"Mas Izyan. Ini malam akhir pekan loh. Nggak mau jalan-jalan kah?" Heran Najma setelah mereka menunaikan salat Isya.Meskipun keadaan Izyan sedang tidak baik-baik saja namun, tetap berusaha tidak melalaikan kewajibannya."Memangnya ada apa di luar sana Naj?""Ada pasar malem. Yuk Mas, kita jajan seblak, baso aci, wonton, mie jebew, smoothies, es kuwut, sosis bakar, aduh pokoknya enak-enak banget. Ayok dong Mas.""Itu semua jajanan apa Naj? Baru denger aku.""Itu semua jajanan enak Mas. Emangnya Mas Izyan belum pernah nyobain?""Aku kalau laper ya makan bekal dari rumah Naj.""Nggak pernah jajan begituan Mas?" tanya Najma penasaran yang ingin mengetahui lebih dalam lagi tentang suaminya."Enggak Naj.""Kenapa? Kan duit Mas Izyan banyak.""Lebih hemat dan sehat Naj.""Em, ngomong-ngomong Mas Izyan pinter masak diajarin ibu ya?" tanya Najma yang kini masih melipat mukenanya."Aku belajar sendiri Naj.""Nggak diajarin ibu sambung Mas Izyan?"Setelah menyelesaikan melipat mukena. Lalu mele
Kali ini, Najma dan tim akan memberitakan perlombaan olimpiade matematika. Perlombaan ini, dihadiri banyak perwakilan-perwakilan yang tentu, sudah melalui persiapan matang, dari sekolah-sekolah. Berlangsung menyenangkan sekaligus menegangkan. Sungguh. Najma terkagum-kagum pada prestasi anak bangsa. Yang memiliki kecerdasan sekaligus kepahaman yang cemerlang. Hal ini membuatnya merindukan masa-masa seperti ini. Ketika ia dipercaya untuk mewakili kabupaten mengikuti berbagai lomba debat bahasa Inggris. Lomba ini merupakan lomba yang paling disukai. Karena menurutnya, berdebat sekaligus berbicara dengan bahasa asing memiliki kesan tersendiri. Pada waktu itu, ia berhasil meraih juara satu. Sehingga, melanjutkan ke tingkat provinsi. Namun, di tingkat provinsi, ia tak meraih kedudukan juara satu. Sehingga, untuk melanjutkan tingkat selanjutnya dari perwakilan provinsi lain. Mengingat masa-masa di mana ia begitu ambisius, sungguh membuatnya rindu ingin mengulang lagi.Setelah lomba olimpia
"Najma, Najma kamu kenapa Naj??!" Begitu panik dengan ini, Izyan sampai berjalan tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamar. Terlihat, Najma sedang duduk di pinggir ranjang sembari menangis tersedu-sedu."Naj? Apa yang terjadi Naj??! Ibat jahatin kamu?! Coba ngomong Naj?!" Izyan berusaha mendesaknya agar bisa berbicara jujur Tapi, justru Najma semakin mengeraskan tangisan. Tangis yang terdengar sangat sakit sekali.Meskipun dalam keadaan kesehatan tangan terbatas, Izyan masih berusaha menenangkan dengan cara memeluknya. Tentu, dengan tangan kanan. Pelukan Izyan dari belakang membuat Najma bersandar di dada. Tangisannya memang tak terdengar sekencang tadi. Namun, suara sesenggukan, masih terdengar jelas."Naj ....""Mas Izyan .... Aku sakit Mas ...." Lirih Najma yang tentu, mengundang rasa panik."Kamu sakit apa Naj?? Kamu Kenapa?!!" tanya Izyan begitu panik."Hati aku yang sakit Mas ....""Ibat nyakitin kamu?!"Najma menggelengkan kepala."Terus?! Siapa yang udah nyakitin kamu?! Apa yang t
Padahal, Najma rasa, ibadahnya biasa-biasa saja. Ia memang tak pernah meninggalkan salat lima waktu meskipun kadang-kadang sering mepet waktu. Sampai detik ini, ia masih terheran-heran sendiri. Bagaimana bisa, memiliki suami sebaik, sesukses, secerdas, dan sebijak Izyan. Bahkan, menurut Najma, Izyan adalah paket komplit.Ia menatap pantulan wajah dari balik cermin. Menurutnya, memiliki wajah biasa-biasa saja. Tapi, tak jarang juga, banyak orang terutama anak-anaknya memuji Najma cantik dan manis. Meskipun begitu, sampai sekarang, Najma tak tahu letak cantik dan manis wajahnya.Kembali ke pertanyaan yang sebelumnya. Kenapa bisa, ia yang merasa biasa-biasa saja mendapatkan lelaki seperti Izyan. Tiba-tiba, pikirannya tertuju kepada kedua orang tua. Yang ketika Najma kadang bangun dari tidurnya pada waktu dini hari karena air di botol minumnya habis, sering memergoki lampu mushola menyala. Mengintip, terlihat kedua orang tuanya sedang beribadah dengan khusyuk.Tiba-tiba teringat hal itu,
Izyan masih penasaran. Apa yang Najma alami. Kenapa bisa ia menangis dengan begitu kencang. Ia yakin. Ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, karena masalah pekerjaan. Dan yang kedua, karena keluarganya. Izyan sungguh yakin dengan dua kemungkinan itu.Namun, terbilang kondisi Najma sudah lebih baik jadi, Izyan memutuskan untuk tidak bertanya-tanya banyak hal padanya. Kali ini, ia lebih fokus untuk mengajar para Mahasiswa. Meskipun memiliki keterbatasan dalam tangan kirinya. Hal itu tidak menjadi penghalang untuk tetap produktif dan bertanggung jawab pada pekerjaan.Setelah mengajar, ia juga meminta tolong pada sang Ayah mertua untuk mengecek perkembangan rumah yang nantinya akan dihuni bersama Najma. Tentu, dengan senang hati, Pak Thariq menyanggupi. Mereka menuju ke alamat yang Izyan sebutkan sebelum pulang ke rumah. Tepatnya di sebuah lahan yang sudah dibangun sampai mencapai progres 30%. Sedangkan, untuk para pekerja sudah berpulang. Kecuali Mandor di pembangunan ini."Bagaimana
"Astaghfirullah!" "Ada apa Najma?""Itu ada cicak mati!" Tunjuknya ke arah hewan yang suka merayap telah tergeletak lemas tak berdaya.Izyan menggelengkan kepala. Merasa heran dengan istrinya."Sebentar." Ia pun mengambil kertas. Mencomot cicak tersebut. Lalu membuang ke tong sampah. "Itu cuman cicak. Nggak apa-apa.""Tapi jijik. Bau banget Mas Izyan.""Udah ilang kok, besok sampahnya dibuang.""Oke.""Naj.""Ya Mas?""Ngomong-ngomong, dua hari yang lalu kan kamu nangis. Kamu nangis kenapa?"Pertanyaan ini, spontan membuat raut wajah Najma berubah. Tersenyum tipis lalu menjawab, "Coba tebak?""Masalah pekerjaan?" tanya Izyan sampai kernyitan di dahinya terlihat."Salah.""Em, karena ibuku? Atau Isma?""Ya. Dia toxic banget Mas. Nuduh aku yang enggak-enggak. Terus juga, dua temannya jahat banget. Meskipun aku lebih tua dari mereka tapi, mereka tak menghormatiku sama sekali. Mereka pandai banget ngejatuhin aku. Tapi, ketika aku berusaha membela diri, Isma malahan bersikap seolah paling
"Naj, setelah dari sini, kita ke rumah Ibu ya. Aku mau ambil kamus. Kamu di mobil aja," ujar Izyan di depan rumah yang belum sepenuhnya jadi itu."Aku mau ikut ke rumahmu Mas. Aku pengen lihat ibumu dan rumahmu. Aku juga pengen lihat kamar si pria yang suka menyuruh istrinya membaca buku.""Jangan Naj. Kamu di mobil aja. Aku nggak mau kamu ketemu Ibu."Izyan yang sudah hafal sifat ibunya dan yakin pada kemungkinan nanti yang terjadi jika mereka bertemu pun berkata demikian."Kewatir akan seperti Isma ya?" Izyan hanya tersenyum tipis."Mas please, aku pengen ketemu ibumu. Ya meskipun dia bukan ibu kandungmu tapi, boleh ya?" Bujuk Najma yang tidak semudah itu Izyan setujui."Nggak Naj. Aku nggak mau kamu sedih. Aku nggak mau kamu nangis. Air matamu terlalu mahal untuk dikeluarkan. Tolong nurut.""Oke. Aku nurut. Aku di mobil aja. Ya udah ayo ke rumahmu." "Jadi? Nanti, kamu mau tinggal di sini?" tanya Izyan mengonfirmasi.Najma tersenyum lalu menganggukan kepalanya."Allhamdulillah jik
Sebisa mungkin, Izyan masuk ke mobil memasang raut wajah tenang. Berusaha menunjukan bahwa tak terjadi apa-apa. Meskipun hatinya seperti terbakar."Sekarang baru jam enam sore ya?" tanya Izyan memastikan setelah mobil melaju dari rumahnya."Iya Mas. Ada apa memangnya?""Kita magriban di masjid pinggir jalan ya. Terus, nanti temenin aku ke Gramedia. Mau kan?"Najma meliriknya sekilas karena sedang fokus menyetir. Lalu tersenyum lebar. "Tapi ada pajaknya!" "Pajak? Okey.""Tos dulu!" Najma mengangkat tangannya untuk meminta tos.Mereka pun menepuk tangan satu sama lain sampai terdengar suara khas.Setelah itu, Najma menjalankan mobil untuk mencari mushola terdekat. Terbilang baru beberapa menit melajukan mobil, sudah terdengar suara azan.Meskipun keluarganya terutama sang ibu begitu mahir membuat hati Izyan panas dan sakit. Tapi, setelah bersama Najma dan melihatnya menikmati perjalanan mereka. Serta tanpa keberatan menuruti permintaan Izyan. Rasa marah, kesal, dan murka itu perlahan m
"Kalian harus menikah! Sudahlah Mas Izyan! Tak perlu ada pembelaan lagi! Sudah jelas-jelas ada bukti di depan mata!" Tegas Kepala RW."Apa-apaan sih Pak! Saya itu tak kenal perempuan itu! Saya seumur hidup hanya menggauli Najma!" Lalu berganti menatap Tasya. "Heh kamu, tolonglah jangan rusak rumah tangga saya! Lagi pula, sebelumnya kita tak saling kenal! Kamu ini jahat sekali!" Izyan yang tak terima, terus saja berbicara. Tasya diam sembari memainkan jari jemarinya yang mengeluarkan keringat dingin."Oh, apakah Ayah dari anakmu tak mau bertanggung jawab?? Makanya, kau memfitnah saya agar menutupi kelakuan bejatmu itu? Iya?!" Izyan menggelengkan kepala. "Hatimu benar-benar busuk! Dengan teganya kamu menghancurkan rumah tangga orang lain serta mengusik ketenangan kami! Kamu benar-benar jahat!""Sudah cukup-cukup!!" Kepala RT yang kesal dengan ini sampai menggebrek meja. "Mas Izyan, tolong tanggung jawan atas kehamilan Mbak Tasya! Kami lebih percaya bukti dari pada omongan Anda!""Kalia
Wajah yang tampan itu, tampak lelah sekaligus bermata sayu. Memikirkan semua ini sampai membuatnya tak nafsu makan. Ia yang merasa memiliki keterbatasan dalam berfikir, rela bangun waktu dini hari untuk meminta solusi atas jawaban ini semua. Duduk mengahadap Tuhan yang tak terlihat. Namun, bisa melihat apapun meskipun itu hal tersembunyi.Menengadahkan tangan, meminta maaf, meminta keinginan, serta terutama meminta keutuhan rumah tangganya. Diiringi tangisan, Izyan terus berdoa agar diberikan jalan keluar atas semua ini. Selama setengah jam lamanya, digunakan untuk berdoa. Mengusap wajah, lalu berdiri dari duduknya.Terbilang tangannya sudah sembuh. Jadi, tak usah lagi memakai arm sling. Kedua tangan Izyan sudah bebas bisa melakukan apa saja. Ya dia memang bahagia sekaligus bersyukur dengan ini. Namun, disatu sisi, masalah rumah tangga yang menerpa begitu besar.Sungguh. Ia tak pernah mengkhianati Najma. Bahkan, dengan perempuan itu saja, tak kenal. Karena, bagaimana mungkin ia akan b
Najma diantar ke kamar. Sedangkan Izyan menghadap Pak Thariq. Duduk di ruang keluarga. Izyan yang merasa tak bersalah berani melakukan kontak mata."Jelaskan Izyan!" Tegas Pal Thariq."Saya tak kenal perempuan itu Pak! Bahkan, baru pertama kali saya lihat dia!" Bela Izyan."Terus? Kenapa dia bisa mengaku bahwa sedang hamil anakmu dan menunjukan fotomu sekamar bersamanya?"Posisi mereka seperti seorang seorang Polisi yang sedang mengintrogasi tawanan."Demi Allah Pak! Saya tak melakukan itu! Kalaupun ada foto itu, saya yakin itu hanya editan! Saya mencintai Najma dan saya sudah berjanji akan setia! Saya tak ada keinginan sedikitpun untuk berkhianat! Saya benar-benar tak kenal perempuan itu Pak!" Izyan masih berusaha menjelaskan agar Ayah mertuanya percaya."Mana ponselmu!"Izyan memberikan bahkan, langsung membukakan kunci sandi.Pak Thariq membelakan mata. Lalu menunjukan layar yang memperlihatkan chat dari nomor yang tak disimpan."Baca Yan!"Izyan membaca dengan gumaman, "Mas tolong
"Mbak Najma. Kedatangan saya ke sini karena memberitahukan soal ini ...."Perempuan yang kemarin menatap dari jarak beberapa meter Najma dan Izyan di depan rumah. Tiba-tiba datang ketika Najma baru pulang kerja. Menyodorkan amplop cokelat kecil. Tentu, langsung Najma terima. Mengeluarkan apa yang di dalamnya. Menautkan kedua alis. Karena, ketika baru memperlihatkan kop surat, tertulis nama rumah sakit. Melebarkan surat yang terlipat itu. Membaca satu persatu kata yang ada di dalamnya."Surat keterangan hamil?" Kedua mata Najma terbelalak. "Maksudnya apa? Kamu siapa? Kok bisa-bisanya datang menunjukan surat ini? Kita sebelumnya tidak kenal loh .... Saya hanya tahu kamu tetangga saya!"Tiba-tiba, perempuan itu menundukan kepala. Air matanya mengalir. Sekaligus diiringi isak tangis."Jelaskan!! Apa yang sebenarnya terjadi!!" Najma memegang kedua bahu wanita itu. Bahkan, sampai memaju-mundurkan karena tak kunjung menjawab. Justru, semakin mengeraskan tangisan."Saya .... Hamil anak Mas I
"Naj. Bagaimana kelanjutan pembahasan pembangunan perpustakaan gratis depan rumah kita kelak? Kamu masih bersedia kerjasama kan?" Najma yang sedang melahap sosis bakar pun menoleh. Lalu menjawab, "Ya aku mau Mas. Itu hal yang baik. Ngomong-ngomong, soal progress rumah udah kayak apa?""Nih. Aku dikirimin sama Pak Mandor." Izyan menunjukan foto rumah mereka.Terlihat bangunan bata yang masih terlihat bahannya. Belum dihaluskan menggunakan semen. Namun, sudah bisa digunakan untuk berteduh. Terbilang sudah dipasang atap. "Sekitar berapa bulan lagi Mas?""Kata Pak Mandor bisa sebulan lebih lagi. Karena belum buat dapur, kamar mandi, dan masih ada beberapa ruangan belum dibuat. Naj. Sebentar lagi kita akan tinggal di sana."Dengan penuh nikmat, Najma mengunyah sosis yang tinggal setengah itu. Ketika hari libur tiba, mereka keluar rumah untuk menikmati waktu berdua. Kali ini, mereka berada di taman wisata Gunung Pancar. Sebelum ke sini, tentu Najma membeli jajanan pinggir jalan. "Mas Izy
"Pak! Pak Izyan! Pak!"Panggil seorang mahasiswi sembari menyeimbangkan langkah kaki Izyan yang lebar."Ada apa?" tanya Izyan dengan suara datar."Pak Izyan kenapa tidak lagi balas chat dan telepon saya?""Ada apa memangnya?"Haura memainkan jari jemari yang mengeluarkan keringat dingin. "Saya butuh Pak Izyan .... Saya di rumah kesepian .... Hati saya sakit Pak .... Mental saya tertekan memendam luka ini sendirian .... Sedangkan, Ayah saya tak peduli. Saya pernah mengadu kepadanya namun, saya yang dimarahi ....""Haura. Sembuhkanlah lukamu dengan caramu sendiri.""T ... tapi, t ... tapi kan Pak Izyan pernah bilang sama saya mau bantu saya kan? Termasuk membantu masalah saya? Sa ... saya benar-benar butuh bantuan Pak Izyan ... Saya butuh teman bercerita Pak ..." Haura menundukan kepala. "Saya rasa, hanya Pak Izyan yang mampu mendengarkan saya ketika dunia ini membungkam. Hanya Pak Izyan yang mau mengulurkan tangan untuk membantu saya ketika dunia menendang saya. Dan hanya Pak Izyan ya
Oke. Izyan tak tahan didiami Najma seperti ini terus menerus. Karena, jika hal ini sampai terjadi selama berhari-hari, semuanya akan menjadi runyam dan semakin rumit. Izyan memberanikan diri berbicara jujur apa yang sebenarnya terjadi.Ketika Najma sedang duduk sendiri di balkon kamar karena sedang memainkan game, Izyan duduk di sebelahnya. Namun, kedatangan Izyan tak Najma lirik sama sekali. Fokusnya masih sama pada layar tab sampai membuat alisnya hampir bertaut."Naj." Panggil Izyan yang tak langsung Najma respon."Najma ....""Najma .... Mas pengen ngobrol sama kamu."Posisi Najma masih sama menyilangkan kaki dengan kedua tangan memencet tab. Tak ingin masalah semakin panjang, Izyan merebut tab-nya."Mas Izyan apa-apaan sih!" Tentu, Najma begitu kesal dengan ini."Kalau suami mau ngomong, perhatiin."Najma memutar bola matanya malas. "Kegunaannya?""Kegunaannya agar masalah kita cepet selesai.""Hm," jawab Najma dengan deheman lalu melipat kedua tangan di depan dada."Najma. Maaf
Mungkinkah Izyan selingkuh? Mungkinkah Izyan telah berkhianat? Dan mungkinkah, Izyan sebenarnya lelaki pendusta? Ya bisa jadi. Menikah dengan manusia ibaratnya membeli kucing dalam karung. Tidak semua yang terlihat baik itu baik. Karena, pada dasarnya, manusia akan menunjukan sifat asli kapan saja setelah merasa kehadirannya diterima. Keesokan hari setelah semalaman Najma dan Izyan berdebat, Najma berusaha menghindar. Bahkan, ketika salat subuh pun, sengaja salat lebih dulu agar tak Izyan imami. Karena, ia masih merasa geram dengan kejadian kemarin. Meskipun Najma marah, ia masih memiliki rasa kasihan pada sang suami karena keterbatasannya, dalam memakai baju. Najma memang banyak diam. Namun, tangannya tetap membantu Izyan memakai baju dan menyiapkan keperluan kerjanya. "Naj." Najma diam dengan tangan yang masih mengancingkan baju Izyan. "Najma ...." Panggil Izyan lagi dengan suara yang sangat lembut. "Najma .... Tolong jangan diemin aku gitu dong Naj .... Semua ini bu
"Naj. Bagaimana pendapatmu jika kita membangun sebuah tempat belajar. Berupa perpustakaan di daerah-daerah terpencil. Tempat untuk anak-anak atau orang dewasa membaca?" "Perpustakaan?" Najma mengulangi lagi permintaan Izyan."Ya Naj. Perpustakaan. Gimana menurutmu?""Ke daerah lain ya Mas?""Iya Najma," jawab Izyan menganggukan kepalanya antusias. "Kamu mau kan?""Menurutku. Lebih baik kalau mau bangun sesuatu mulai dari tempat terdekat dari kita Mas. Kita survei dulu sekitar. Kalau misalnya daerah tempat dekat tempat kita tinggal, sudah jelas-jelas memiliki tingkat literasi tinggi, ya udah lanjut ke daerah lain. Kalau misalnya belum ya? Di daerah di tempat kita berpijak dulu. Alangkah baiknya ...."Usulan Najma, tentu Izyan terima dengan baik. Lelaki berkacamata itu mengangguk-anggukan kepala."Benar juga ya Naj? Em, gimana kalau kita buat perpustakaan gratis di samping rumah baru kita kelak? Kan tanah yang akan kita bangun rumah, lumayan luas? Nanti, rencana, setengah samping rumah