Hari itu, suasana ruang divisi pemasaran terasa lebih tegang dari biasanya. Lily duduk di meja kerjanya, mencoba menenangkan diri sambil menyeruput kopi yang baru saja dia buat. Atmosfer di ruangan semakin mencekam. semua mata tertuju pada Lily dan Sonia. Lily merasa jantungnya berdegup kencang. Sejak kemarin, dia agak cemas setelah pihak HRD mengumumkan bahwa tugas akhir mereka dipilih langsung oleh Arsen. 'Dia bahkan tidak memberiku petunjuk.' Lily bergumam di dalam hati. Lily sedikit kecewa. Meskipun dia tahu jika Arsen memberitahunya sama saja dirinya curang. Lily dan kandidat lain diberi tantangan untuk menjual satu paket produk skincare premium terbaru ARS seharga dua juta rupiah per paket. Mereka hanya diberi waktu di pameran lusa. Kandidat yang berhasil menjual paling banyak, dialah yang akan terpilih menjadi direktur. Lily pusing, produk itu sendiri belum resmi diluncurkan, jadi belum dikenal oleh masyarakat luas. Lily masih melamun, sampai Dini mendekat dan mene
Sonia berbalik meninggalkan tempat itu, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Di belakang Sonia, suasana menjadi kacau saat lebih banyak staf mengerubungi Hendra yang masih kesakitan di lantai. 'Dengan menyingkirkan dia dari proses akhir maka sainganku hanya Lily, dia sangat mudah untuk dikalahkan.' gumam Sonia di dalam hati. Sonia berjalan santai kembali menuju ruangannya. Di sana sudah sepi dan hanya tinggal Sherly dan satu orang lagi. Sonia menatap Sherly yang mendekat, wanita itu mengajaknya pulang bersama. "Apa urusanmu sudah selesai?" tanya Sherly. Dia tersenyum penuh arti. "Sudah! Aku harap itu cukup untuk membuatnya tidak bisa mendatangi pameran." Sonia berbicara lirih ke telinga sherly. Mereka sama-sama tersenyum licik. *** Malam hari Arsen baru saja pulang dan langsung pergi ke kamar. Namun, ketika masuk dia tidak mendapati Lily di ruangan itu ataupun di kamar mandi. Arsen lalu pergi ke ruang ganti setelahnya mandi untuk membersihkan diri. Arsen yakin L
Arsen hanya tersenyum tipis. Dia menatap lekat Lily. Arsen menggunakan telunjuknya untuk merapikan helaian rambut Lily yang sedikit berantakan di kening lalu berkata," Kamu sangat mirip dengan anak kecil yang pernah aku kenal di masa lalu." "Anak kecil? Siapa? Keponakanmu? Atau anak temanmu?" Lily bertanya seraya menyerongkan badan untuk merapikan buku di meja. Dia akhirnya meminum seteguk susu itu karena Arsen tak menjawab, dia lalu berdiri mengembalikan buku ke rak. Lily memutar tumit setelah menyusun buku-buku itu ke tempatnya semula, dia menatap Arsen dengan kening yang tiba-tiba berkerut samar. "Oh ... ya kemarin aku melihat Thomas membawa banyak belanjaan dari toko perlengkapan bayi, apa kamu yang menyuruhnya? Untuk siapa? Apa temanmu ada yang akan melahirkan? Atau istrinya?" Lily memberondong Arsen dengan pertanyaan. Dia penasaran ingin bertanya pada Thomas kemarin, tapi sayangnya Sonia lebih dulu datang. Arsen tak menjawab pertanyaan Lily. Dia berdiri lalu memasuk
Lily tak mendengar Arsen menjawab, dia lantas bicara lagi. “Kalau ARS tidak memiliki prosedur keselamatan, lalu bagaimana nasib pekerja di sini? Harusnya sebagai CEO Anda mengawasi dengan ketat agar karyawan merasa aman dalam bekerja.” Lily masih tidak mendengar suara Arsen. Dia menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya pelan lalu berbicara dengan nada lebih lembut. “Hendra, salah satu kandidat di tahap akhir pemilihan direktur bersamaku dan Sonia, dia tiba-tiba kecelakaan sampai patah tulang. Kepala HRD bilang dia tersandung kabel di gudang,” ucap Lily. Di ruang kerjanya, Arsen sedang memeriksa berkas yang baru saja Thomas berikan. Bahkan sekretarisnya itu masih berdiri di depan meja kerjanya. Arsen bergegas meninggalkan pekerjaannya hanya demi menerima panggilan Lily. Namun, Lily malah marah-marah dan memanggilnya menggunakan sebutan 'Anda'. "Apa kamu mendengarkanku?" Suara Lily semakin rendah. “Akan kuminta Thomas untuk menyelidiki,” ucap Arsen. Lily tersenyum
Lily lelah terus menggedor pintu. Dia mencoba tenang, dia yakin akan ada orang yang datang ke sana karena kamar mandi itu bukan kamar mandi yang jarang digunakan. "Kenapa aku bodoh meninggalkan ponselku di tas," sesal Lily. Dia bahkan melepas jam tangannya hingga tidak tahu pukul berapa saat ini. Lily bersandar pada dinding. Dia tahu tidak mungkin pintu kamar mandi itu terkunci sendiri. "Aku akan membalasmu, lihat saja nanti!" Ucap Lily. Dia menatap ke arah pintu dan menggedornya kembali berharap ada yang mendengar. Di luar kamar mandi, Sherly tampak tersenyum setelah melakukan tugas dari Sonia. Dia berjalan santai untuk kembali ke ruangan. Namun, Sherly tanpa sengaja bertemu dengan staf lain di koridor. Wajahnya berubah panik tapi dia segera menyembunyikannya. "Kamu mau ke toilet?" tanya Sherly ke staff itu. "Iya." Si staff menjawab. "Toiletnya rusak," kata Sherly, memberikan informasi palsu. "Tapi di dalam ada tiga bilik, mana mungkin rusak semua?" Sherly gugup, tapi cep
Pintu akhirnya terbuka setelah petugas mencongkelnya. Lily tampak lega, dia lalu keluar dan menatap pada Dini kemudian tasnya yang ada di tangan sahabatnya itu. Dini lantas buru-buru memberikan tas itu ke tangan Lily lalu berkata, "Ayo jangan buang-buang waktu, kamu bisa terlambat." Lily mengangguk, dia berjalan buru-buru sambil merogoh ponsel di dalam tasnya. Lily semakin panik melihat jam yang ada di layar benda pipih itu. Dia kemudian menelepon kontak pertama yang ada di ponselnya. "Pa, bantu aku! Tolong kirim Patwal ke ARS." *** Di ruangan Arsen. Arsen masih sibuk bekerja di ruangannya. Dia mendengar ketukan pintu bersamaan dengan suara Thomas. Arsen lantas mengizinkan sekretarisnya itu masuk. "Pak, ini data yang Anda minta kemarin," kata Thomas. "Taruh dulu!" jawab Arsen tanpa memandang Thomas. "Baik." Thomas mendekat ke meja Arsen lalu meletakkan berkas itu. "Begini Pak, saya mau melapor. Untuk masalah yang Nona Lily bilang, itu .... " Thomas menjeda
Sonia meninggalkan Sherly begitu saja. Dia kembali ke stand-nya dengan muka masam. Sonia mengecek ponselnya. Dia menunggu bantuan seperti yang Bryan janjikan. "Ke mana dia?" Sonia menggerutu karena Bryan tidak membalas pesannya. "Apa dia akan mengkhianatiku?" Sonia masih larut dengan rasa kesal saat tiba-tiba saja ada seorang wanita paruh baya mendekat ke stand miliknya. "Permisi, apa saya boleh mencoba produk ini?" tanya wanita itu sopan. Sonia menoleh dan memandang wanita itu dari ujung kepala sampai kaki. Setelah itu membuang muka dan berkata," Kalau mau coba produk gratis, antri!" Wanita itu tampak diam dan kecewa. Apa hanya karena penampilannya yang sederhana dia diperlakukan kurang sopan?Wanita itu memilih pergi dari stand Sonia. Di sisi lain, sudah hampir satu jam dan Lily baru berhasil menjual lima paket skincare. Lily fokus melayani para pengunjung yang datang dan pergi hanya untuk mencoba tanpa membeli. Dia mulai berkecil hati saat menatap ke stand m
Lily memandang Diana dengan raut muka terkejut. Dia menoleh Juna dan Dini yang wajahnya juga sama-sama kaget. Diana ini, sepertinya bukan orang biasa. "Pokoknya cepat! Mama tidak punya banyak waktu." Lily merasa tak enak hati karena Diana malah seperti menekan orang yang dihubungi. "Tapi Ma, bagaimana caranya?" Suara orang yang Diana hubungi terdengar jelas. Lily yang awalnya lega menjadi khawatir lagi. Dia tersenyum kecil saat Diana menatapnya. Beberapa saat kemudian Lily mendengar Diana menjawab dengan sedikit memaksa. "Pokoknya gunakan pengaruhmu," jawab Diana. Dia memandang Lily lalu menoleh sedikit dan suaranya berubah berbisik. "Seseorang yang Mama ceritakan sedang butuh bantuan," ucap Diana tak ingin mendapat penolakan. Diana mengangguk dan tersenyum. Wanita itu mematikan panggilan lalu meraih tangan Lily setelah menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas. Diana memberi semangat ke Lily. "Tenang saja aku akan membuatmu menang dari gadis sombong itu,
Bryan terpengaruh ucapan Sonia, tapi dia tetap tak mau bicara dengan wanita itu dan memilih pergi. Bryan memiliki rencana. Dia tidak bisa membiarkan Arsen begitu saja. Apalagi Bryan tahu bagaimana sifat Arsen dari cerita orang tuanya. Dia masuk ke dalam mobil lalu duduk di belakang kemudi. Bryan diam beberapa saat, sebelum tiba-tiba saja mengamuk dan memukul setir bertubi. "Kenapa bisa dia yang menikahi Lily?" ucap Bryan frustrasi. Bryan tidak rela karena dia tahu Lily dulu begitu mencintainya. Sementara itu, Sonia memilih masuk ke dalam apartemen Bryan. Dia kaget melihat tempat itu berantakan. Sonia tergelak ironi. Dia duduk dengan senyum tak percaya menghiasi wajahnya. Mungkinkah Bryan baru saja mengamuk? Apa Bryan sangat marah karena tahu Lily sudah menikah? Sonia memukul sofa dengan tangannya yang terkepal. "Bagaimana bisa Lily menikah dengan laki-laki berkuasa seperti Pak Arsen? Apa hebatnya Lily?" geram Sonia. "Dia hanya beruntung karena terlahir di kelu
Di rumah sakit Lily membiarkan Risha bercerita banyak hal tentang kehamilan. Dia sesekali menanyakan hal yang belum dipahami. "Nanti kamu bisa bertanya lebih jelas ke dokter kandunganmu," ucap Risha. Lily tersenyum lantas mengangguk dan menyentuh permukaan perutnya. Di saat itu, pintu kamar rawat Lily terbuka. Hingga membuat Lily dan Risha menoleh bersamaan. "Papa," lirih Lily. Dia menatap Adhitama yang datang dengan mata berkaca-kaca. Lily lagi-lagi menangis saat Adhitama mendekat dan langsung memeluknya. "Kamu baik-baik saja 'kan?" Adhitama berbisik ke telinga Lily. "Aku baik, papa akan segera punya cucu," balas Lily. Adhitama mengusap punggung Lily seraya mengangguk. Dia perlahan melonggarkan pelukan lalu mengusap pipi Lily. "Jaga kesehatanmu," kata Adhitama. Lily diam mencoba membaca pikiran Adhitama. Kenapa Adhitama bersikap biasa? Bukankah apa yang ingin Adhitama tutupi selama ini akhirnya terbongkar? "Papa pasti sudah tahu kalau .... " "Arsen
Lily tersenyum canggung. Dia meletakkan ponselnya kembali ke nakas lalu menatap Arsen dengan wajah memelas."Aku penasaran apa yang terjadi di luar, berapa banyak orang yang sudah tahu kalau kita sudah menikah," kata Lily.Arsen mendekat lalu duduk di ranjang Lily. Dia memandang perut Lily yang masih datar kemudian beralih menatap wajah istri kecilnya itu."Jangan memikirkan hal itu. Tidak usah peduli seandainya banyak gunjingan di luar nanti. Sekarang fokus saja pada kesehatanmu dan bayi kita." Arsen bicara dengan sangat lembut.Lily mengangguk, dia membuka tangan kanannya yang tidak terpasang selang infus."Mau peluk!" Pintanya manja.Arsen tertawa, lantas mendekat dan merengkuh tubuh Lily ke dalam dekapannya."Kamu mau makan apa? Bukankah ibu hamil sering meminta yang aneh-aneh?" bisik Arsen dengan senyum bahagia di wajahnya. ***Di luar kamar.Risha berjalan cepat di koridor rumah sakit menuju ruang inap Lily.Sesampainya di ruang inap Lily, Risha melihat Lily yang duduk bersanda
Lily perlahan menjauhkan kelopak mata, dia merasa seluruh badannya lemas bahkan tubuhnya terasa mengambang di udara. Lily menoleh ke samping, matanya seketika berkaca-kaca melihat Arsen tertidur dengan posisi duduk di dekatnya. Air mata Lily menetes, dia belum sempat mengusapnya saat Arsen tiba-tiba bangun dan menatap padanya. Arsen kaget, mencondongkan badannya mendekat pada Lily lalu mengusap lembut kepala istrinya itu. "Ada yang sakit?" tanyanya melihat Lily menangis. Arsen hendak menekan bel yang ada di sisi ranjang pesakitan untuk memanggil perawat, tapi Lily lebih dulu mencegah. "Aku baik-baik saja, aku ingin berdua denganmu dulu." Lily tersenyum melihat Arsen menurutinya dengan menjauhkan tangan dari bel itu. Dia balas meremat jari tangan Arsen saat pria itu menautkan jemari mereka. "Jam berapa ini?" tanya Lily. "Satu malam," balas Arsen. Dia mencium punggung tangan Lily, lantas menunjukkan senyuman di wajah tampannya. "Terima kasih," ucap Arsen. Lily mengerutkan
Arsen menggertakkan gigi. Dia mendorong Anthony agar menjauh dari istrinya. "Jangan sentuh istriku!" Arsen memperingatkan lagi. Dia mengangkat tubuh Lily lalu menggendong istrinya itu pergi dari rumah Diana. Arsen menuju mobil lalu membaringkan Lily di kursi belakang. Dia kemudian berjalan memutar ke sisi pintu satunya. Arsen memakai pahanya sebagai bantalan kepala Lily. "Cepat ke rumah sakit!" Titahnya ke sopir. Arsen memeluk kepala Lily, memegang erat tangan istrinya itu mencoba untuk tetap tenang. "Aku mohon jangan sakit aku mohon," bisik Arsen ke telinga Lily. Sementara itu di dalam rumah Diana tampak bingung. Dia menatap ke arah Arsen membawa Lily pergi lalu memandang Anthony. "Arsen dan Lily..., mereka suami istri? Bagaimana mungkin," ucap Diana yang masih tak percaya. Anthony tak menjawab dan hanya bisa membuang napas kasar. "Jelas-jelas keluarga Mahesa belum menikahkan putrinya." Diana bicara lagi, lalu memandang Anthony yang masih mematung di tempatnya
Arsen mengambil kertas dan amplop dari tangan Lily. Dia memandangnya kemudian berkata,"Aku akan mencarikan informasi tentang pengawalmu itu sebisaku." Lily mengangguk dan berkata, “Terima kasih. Aku bisa mengandalkanmu." Lily lantas berdiri dari duduknya, tetapi tiba-tiba tubuhnya limbung dan hampir terjatuh jika Arsen tidak segera berdiri lalu memegangi tangannya. “Kamu kenapa?” tanya Arsen sambil menatap wajah Lily. “Tidak tahu, tiba-tiba saja agak pusing,” jawab Lily sambil memijat keningnya. “Bagaimana kalau ke dokter untuk memastikan kondisimu?” tanya Arsen lalu mengajak Lily duduk lagi. “Tidak, tidak perlu,” tolak Lily. “Bukankah waktu kecil kamu sering keluar masuk rumah sakit? Bagaimana kalau kondisi tubuhmu memang tidak baik?” tanya Arsen untuk meyakinkan Lily agar mau menemui dokter. “Itu beda,” sanggah Lily, “dulu aku keluar masuk rumah sakit karena Kakek Buyut berbohong. Dia menekan dokter yang merawatku agar memberi diagnosa kanker darah padaku. Dia mela
Lily diam memandangi ponselnya setelah Diana menutup panggilan itu. Dia menoleh ke arah dalam, bibirnya cemberut memikirkan jika masuk sekarang Risha pasti akan menggodanya lagi. Lily memilih pergi ke teras samping, dia duduk di kursi dan mencoba mengirim pesan untuk Arsen. [ Apa sudah selesai bermain golf? Apa kamu mau menyusulku ke rumah Papa? ] Lily menunggu beberapa saat. Bukannya pesan balasan dari Arsen yang dia terima, tapi malah pesan dari Diana yang mengirimkan peta lokasi rumahnya. Lily belum berani membuka pesan itu karena belum mengambil keputusan menerima atau menolak undangan wanita itu. Dia masih menunggu balasan dari Arsen, hingga orang yang ditunggu-tunggunya itu akhirnya membalas. [ Aku baru saja pulang dan baru selesai mandi ] Lily tersenyum. Kata 'mandi' membuatnya membayangkan hal yang tidak-tidak. "Sepertinya otakku sudah konslet," gumam Lily. Dia menggeleng untuk menarik kesadarannya. [ Aku akan datang ke sana untuk menjemputmu saja, mau pula
Pagi itu Lily datang ke rumah Risha. Dia ingin mengucapkan terima kasih kepada Adhitama secara langsung, karena sudah membantunya di hari pameran dengan mengirim patwal. Lily membawa makanan kesukaan Adhitama. Dia mencari keberadaan papanya, setelah berbincang sebentar dengan Risha di depan. Lily pergi halaman belakang, dia melihat Adhitama berdiri sambil memberi makan ikan-ikan koi di kolam lalu menyapa. “Pa, putrimu datang tapi papa malah asyik memberi makan ikan.” Lily mendekat sambil cemberut. Dia melihat Adhitama menoleh dan tersenyum. "Aku membawakan makanan kesukaan Papa," ucap Lily. “Sini! Beri makan ikan-ikan ini, bukankah kamu suka memberi makan ikan koi?” Adhitama senang Lily sering berkunjung sekarang. Lily tersenyum dan berjalan cepat, dia mensejajari Adhitama lalu mengambil alih kotak berisi makanan ikan dari tangan pria itu. "Aku sudah besar, Pa! Aku sudah tidak lagi suka ikan koi." Adhitama memulas senyum mendengar jawaban putrinya. "Lalu apa yang
Lily keluar menuju ruang tamu rumah Thomas, gemetar sampai meremas sisi bajunya. Lily melihat Arsen masih berbincang dengan Thomas lalu mendekat. Dia melepaskan remasan tangannya ke sisi bajunya saat Arsen menoleh. Lily tersenyum tipis. "Aku keluar karena dedek bayinya sedang .... " Lily tak melanjutkan kalimat karena merasa aneh harus mengatakan kata 'menyusu' ke Arsen. "Sedang apa?" Lily kaget karena Thomas malah bertanya. "Dia sedang nena," jawab Lily menggunakan bahasa yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Lily melihat kening Arsen berkerut samar dan buru-buru mendekat. Dia duduk di samping Arsen dan memberikan senyuman manis. Thomas yang melihat tingkah Lily hanya tertawa. Dia seketika diam saat menyadari tatapan Arsen yang dingin padanya. Atasannya itu masih sama, seperti tidak senang jika ada yang memandang Lily lebih dari tiga detik. Thomas takut terkena marah Arsen dan meminta Lily untuk segera meminum teh juga mencicipi kue yang dia sajikan. Lily m