Siapa yang bilang Lily Hamil??? 🤣🤣 tenang aja geng dia udah cek kesehatan tokoh sebelum tayang, jadi ga ada sakit serius hihihihi
Lily perlahan menjauhkan kelopak mata, dia merasa seluruh badannya lemas bahkan tubuhnya terasa mengambang di udara. Lily menoleh ke samping, matanya seketika berkaca-kaca melihat Arsen tertidur dengan posisi duduk di dekatnya. Air mata Lily menetes, dia belum sempat mengusapnya saat Arsen tiba-tiba bangun dan menatap padanya. Arsen kaget, mencondongkan badannya mendekat pada Lily lalu mengusap lembut kepala istrinya itu. "Ada yang sakit?" tanyanya melihat Lily menangis. Arsen hendak menekan bel yang ada di sisi ranjang pesakitan untuk memanggil perawat, tapi Lily lebih dulu mencegah. "Aku baik-baik saja, aku ingin berdua denganmu dulu." Lily tersenyum melihat Arsen menurutinya dengan menjauhkan tangan dari bel itu. Dia balas meremat jari tangan Arsen saat pria itu menautkan jemari mereka. "Jam berapa ini?" tanya Lily. "Satu malam," balas Arsen. Dia mencium punggung tangan Lily, lantas menunjukkan senyuman di wajah tampannya. "Terima kasih," ucap Arsen. Lily mengerutkan
Lily tersenyum canggung. Dia meletakkan ponselnya kembali ke nakas lalu menatap Arsen dengan wajah memelas."Aku penasaran apa yang terjadi di luar, berapa banyak orang yang sudah tahu kalau kita sudah menikah," kata Lily.Arsen mendekat lalu duduk di ranjang Lily. Dia memandang perut Lily yang masih datar kemudian beralih menatap wajah istri kecilnya itu."Jangan memikirkan hal itu. Tidak usah peduli seandainya banyak gunjingan di luar nanti. Sekarang fokus saja pada kesehatanmu dan bayi kita." Arsen bicara dengan sangat lembut.Lily mengangguk, dia membuka tangan kanannya yang tidak terpasang selang infus."Mau peluk!" Pintanya manja.Arsen tertawa, lantas mendekat dan merengkuh tubuh Lily ke dalam dekapannya."Kamu mau makan apa? Bukankah ibu hamil sering meminta yang aneh-aneh?" bisik Arsen dengan senyum bahagia di wajahnya. ***Di luar kamar.Risha berjalan cepat di koridor rumah sakit menuju ruang inap Lily.Sesampainya di ruang inap Lily, Risha melihat Lily yang duduk bersanda
Di rumah sakit Lily membiarkan Risha bercerita banyak hal tentang kehamilan. Dia sesekali menanyakan hal yang belum dipahami. "Nanti kamu bisa bertanya lebih jelas ke dokter kandunganmu," ucap Risha. Lily tersenyum lantas mengangguk dan menyentuh permukaan perutnya. Di saat itu, pintu kamar rawat Lily terbuka. Hingga membuat Lily dan Risha menoleh bersamaan. "Papa," lirih Lily. Dia menatap Adhitama yang datang dengan mata berkaca-kaca. Lily lagi-lagi menangis saat Adhitama mendekat dan langsung memeluknya. "Kamu baik-baik saja 'kan?" Adhitama berbisik ke telinga Lily. "Aku baik, papa akan segera punya cucu," balas Lily. Adhitama mengusap punggung Lily seraya mengangguk. Dia perlahan melonggarkan pelukan lalu mengusap pipi Lily. "Jaga kesehatanmu," kata Adhitama. Lily diam mencoba membaca pikiran Adhitama. Kenapa Adhitama bersikap biasa? Bukankah apa yang ingin Adhitama tutupi selama ini akhirnya terbongkar? "Papa pasti sudah tahu kalau .... " "Arsen
Bryan terpengaruh ucapan Sonia, tapi dia tetap tak mau bicara dengan wanita itu dan memilih pergi. Bryan memiliki rencana. Dia tidak bisa membiarkan Arsen begitu saja. Apalagi Bryan tahu bagaimana sifat Arsen dari cerita orang tuanya. Dia masuk ke dalam mobil lalu duduk di belakang kemudi. Bryan diam beberapa saat, sebelum tiba-tiba saja mengamuk dan memukul setir bertubi. "Kenapa bisa dia yang menikahi Lily?" ucap Bryan frustrasi. Bryan tidak rela karena dia tahu Lily dulu begitu mencintainya. Sementara itu, Sonia memilih masuk ke dalam apartemen Bryan. Dia kaget melihat tempat itu berantakan. Sonia tergelak ironi. Dia duduk dengan senyum tak percaya menghiasi wajahnya. Mungkinkah Bryan baru saja mengamuk? Apa Bryan sangat marah karena tahu Lily sudah menikah? Sonia memukul sofa dengan tangannya yang terkepal. "Bagaimana bisa Lily menikah dengan laki-laki berkuasa seperti Pak Arsen? Apa hebatnya Lily?" geram Sonia. "Dia hanya beruntung karena terlahir di kelu
Beberapa saat kemudian dokter akhirnya datang ke kamar rawat Lily membawa mesin USG seperti apa yang Arsen minta. Dokter tampak sungkan, seumur hidupnya berkarir menjadi dokter kandungan, tidak pernah sekalipun dia merasa tertekan seperti ini saat melakukan pemeriksaan. Dokter itu mulai melakukan pemeriksaan kandungan dengan menyentuhkan alat USG di perut bagian bawah Lily. Tangannya menggeser alat itu pelan dengan tatapan tertuju pada monitor. “Janinnya normal sesuai usianya, ukuran panjang dan beratnya juga sesuai,” kata dokter menjelaskan. Arsen dan yang lain memerhatikan monitor. Mereka melihat bayangan kecil berbentuk seperti kacang di lingkaran besar yang terdapat di sana. “Di usia kandungan yang masih sangat muda, sebaiknya hindari stres dan jangan melakukan pekerjaan terlalu berat,” kata dokter memberi penjelasan. Dokter juga memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh Lily lakukan selama kehamilan trimester pertama ini. “Bagaimana dengan pusing yang membuatnya s
Hari itu Lily diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Namun, bukannya senang. Lily tampak murung. Dia sama sekali tak bicara pada Arsen sejak masuk mobil. Lily terus menatap keluar jendela, dia memikirkan pesan Bryan yang membuatnya terbebani. Ya. Ibunda Arsen. Lily memang tidak pernah mendengar sedikitpun tentang wanita yang melahirkan suaminya itu. Bahkan, namanya pun tidak pernah Arsen sebut. "Ada masalah?" Arsen menyentuh tangan Lily saat mobilnya berhenti di lampu merah. Arsen mengamati Lily sejak keluar dari rumah sakit. Dia merasa ada yang aneh tapi tidak berpikir macam-macam. Dokter bilang wanita hamil sering mengalami perubahan suasana hati yang cukup drastis. Mungkin Lily sedang mengalami hal itu. "Ada yang kamu inginkan? Makanan? Kita beli sebelum sampai rumah." Arsen menawari Lily. Dia melepas genggaman tangannya dari Lily saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. 'Aku ingin kamu menceritakan tentang keluargamu.' Lily menoleh Arsen.
“Apa yang terjadi?!”Lily terbangun dengan jantung berdetak liar. Napasnya memburu saat matanya menyapu ruangan asing yang disinari cahaya matahari. Kepala masih berdenyut hebat akibat alkohol semalam, tetapi yang membuat tubuhnya benar-benar membeku adalah rasa sakit yang menusuk di bawah sana.Dengan tangan gemetar, Lily meraih selimut yang melilit tubuhnya, perlahan-lahan menyingkapnya untuk memastikan sesuatu.Dia tidak mengenakan apa pun.“Tidak mungkin…”Cepat-cepat, Lily menatap sekeliling dan seketika dia pun membeku.Dia mendapati bajunya berserakan di lantai, dan sepasang sepatu pria yang tergeletak rapi di dekat meja kopi adalah bukti bahwa dia tidak sendiri tadi malam!Ketakutan menyergapnya seketika. Lily buru-buru memegangi kepalanya, mencoba mengingat bagaimana semua ini bisa terjadi.Semalam, Lily menyaksikan calon suaminya, Bryan, berbagi ciuman panas dengan wanita lain di apartemen miliknya sendiri. Dan lebih parahnya lagi, wanita itu adalah Sonia, gadis yang dulu pal
Dua hari berlalu. Lily tidak menyentuh ponselnya. Sejak malam itu, dia mengurung diri di kamar, menolak bertemu siapa pun, mengabaikan semua panggilan dan pesan, terutama dari Bryan. Pria itu tak henti-hentinya menghubunginya, tapi Lily tidak peduli. Setiap kali ponselnya bergetar, dia hanya menatapnya dingin sebelum kembali memejamkan mata. Dia butuh waktu. Untuk melupakan pengkhianatan Bryan. Untuk menghapus ingatan tentang malam itu. Untuk menghilangkan perasaan kotor dan malu setiap kali melihat bayangannya sendiri di cermin. Namun, Lily tidak bisa terus bersembunyi. Hari ini, keluarga Bryan mengundang mereka ke pesta ulang tahun pernikahan orang tuanya. Dan Lily tidak punya pilihan selain untuk pergi dengan wajah pucat. "Apa perlu kita pergi ke dokter?" Suara lembut Risha, ibu Lily, memecah keheningan di dalam mobil. Lily menoleh sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Bunda. Tidak perlu cemas.” Dia mengalihkan pandangan ke kaca spion tengah, menatap wa
Hari itu Lily diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Namun, bukannya senang. Lily tampak murung. Dia sama sekali tak bicara pada Arsen sejak masuk mobil. Lily terus menatap keluar jendela, dia memikirkan pesan Bryan yang membuatnya terbebani. Ya. Ibunda Arsen. Lily memang tidak pernah mendengar sedikitpun tentang wanita yang melahirkan suaminya itu. Bahkan, namanya pun tidak pernah Arsen sebut. "Ada masalah?" Arsen menyentuh tangan Lily saat mobilnya berhenti di lampu merah. Arsen mengamati Lily sejak keluar dari rumah sakit. Dia merasa ada yang aneh tapi tidak berpikir macam-macam. Dokter bilang wanita hamil sering mengalami perubahan suasana hati yang cukup drastis. Mungkin Lily sedang mengalami hal itu. "Ada yang kamu inginkan? Makanan? Kita beli sebelum sampai rumah." Arsen menawari Lily. Dia melepas genggaman tangannya dari Lily saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. 'Aku ingin kamu menceritakan tentang keluargamu.' Lily menoleh Arsen.
Beberapa saat kemudian dokter akhirnya datang ke kamar rawat Lily membawa mesin USG seperti apa yang Arsen minta. Dokter tampak sungkan, seumur hidupnya berkarir menjadi dokter kandungan, tidak pernah sekalipun dia merasa tertekan seperti ini saat melakukan pemeriksaan. Dokter itu mulai melakukan pemeriksaan kandungan dengan menyentuhkan alat USG di perut bagian bawah Lily. Tangannya menggeser alat itu pelan dengan tatapan tertuju pada monitor. “Janinnya normal sesuai usianya, ukuran panjang dan beratnya juga sesuai,” kata dokter menjelaskan. Arsen dan yang lain memerhatikan monitor. Mereka melihat bayangan kecil berbentuk seperti kacang di lingkaran besar yang terdapat di sana. “Di usia kandungan yang masih sangat muda, sebaiknya hindari stres dan jangan melakukan pekerjaan terlalu berat,” kata dokter memberi penjelasan. Dokter juga memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh Lily lakukan selama kehamilan trimester pertama ini. “Bagaimana dengan pusing yang membuatnya s
Bryan terpengaruh ucapan Sonia, tapi dia tetap tak mau bicara dengan wanita itu dan memilih pergi. Bryan memiliki rencana. Dia tidak bisa membiarkan Arsen begitu saja. Apalagi Bryan tahu bagaimana sifat Arsen dari cerita orang tuanya. Dia masuk ke dalam mobil lalu duduk di belakang kemudi. Bryan diam beberapa saat, sebelum tiba-tiba saja mengamuk dan memukul setir bertubi. "Kenapa bisa dia yang menikahi Lily?" ucap Bryan frustrasi. Bryan tidak rela karena dia tahu Lily dulu begitu mencintainya. Sementara itu, Sonia memilih masuk ke dalam apartemen Bryan. Dia kaget melihat tempat itu berantakan. Sonia tergelak ironi. Dia duduk dengan senyum tak percaya menghiasi wajahnya. Mungkinkah Bryan baru saja mengamuk? Apa Bryan sangat marah karena tahu Lily sudah menikah? Sonia memukul sofa dengan tangannya yang terkepal. "Bagaimana bisa Lily menikah dengan laki-laki berkuasa seperti Pak Arsen? Apa hebatnya Lily?" geram Sonia. "Dia hanya beruntung karena terlahir di kelu
Di rumah sakit Lily membiarkan Risha bercerita banyak hal tentang kehamilan. Dia sesekali menanyakan hal yang belum dipahami. "Nanti kamu bisa bertanya lebih jelas ke dokter kandunganmu," ucap Risha. Lily tersenyum lantas mengangguk dan menyentuh permukaan perutnya. Di saat itu, pintu kamar rawat Lily terbuka. Hingga membuat Lily dan Risha menoleh bersamaan. "Papa," lirih Lily. Dia menatap Adhitama yang datang dengan mata berkaca-kaca. Lily lagi-lagi menangis saat Adhitama mendekat dan langsung memeluknya. "Kamu baik-baik saja 'kan?" Adhitama berbisik ke telinga Lily. "Aku baik, papa akan segera punya cucu," balas Lily. Adhitama mengusap punggung Lily seraya mengangguk. Dia perlahan melonggarkan pelukan lalu mengusap pipi Lily. "Jaga kesehatanmu," kata Adhitama. Lily diam mencoba membaca pikiran Adhitama. Kenapa Adhitama bersikap biasa? Bukankah apa yang ingin Adhitama tutupi selama ini akhirnya terbongkar? "Papa pasti sudah tahu kalau .... " "Arsen
Lily tersenyum canggung. Dia meletakkan ponselnya kembali ke nakas lalu menatap Arsen dengan wajah memelas."Aku penasaran apa yang terjadi di luar, berapa banyak orang yang sudah tahu kalau kita sudah menikah," kata Lily.Arsen mendekat lalu duduk di ranjang Lily. Dia memandang perut Lily yang masih datar kemudian beralih menatap wajah istri kecilnya itu."Jangan memikirkan hal itu. Tidak usah peduli seandainya banyak gunjingan di luar nanti. Sekarang fokus saja pada kesehatanmu dan bayi kita." Arsen bicara dengan sangat lembut.Lily mengangguk, dia membuka tangan kanannya yang tidak terpasang selang infus."Mau peluk!" Pintanya manja.Arsen tertawa, lantas mendekat dan merengkuh tubuh Lily ke dalam dekapannya."Kamu mau makan apa? Bukankah ibu hamil sering meminta yang aneh-aneh?" bisik Arsen dengan senyum bahagia di wajahnya. ***Di luar kamar.Risha berjalan cepat di koridor rumah sakit menuju ruang inap Lily.Sesampainya di ruang inap Lily, Risha melihat Lily yang duduk bersanda
Lily perlahan menjauhkan kelopak mata, dia merasa seluruh badannya lemas bahkan tubuhnya terasa mengambang di udara. Lily menoleh ke samping, matanya seketika berkaca-kaca melihat Arsen tertidur dengan posisi duduk di dekatnya. Air mata Lily menetes, dia belum sempat mengusapnya saat Arsen tiba-tiba bangun dan menatap padanya. Arsen kaget, mencondongkan badannya mendekat pada Lily lalu mengusap lembut kepala istrinya itu. "Ada yang sakit?" tanyanya melihat Lily menangis. Arsen hendak menekan bel yang ada di sisi ranjang pesakitan untuk memanggil perawat, tapi Lily lebih dulu mencegah. "Aku baik-baik saja, aku ingin berdua denganmu dulu." Lily tersenyum melihat Arsen menurutinya dengan menjauhkan tangan dari bel itu. Dia balas meremat jari tangan Arsen saat pria itu menautkan jemari mereka. "Jam berapa ini?" tanya Lily. "Satu malam," balas Arsen. Dia mencium punggung tangan Lily, lantas menunjukkan senyuman di wajah tampannya. "Terima kasih," ucap Arsen. Lily mengerutkan
Arsen menggertakkan gigi. Dia mendorong Anthony agar menjauh dari istrinya. "Jangan sentuh istriku!" Arsen memperingatkan lagi. Dia mengangkat tubuh Lily lalu menggendong istrinya itu pergi dari rumah Diana. Arsen menuju mobil lalu membaringkan Lily di kursi belakang. Dia kemudian berjalan memutar ke sisi pintu satunya. Arsen memakai pahanya sebagai bantalan kepala Lily. "Cepat ke rumah sakit!" Titahnya ke sopir. Arsen memeluk kepala Lily, memegang erat tangan istrinya itu mencoba untuk tetap tenang. "Aku mohon jangan sakit aku mohon," bisik Arsen ke telinga Lily. Sementara itu di dalam rumah Diana tampak bingung. Dia menatap ke arah Arsen membawa Lily pergi lalu memandang Anthony. "Arsen dan Lily..., mereka suami istri? Bagaimana mungkin," ucap Diana yang masih tak percaya. Anthony tak menjawab dan hanya bisa membuang napas kasar. "Jelas-jelas keluarga Mahesa belum menikahkan putrinya." Diana bicara lagi, lalu memandang Anthony yang masih mematung di tempatnya
Arsen mengambil kertas dan amplop dari tangan Lily. Dia memandangnya kemudian berkata,"Aku akan mencarikan informasi tentang pengawalmu itu sebisaku." Lily mengangguk dan berkata, “Terima kasih. Aku bisa mengandalkanmu." Lily lantas berdiri dari duduknya, tetapi tiba-tiba tubuhnya limbung dan hampir terjatuh jika Arsen tidak segera berdiri lalu memegangi tangannya. “Kamu kenapa?” tanya Arsen sambil menatap wajah Lily. “Tidak tahu, tiba-tiba saja agak pusing,” jawab Lily sambil memijat keningnya. “Bagaimana kalau ke dokter untuk memastikan kondisimu?” tanya Arsen lalu mengajak Lily duduk lagi. “Tidak, tidak perlu,” tolak Lily. “Bukankah waktu kecil kamu sering keluar masuk rumah sakit? Bagaimana kalau kondisi tubuhmu memang tidak baik?” tanya Arsen untuk meyakinkan Lily agar mau menemui dokter. “Itu beda,” sanggah Lily, “dulu aku keluar masuk rumah sakit karena Kakek Buyut berbohong. Dia menekan dokter yang merawatku agar memberi diagnosa kanker darah padaku. Dia mela
Lily diam memandangi ponselnya setelah Diana menutup panggilan itu. Dia menoleh ke arah dalam, bibirnya cemberut memikirkan jika masuk sekarang Risha pasti akan menggodanya lagi. Lily memilih pergi ke teras samping, dia duduk di kursi dan mencoba mengirim pesan untuk Arsen. [ Apa sudah selesai bermain golf? Apa kamu mau menyusulku ke rumah Papa? ] Lily menunggu beberapa saat. Bukannya pesan balasan dari Arsen yang dia terima, tapi malah pesan dari Diana yang mengirimkan peta lokasi rumahnya. Lily belum berani membuka pesan itu karena belum mengambil keputusan menerima atau menolak undangan wanita itu. Dia masih menunggu balasan dari Arsen, hingga orang yang ditunggu-tunggunya itu akhirnya membalas. [ Aku baru saja pulang dan baru selesai mandi ] Lily tersenyum. Kata 'mandi' membuatnya membayangkan hal yang tidak-tidak. "Sepertinya otakku sudah konslet," gumam Lily. Dia menggeleng untuk menarik kesadarannya. [ Aku akan datang ke sana untuk menjemputmu saja, mau pula