Lily panik. Dia mendorong Arsen sekuat tenaga, menjauhkan tubuh pria itu darinya. "Jangan macam-macam!" serunya panik dan takut.Arsen tersenyum tipis melihat Lily buru-buru bangkit dari tempat tidur.Lily berjalan cepat menuju sofa lalu mengambil berkas kontrak di atas meja. Dia melirik Arsen yang berjalan ke kamar mandi, kemudian mulai membaca isi kontrak pernikahan yang terlanjur ia tanda tangani.Matanya membulat sempurna saat membaca poin-poin perjanjian itu.[Pihak pertama dan pihak kedua akan bekerja sama agar Adhitama mengizinkan pihak pertama dan pihak kedua mengumumkan pernikahan keduanya.]Lily mengerutkan keningnya, bingung. Apa maksudnya ini?"Apa jangan-jangan dia benar-benar serius ingin memberi Papa cucu?" gumamnya, tak percaya.Lily menggelengkan kepalanya. Ini tak seperti yang dia bayangkan.Lily menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Lalu, dengan langkah cepat ia meninggalkan kamar sebelum Arsen keluar dari kamar mandi.Saat menuruni tangga, ia berpapasan dengan B
“Apa yang terjadi?!”Lily terbangun dengan jantung berdetak liar. Napasnya memburu saat matanya menyapu ruangan asing yang disinari cahaya matahari. Kepala masih berdenyut hebat akibat alkohol semalam, tetapi yang membuat tubuhnya benar-benar membeku adalah rasa sakit yang menusuk di bawah sana.Dengan tangan gemetar, Lily meraih selimut yang melilit tubuhnya, perlahan-lahan menyingkapnya untuk memastikan sesuatu.Dia tidak mengenakan apa pun.“Tidak mungkin…”Cepat-cepat, Lily menatap sekeliling dan seketika dia pun membeku.Dia mendapati bajunya berserakan di lantai, dan sepasang sepatu pria yang tergeletak rapi di dekat meja kopi adalah bukti bahwa dia tidak sendiri tadi malam!Ketakutan menyergapnya seketika. Lily buru-buru memegangi kepalanya, mencoba mengingat bagaimana semua ini bisa terjadi.Semalam, Lily menyaksikan calon suaminya, Bryan, berbagi ciuman panas dengan wanita lain di apartemen miliknya sendiri. Dan lebih parahnya lagi, wanita itu adalah Sonia, gadis yang dulu pal
Dua hari berlalu. Lily tidak menyentuh ponselnya. Sejak malam itu, dia mengurung diri di kamar, menolak bertemu siapa pun, mengabaikan semua panggilan dan pesan, terutama dari Bryan. Pria itu tak henti-hentinya menghubunginya, tapi Lily tidak peduli. Setiap kali ponselnya bergetar, dia hanya menatapnya dingin sebelum kembali memejamkan mata. Dia butuh waktu. Untuk melupakan pengkhianatan Bryan. Untuk menghapus ingatan tentang malam itu. Untuk menghilangkan perasaan kotor dan malu setiap kali melihat bayangannya sendiri di cermin. Namun, Lily tidak bisa terus bersembunyi. Hari ini, keluarga Bryan mengundang mereka ke pesta ulang tahun pernikahan orang tuanya. Dan Lily tidak punya pilihan selain untuk pergi dengan wajah pucat. "Apa perlu kita pergi ke dokter?" Suara lembut Risha, ibu Lily, memecah keheningan di dalam mobil. Lily menoleh sekilas, lalu menggeleng pelan. “Aku baik-baik saja, Bunda. Tidak perlu cemas.” Dia mengalihkan pandangan ke kaca spion tengah, menatap wa
Semua orang membeku.Monica menatap Lily dengan kaget. "Lily, Sayang, kamu bercanda, ‘kan?" Dia mencoba tetap tenang meski jelas keterkejutan tergambar di wajahnya.“Tidak. Aku serius.” Mata Lily tajam, suaranya tenang, tetapi ada getaran dalam nada bicaranya. “Aku tidak ingin menikah dengan Bryan.”Keheningan menyelimuti ruangan.Tatapan tamu undangan tertuju pada Lily, sebagian besar penuh keterkejutan, sementara sisanya mengandung ketidakpercayaan.Bryan, yang berdiri di sampingnya, menegang. Ekspresinya berubah drastis, panik dan waspada. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Dia tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi sebelum sempat berbicara, Adhitama—sang ayah—sudah lebih dulu menarik tangan Lily dengan erat.“Maaf, Arya. Aku dan keluargaku pamit terlebih dahulu,” ujar Adhitama singkat, suaranya datar tetapi sarat dengan ketegangan.Tanpa menunggu tanggapan, pria itu menyeret putrinya keluar dari aula pesta, melewati tatapan tamu yang berbisik penuh rasa in
Lily menatap pria di hadapannya.Wajahnya tampak familier, seolah dia pernah melihatnya di suatu tempat.Namun, pikirannya masih terlalu kacau untuk mengingat dengan jelas. Jantungnya yang berdetak kencang karena nyaris tertabrak mobil pun belum kembali normal.“Anda baik-baik saja, Nona?” Suara pria yang khawatir itu menyadarkan Lily dari lamunannya.“Oh… ya. Aku baik-baik saja,” jawabnya cepat.Dia berusaha berdiri, tetapi begitu sedikit menggerakkan kakinya, rasa nyeri langsung menjalar dari lututnya. Lily mengerutkan dahi, lalu menurunkan pandangan ke arah kaki.“Lutut Anda berdarah,” ucap sang pria, terdengar semakin prihatin.Sepertinya, tarikan sang pria tidak cukup cepat dan mobil tadi sempat menyerempet kaki Lily.Namun, anehnya, rasa sakit dari luka itu tidak terasa. Mungkin … karena luka di hati Lily lebih besar.Dikhianati tunangannya.Diusir oleh ayahnya sendiri.Dikeluarkan dari perusahaan keluarganya.Dibandingkan itu semua, luka di lututnya sama sekali bukan apa-apa.Li
Beberapa karyawan di lobi yang sejak tadi diam-diam mengamati pertengkaran Lily dan Sonia langsung menoleh bersamaan ketika sosok Arsen muncul. Thomas, sang asisten pribadi, ada di belakangnya.Mereka menyapa pemimpin perusahaan mereka dengan penuh hormat, tetapi sebagian besar karyawati tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka.CEO mereka, yang jarang terlihat di kantor, kini berdiri di tengah lobi—tinggi, berkarisma, dan memancarkan aura dominasi yang mengintimidasi.Sonia, yang menyadari keberadaan Arsen, segera mengubah ekspresinya. Senyumnya melebar, seolah tidak terjadi apa-apa.“Maaf, Pak. Saya tidak bermaksud membuat keributan, hanya saja saya sedang memperingatkannya karena sepertinya dia tidak tahu aturan saat masuk ke sini,” ucap Sonia dengan nada manis, tetapi matanya melirik Lily dengan penuh penghinaan.Arsen tidak memberikan reaksi.Sejak pertama kali menginjakkan kaki di lobi, tatapannya hanya terfokus pada satu orang—Lily.Mata pria itu mengamati Lily dengan dalam, s
Lily terkesiap. Kedua tangannya yang masih digenggam erat Arsen mengepal kuat. Lily kesal melihat Arsen meremehkannya. “Aku tidak peduli. Aku tidak akan menikah dengan pria manapun!”Arsen tersenyum samar, memandang Lily yang menatap penuh rasa kesal.Merasa cengkeraman Arsen di tangannya mengendur, Lily menyentak tangannya lalu meraih gagang pintu dan pergi meninggalkan Arsen.Sedang Arsen hanya tersenyum tipis ketika pintu ruangannya di tutup kencang. Gadis kecilnya itu ternyata kini telah berubah.Di luar ruangan, Lily seketika tampak bingung, dia memandang ke arah lift dengan sedikit gemetar. Lily mematung, lalu menoleh kembali menatap pintu ruangan Arsen.“Bagaimana ini?” gumam Lily sambil meremas sisi baju. Gadis itu tidak memiliki keberanian naik lift seorang diri.Lily masih mematung sampai melihat pria mendekat dan menyapanya. Lily melebarkan mata, Thomas berdiri memberi senyuman manis padanya.“Apa sudah selesai berbincang dengan Pak Arsen?” “Ah … itu. Iya sudah, aku suda
Meskipun agak gemetar, tapi Lily bisa bicara pada Arsen dengan sangat lancar. Gadis itu membeku di tempatnya saat Arsen memandang datar padanya.Lily tidak mengeluarkan suara lagi begitu juga dengan Arsen yang duduk tenang di belakang meja kerja.Hingga keheningan itu berakhir saat suara cemas seseorang terdengar di telinga Lily."Maaf Pak Arsen, saya tidak ... "Lily menoleh pada Thomas yang datang dari arah belakang, asisten Arsen itu tampak ketakutan karena tidak bisa mencegahnya masuk tanpa permisi. Lily melihat wajah Thomas pucat, memberikan ketegasan padanya bahwa posisi Arsen sangat terhormat dan disegani."Tinggalkan kami dan tutup pintunya."Lily mengalihkan pandangan pada Arsen yang berdiri bersamaan dengan Thomas yang melakukan perintah pergi meninggalkan mereka.Keberanian dan rasa percaya diri Lily memudar mendengar suara tegas Arsen. Lily menyadari baru saja memutuskan hal besar dengan berani menerima tawaran pernikahan dari pria yang belum lama dia temui."Baru sepuluh m
Lily panik. Dia mendorong Arsen sekuat tenaga, menjauhkan tubuh pria itu darinya. "Jangan macam-macam!" serunya panik dan takut.Arsen tersenyum tipis melihat Lily buru-buru bangkit dari tempat tidur.Lily berjalan cepat menuju sofa lalu mengambil berkas kontrak di atas meja. Dia melirik Arsen yang berjalan ke kamar mandi, kemudian mulai membaca isi kontrak pernikahan yang terlanjur ia tanda tangani.Matanya membulat sempurna saat membaca poin-poin perjanjian itu.[Pihak pertama dan pihak kedua akan bekerja sama agar Adhitama mengizinkan pihak pertama dan pihak kedua mengumumkan pernikahan keduanya.]Lily mengerutkan keningnya, bingung. Apa maksudnya ini?"Apa jangan-jangan dia benar-benar serius ingin memberi Papa cucu?" gumamnya, tak percaya.Lily menggelengkan kepalanya. Ini tak seperti yang dia bayangkan.Lily menatap pintu kamar mandi yang tertutup. Lalu, dengan langkah cepat ia meninggalkan kamar sebelum Arsen keluar dari kamar mandi.Saat menuruni tangga, ia berpapasan dengan B
Risha menghela napas, bahunya merosot. Ekspresi prihatin tergambar jelas di wajahnya."Keputusan papamu masih sama. Dia tidak akan mengakui Arsen sebagai menantu kalau sampai dia mengingkari janjinya," jawab Risha lirih.Lily terdiam, mencerna kata-kata bundanya. Pantas saja saat itu Arsen tidak langsung mengiyakan permintaannya. Dia tahu Adhitama tidak akan merestui.Apa Arsen menyesal menikah dengannya karena kini sang papa sudah tidak memperlakukannya seperti tuan putri lagi?Pikiran-pikiran itu berkecamuk di benaknya. Namun, ia menepisnya. Arsen sudah bersikap hangat padanya, tidak mungkin dia hanya bersandiwara.Lily masih terdiam, tenggelam dalam pikirannya, hingga sentuhan lembut Risha di lengannya menyadarkannya."Ada apa, Sayang?" tanya Risha khawatir."Tidak apa-apa, Bunda. Aku agak lelah, Bunda. Aku pulang dulu, ya? Aku hanya ingin mengantar oleh-oleh ini," jawab Lily berusaha tersenyum untuk menutupi kekecewaannya."Kamu tidak mau bertemu papamu dulu?" tanya Risha terkejut
Bukannya berpura-pura tidur, Lily malah menatap Arsen lekat-lekat, tak berkedip. Ia semakin salah tingkah saat Arsen menangkap basah jari telunjuknya yang menggantung di udara karena tadi hendak menyentuh punggungnya. "Sudah kubilang, tidur," kata Arsen. "Kamu, sulit sekali diberitahu!" "Maaf ... aku hanya ..." Kalimat Lily terputus. Arsen tiba-tiba menarik jari Lily yang tadi tertangkap, lalu didekatkan ke bibirnya. "Apa sudah tidak sakit?" tanya Arsen, ada nada kekhawatiran di sana. "I... iya. Sudah tidak sakit … sejak kemarin," jawab Lily, gugup. Jantungnya berdetak tak karuan. Lily membiarkan Arsen memegang jarinya. Melihat Arsen menatap jari telunjuknya, Lily memberanikan diri bertanya, "Selama ini ... berapa banyak mantan pacarmu?" Arsen melepaskan jari Lily perlahan dan dengan santai menjawab, "Menurutmu, apa pria sepertiku mudah menjalin komitmen?" Pertanyaan balasan dari Arsen justru membuat bibir Lily kelu. "Apa ... selama ini kamu masih sering ke klub? Mi
Lily tak begitu mendengar ucapan Arsen. Ia menoleh, namun tak menangkap maksudnya. "Ada apa?" tanyanya. Ia melihat ke arah pandang Arsen. Seketika, Lily salah tingkah. ‘Apa Arsen melihatku dan aktor itu saling pandang? Apa dia … cemburu?’ Lily menggigit sedotan minumannya. ‘Tidak mungkin,’ batinnya. ‘Mana mungkin pria sedingin balok es ini punya perasaan padaku?’ "Kalau sudah selesai, ayo kembali ke hotel. Aku lelah," kata Arsen sambil menghentakkan gelasnya ke meja. Lily tersentak, menatap Arsen yang juga sedang menatapnya. "Apa … kamu baik-baik saja?" tanya Lily, melihat wajah Arsen yang memerah. "Berikan kunci mobilnya. Biar aku yang menyetir." Lily buru-buru meletakkan minumannya saat Arsen bangkit berdiri. Namun, Arsen tak menjawab. Ia hanya merogoh saku celananya, memberikan kunci mobil pada Lily, tanpa berkata apa-apa. Sepanjang perjalanan kembali ke hotel, mereka tak bicara. Lily fokus menyetir, sementara Arsen duduk di sampingnya, tangan terlipat di depan d
Arsen mengemudikan mobil tanpa banyak bicara, sesekali melirik Lily yang duduk di sampingnya. Jari-jari Lily tak lepas dari liontin kalung yang kini melingkar apik di lehernya. Arsen mengalihkan pandangannya ke kaca spion samping, pura-pura mengecek kendaraan di belakang. Meskipun sebenarnya, ia sedang memikirkan jawaban Lily tadi. "Kalung ini ... dari Kak Audrey. Pengawalku dulu." Lily menjawab jujur pertanyaannya, seolah tidak ada lagi rahasia yang perlu dia sembunyikan. Arsen larut dalam ingatan, hingga suara Lily menyadarkannya. "Sekarang kita mau ke mana? Apa mau kembali ke hotel?" Arsen menoleh, lalu menjawab, "Katakan saja jika ada tempat yang ingin kamu datangi lagi, sebelum kita benar-benar kembali ke hotel." Lily terdiam sejenak, berpikir. Lalu, senyum mengembang di wajahnya. "Aku ingin membeli oleh-oleh untuk Bunda. Bunda pasti senang kalau aku bawakan makanan khas Jogja. Bunda juga sudah lama tidak ke Jogja." “Jadi, setelah dari sini, kamu akan langsung menemui Bund
Lily tak menyangka Arsen akan menanyakan hal itu. Ia jadi salah tingkah, tak tahu harus menjawab apa.Lily kembali menyuapkan es krim ke mulutnya, berusaha menutupi kegugupannya. "Itu ... karena aku merasa kalau ... kamu seperti orang asing."Arsen tertegun. Dahi Arsen berkerut samar ketika perasaan tidak senang tiba-tiba muncul di hatinya setelah mendengar ucapan Lily barusan.Ia menatap Lily yang asyik makan, setelah menghela kecil lalu bertanya, "Apa sekarang aku masih terasa asing bagimu?"Lily mengulum bibirnya, menjilat sisa es krim di sana, lalu menatap Arsen. "Sekarang … aku merasa kamu lebih seperti kakakku." Ia tersenyum lebar, mencoba mencairkan suasana. "Karena aku yakin kamu juga menganggapku seperti adik, atau mungkin malah keponakanmu?"Namun, senyum itu lenyap seketika.Tiba-tiba ada rasa sakit yang aneh di dadanya saat ia mengucapkan kata-kata itu. Ada apa dengannya?Lily menggeleng kecil, berusaha keras menyembunyikan perasaannya yang campur aduk.Arsen ingin menangg
Mereka tiba di depan sekolah TK Lily. Mereka hanya duduk di dalam mobil, tak ada niatan turun dari mobil dan masuk ke sekolah itu. Lily menghela napas panjang, menatap bangunan sekolahnya. Senyum kecil terukir di wajahnya, mengenang masa lalu. “Dulu, waktu TK, aku punya teman dekat. Tapi, karena aku sering sakit, Bunda harus membawaku pindah ke Jakarta untuk berobat. Kami pun berpisah,” cerita Lily, tanpa diminta. “Sakit apa?” tanya Arsen. “Dulu aku belum tahu. Aku hanya ingat sering mimisan. Setiap kali dibawa ke rumah sakit, dokter selalu mengambil darahku, menusukku dengan jarum besar. Itu mengerikan jika diingat,” jawab Lily, bergidik ngeri. “Setelah itu, baru aku tahu. Aku diduga mengidap leukemia.” “Apa?” Arsen terkejut, menatap Lily tak percaya. Lily menoleh pada Arsen. “Tapi, aku baik-baik saja. Kata Bunda, itu hanya akal-akalan Kakek Buyut. Dia membayar dokter untuk berbohong.” Dahi Arsen berkerut. Kenapa Kakek Buyut Lily melakukan itu? “Kenapa harus berbohong? Kesehat
Esok harinya. Cahaya matahari pagi menyusup masuk melalui celah gorden samar-samar menerangi kamar hotel.Lily membuka mata dan terkesiap mendapati Arsen masih terlelap di sampingnya.Jantung Lily berdebar kencang. Dengan perlahan ia menoleh lalu menatap wajah Arsen yang tenang dalam tidurnya. Senyum tipis terukir di bibirnya.‘Biasanya dia sudah bangun lalu sibuk dengan pekerjaannya. Tapi, sekarang dia terlihat seperti bayi,’ batin Lily.Senyumnya melebar. Ia terus mengamati Arsen, terpaku pada ketampanan pria itu.Mata Arsen perlahan terbuka.Lily tersentak. Buru-buru ia memejamkan matanya lagi, berpura-pura tidur.Namun, terlambat. Arsen sudah melihatnya."Hari ini, kamu tidak perlu kembali ke vila," kata Arsen seraya bangkit perlahan dari tempat tidur. Suaranya terdengar serak khas seseorang yang baru bangun tidur.Mata Lily membelalak. Pipinya memerah malu karena ketahuan. ‘Kenapa aku jadi bodoh begini?’"Ke ... kenapa tidak usah kembali?" tanyanya bingung dan berusaha untuk men
Di vila.Hujan deras tiba-tiba mengguyur vila, Thomas, di salah satu sudut vila, sedang berbicara dengan Arsen melalui telepon, memberikan laporan tentang situasi terkini di perkemahan."Semua staf sudah kembali ke vila karena hujan deras, Pak,” lapor Thomas. “Anda tidak perlu khawatir, saya sudah memberikan alasan yang masuk akal tentang kepergian Anda dan Nona Lily.”Di seberang panggilan Arsen menjawab, "Lily akan pulang bersamaku. Kalau ada yang bertanya, katakan saja dia dijemput orang suruhan papanya.”Thomas mengangguk, meskipun Arsen tak bisa melihatnya. "Baik, Pak. Oh ya, apa Anda sudah melihat rekaman video yang saya kirim?" tanyanya, memastikan Arsen mengetahui detail kejadian tadi."Ya.""Kemungkinan besar Nona Lily dan Sonia bertengkar lagi.” Thomas menjeda ucapannya sejenak, sebelum melanjutkan dengan hati-hati. “Saya menduga Sonia meninggalkan Nona Lily sendirian di hutan.”Hening sejenak. Arsen tak menanggapi."Menurut saya, sebaiknya Anda meminta klarifikasi dari Soni