meminta izin menjenguk Monica di rumah sakit. Saat sampai di depan ruang kerja Arsen, dia melihat pintu ruang kerja pria itu terbuka sedikit. Lily mendekat dan mendengar Arsen sedang berbicara dengan Thomas. Dia mengetuk pintu, menyembulkan kepala sedikit ke dalam lalu tersenyum. Lily melihat Arsen kaget mendapati dirinya berada di sana, begitu juga dengan Thomas. "Kenapa Anda ke sini?" tanya Thomas seraya mendekat ke arah Lily. "Aku ingin menemui atasanmu, ponselnya tidak aktif. Apa dia sedang sibuk?" Arsen mengamati interaksi antara Lily dan Thomas dari kursinya. Dia mengangsurkan pandangan dari dua orang itu ke dokumen yang sedang dia periksa. "Biarkan dia masuk dan tutup pintunya!" Arsen memberi perintah ke Thomas tanpa memandang asistennya itu. Thomas mengangguk meski Arsen tak melihatnya, dia kemudian mempersilahkan Lily dan menutup pintu sesuai dengan perintah Arsen. Lily mendekat, agak takut karena Arsen menunjukka
Lily membelalakkan mata menatap sosok Arsen. “Paman ke sini untuk menjenguk Mama,” ucap Bryan. Lily tak berkedip, dia terlalu terkejut hingga hanya memandang Arsen yang masuk. Thomas yang datang bersama Arsen berjalan ke arah meja lalu meletakkan makanan yang dibawanya, kemudian kembali keluar dari kamar perawatan itu. “Aku bertemu Arya di lobi, jadi tahu nomor kamar inapmu,” ucap Arsen saat sudah berdiri di samping ranjang Monica. “Terima kasih kamu sudah datang ke sini,” balas Monica. Arsen mengangguk pelan. “Bagaimana kondisimu?” tanyanya kemudian. “Aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dicemaskan,” jawab Monica dengan ekspresi wajah penuh kelegaan. Arsen menatap sejenak pada Lily yang duduk di sisi ranjang berbeda darinya, lalu kembali mengalihkan tatapan pada Monica. “Kamu menangis?” tanya Arsen saat melihat mata Monica. Monica mengusap matanya sambil tersenyum. “Aku hanya terharu karena menantuku mau datang menjenguk.” Lily terkejut dan langsung menata
Bryan terlihat menarik kursi lalu duduk di samping ranjang Monica, setelah Lily keluar dari ruang perawatan itu.“Mama seharusnya tidak berkata seperti itu,” ucap Bryan . “Lily tidak mungkin mau kembali lagi denganku, jadi jangan membuat situasinya rumit dengan mengatakan dia calon menantu Mama."“Kenapa? Kamu sekarang menyesal, kan?” Emosi Monica tetap tak stabil.Bryan hanya diam.“Kamu memang bodoh! Punya calon istri yang sangat baik tapi disia-siakan,” gerutu Monica.“Mama hanya bisa terus menyalahkan tanpa tahu apa yang aku rasakan,” balas Bryan tak ingin terus dimaki.“Meski Lily baik, tapi tidak pernah bisa dewasa. Dia selalu ingin dimanja, sedangkan aku juga mau diperhatikan,” imbuh Bryan lagi.Monica melotot.“Kamu ini memang lucu. Apa kamu lupa? Lily pernah menemanimu saat sakit sampai menyuapimu makan dan minum obat penuh perhatian?” Monica mengingatkan masa lalu Lily dan Bryan.“Bahkan, Lily terus mengalah. Dia minta maaf saat kamu tidak meminta izin ke papanya saat kalian
Lily melepaskan pelukannya ke Adhitama. Dia melebarkan senyum lantas berkata," Suamiku juga sangat memanjakanku. Dia sering mengajakku makan enak dan apa yang aku inginkan selalu dia berikan." Lily memandang Adhitama yang hanya mengangguk pelan. "Papa pasti tidak akan percaya, dia kemarin memberiku sebuah helikopter," ujar Lily. “Hm … pantas sekarang kamu lupa dengan papamu sendiri,” balas Adhitama. Lily tertawa kecil, lalu menggeleng sebagai isyarat jika tak mungkin lupa pada sang papa. “Aku tidak lupa, tapi aku sibuk ikut pemilihan direktur di ARS. Doakan aku supaya terpilih, Pa,” ucap Lily penuh harap, “aku juga mau meminta saran, bagaimana cara menjual barang agar bisa menarik banyak pembeli?” tanya Lily kemudian. Adhitama memgangguk-angguk paham lantas membelai pipi Lily. “Jangan berorientasi pada hasil dulu, yang perlu kamu pikirkan adalah cara menawarkan barang itu, tunjukkan ketulusan dan keramahan ke pembeli. Kuasai detail produk itu harus, dan jangan pernah mema
Haris dan Alma terkejut. Mereka sampai membeku beberapa saat. Suami? Lily? Kapan keponakan mereka menikah? Haris menoleh ke Adhitama lalu Risha. Tatapan Haris menuntut jawaban. Dia tahu pria yang diakui Lily sebagai suami itu adalah pemilik ARS Company. Perusahaan besar yang sahamnya diincar banyak orang. Perusahaan yang setiap pebisnis ingin bekerja sama. "Ceritanya panjang, nanti akan aku ceritakan," ucap Adhitama dengan nada datar. Haris masih bingung, dia menatap Risha berharap mendapat jawaban, tapi adik angkatnya itu buru-buru berdiri. "Kamu datang, ayo duduk! Sudah makan belum?" Lily melihat Arsen yang menoleh padanya. Dia tersenyum lalu mengajak pria itu duduk. Lily tak peduli dengan pandangan Haris dan Alma, dia sudah memutuskan untuk memperkenalkan Arsen sebagai suaminya saat mendengar pembantu menyampaikan informasi Arsen datang tadi. Lagipula Haris dan Alma bukan orang asing. Mereka Paman dan Bibi Lily. "Apa kamu sudah makan?" Lily bertanya
Adhitama menatap tajam Haris. Dia lantas memandang Arsen yang sedang memainkan bibir gelas menggunakan jari telunjuk. "Lily tidak hamil di luar nikah," ucap Adhitama. "Jangan sembarangan menduga." "Maaf! Aku hanya menebak, lagipula bagiku aneh karena kamu bilang pernikahan Lily tidak boleh ada yang tahu," balas Haris. Adhitama tak membalas. Dia memilih membuang muka, kesal. "karena aku Paman Bryan, Lily batal menikah dengan Bryan dan malah menikah denganku. Kami tidak ingin menimbulkan banyak spekulasi di luar." Arsen bicara tanpa menoleh Haris. Dia terus menatap gelas wine miliknya kemudian menyesapnya lagi. Haris tak bisa berkata-kata, hanya mencoba mencerna situasi yang terjadi. Wajah Adhitama muram, sedangkan Arsen dingin. Haris menduga keduanya tidak akur. Haris tahu Lily dan Bryan menjalin hubungan cukup lama. Pernikahan Lily dan Arsen memang terlalu cepat. "Kalau begitu aku akan tutup mulut. Aku juga akan meminta Alma melakukan hal yang sama, kalian tenang sa
Di kamar. Lily memeluk Arsen yang sudah berbaring miring di atas ranjang. Dia tidak merasakan Arsen merespon, lantas berusaha mengajak suaminya itu bicara.“Bunda benar-benar lucu, ‘kan? Aku tidak menyangka kalau Bunda punya ide membelikan kita piyama couple seperti ini,” ujar Lily.Arsen masih diam, membuat Lily setengah bangkit dari posisi berbaringnya untuk melihat apakah Arsen sudah tidur atau belum.“Kamu sudah tidur?” tanya Lily memastikan karena Arsen memejamkan mata.“Apa kamu tidak lelah?” tanya Arsen pada akhirnya meski matanya terpejam.Lily meletakkan dagunya di pundak Arsen. “Kenapa kamu jadi berbeda setelah kembali dari minum dengan Papa dan Paman?”“Aku masih sama, itu hanya perasaanmu saja,” balas Arsen, “sekarang tidurlah karena besok akan menjadi hari berat untukmu.”Lily mengamati Arsen yang masih memejamkan mata, akhirnya dia berbaring dengan benar lalu mencoba memejamkan mata juga.***Keesokan harinya. Arsen dan Lily sudah turun ke ruang makan dan siap sarapan be
Hari itu Lily diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Namun, bukannya senang. Lily tampak murung. Dia sama sekali tak bicara pada Arsen sejak masuk mobil. Lily terus menatap keluar jendela, dia memikirkan pesan Bryan yang membuatnya terbebani. Ya. Ibunda Arsen. Lily memang tidak pernah mendengar sedikitpun tentang wanita yang melahirkan suaminya itu. Bahkan, namanya pun tidak pernah Arsen sebut. "Ada masalah?" Arsen menyentuh tangan Lily saat mobilnya berhenti di lampu merah. Arsen mengamati Lily sejak keluar dari rumah sakit. Dia merasa ada yang aneh tapi tidak berpikir macam-macam. Dokter bilang wanita hamil sering mengalami perubahan suasana hati yang cukup drastis. Mungkin Lily sedang mengalami hal itu. "Ada yang kamu inginkan? Makanan? Kita beli sebelum sampai rumah." Arsen menawari Lily. Dia melepas genggaman tangannya dari Lily saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. 'Aku ingin kamu menceritakan tentang keluargamu.' Lily menoleh Arsen.
Beberapa saat kemudian dokter akhirnya datang ke kamar rawat Lily membawa mesin USG seperti apa yang Arsen minta. Dokter tampak sungkan, seumur hidupnya berkarir menjadi dokter kandungan, tidak pernah sekalipun dia merasa tertekan seperti ini saat melakukan pemeriksaan. Dokter itu mulai melakukan pemeriksaan kandungan dengan menyentuhkan alat USG di perut bagian bawah Lily. Tangannya menggeser alat itu pelan dengan tatapan tertuju pada monitor. “Janinnya normal sesuai usianya, ukuran panjang dan beratnya juga sesuai,” kata dokter menjelaskan. Arsen dan yang lain memerhatikan monitor. Mereka melihat bayangan kecil berbentuk seperti kacang di lingkaran besar yang terdapat di sana. “Di usia kandungan yang masih sangat muda, sebaiknya hindari stres dan jangan melakukan pekerjaan terlalu berat,” kata dokter memberi penjelasan. Dokter juga memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh Lily lakukan selama kehamilan trimester pertama ini. “Bagaimana dengan pusing yang membuatnya s
Bryan terpengaruh ucapan Sonia, tapi dia tetap tak mau bicara dengan wanita itu dan memilih pergi. Bryan memiliki rencana. Dia tidak bisa membiarkan Arsen begitu saja. Apalagi Bryan tahu bagaimana sifat Arsen dari cerita orang tuanya. Dia masuk ke dalam mobil lalu duduk di belakang kemudi. Bryan diam beberapa saat, sebelum tiba-tiba saja mengamuk dan memukul setir bertubi. "Kenapa bisa dia yang menikahi Lily?" ucap Bryan frustrasi. Bryan tidak rela karena dia tahu Lily dulu begitu mencintainya. Sementara itu, Sonia memilih masuk ke dalam apartemen Bryan. Dia kaget melihat tempat itu berantakan. Sonia tergelak ironi. Dia duduk dengan senyum tak percaya menghiasi wajahnya. Mungkinkah Bryan baru saja mengamuk? Apa Bryan sangat marah karena tahu Lily sudah menikah? Sonia memukul sofa dengan tangannya yang terkepal. "Bagaimana bisa Lily menikah dengan laki-laki berkuasa seperti Pak Arsen? Apa hebatnya Lily?" geram Sonia. "Dia hanya beruntung karena terlahir di kelu
Di rumah sakit Lily membiarkan Risha bercerita banyak hal tentang kehamilan. Dia sesekali menanyakan hal yang belum dipahami. "Nanti kamu bisa bertanya lebih jelas ke dokter kandunganmu," ucap Risha. Lily tersenyum lantas mengangguk dan menyentuh permukaan perutnya. Di saat itu, pintu kamar rawat Lily terbuka. Hingga membuat Lily dan Risha menoleh bersamaan. "Papa," lirih Lily. Dia menatap Adhitama yang datang dengan mata berkaca-kaca. Lily lagi-lagi menangis saat Adhitama mendekat dan langsung memeluknya. "Kamu baik-baik saja 'kan?" Adhitama berbisik ke telinga Lily. "Aku baik, papa akan segera punya cucu," balas Lily. Adhitama mengusap punggung Lily seraya mengangguk. Dia perlahan melonggarkan pelukan lalu mengusap pipi Lily. "Jaga kesehatanmu," kata Adhitama. Lily diam mencoba membaca pikiran Adhitama. Kenapa Adhitama bersikap biasa? Bukankah apa yang ingin Adhitama tutupi selama ini akhirnya terbongkar? "Papa pasti sudah tahu kalau .... " "Arsen
Lily tersenyum canggung. Dia meletakkan ponselnya kembali ke nakas lalu menatap Arsen dengan wajah memelas."Aku penasaran apa yang terjadi di luar, berapa banyak orang yang sudah tahu kalau kita sudah menikah," kata Lily.Arsen mendekat lalu duduk di ranjang Lily. Dia memandang perut Lily yang masih datar kemudian beralih menatap wajah istri kecilnya itu."Jangan memikirkan hal itu. Tidak usah peduli seandainya banyak gunjingan di luar nanti. Sekarang fokus saja pada kesehatanmu dan bayi kita." Arsen bicara dengan sangat lembut.Lily mengangguk, dia membuka tangan kanannya yang tidak terpasang selang infus."Mau peluk!" Pintanya manja.Arsen tertawa, lantas mendekat dan merengkuh tubuh Lily ke dalam dekapannya."Kamu mau makan apa? Bukankah ibu hamil sering meminta yang aneh-aneh?" bisik Arsen dengan senyum bahagia di wajahnya. ***Di luar kamar.Risha berjalan cepat di koridor rumah sakit menuju ruang inap Lily.Sesampainya di ruang inap Lily, Risha melihat Lily yang duduk bersanda
Lily perlahan menjauhkan kelopak mata, dia merasa seluruh badannya lemas bahkan tubuhnya terasa mengambang di udara. Lily menoleh ke samping, matanya seketika berkaca-kaca melihat Arsen tertidur dengan posisi duduk di dekatnya. Air mata Lily menetes, dia belum sempat mengusapnya saat Arsen tiba-tiba bangun dan menatap padanya. Arsen kaget, mencondongkan badannya mendekat pada Lily lalu mengusap lembut kepala istrinya itu. "Ada yang sakit?" tanyanya melihat Lily menangis. Arsen hendak menekan bel yang ada di sisi ranjang pesakitan untuk memanggil perawat, tapi Lily lebih dulu mencegah. "Aku baik-baik saja, aku ingin berdua denganmu dulu." Lily tersenyum melihat Arsen menurutinya dengan menjauhkan tangan dari bel itu. Dia balas meremat jari tangan Arsen saat pria itu menautkan jemari mereka. "Jam berapa ini?" tanya Lily. "Satu malam," balas Arsen. Dia mencium punggung tangan Lily, lantas menunjukkan senyuman di wajah tampannya. "Terima kasih," ucap Arsen. Lily mengerutkan
Arsen menggertakkan gigi. Dia mendorong Anthony agar menjauh dari istrinya. "Jangan sentuh istriku!" Arsen memperingatkan lagi. Dia mengangkat tubuh Lily lalu menggendong istrinya itu pergi dari rumah Diana. Arsen menuju mobil lalu membaringkan Lily di kursi belakang. Dia kemudian berjalan memutar ke sisi pintu satunya. Arsen memakai pahanya sebagai bantalan kepala Lily. "Cepat ke rumah sakit!" Titahnya ke sopir. Arsen memeluk kepala Lily, memegang erat tangan istrinya itu mencoba untuk tetap tenang. "Aku mohon jangan sakit aku mohon," bisik Arsen ke telinga Lily. Sementara itu di dalam rumah Diana tampak bingung. Dia menatap ke arah Arsen membawa Lily pergi lalu memandang Anthony. "Arsen dan Lily..., mereka suami istri? Bagaimana mungkin," ucap Diana yang masih tak percaya. Anthony tak menjawab dan hanya bisa membuang napas kasar. "Jelas-jelas keluarga Mahesa belum menikahkan putrinya." Diana bicara lagi, lalu memandang Anthony yang masih mematung di tempatnya
Arsen mengambil kertas dan amplop dari tangan Lily. Dia memandangnya kemudian berkata,"Aku akan mencarikan informasi tentang pengawalmu itu sebisaku." Lily mengangguk dan berkata, “Terima kasih. Aku bisa mengandalkanmu." Lily lantas berdiri dari duduknya, tetapi tiba-tiba tubuhnya limbung dan hampir terjatuh jika Arsen tidak segera berdiri lalu memegangi tangannya. “Kamu kenapa?” tanya Arsen sambil menatap wajah Lily. “Tidak tahu, tiba-tiba saja agak pusing,” jawab Lily sambil memijat keningnya. “Bagaimana kalau ke dokter untuk memastikan kondisimu?” tanya Arsen lalu mengajak Lily duduk lagi. “Tidak, tidak perlu,” tolak Lily. “Bukankah waktu kecil kamu sering keluar masuk rumah sakit? Bagaimana kalau kondisi tubuhmu memang tidak baik?” tanya Arsen untuk meyakinkan Lily agar mau menemui dokter. “Itu beda,” sanggah Lily, “dulu aku keluar masuk rumah sakit karena Kakek Buyut berbohong. Dia menekan dokter yang merawatku agar memberi diagnosa kanker darah padaku. Dia mela
Lily diam memandangi ponselnya setelah Diana menutup panggilan itu. Dia menoleh ke arah dalam, bibirnya cemberut memikirkan jika masuk sekarang Risha pasti akan menggodanya lagi. Lily memilih pergi ke teras samping, dia duduk di kursi dan mencoba mengirim pesan untuk Arsen. [ Apa sudah selesai bermain golf? Apa kamu mau menyusulku ke rumah Papa? ] Lily menunggu beberapa saat. Bukannya pesan balasan dari Arsen yang dia terima, tapi malah pesan dari Diana yang mengirimkan peta lokasi rumahnya. Lily belum berani membuka pesan itu karena belum mengambil keputusan menerima atau menolak undangan wanita itu. Dia masih menunggu balasan dari Arsen, hingga orang yang ditunggu-tunggunya itu akhirnya membalas. [ Aku baru saja pulang dan baru selesai mandi ] Lily tersenyum. Kata 'mandi' membuatnya membayangkan hal yang tidak-tidak. "Sepertinya otakku sudah konslet," gumam Lily. Dia menggeleng untuk menarik kesadarannya. [ Aku akan datang ke sana untuk menjemputmu saja, mau pula