Ira gelagapan saat ditanya seperti itu. Sedangkan Bian penasaran karena ia tidak tahu orang tua dan kakak Ira ada di rumah sakit tersebut.“Eum ... papah aku ada di sana. Nanti kalau dia lihat kan bisa panjang urusannya,” jawab Ira, jujur. Namun ia tidak terbuka sepenuhnya. Ira berharap Bian tidak bertanya secara detail.“Oh, papah kamu dokter juga?” tanya Bian. Ia tidak terpikirkan bahwa papah Ira adalah pemilik rumah sakit tersebut.“He’em,” sahut Ira. ‘Gue gak bohong, kan? Papah emang dokter,’ batin Ira. Meski begitu Ira tetap tidak ingin dianggap berbohong.“Ooh, ya udah kalau begitu. Sekarang aku anter kamu sampe depan rumah aja. Nanti aku biar pulang naik taksi,” ucap Bian. Ia masih berusaha ingin mengetahui tentang Ira lebih banyak.“Dari rumah aku ke jalanan lumayan jauh. Nanti kamu turun di jalan aja, biar gak repot bolak-balik, ya?” tanya Ira. Ira pun terus berusaha mengindarinya.Melihat Ira yang selalu menghindar, membuat Bian tidak nyaman. Ia jadi khawatir bahwa Ira tidak
“Itu kan mobil Ira, ngapain dia di situ?” ucap seseorang yang melihat mobil Ira dari kejauhan. Kemudian ia pun menepikan mobilnya di belakang mobil Ira.Orang itu tidak langsung turun. Ia menunggu untuk beberapa saat, tetapi masih tidak ada pergerakan juga.“Gak bener ini!” gumam orang itu. Akhirnya ia turun dan menghampiri mobil Ira.Orang itu pun mengetuk kaca jendela mobil tersebut.Tuk! Tuk! Tuk!Ira dan Bian terperanjat.‘Astaga, Bang Zein!’ batin Ira. Ia sangat terkejut kala menyadari bahwa ada kakaknya di luar.“Prof Zein?” tanya Bian. Ia sangat mengenal siapa pria itu. Namun Bian masih santai karena ia belum sadar.Tanpa dosa, Bian pun langsung menurunkan jendela mobilnya.“Bi, Jangan!” pekik Ira. Namun sayangnya kaca jendela mobil Ira sudah terlanjur turun. ‘Aduh! Mati gue,’ batin Ira.Zein yang saat itu sedang berada di samping pintu Bian pun sangat terkejut. Saat melihat ada komandan itu di mobil adiknya. Pikirannya langsung kacau dan kecurigaannya pun semakin menjadi.“Kam
Bian cukup terkejut karena ternyata keluarga Ira bukan keluarga sembarangan. Ia tahu betul bahwa Muh adalah pemilik rumah sakit dan Zein merupakan dokter ternama.Saat ini suasana di ruang tamu rumah Muh cukup menegangkan. Terutama bagi Bian, ia yakin Zein tidak akan merestui hubungannya dengan Ira. Namun ia yang sangat mencintai Ira itu tak ingin menyerah begitu saja.Bian sudah tidak peduli meski Intan akan menjadi iparnya. Apalagi saat ini Bian sudah tidak memiliki perasaan sedikit pun untuk Intan. Sebab hatinya sudah berpaling pada Ira. Ia hanya merasa tidak nyaman jika bertemu dengan Intan.“Apa hubungan kalian?” tanya Zein, terus terang. Ia memang tidak pernah bisa basa-basi.“Mungkin lebih baik saya memperkenalkan diri dulu. Perkenalkan Om-Tante. Nama Saya Fabian Malik Adnan, saya merupakan seorang tentara yang bertugas di perbatasan. Mungkin Om sudah mengenal orang tua saya,” ucap Bian.Ia tahu bahwa ayahnya memiliki hubungan baik dengan Muh.“Oya? Memang siapa orang tua kamu?
Arga tidak sadar bahwa pria yang sedang bersama Ira adalah calon suaminya. Sehingga ia bisa menyapa Ira dengan santai.Bian dan Ira langsung menoleh ke arah sumber suara. ‘Waduh, kenapa harus ketemu dia di sini?’ batin Ira. Ia yakin Bian akan kesal jika melihat Arga.Jangankan melihat, di telepon saja Bian sudah emosi. Apalagi pagi ini Arga terlihat begitu tampan. Ia mengenakan kemeja slim fit dengan kacamata hitam yang membuatnya terlihat begitu keren.Tebakkan Ira benar. Bian langsung melirik ke arah Ira. Hal itu pun membuat Ia canggung.“Pagi, Dok!” sahut Ira, kikuk. Ia tidak mungkin mengabaikan sapaan Arga. Bagaimana pun Ira harus profesional.Saat itu mereka berada posisi yang sama. Sebab pintu mereka bersebelahan. Arga sendiri masih berada di dalam mobilnya. Ia hanya menurunkan kaca jendela karena Ira berdiri di sebelah pintunya.Ira menutup pintu mobilnya, kemudian ia berjalan ke bagian depan mobil. Bian pun langsung mendekat ke arah Ira saat melihat Arga turun dari mobil. Seol
“Ya iya, masa rame-rame?” sahut Ira. Ia tahu Bian akan cemburu, tetapi Ira tidak mungkin bohong.Bian langsung menatap Ira dengan tatapan yang sulit diartikan.“Semalam kamu udah datang ke rumah. Udah kenal sama keluargaku dan mereka semua merestui kita. Jadi aku harap kamu gak perlu merasa khawatir lagi,” jelas Ira. Ia tahu apa yang sedang Bian pikirkan.“Oke. Aku percaya sama kamu,” jawab Bian, dengan berat hati.“Nah! Gitu, dong!” ucap Ira. Kemudian ia mengusap kepala Bian.Bian ternganga. “Aku kok berasa jadi kayak anak kecil, ya?” tanyanya.Ira tersenyum. “Iya, kamu kan bayi kecil aku,” sahutnya sambil tersenyum.Seketika Bian tersenyum nakal. “Kalau bayi kecil berarti boleh mimik cucu, dong?” tanyanya, genit.Plak!Ira refleks memukul lengan Bian. “Kamu jangan ngelunjak ya, By!” ucapnya, kesal. Mendengar ucapan Bian barusan membuat Ira malu.“Kok ngelunjak? Emang apa salahnya mimik cucu? Di supermarket juga banyak susu, kan?” sahut Bian sambil menyipitkan matanya. “Emang kamu mi
“Kamu, nih! Dikasih tau malah kayak gitu,” keluh Zein.“Ya Abang juga gak jelas. Masa cuma karena cemburu terus hubungan aku yang dipermasalahin,” jawab Ira.“Abang cuma memperingatkan kamu, jangan sampai kamu menyesal nanti. Oke, sekarang kita lihat! Dua bulan lagi dia beneran datang melamar atau tidak!” sahut Zein. Kemudian ia berlalu.Zein kesal karena Ira malah melawannya. Sedangkan Ira terdiam setelah mendengar ucapan terakhir Zein.‘Semoga dia gak ngecewain aku,’ batin Ira. Entah mengapa ia jadi khawatir ucapan Zein akan jadi kenyataan. Akhirnya Ira pun masuk menuju ruangannya.“Pagi, Dok!” sapa Ira saat tiba di ruangan Arga.“Pagi,” sahut Arga, sambil menoleh ke arah Ira.“Calon suaminya udah pulang?” ledek Arga sambil tersenyum.Ira jadi malu saat ditanya seperti itu oleh Arga. “Hehe, udah,” jawab Ira.“Kapan rencana nikahnya?” tanya Arga lagi.Ira bingung hendak menjawab apa. Sebab rencananya belum matang. Bahkan lamaran resmi pun belum.“Dalam waktu dekat, Dok,” sahut Ira. I
Ira jadi merasa seperti dejavu. Sebab, baru kemarin dirinya tidak bisa menghubungi Bian.Namun, saat Ira hendak melajukan kendaraannya, ponsel dokter itu kembali berdering. Ira pun mengurungkan niatnya. Kemudian ia langsung menjawab panggilan dari kekasinya tersebut.Telepon terhubung.“Assalamualaikum, Sayang,” sapa Bian dari seberang telepon.“Waalaikumsalam. Ya ampun kamu ke mana aja, sih? Kenapa baru hubungin aku?” Ira langsung protes pada kekasihnya itu.“Maaf, Sayang. Tadi pas baru sampe sini ternyata ponsel aku lowbat. Terus barusan aku abis shalat maghrib dan ponselnya masih dicas,” jelas Bian.“Ooh, kirain kamu mau ghosting,” ucap Ira. Ia jadi nethink karena ucapan kakak dan papahnya itu.“Lha, kenapa kamu mikir begitu? Jauh banget sih mikirnya? Gak mungkinlah aku ninggalin kamu gitu aja,” sahut Bian, yakin.“Ya, siapa tau. Namanya juga jauh di mata,” ucap Ira.“Tapi dekat di hati, kan,” ucap Bian.“Mulai deh, gombal. Ya udah aku mau pulang dulu. Yang penting sekarang kamu ud
Zein ternganga melihat sikap adiknya seperti itu. “Lha, kenapa ngamuk? Apa hubungan mereka bermasalah?” gumam Zein.“Kenapa, Mas?” tanya Intan saat melihat suaminya sedang melamun sambil menatap ke arah Ira yang semakin menjauh.“Itu, katanya kan calonnya Ira mau pulang besok. Tapi aku cuma nanya ke dia, Ira-nya malah marah-marah,” jawab Zein. Kemudian mereka berjalan ke arah ruangan Zein.“Marah-marah? Lagi berantem kali. Makanya dia sensi,” ucap Intan.“Itu dia. Aku juga mikirnya begitu. Cuma aku khawatir aja kalau ternyata cowok itu nyakitin Ira,” ucap Zein.Ia terkesan menyebalkan karena terlalu ikut campur pada hubungan adiknya. Namun sebenarnya Zein melakukan hal itu karena sangat peduli pada Ira. Ia tidak ingin adiknya disakiti oleh pria mana pun.Sejak awal, Zein tidak setuju Ira berhubungan dengan Bian. Selain karena Bian pernah mendekati Intan, tetapi profesor itu khawatir Bian tidak setia karena hubungan jarak jauh mereka.“Ya udah, sekarang kita doain yang terbaik aja untu
Hati Ira berdebar-debar kala diminta untuk tes kehamilan oleh ibunya. Ia tak menyangka akan secepat ini mendapatkan momongan. Meski hasilnya belum pasti, tetapi entah mengapa Ira yakin bahwa dirinya memang mengandung.“Kamu ada test pack, gak?” tanya Rani.Ira menggelengkan kepalanya. “Enggak, Mah,” jawabnya.“Ya udah nanti Mamah suruh Bibi beli dulu. Atau kamu mau langsung cek ke rumah sakit?” tanya Rani.“Test aja dulu deh, Mah. Kalau ke rumah sakit, takut hasilnya gak sesuai harapan,” jawab Ira.“Ya udah. Tapi kamu sarapan dulu, ya! Jangan sampai sakit karena telat makan!” nasihat Rani.“Iya, Mah. Terima kasih,” sahut Ira, sambil tersenyum.Setelah itu Rani meninggalkan kamar tersebut, kemudian ia meminta Bibi untuk membeli test pack. “Bi, tolong beliin test pack, dong!” ucap Rani pada ART-nya.“Lho, Mamah hamil?” tanya Muh, kanget.“Yang bener aja, masa Mamah hamil?” timpal Zein yang masih ada di sana.“Kalian ini! Bukan buat Mamah,” ucap Rani, gemas.“Terus buat siapa, dong?” tany
“Hehehe, ampun, Ndan!” ucap anak buah Bian sambil cengengesan.“Ya udah, kali ini aku beneran pergi. Assalamualaikum,” ucap Bian. Kemudian ia meninggalkan istrinya itu.“Waalaikumsalam. Hati-hati, Sayang,” sahut Ira.Ia menatap kepergian suaminya itu. “Semoga kamu cepat kembali, Bi. Aku gak sanggup kalau harus pisah terlalu lama lagi,’ batin Ira.“Duh, jadi pingin nikah,” ledek anak buah Bian.“Ya udah, tinggal mengajukan!” sahut Bian, santai.“Yah, saya kan bukan Komandan yang bisa sat set sat set. Mau nikah juga pengajuan dulu, belum lagi prosesnya yang lama,” keluh anak buah Bian.“Ya iya sih masalah utama mah belum ada calonnya! Hahaha,” ledek anak buah Bian yang lain.Mereka semua pun tergelak.Beberapa jam kemudian Ira sudah tiba di rumah Muh kembali. Saat ini ia sedang bersantai di kamarnya, sambil memainkan ponsel.“Kok dia belum ngabarin aku, ya?” gumam Ira.Ia gelisah menanti kabar dari suaminya itu. Padahal Bian tidak sempat untuk memberi kabar pada Ira. Sebab setibanya di
“Mas ... jangan maksa begitu, dong! Lagian kan demi kebaikan Aydin. Aku juga gak akan tenang ninggalinnya,” ucap Intan. Ia tidak enak hati pada mertuanya.“Hehehe, Papah bercanda, kok. Ya udah kalian pergi aja! Biar Aydin sama kami. Lagian Zein kan beberapa bulan terakhir sibuk persiapan alih jabatan, pasti butuh refreshing. Pergilah!” ucap Muh.“Alhamdulillah, gitu dong, Pah! Terima kasih, ya,” ucap Zein. Ia sangat senang karena diizinkan pergi oleh Muh.Zein pun menghampiri dan menggendong anaknya. “Sayang, maaf ya Ayah pergi dulu. Nanti kalau kamu sudah lebih besar, Ayah janji akan ajak kamu jalan-jalan. Oke,” ucap Zein, kemudian ia mencium pipi anaknya.Intan geleng-geleng kepala melihat kelakuan suaminya itu. “Kalau begitu aku mau pumping dulu ya, Mas,” ucapnya.“Iya, Sayang. Pumping yang banyak biar anak ayah gak kelaparan,” ucap Zein, sambil menggoda anaknya.Rani dan Muh tersenyum melihat keluarga kecil itu. Mereka bahagia karena kini anaknya begitu harmonis. Padahal dulu dua
“Enggaklah! Udah mendingan buruan packing biar kamu gak telat. Perjalanan dari sini ke Jakarta kan gak sebentar!” ucap Ira. Meski mengatakan tidak, tetapi ekspresi wajahnya terlihat sangat kecewa.“Iya, Sayang. Maaf, ya,” ucap Bian. Ia terus meminta maaf karena rasa bersalahnya. Apalagi jika melihat wajah Ira seperti itu. Sebab dirinya telah merusak momen penting.Setelah selesai packing, Bian dan Ira meninggalkan kamar mereka. Kemudian Bian check out di lobby."Kamu tunggu di sini, ya!" pinta Bian, saat Ira sudah berada di mobil."Iya," jawab Ira, singkat.Bian pun meninggalkan mobil, kemudian melakukan check out. Tak lupa Bian menjelaskan bahwa akan ada Zein yang menggantikannya. Ia pun meminta kamarnya dibersihkan dan dihias dengan bunga seperti untuk orang bulan madu."Jadi ini tidak ada biaya tambahan, kan?" tanya Bian."Tidak ada, Mas. untuk buangnya kami berikan free," sahut resepsionis. Mereka memberikan free karena Bian telah memesan hotel dengan kelas kamar paling tinggi sel
“Tau tuh, siapa tadi yang iseng basahin meja, ya?” canda Bian. Ia sengaja ingin membuat istrinya kesal.Namun kemudian Ira teringat. “Ya ampun, ini karena ulah kamu ya, Bi?” tuduh Ira, sambil ternganga. Ia ingat bagaimana tadi dirinya yang baru naik dari kolam itu langsung direbahkan di atas meja.“Gak salah? Kan kamu yang tadi rebahan di sini,” sahut Bian, santai. Ia sengaja menyudutkan istrinya.“Tapi kan kamu yang bawa aku ke sini!” Ira tidak mau kalah. Ia tak terima disalahkan seperti itu. Sebab memang Bian yang merebahkannya di atas meja.“Ya udah, mendingan makan aja jangan debat! Kan udah lapar,” ucap Bian. Ia pun membuka makanan tersebut dan menyendoknya.“Berarti orang itu lihat, dong?” tanya Ira sambil menyendok makanan. Ia masih tidak enak hati memikirkan meja yang basah tersebut.“Iyalah. Dia kan punya mata,” jawab Bian, tanpa dosa. Berbeda dengan Ira, Bian tak peduli. Baginya orang tadi pasti sudah biasa menghadapi hal seperti itu.“Hiiih, kamu ini!” Ira kesal.“Udah maka
“Mau ngapain, sih?” tanya Ira. Ia yakin suaminya pasti menginginkan sesuatu.Bian langsung menarik Ira. “Biasakan sama suami itu langsung nurut! Jangan suka ngebantah, nanti tuman!” ucap Bian, gemas.“Ya abisnya kamu suka aneh-aneh, sih,” ucap Ira, manja.“Apanya yang aneh? Namanya suami istri begini tuh wajar, Sayang,” ucap Bian, sambil merangkul pinggang Ira. Kemudian merapatkan tubuh mereka.Ira tersenyum. Ia sangat gemas melihat tingkah suaminya itu. “Tuh, kan. Kamu maaah. Emang wajar, sih. Tapi ini masih siang. Aku risih mesra-mesraan siang hari begini, ihh,” keluh Ira.“Dulu waktu masih pacaran, kamu gak risih. Kenapa sekarang malah menghindar,” bisik Bian, nakal. Kemudian ia menggigit telinga istrinya itu.“Bi!” tegur Ira. Ia malu disebut seperti itu oleh suaminya. Ketika sedang berpacaran mereka memang cukup sering bermesraan. Namun hanya sebatas bibir, tidak lebih. Mungkin karena belum halal, jadi mereka masih sangat menggebu-gebu.Sedangkan saat ini mereka sudah menikah dan
Ira mendorong Bian secara perlahan. “Berarti nanti kamu bisa gak pilih aku, dong?” tanyanya, saat Bian melepaskan tautan bibir mereka.Bian menatap Ira. “Kamu kan tau kalau aku sudah bersumpah untuk menjadikan tugas negara sebagai prioritas?” Ia balik bertanya.Wajah Ira langsung murung. “Iya,” lirihnya. Ia tidak bisa protes untuk hal itu. Apalagi mereka sudah beberapa kali membahas hal itu.“Maaf ya, Sayang,” ucap Bian sambil menangkup pipi Ira. Ia pun bingung karena tidak bisa berbuat apa-apa. Mengatakan janji manis pun tidak mungkin jika tak sesuai kenyataan.“Yah, mau gimana lagi. Udah risiko aku,” ucap Ira, pasrah.Sebenarnya ia hanya ingin jawaban gombal. Namun nyatanya Bian tidak bisa seperti itu. Sehingga Ira kecewa.“Dari pada mikirin yang enggak-enggak. Mending kita kerjakan yang iya-iya,” ucap Bian, genit.Ira mengerutkan keningnya. “Apa?” tanyanya.Bian melirik ke arah tempat tidur.Ira langsung menyipitkan matanya. “Ya ampun, Bi. Ini masih siang, lho,” keluh Ira.“Masalah
“Siap aku salah!” ucap Bian. Ia tidak ingin berdebat lagi dengan istrinya. Saat ini ia hanya bisa mengakui kesalahannya. Bian tidak mau sampai bulan madunya gagal karena hanya hal sepele.“Aku kecewa sama kamu,” ucap Ira sambil memalingkan wajah.Meski sedang kesal, melihat Bian mau mengakui kesalahannya membuat Ira senang. Baginya Bian mau mengaku saja sudah cukup, tetapi rasa kesalnya masih ada walaupun ia tidak marah lagi.“Yank, itu camilannya mau di makan, gak?” tanya Bian. Ia berusaha mengalihkan pembicaraan.“Gak!” jawab Ira, ketus.‘Haduh! Pake ketemu dia segala, sih. Jadi kacau gini kan bulan madunya. Gawat banget kalau sampe dia ngambek terus,’ batin Bian.‘Apa iya cewek tadi cuma temen lama dia? Tapi kenapa tatapannya ke aku sinis banget? Aku gak yakin,’ batin Ira. Kemudian ia memicingkan matanya ke arah Bian. Ia ingin menelisik apakah Bian berbohong padanya atau tidak.‘Semoga dia gak nanya macem-macem lagi, deh,’ gumam Bian dalam hati.Ira yang sedang kesal itu akhirnya t
Bian terkekeh. “Ya udah jalan dulu ya, Bang. Dari pada bulan madunya gagal nanti. Bahaya,” ucap Bian.“Oke, hati-hati!” sahut Zein. Ia pun tersenyum melihat tingkah adiknya itu. Zein merasa Ira tidak jauh berbeda dengan dirinya.Akhirnya mereka pun pergi.“Sayang, mau beli camilan dulu, gak?” tanya Bian. Ia khawatir istrinya akan bosan jika tidak ada makanan ringan.“Boleh, deh. Kalau gitu nanti mampir di minimarket aja dulu!” jawab ira.“Siap!” sahut Bian. Mereka pun menuju ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan.“Beli di situ aja ya, Yank?” tanya Bian saat melihat ada minimarket di depan.“Ya udah, ada parkirannya, kan?” sahut Ira.“Ada, tuh!” jawab Bian. Ia pun mengarahkan mobilnya ke minimarket tersebut. Kebetulan parkirannya sedang kosong, sehingga mobil Bian bisa masuk.“Kamu mau ikut turun atau nunggu di sini?” tanya Bian, saat hendak turun dari mobil.“Aku nunggu aja, deh,” sahut Ira. Ia malas jika harus turun. Sebab di luar, matahari cukup terik.“Ya udah, mau beli apa?