Arga tidak sadar bahwa pria yang sedang bersama Ira adalah calon suaminya. Sehingga ia bisa menyapa Ira dengan santai.Bian dan Ira langsung menoleh ke arah sumber suara. ‘Waduh, kenapa harus ketemu dia di sini?’ batin Ira. Ia yakin Bian akan kesal jika melihat Arga.Jangankan melihat, di telepon saja Bian sudah emosi. Apalagi pagi ini Arga terlihat begitu tampan. Ia mengenakan kemeja slim fit dengan kacamata hitam yang membuatnya terlihat begitu keren.Tebakkan Ira benar. Bian langsung melirik ke arah Ira. Hal itu pun membuat Ia canggung.“Pagi, Dok!” sahut Ira, kikuk. Ia tidak mungkin mengabaikan sapaan Arga. Bagaimana pun Ira harus profesional.Saat itu mereka berada posisi yang sama. Sebab pintu mereka bersebelahan. Arga sendiri masih berada di dalam mobilnya. Ia hanya menurunkan kaca jendela karena Ira berdiri di sebelah pintunya.Ira menutup pintu mobilnya, kemudian ia berjalan ke bagian depan mobil. Bian pun langsung mendekat ke arah Ira saat melihat Arga turun dari mobil. Seol
“Ya iya, masa rame-rame?” sahut Ira. Ia tahu Bian akan cemburu, tetapi Ira tidak mungkin bohong.Bian langsung menatap Ira dengan tatapan yang sulit diartikan.“Semalam kamu udah datang ke rumah. Udah kenal sama keluargaku dan mereka semua merestui kita. Jadi aku harap kamu gak perlu merasa khawatir lagi,” jelas Ira. Ia tahu apa yang sedang Bian pikirkan.“Oke. Aku percaya sama kamu,” jawab Bian, dengan berat hati.“Nah! Gitu, dong!” ucap Ira. Kemudian ia mengusap kepala Bian.Bian ternganga. “Aku kok berasa jadi kayak anak kecil, ya?” tanyanya.Ira tersenyum. “Iya, kamu kan bayi kecil aku,” sahutnya sambil tersenyum.Seketika Bian tersenyum nakal. “Kalau bayi kecil berarti boleh mimik cucu, dong?” tanyanya, genit.Plak!Ira refleks memukul lengan Bian. “Kamu jangan ngelunjak ya, By!” ucapnya, kesal. Mendengar ucapan Bian barusan membuat Ira malu.“Kok ngelunjak? Emang apa salahnya mimik cucu? Di supermarket juga banyak susu, kan?” sahut Bian sambil menyipitkan matanya. “Emang kamu mi
“Kamu, nih! Dikasih tau malah kayak gitu,” keluh Zein.“Ya Abang juga gak jelas. Masa cuma karena cemburu terus hubungan aku yang dipermasalahin,” jawab Ira.“Abang cuma memperingatkan kamu, jangan sampai kamu menyesal nanti. Oke, sekarang kita lihat! Dua bulan lagi dia beneran datang melamar atau tidak!” sahut Zein. Kemudian ia berlalu.Zein kesal karena Ira malah melawannya. Sedangkan Ira terdiam setelah mendengar ucapan terakhir Zein.‘Semoga dia gak ngecewain aku,’ batin Ira. Entah mengapa ia jadi khawatir ucapan Zein akan jadi kenyataan. Akhirnya Ira pun masuk menuju ruangannya.“Pagi, Dok!” sapa Ira saat tiba di ruangan Arga.“Pagi,” sahut Arga, sambil menoleh ke arah Ira.“Calon suaminya udah pulang?” ledek Arga sambil tersenyum.Ira jadi malu saat ditanya seperti itu oleh Arga. “Hehe, udah,” jawab Ira.“Kapan rencana nikahnya?” tanya Arga lagi.Ira bingung hendak menjawab apa. Sebab rencananya belum matang. Bahkan lamaran resmi pun belum.“Dalam waktu dekat, Dok,” sahut Ira. I
Ira jadi merasa seperti dejavu. Sebab, baru kemarin dirinya tidak bisa menghubungi Bian.Namun, saat Ira hendak melajukan kendaraannya, ponsel dokter itu kembali berdering. Ira pun mengurungkan niatnya. Kemudian ia langsung menjawab panggilan dari kekasinya tersebut.Telepon terhubung.“Assalamualaikum, Sayang,” sapa Bian dari seberang telepon.“Waalaikumsalam. Ya ampun kamu ke mana aja, sih? Kenapa baru hubungin aku?” Ira langsung protes pada kekasihnya itu.“Maaf, Sayang. Tadi pas baru sampe sini ternyata ponsel aku lowbat. Terus barusan aku abis shalat maghrib dan ponselnya masih dicas,” jelas Bian.“Ooh, kirain kamu mau ghosting,” ucap Ira. Ia jadi nethink karena ucapan kakak dan papahnya itu.“Lha, kenapa kamu mikir begitu? Jauh banget sih mikirnya? Gak mungkinlah aku ninggalin kamu gitu aja,” sahut Bian, yakin.“Ya, siapa tau. Namanya juga jauh di mata,” ucap Ira.“Tapi dekat di hati, kan,” ucap Bian.“Mulai deh, gombal. Ya udah aku mau pulang dulu. Yang penting sekarang kamu ud
Zein ternganga melihat sikap adiknya seperti itu. “Lha, kenapa ngamuk? Apa hubungan mereka bermasalah?” gumam Zein.“Kenapa, Mas?” tanya Intan saat melihat suaminya sedang melamun sambil menatap ke arah Ira yang semakin menjauh.“Itu, katanya kan calonnya Ira mau pulang besok. Tapi aku cuma nanya ke dia, Ira-nya malah marah-marah,” jawab Zein. Kemudian mereka berjalan ke arah ruangan Zein.“Marah-marah? Lagi berantem kali. Makanya dia sensi,” ucap Intan.“Itu dia. Aku juga mikirnya begitu. Cuma aku khawatir aja kalau ternyata cowok itu nyakitin Ira,” ucap Zein.Ia terkesan menyebalkan karena terlalu ikut campur pada hubungan adiknya. Namun sebenarnya Zein melakukan hal itu karena sangat peduli pada Ira. Ia tidak ingin adiknya disakiti oleh pria mana pun.Sejak awal, Zein tidak setuju Ira berhubungan dengan Bian. Selain karena Bian pernah mendekati Intan, tetapi profesor itu khawatir Bian tidak setia karena hubungan jarak jauh mereka.“Ya udah, sekarang kita doain yang terbaik aja untu
Saat Bian melepaskan pelukannya, Ira masih belum menyadari ada perubahan dari sikap Bian.“Bi, kamu ke mana aja, sih? Pasti kamu abis tugas, ya?” tanya Ira sambil berurai air mata. Ia menggenggam kedua tangan Bian.“Mas Malik, itu siapa?” tanya seorang wanita yang muncul di belakang Bian. Ia bingung melihat bian bicara dengan seorang wanita.Ira mengerutkan keningnya. ‘Malik?’ batinnya. Ia lupa bahwa Malik adalah nama panjang Bian.Bian pun menjawabnya sambil menatap Ira. “Enggak kenal,” ucap Bian.Deg!Lutut Ira terasa lemas kala mendengar ucapan Bian. Namun ia masih enggan percaya. “Bi, kamu jangan bercanda, ya! Aku udah hampir mati nungguin kamu, ini gak lucu,” ucap Ira dengan suara bergetar.Wanita itu pun mendekat ke arah mereka. “Yakin gak kenal?” tanyanya, sambil menatap ke arah tangan Bian yang sedang digenggam oleh Ira.“Iya. Mungkin kamu salah orang,” ucap Bian pada Ira. Kemudian ia melepaskan tangan itu perlahan, tetapi Ira seolah enggan melepasnya.“Sampe kamu lepas, aku g
Ira melirik ke arah kaca spion. Ia bingung mengapa mobil Bian masih ada di sana.“Maunya dia apa, sih? Kalau emang udah gak mau kenal sama aku, ngapain masih diem di situ? Sok mau bantu segala,” gumam Ira. Ia sangat emosi melihat Bian.Apalagi Bian menghampirinya bersama wanita tadi. Membuat hati Ira jadi tak karuan. Perih, sakit, marah, benci, bercampur jadi satu.“Nyesel aku udah nunggu dia. Aku kira dia setia, ternyata malah sama perempuan lain. Apa gak bisa bicara baik-baik? Dasar pengecut!” gumam Ira sambil mengepalkan tangannya.Rasanya ia sangat ingin menghajar Bian. Namun, mengingat tatapannya tadi, Ira merasa tatapan pria itu masih sama seperti dulu.“Argh!” pekik Ira. Saking emosinya, ia sampai tidak sadar telah memukul stir dan membuat klakson mobilnya berbunyi.Tooonn!Bian terperanjat. Ia hendak turun dari mobil. Namun mengurungkan niatnya. Bian tetap memperhatikan Ira dari dalam mobilnya sambil memastikan kondisinya masih aman.“Mas ini kenapa, sih? Sebenarnya dia siapa?
Sementara itu, Ira yang baru saja tiba di rumahnya tersebut tampak menekuk wajahnya.“Assalamualaikum,” ucap Ira saat masuk ke rumah.Muh langsung menyambutnya. “Waalaikumsalam. Gimana undangannya?” tanya Muh.“Gak gimana-gimana, Pah. Aku masuk dulu, ya,” jawab Ira. Kemudian ia langsung berlalu.Muh mengerutkan keningnya. Ia bingung melihat Ira yang tampak kesal. “Kenapa lagi itu, Mah?” tanya Muh pada Rani.“Entahlah. Sejak Bian gak ngasih kabar, Ira kan emang selalu murung,” sahut Rani.Kring! Kring!Tiba-tiba ponsel Muh berdering. Ada telepon masuk dari nomor ponsel Ibu Bian.“Siapa, Pah?” tanya Rani.“Ibunya Bian,” sahut Muh sambil berbisik.“Ya udah, jawab di kamar aja!” ucap Rani.Mereka pun pergi ke kamar untuk menjawab telepon tersebut. Mereka tidak ingin Ira mendengar percakapannya.Telepon terhubung.“Assalamualaikum, Om. Ini aku, Bian,” ucap Bian.Ia menggunakan ponsel ibunya karena khawatir ponselnya disadap.“Waalaikumsalam. Apa kabar, Bi?” tanya Muh.“Alhamdulillah baik,