Uhuk! Uhuk! Zein langsung tersedak saat mendengar ucapan Intan barusan. Mungkin jika di dalam tayangan kartun, telinga dan hidung Zein sudah mengeluarkan asap karena terlalu kesal. "Kamu kok ngomongnya gitu, sih?" Zein protes pada istrinya. "Kamu tega sama aku?" lanjut Zein. "Kamu sendiri, tega sama aku!" skak Intan. Ia masih bisa makan dengan santai saat suaminya sedang kebakaran jenggot seperti itu. Zein tercekat, ia tidak menyangka istrinya bisa seperti itu jika sedang marah. "Aku kan udah minta maaf, Sayang," lirih Zein. "Ya udah, aku juga tinggal minta maaf. Apa susahnya?" sahut Intan, ketus. Seketika selera makan Zein hilang. Mendengar nama Bian, membuat Zein kesal dan tidak berselera. "Gimana caranya supaya aku bisa nebus kesalahanku?" tanya Zein, memelas. Intan memicingkan matanya ke arah Zein. "Pisah kamar sebulan!" sahut Intan, singkat. Bola mata Zein hampir melompat. "Hah? Sebulan? Yang bener aja! Masa sebulan? Bisa gila aku sebulan pisah kamar sam
Melihat suaminya siuman, Intan pun sangat bahagia. "Mas! Maafin aku," ucap Intan sambil memeluk Zein. Zein tersenyum. Ia senang karena Intan sudah tidak marah padanya. "Kamu gak perlu minta maaf, Sayang. Mas yang seharusnya minta maaf," sahut Zein. "Tapi kan gara-gara aku, kamu jadi sakit kayak gini," ujar Intan. "Udah, aku gak apa-apa. Ini cuma karena kurang kasih sayang sama belaian kamu aja," ucap Zein. Intan langsung mengerungkan wajahnya. "Mas!" tegurnya. Ia tidak enak hati pada Muh dan Rani. Sementara itu mertua Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan anaknya. "Sepertinya kamu sudah sembuh," sindir Rani. "Sembuh kalau dirawat istri sendiri, Mah," jawab Zein sambil tersenyum. "Mass! Lagi sakit juga. Sempet-sempetnya bercanda, deh," keluh Intan. "Tapi aku serius, Sayang," ucap Zein sambil menatap istrinya. "Ya udah deh, mamah nyesel tadi udah panik. Sekarang mendingan kita pulang yuk, Pah!" ajak Rani. Ia tahu anaknya itu sedang butuh waktu berdua. Apalagi ia telah diab
Malam itu dr.Ira-Khumaira Putri Muhammad (25th) sedang menghadiri pesta pernikahan temannya yang menikah dengan anggota angkatan darat. Pernikahan digelar dengan cukup mewah. Di sebuah hotel yang terletak di Ibu Kota. “Gitu ya kalau nikah sama angkatan. Ribet banget pake pedang pora segala,” ucap Ira pada temannya. “Namanya juga nikah, Ra. Mau pake adat apa juga ribet. Kalau gak mau ribet ya akad nikah aja udah,” timpal sahabat Ira yang bernama Windy. “Hahaha, bisa aja, lo!” “Tapi di sini banyak cowok ganteng, Ra. Lo gak tertarik buat nyari gebetan? Gagah-gagah pula,” tanya Windy. “Dih, ogah banget. Gue sih gak mau punya suami angkatan,” jawab Ira. “Lha, kenapa? Di mana-mana kan cewek pada seneng sama cowok berseragam, Ra,” tanya Windy, heran. “Gak semua, keles. Gue termasuk yang gak mau. Kebanyakan dari mereka itu playboy. Apalagi kalau mereka tugas luar. Beuh, bisa tekanan batin gue mikirin suami takut selingkuh,” jawab Ira, antusias. “Hahaha, itu mah tergantung orangnya, ka
Ternyata Muh dan papahnya Bian itu sudah merencanakan semua ini. Mereka sengaja mengirim Ira ke perbatasan agar bisa bertemu dengan Bian dan berharap kedua anaknya itu saling jatuh cinta di sana.Pagi ini Ira sudah mendarat di Timur. Sebelumnya ia telah membooking sebuah helikopter. Sebab ia malas jika harus menggunakan pesawat komersil yang kecil itu.“Mas, kok helikopternya belum datang, ya?” tanya Ira pada admin helikopter tersebut, melalui panggilan telepon.“Mohon maaf, Mbak. Tadi heli-nya sudah datang. Tapi ada seorang Profesor yang sedang buru-buru. Jadi kami terpaksa memberikan heli tersebut padanya. Sebab ia mengatakan ada kondisi darurat di sana,” jelas admin tersebut.Mendengar kata Profesor, Ira langsung dapat menebak siapa orangnya. “Awas kamu ya, Bang!” gumam Ira, pelan. Ia sangat kesal karena Zein yang merupakan kakaknya it
Ira mengerutkan keningnya. “Apa sih, gak jelas,” ucapnya, kesal. Kemudian ia melanjutkan kegiatannya tanpa menghiraukan Bian. Bian yang kesal pun langsung menggebrak meja. Sampai membuat Ira mengejat. Brug! “Dokter macam apa, kamu? Pasiennya komplain malah diabaikan seperti itu,” bentak Bian. Ira yang terkejut pun langsung menoleh ke arah Bian. “Lalu kamu pikir pasien macam apa yang mengusir dokternya? Tadi kan saya sudah katakan kalau saya tidak mau tahu tentang keluhan kamu lagi. Kamu yang mengusir saya jadi tanggung sendiri akibatnya!” Ira pun membalas Bian dengan membentaknya. Ia tidak terima disalahkan seperti itu oleh Bian. “Tapi saya yakin ini terjadi sebelum saya mengusir kamu!” ucap Bian sambil menunjukkan tangannya yang lebam-lebam. Lebam di tangan Bian diakibatkan oleh tusukan jarum infus. Sebab, kemarin malam Ira sempat kesulitan untuk menemukan pembuluh darah Bian karena dehidrasi. Ira yang sudah paham meng
Ira mengerutkan keningnya sambil memicingkan mata ke arah Bian. “Apaan si lo? Orang gue lagi ngobrol sama suster juga. Geer banget,” cibir Ira.Kemudian ia merangkul lengan suster dan mengajaknya tetap berlalu dari hadapan Bian.“Emangnya gue gak tau? Siapa lagi yang pendatang yang lo maksud kalau bukan gue?” tanya Bian, meski Ira sudah meninggalkannya.Ira tidak menjawab, ia malah mengacungkan ibu jarinya. Kemudian membalik ibu jari tersebut ke bawah.Sontak saja Bian semakin kesal padanya. “Sialan! Awas aja, tunggu pembalasan gue,” gumam Bian, kesal.Anak buah Bian bingung melihat komandannya seperti itu. Sebab tidak biasanya Bian begitu. Kali ini mereka seolah melihat Bian tak berwibawa sama sekali.“Komandan kenapa, sih?” bisik anak buah Bian pada temannya.“Gak tau tuh! Kayaknya gak pernah akur sama dokter Ira, deh.”“Apa mereka pernah pacaran terus putus, y
Bian dan yang lain terperanjat saat mendengar ada suara ledakan. “Aku tidak bisa menunggu lagi. Kalian pergi ke markas dan siapkan pasukan untuk menyusuri seluruh sudut hutan ini!”Sebagai komandan, Bian mengarahkan anak buahnya.“Tapi, Ndan! Ini sangat berisiko jika Komandan pergi ke hutan sendirian,” ucap anak buah Bian. Ia tidak tega meninggalkan Bian sendirian.“Ini perintah! Aku tidak ingin sampai ada korban. Kamu sudah tahu apa yang harus dilakukan, kan? Aku membawa ini. Tolong kalian standby! Nanti akan aku kabari jika sudah menemukan lokasinya,” ucap Bian dengan tegas, sambil menunjukkan ponsel khusus-nya.Ponsel itu merupakan ponsel yang memiliki radar kuat. Sehingga masih bisa aktif meski berada di pedalaman atau tengah hutan. Ponsel tersebut pun memiliki GPS. Sehingga mudah ditemukan jika menghilang di tengah hutan.“Siap Komandan!” ucap kedua anak buah Bian dengan suara lantang, sambil mem
Ira terkejut saat mendengar Bian hendak membuka celananya. “Hah, mau ngapain kamu pake buka celana segala?” tanyanya.“Udah jangan banyak tanya! Aku gak mungkin macam-macam dalam situasi kayak gini,” sahut Bian.Akhirnya Ira menuruti ucapan Bian. Ia memalingkan wajah dan pria itu membuka celananya. Kemudian Bian mengambil ponsel yang ia sembunyikan di balik pahanya. Setelah itu Bian membenarkan celananya lagi hingga terpasang.“Sudah,” ucap Bian.Dengan ragu, Ira menoleh dan ia lega setelah Bian mengenakan celana.“Kamu mau ngapain?” tanya Ira.“Aku mau ngirim pesan ke markas. Semoga mereka bisa tiba di sini tepat waktu,” jawab Bian. Kemudian ia mengirimkan pesan untuk memberi tahu di mana lokasi markas penjahat tersebut.Setelah itu, Bian menonaktifkan kembali ponselnya. Lalu ia menyembunyikan ponselnya itu lagi.“Apa mereka masih bisa menemukan kita jika ponsel