jangan lupa tinggalkan komentar dan dukungan ya geng makasih
Lily tersenyum, dia menarik dasi Arsen hingga wajah mereka semakin dekat. Lily mendaratkan ciuman ke bibir Arsen dengan sangat lembut meski hanya sekilas. "Kamu tidak tahu apa yang aku alami sebelum meminta bantuan Papa, pikiranku kosong. Aku takut gagal dan hanya Papa yang aku ingat saat itu," ucap Lily. Arsen menegakkan badan, keningnya berkerut mendengar penjelasan Lily. "Apa yang terjadi padamu?" "Aku terkunci di dalam kamar mandi," balas Lily. Arsen terkejut hingga hanya bisa menatap lekat pada Lily. "Terkunci?" Wajah Arsen berubah khawatir. Lily menganggukkan kepala. "Iya," jawabnya lirih. "Ulah Sonia?" terka Arsen. Lily tak menjawab. Namun, Ekspresi istri kecilnya itu sudah menjelaskan semuanya. Rahang Arsen mengetat, dia membuang muka dan tanpa sengaja malah melihat tangan kanan Lily. Arsen meraih tangan Lily. Wajahnya menggelap melihat tangan Lily memar. "Ah ... ini, aku tadi mengetuk pintu berkali-kali tanpa sadar," ucap Lily. Dia hendak menari
Kepala HRD juga tim tampak kaget melihat Lily dan Sonia bertengkar. Salah satu staf meminta mereka untuk berhenti dan bersikap sopan. "Maaf tapi aku sudah tidak bisa diam karena banyak sekali kejahatan yang sudah dia lakukan," kata Lily. "Hari ini aku akan membongkar semuanya dan aku pastikan dia akan mendapatkan balasan setimpal," imbuh Lily lantas memulas seringai dengan tatapan mencibir ke Sonia. Saat Lily baru saja selesai bicara, tiba-tiba saja Thomas datang dan membuat semua orang yang ada di sana terkejut. "Pak Arsen ingin kalian semua datang ke ruang rapat di lantai lima." Sonia syok mendengar ucapan Thomas, apalagi dia melihat Lily bersikap santai dan masih menatapnya dengan senyum penuh cibiran. Orang-orang bergegas keluar dari sana setelah Thomas pergi, hingga hanya menyisakan Lily dan Sonia. Lily berdiri, dia menghadang langkah Sonia yang hendak pergi dengan ucapannya. "Kamu tahu Sonia? Aku belajar banyak hal darimu, bahwa menjadi putri konglomerat itu mer
Semua orang terkejut mendengar pengakuan Lily. “Saya tidak punya pilihan lain selain memakai patwal agar tidak terlambat setelah dicurangi,” ujar Lily lagi. Thomas menoleh pada Arsen yang duduk bersandar dengan kedua jemari tangan saling bertautan. Lalu Thomas menatap ke petugas kebersihan yang menolong Lily. “Apa benar yang dikatakan Lily kalau dia dikunci di kamar mandi?” tanya Thomas untuk memperjelas pernyataan yang Lily sampaikan. “Betul, Pak. Saya memang menemukan Mbak Lily terkunci di kamar mandi, saya tidak bisa membukanya sendiri, jadi pergi meminta tolong ke petugas perbaikan,” jawab petugas kebersihan. Arsen masih diam, tatapan matanya begitu tajam menelisik setiap ekspresi wajah semua orang yang ada di ruangan itu. “Cek rekaman Cctv di sepanjang koridor menuju toilet dan lihat siapa yang ada di sana sebelum Lily ditemukan terkunci di kamar mandi,” perintah Thomas. Petugas keamanan langsung melakukan perintah Thomas. Semua orang menunggu, Lily melirik pada S
Lily memulas senyum, dia kembali berjalan sambil membalas pesan yang baru saja Arsen kirimkan.[ Pulang lebih awal, untuk apa? ]Lily mengulum bibir, hatinya berbunga-bunga melihat layar ponselnya yang menunjukkan Arsen sedang mengetik pesan balasan.[ Pergi ke suatu tempat bersama suamimu ]"Apa dia sedang mengajakku berkencan?" gumam Lily.Dia merasa senang, hingga untuk sejenak lupa dengan masalah yang baru saja dilewati.***Seperti apa yang Arsen minta, Lily benar-benar pulang lebih awal. Dia buru-buru ke kamar berniat mandi lalu mempercantik diri.Namun, ketika hampir mencapai lantai atas, Lily mendengar pelayan yang sedang membersihkan perabotan di sekitar kamar Arsen berbicara.Lily tidak mendengar perbincangan itu sejak awal, tapi hatinya tiba-tiba mencelos mendengar ucapan pelayan itu."Tuan membelikan banyak hadiah. Ada mainan juga.""Mereka anak Tuan Arsen," balas pelayan satunya.Anak?Arsen?Lily kembali berjalan. Dia sengaja menghentakkan high heel ke lantai agar terden
Sonia pergi ke apartemen Bryan dalam kondisi marah. Saat sampai di sana, Sonia membanting dan menghancurkan beberapa barang di dalam apartemen itu. Bahkan Sonia berteriak seperti orang kesetanan. Bryan baru saja datang. Dia terkejut memandang apartemennya yang berantakan, banyak pecahan porselen di lantai yang membuatnya kesal. “Apa-apaan ini? Apa yang kamu lakukan?!” Bryan mengamuk karena kelakuan Sonia. “Aku sedang kesal! Aku kalah dari Lily dan pasti sebentar lagi akan ditendang dari ARS!” Sonia membalas ucapan Bryan dengan nada suara yang sangat tinggi. Bryan bingung harus apa. Dia hanya bisa memandangi barang-barangnya di sana yang hancur karena emosi Sonia. Sonia menatap Bryan, lalu dia segera mendekat dan memegang lengan pria itu. “Bantu aku membujuk Pak Arsen. Lagi pula kamu keponakannya, dia pasti mau mendengarkanmu." Sonia memelas. “Kami tidak sedekat itu,” ucap Bryan yang membuat Sonia melepas lengan Bryan begitu saja. “Seharusnya kamu tidak terbawa emosi
Arsen mengajak Lily pergi ke rumah Thomas setelah istrinya itu tenang. Sepanjang perjalanan Lily hanya diam menatap ke depan tanpa mengajak Arsen bicara. Lily masih memikirkan kenapa bisa dia tidak tahu kalau Thomas sudah menikah. Mungkin dia kurang peka. Mungkin dia yang tidak peduli dengan orang lain. Atau, Mungkin Arsen yang terlalu tertutup sampai tidak memberitahunya kalau Thomas sudah menikah, bahkan punya dua orang anak. Lily kesal pada dirinya sendiri. Dia larut dalam pikirannya sampai tanpa sadar memukul jok menggunakan tangannya yang terkepal. Hingga tiba-tiba saja dia merasakan Arsen menyentuh tangannya. Lily menoleh suaminya itu. Arsen menautkan jemari mereka dan menggenggam erat tangannya tanpa bicara. *** Setelah menembus padatnya jalanan. Arsen dan Lily akhirnya tiba di kediaman Thomas. Lily terlihat takjub melihat rumah Thomas yang sangat asri. Halaman rumah dipenuhi bunga dan tumbuhan hijau. Lily juga melihat mobil baru Thomas terparkir di hal
Lily keluar menuju ruang tamu rumah Thomas, gemetar sampai meremas sisi bajunya. Lily melihat Arsen masih berbincang dengan Thomas lalu mendekat. Dia melepaskan remasan tangannya ke sisi bajunya saat Arsen menoleh. Lily tersenyum tipis. "Aku keluar karena dedek bayinya sedang .... " Lily tak melanjutkan kalimat karena merasa aneh harus mengatakan kata 'menyusu' ke Arsen. "Sedang apa?" Lily kaget karena Thomas malah bertanya. "Dia sedang nena," jawab Lily menggunakan bahasa yang tiba-tiba muncul di kepalanya. Lily melihat kening Arsen berkerut samar dan buru-buru mendekat. Dia duduk di samping Arsen dan memberikan senyuman manis. Thomas yang melihat tingkah Lily hanya tertawa. Dia seketika diam saat menyadari tatapan Arsen yang dingin padanya. Atasannya itu masih sama, seperti tidak senang jika ada yang memandang Lily lebih dari tiga detik. Thomas takut terkena marah Arsen dan meminta Lily untuk segera meminum teh juga mencicipi kue yang dia sajikan. Lily m
Pagi itu Lily datang ke rumah Risha. Dia ingin mengucapkan terima kasih kepada Adhitama secara langsung, karena sudah membantunya di hari pameran dengan mengirim patwal. Lily membawa makanan kesukaan Adhitama. Dia mencari keberadaan papanya, setelah berbincang sebentar dengan Risha di depan. Lily pergi halaman belakang, dia melihat Adhitama berdiri sambil memberi makan ikan-ikan koi di kolam lalu menyapa. “Pa, putrimu datang tapi papa malah asyik memberi makan ikan.” Lily mendekat sambil cemberut. Dia melihat Adhitama menoleh dan tersenyum. "Aku membawakan makanan kesukaan Papa," ucap Lily. “Sini! Beri makan ikan-ikan ini, bukankah kamu suka memberi makan ikan koi?” Adhitama senang Lily sering berkunjung sekarang. Lily tersenyum dan berjalan cepat, dia mensejajari Adhitama lalu mengambil alih kotak berisi makanan ikan dari tangan pria itu. "Aku sudah besar, Pa! Aku sudah tidak lagi suka ikan koi." Adhitama memulas senyum mendengar jawaban putrinya. "Lalu apa yang
Hari itu Lily diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Namun, bukannya senang. Lily tampak murung. Dia sama sekali tak bicara pada Arsen sejak masuk mobil. Lily terus menatap keluar jendela, dia memikirkan pesan Bryan yang membuatnya terbebani. Ya. Ibunda Arsen. Lily memang tidak pernah mendengar sedikitpun tentang wanita yang melahirkan suaminya itu. Bahkan, namanya pun tidak pernah Arsen sebut. "Ada masalah?" Arsen menyentuh tangan Lily saat mobilnya berhenti di lampu merah. Arsen mengamati Lily sejak keluar dari rumah sakit. Dia merasa ada yang aneh tapi tidak berpikir macam-macam. Dokter bilang wanita hamil sering mengalami perubahan suasana hati yang cukup drastis. Mungkin Lily sedang mengalami hal itu. "Ada yang kamu inginkan? Makanan? Kita beli sebelum sampai rumah." Arsen menawari Lily. Dia melepas genggaman tangannya dari Lily saat lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau. 'Aku ingin kamu menceritakan tentang keluargamu.' Lily menoleh Arsen.
Beberapa saat kemudian dokter akhirnya datang ke kamar rawat Lily membawa mesin USG seperti apa yang Arsen minta. Dokter tampak sungkan, seumur hidupnya berkarir menjadi dokter kandungan, tidak pernah sekalipun dia merasa tertekan seperti ini saat melakukan pemeriksaan. Dokter itu mulai melakukan pemeriksaan kandungan dengan menyentuhkan alat USG di perut bagian bawah Lily. Tangannya menggeser alat itu pelan dengan tatapan tertuju pada monitor. “Janinnya normal sesuai usianya, ukuran panjang dan beratnya juga sesuai,” kata dokter menjelaskan. Arsen dan yang lain memerhatikan monitor. Mereka melihat bayangan kecil berbentuk seperti kacang di lingkaran besar yang terdapat di sana. “Di usia kandungan yang masih sangat muda, sebaiknya hindari stres dan jangan melakukan pekerjaan terlalu berat,” kata dokter memberi penjelasan. Dokter juga memberitahu apa yang boleh dan tidak boleh Lily lakukan selama kehamilan trimester pertama ini. “Bagaimana dengan pusing yang membuatnya s
Bryan terpengaruh ucapan Sonia, tapi dia tetap tak mau bicara dengan wanita itu dan memilih pergi. Bryan memiliki rencana. Dia tidak bisa membiarkan Arsen begitu saja. Apalagi Bryan tahu bagaimana sifat Arsen dari cerita orang tuanya. Dia masuk ke dalam mobil lalu duduk di belakang kemudi. Bryan diam beberapa saat, sebelum tiba-tiba saja mengamuk dan memukul setir bertubi. "Kenapa bisa dia yang menikahi Lily?" ucap Bryan frustrasi. Bryan tidak rela karena dia tahu Lily dulu begitu mencintainya. Sementara itu, Sonia memilih masuk ke dalam apartemen Bryan. Dia kaget melihat tempat itu berantakan. Sonia tergelak ironi. Dia duduk dengan senyum tak percaya menghiasi wajahnya. Mungkinkah Bryan baru saja mengamuk? Apa Bryan sangat marah karena tahu Lily sudah menikah? Sonia memukul sofa dengan tangannya yang terkepal. "Bagaimana bisa Lily menikah dengan laki-laki berkuasa seperti Pak Arsen? Apa hebatnya Lily?" geram Sonia. "Dia hanya beruntung karena terlahir di kelu
Di rumah sakit Lily membiarkan Risha bercerita banyak hal tentang kehamilan. Dia sesekali menanyakan hal yang belum dipahami. "Nanti kamu bisa bertanya lebih jelas ke dokter kandunganmu," ucap Risha. Lily tersenyum lantas mengangguk dan menyentuh permukaan perutnya. Di saat itu, pintu kamar rawat Lily terbuka. Hingga membuat Lily dan Risha menoleh bersamaan. "Papa," lirih Lily. Dia menatap Adhitama yang datang dengan mata berkaca-kaca. Lily lagi-lagi menangis saat Adhitama mendekat dan langsung memeluknya. "Kamu baik-baik saja 'kan?" Adhitama berbisik ke telinga Lily. "Aku baik, papa akan segera punya cucu," balas Lily. Adhitama mengusap punggung Lily seraya mengangguk. Dia perlahan melonggarkan pelukan lalu mengusap pipi Lily. "Jaga kesehatanmu," kata Adhitama. Lily diam mencoba membaca pikiran Adhitama. Kenapa Adhitama bersikap biasa? Bukankah apa yang ingin Adhitama tutupi selama ini akhirnya terbongkar? "Papa pasti sudah tahu kalau .... " "Arsen
Lily tersenyum canggung. Dia meletakkan ponselnya kembali ke nakas lalu menatap Arsen dengan wajah memelas."Aku penasaran apa yang terjadi di luar, berapa banyak orang yang sudah tahu kalau kita sudah menikah," kata Lily.Arsen mendekat lalu duduk di ranjang Lily. Dia memandang perut Lily yang masih datar kemudian beralih menatap wajah istri kecilnya itu."Jangan memikirkan hal itu. Tidak usah peduli seandainya banyak gunjingan di luar nanti. Sekarang fokus saja pada kesehatanmu dan bayi kita." Arsen bicara dengan sangat lembut.Lily mengangguk, dia membuka tangan kanannya yang tidak terpasang selang infus."Mau peluk!" Pintanya manja.Arsen tertawa, lantas mendekat dan merengkuh tubuh Lily ke dalam dekapannya."Kamu mau makan apa? Bukankah ibu hamil sering meminta yang aneh-aneh?" bisik Arsen dengan senyum bahagia di wajahnya. ***Di luar kamar.Risha berjalan cepat di koridor rumah sakit menuju ruang inap Lily.Sesampainya di ruang inap Lily, Risha melihat Lily yang duduk bersanda
Lily perlahan menjauhkan kelopak mata, dia merasa seluruh badannya lemas bahkan tubuhnya terasa mengambang di udara. Lily menoleh ke samping, matanya seketika berkaca-kaca melihat Arsen tertidur dengan posisi duduk di dekatnya. Air mata Lily menetes, dia belum sempat mengusapnya saat Arsen tiba-tiba bangun dan menatap padanya. Arsen kaget, mencondongkan badannya mendekat pada Lily lalu mengusap lembut kepala istrinya itu. "Ada yang sakit?" tanyanya melihat Lily menangis. Arsen hendak menekan bel yang ada di sisi ranjang pesakitan untuk memanggil perawat, tapi Lily lebih dulu mencegah. "Aku baik-baik saja, aku ingin berdua denganmu dulu." Lily tersenyum melihat Arsen menurutinya dengan menjauhkan tangan dari bel itu. Dia balas meremat jari tangan Arsen saat pria itu menautkan jemari mereka. "Jam berapa ini?" tanya Lily. "Satu malam," balas Arsen. Dia mencium punggung tangan Lily, lantas menunjukkan senyuman di wajah tampannya. "Terima kasih," ucap Arsen. Lily mengerutkan
Arsen menggertakkan gigi. Dia mendorong Anthony agar menjauh dari istrinya. "Jangan sentuh istriku!" Arsen memperingatkan lagi. Dia mengangkat tubuh Lily lalu menggendong istrinya itu pergi dari rumah Diana. Arsen menuju mobil lalu membaringkan Lily di kursi belakang. Dia kemudian berjalan memutar ke sisi pintu satunya. Arsen memakai pahanya sebagai bantalan kepala Lily. "Cepat ke rumah sakit!" Titahnya ke sopir. Arsen memeluk kepala Lily, memegang erat tangan istrinya itu mencoba untuk tetap tenang. "Aku mohon jangan sakit aku mohon," bisik Arsen ke telinga Lily. Sementara itu di dalam rumah Diana tampak bingung. Dia menatap ke arah Arsen membawa Lily pergi lalu memandang Anthony. "Arsen dan Lily..., mereka suami istri? Bagaimana mungkin," ucap Diana yang masih tak percaya. Anthony tak menjawab dan hanya bisa membuang napas kasar. "Jelas-jelas keluarga Mahesa belum menikahkan putrinya." Diana bicara lagi, lalu memandang Anthony yang masih mematung di tempatnya
Arsen mengambil kertas dan amplop dari tangan Lily. Dia memandangnya kemudian berkata,"Aku akan mencarikan informasi tentang pengawalmu itu sebisaku." Lily mengangguk dan berkata, “Terima kasih. Aku bisa mengandalkanmu." Lily lantas berdiri dari duduknya, tetapi tiba-tiba tubuhnya limbung dan hampir terjatuh jika Arsen tidak segera berdiri lalu memegangi tangannya. “Kamu kenapa?” tanya Arsen sambil menatap wajah Lily. “Tidak tahu, tiba-tiba saja agak pusing,” jawab Lily sambil memijat keningnya. “Bagaimana kalau ke dokter untuk memastikan kondisimu?” tanya Arsen lalu mengajak Lily duduk lagi. “Tidak, tidak perlu,” tolak Lily. “Bukankah waktu kecil kamu sering keluar masuk rumah sakit? Bagaimana kalau kondisi tubuhmu memang tidak baik?” tanya Arsen untuk meyakinkan Lily agar mau menemui dokter. “Itu beda,” sanggah Lily, “dulu aku keluar masuk rumah sakit karena Kakek Buyut berbohong. Dia menekan dokter yang merawatku agar memberi diagnosa kanker darah padaku. Dia mela
Lily diam memandangi ponselnya setelah Diana menutup panggilan itu. Dia menoleh ke arah dalam, bibirnya cemberut memikirkan jika masuk sekarang Risha pasti akan menggodanya lagi. Lily memilih pergi ke teras samping, dia duduk di kursi dan mencoba mengirim pesan untuk Arsen. [ Apa sudah selesai bermain golf? Apa kamu mau menyusulku ke rumah Papa? ] Lily menunggu beberapa saat. Bukannya pesan balasan dari Arsen yang dia terima, tapi malah pesan dari Diana yang mengirimkan peta lokasi rumahnya. Lily belum berani membuka pesan itu karena belum mengambil keputusan menerima atau menolak undangan wanita itu. Dia masih menunggu balasan dari Arsen, hingga orang yang ditunggu-tunggunya itu akhirnya membalas. [ Aku baru saja pulang dan baru selesai mandi ] Lily tersenyum. Kata 'mandi' membuatnya membayangkan hal yang tidak-tidak. "Sepertinya otakku sudah konslet," gumam Lily. Dia menggeleng untuk menarik kesadarannya. [ Aku akan datang ke sana untuk menjemputmu saja, mau pula