Rani menatap Doni tanpa berani mengatakan isi hatinya.
“Itu memang benar. Tapi tidak ada salahnya bila sekali-kali ingin Gratis-an dari adik sendiri lagi.”
“Lagian bukan hanya itu aku ingin dekat dengan Pak Dokter tapi, supaya aku punya teman baik, Mas.”
“Mas kan tahu, aku tidak punya teman di rumah itu dan kebetulan Pak Dokter mau berteman.” Rani meremas tangan.
Doni membalas tatapan Rani di lampu merah.
“Maksudnya punya teman, apa?”
“Yaaa, punya teman seperti Mas dengan Mbak Mawar gitu. Jadi, kalau mau makan atau jalan-jalan bisa minta di temani.”
“Tidak usah minta sama pasangan karena kita kan orang-orang sibuk. Ga bisa menemani satu sama lain!”
Doni terdiam, dia benar-benar tertohok dengan sindiran yang Rani katakan.
“Tapi, itu kan_”
“Sudah hijau, Mas. Sekarang kita mau ke mana?” Rani mengalihkan pembicaraan karena
Pagi hari Doni dibangunkan alarm yang biasa dia pasang setiap hari. Tangannya meraba kasur dan tersenyum.“Ternyata dia tidak tidur di sini.”Doni bangun, segera masuk kamar mandi.“Seperti inikah menikah tanpa cinta!” Senyumnya semakin miris.Mamih mengerutkan kening ketika Doni datang sendiri.“Ke mana istrimu, Don?”“Di kamar Fania, Mam. Mungkin sebentar lagi mereka ke sini.Kerutan semakin terlihat jelas, “Kalian pisah kamar?”“Semalam_”“Ya ampuuun, masalah apalagi ini! Kalian itu pengantin baru, Don! Tidak baik bila sudah pisah kamar. Atau jangan-jangan ... aaah! Mamih pusing dengan kamu!” Mamih memijat kening“Lebih baik kalian pisah saja, dan serahkan Rani pada Pram!”“Mam!”“Apa!” Mamih menatap Doni tidak kalah sengit.Dia tidak habis pikir dengan pikiran anak dan me
“Iya, Sayang.”Rani bergidik ngeri, mendengar jawaban yang Doni lontarkan.“Sudah, ah. Sekarang kita harus menemui Fania yang pastinya tengah sedih. Udah tua malah manja!”“Manja ke istri sendiri dapat pahala, Sayang.”“Pahala, sih pahala. Tapi, kalau udah tua malah meresahkan.”“Sudah, ah. Kalau Mas tidak mau aku keluar sendiri.”“Tidak! Mas mau semua diselesaikan sekarang.”Rani mengurai pelukan, berbalik menatap Doni.“Masalah apa? Bukannya sudah selesai.”“Kalau begitu, apa kesimpulan pembicaraan kita barusan?” Doni melingkarkan tangan di pinggang Rani.“Sekarang aku tahu, Mas suka sama aku dan cemburu dengan kedekatan aku sama Pak Dokter.”“Heeey, siapa yang suka sama kamu! Jangan tambahkan perkataan yang Mas tidak ucapkan, ya.” Doni mencubit hidung Rani. Sampai si empunya berpa
Doni tengah berkutat dengan berkas yang perlu dia periksa kembali sebelum membubuhkan tanda tangan.Sebenarnya semua itu sudah tidak di perlukan lagi, karena dia punya orang yang begitu di percaya untuk memeriksanya, sehingga dia tinggal membubuhkan tanda tangan.Namun karena tingkat ketelitiannya cukup tinggi, juga kewaspadaannya cukup kuat, sehingga dia tidak merasa terbebani dengan apa yang di lakukan.Suara pintu cukup menarik atensi Doni dari berkas yang tengah dia periksa ke depan meja, pasalnya orang yang membuka pintu tengah berdebat.“Aku tidak mau!”“Tapi ini penting, kamu harus hadir dan datang dengan Saya, tidak ada penolakan!”“Aaaagh!” Mawar mengentakkan kaki dan mendekati Doni.Raut wajah Mawar berubah seketika ketika sadar ada Doni di depannya.“Maaas, antar aku ke dokter, yu. Hari ini jadwal aku kontrol.” Tangan mawar mengapit sebelah lengan Doni.Sebelum Doni menjawab, dia menghembuskan nafas karena otaknya terpikirkan Rani di rumah.“Saya, ti_”“Ayolah, Maaas. Aku s
“Rani tidak malu, yang terpenting Mas sehat, dan yang paling utama, Mas tidak punya niat mendua atau poligami. Uuuh, membayangkannya saja, sudah membuat Rani merinding.” Rani bergidik ngeri.“Ingat, ya, Mas. Jangan salahkan Rani bila nanti Rani pergi tidak ada kabar. Yang harus Mas lakukan mengingat apa Mas berselingkuh atau tidak.”Doni menguatkan pelukan dan membawa Rani dalam gendongan. Dia mendudukkan Rani di pahanya.“Mana mungkin Mas berpaling ke wanita lain, bila semua kebutuhan Mas, sudah kamu penuhi. Karena berselingkuh itu awalnya dari tidak adanya komunikasi dan juga tidak perhatiannya pasangan.”Doni membenahi rambut Rani, “seorang pasangan itu, bukan hanya butuh perhatian tapi, dia pun butuh yang namanya ketenangan dan rasa di hargai.”“Banyak orang berselingkuh karena tidak punya ketenangan juga merasa tidak di hargai, walaupun semua perhatian dia dapatkan.”“Con
Rani menarik nafas panjang, membuangnya perlahan setelah melepaskan cengkeraman tangan Doni di pipinya.“Aku tidak bis janji, Mas.”“Kenapa, kenapa kamu tidak bisa, apa kamu_”Doni kembali mencengkeram wajah Rani dengan sorot mata kembali marah.“Jangan seperti ini!” Rani menghempaskan tangan Doni.“Dengarkan dulu penjelasanku!” Rani menepuk punggung tangan Doni.“Mas harus ingat ini, aku pernah bilang, aku tidak akan pergi ke mana pun, selama Mas bisa menjaga hati dan tidak menduakan diriku. Untuk saat ini, masalah Mbak Mawar, mungkin akan aku maklumi bila memang harus berdekatan degan kamu, Mas. Tapi, bila dalam satu bula Mas masih berdekatan dengannya, mungkin aku tidak bisa jamin.”“Tapi, Sayaaang.”“Kalau begitu, jangan harap aku mau menjaga jarak dengan dokter Pram!”Doni, tidak bisa bicara. Dia lebih memilih untuk menjauhi dan memutuskan hubungan dengan Mawar, dari pada harus melihat Rani berdekatan dengan Pram.Dia tidak mau semua mimpi buruknya dulu terulang kembali.“Mas, ti
“Bagaimana ini, Bu. Semua tidak mau dengan apa yang Bu Rani sarankan. Haruskah_”“Tidak usah, Bu. Kita pakai cara ambil suara saja, dan karena tadi banyak yang menyetujui, kita ambil kesimpulan saja, kalau kita tetap tidak mengizinkan untuk membawa mobil pribadi.”“Baiklah. Kalau begitu, nanti Saya bagikan suratnya lewat grup.”Rani tersenyum, “terima kasih, Bu. Kalau begitu Saya pamit undur diri.”“Silakan, Bu. Terima kasih atas kerja samanya.” “Sama-sama, Bu.” Rani menerima uluran tangan Bu Ira dan pergi untuk menemui Fania yang tengah bersama satpam sekolah.“Mamaaah!” Fania berlari menghampiri Rani yang tersenyum sambil merentangkan tangan.“Kamu keluar dari tadi, Sayang?”Fania menggeleng, “baru saja, Mah.”“Ok. Sekarang kamu mau ke mana? Apa mau langsung pulang, atau kita_”“Papaaah!” Fani kembali menghampiri Doni yang baru saja datang.“Aduuuh, ternyata Papahnya Fania itu sangat mengerikan.”Rani mengerutkan kening ketika mendengar ucapan salah satu wali murid yang terus men
Kedua orang itu, mengangguk karena baru sadar. Dengan cepat mereka berjalan kembali, apalagi sudah banyak orang yang memperhatikan, seolah pikiran keponya memberontak."Siap! ayo kita pergiiii!"Doni menggendong Fania, membawa mengelilingi supermarket seperti kapal terbang.Rani kembali mengusap ujung mata dan tersenyum melihat kekonyolan orang yang saat ini sudah menjadi yang terpenting dalam hidupnya.“Maafkan Rani, Kak. Sepertinya hati Rani mulai terbuka untuk suami Rani.” Rani mengusap dadanya yang bergemuruh dan menghela nafas berat.“Jangan terlalu berharap banyak, Ran. Kamu harus sadar dengan apa yang kamu rasakan. Di hatinya masih bertakhta kan nama orang lain.” Gumam Rani sembari berjalan mengekori anak dan suaminya.“Loh, Mas! kita kan belum_” Pundak Rani melorot melihat Doni dan Fania pergi.Dengan langkah pelan, Rani berbelok untuk mengambil troli belanjaan.Setelahnya dia tidak lagi menghiraukan anak dan suami yang sudah tidak terlihat rimbanya.“Nanti juga mereka mencar
Doni melepaskan tangan Mawar, berlari dan kembali menghampiri Rani, “Sayaaang, Mas mohon, jangan seperti ini.”“Seperti apa, Mas?”“Emmm,” Doni tidak bisa menjawab. Dia merasa pertanyaan itu sebuah jebakan yang akhirnya bisa merugikan dirinya.“Maaas, apa?”“Kamu pulang ke rumah kita, ya. Nanti Mas pulang ke sana.” Doni mengalihkan pembicaraan dan meraih kepala Rani pun mendaratkan satu kecupan di kening.Setelah itu, Doni pergi kembali pada Mawar dan belanjaan mereka.Rani menghembuskan nafas menatap kepergian suaminya, “sepertinya aku harus berpikir ulang.” Gumamnya sembari naik ke mobil dan akhirnya pulang bersama Pram.Pram berdehem menatap Rani dari kaca depan, “emmm, kita pulang ke_”“Rumah utama saja, Bang. Rumah itu kan jauh. Kasihan Fania, dia sudah ingin tidur di kasur empuk. Lagian, Mamih pasti sudah merindukan cucunya."Pram mengangguk, akhirnya Rani pun di bawa pulang ke rumah uta
Doni tidak mau mendengar apa pun yang istrinya katakan, dia menutup telepon dengan kasar dan melemparnya ke samping.Sedangkan di tempat lain, Rani tengah mengusap muka sembari menghembuskan nafas kasar. Dia tidak tahu harus berbuat apa, karena saat ini, dia tidak mungkin meminta Pram untuk memutar, dan kembali ke rumah. Sebab, dia sudah janji untuk membawa Fania ke tempat mandi bola, sebagai permohonan maaf.“Kamu kenapa, sepertinya tidak baik-baik saja?” Pram menatap Rani.Dia berpikir inilah waktu yang tepat untuk lebih mendekatkan diri pada istri kakaknya.Pram sudah tidak sabar ingin melihat raut wajah Doni yang marah dan kembali kalah dengan apa yang Pram lakukan.Dia pun akan sedikit demi sedikit mempengaruhi Rani supaya berpaling padanya seperti Fani di waktu dulu sehingga menghasilkan anak yang ada di antara mereka sekarang.“Tidak apa, Bang.” Rani malah menatap Fania yang tengah bermain dengan bonekanya.“Sayan
“Sekarang kalian bisa pergi.” Akhirnya semua pergi dan menyisakan satu wanita paruh baya yang membuat kening, Rani mengerut ketika melihatnya masih berdiri di.“Apakah masih ada yang mau Bibi tanyakan?”“Maaf, Nyonya. Masakan tadi ... maksud Saya masakan uang tadi Nyonya buat_”“Oh, iya. Kalian bisa memakannya. Saya sudah tidak berselera, lagian sebentar lagi Saya pergi.”Pekerja itu mengangguk dan pergi. “Kamu mau pergi ke mana? Apa kamu sudah tidak sakit lagi?”“Sakit, aku?” Rani mengerutkan kening, tapi tidak lama menggeleng, “itu sudah tidak apa. Sekarang aku mau bertemu dengan Fania. Aku rindu. Semalam Mas malah langsung membawaku sebelum melihatnya.”Doni tersenyum, mengikuti istrinya pergi. Akan tetapi, sebelum Rani mencapai pintu rumah, dia langsung menarik Rani supaya medekat padanya.“Kamu pergi dengan, Pram?” Doni menatap sang istri yang malah melambaikan tangan. Sehingga dengan cepat Doni meraih tangan itu dan membawanya ke sebalik badan.“Mas tidak akan mengizinkan kam
“Tidak usah, aku masak sendiri saja.” Rani memilih melangkah ke dapur dan menyiapkan semua yang ingin dia makan.“Maaf, Nyonya. Pak Doni itu tidak suka nasi goreng yang di campur telur. Dia lebih suka yang telurnya di simpan di atas nasi dan ditaburi bawang goreng.” Ucap si pembantu dengan bangga karena dia bisa menghafal semua yang disukai sang tuan.Sedangkan Rani langsung berhenti dan mengerutkan kening, “apakah kamu meragukan apa yang akan Saya buatkan untuk, suami Saya?” Rani menekankan kata terakhir sembari melipat tangan.“Yang istrinya itu kamu, apa Saya?” Rani menatap lekat sang pembantu yang sepertinya merasa jadi Nyonya rumah.“Eh, m-maaf, maaf Nyonya. Saya tidak bermaksud demikian. Tapi yang Saya_”“Benarkah begitu! Kalau begitu Saya tidak peduli!” Rani memberikan tatapan tajam.“Kamu bisa pergi dari sini! Jangan ngelunjak!” Rani kembali pada kegiatannya.“Di sini, Saya Nyonya kamu!” Rani benar-benar kesal.
“Maaas!” Dengan cepat Rani mengalungkan tangan di leher sang suami.“Masih sakit, kan.” Ucap Doni tanpa menggubris rengekan sang istri yang ingin turun.Dia membaringkan tubuh Rani dengan hati-hati. “Maaas, aku cape.” Mata Rani terbuka ketika merasakan embusan nafas Doni mendekat.Doni mengulum senyum, “iyaaa, Mas, tahu. Mas hanya ingin_” Doni mendaratkan kecupan di kening.“Selamat malam, Sayang.” Rani tersenyum, dia tidak menyangka kalau Doni bisa semanis itu.“Sekarang, ayo kita tidur.” Doni membawa Rani dalam pelukan setelah menyelimuti tubuh mereka berdua.Rani pun semakin dalam menyembunyikan kepala di pelukan hangat suaminya, dan akhirnya mereka pun tidur dengan saling memeluk membawa hati bahagia ke peraduan yang akan merubah semua kehidupan keduanya.*** Rani terbangun dengan uluman senyum menghiasi wajahnya. Dia tidak menyangka mulai hari ini dia benar-benar sudah menjadi seorang i
Rani melipat bibir ke dalam dengan tangan saling berpautan dan mata tidak berani menatap.Doni menghembuskan nafas, meraih dagu sang istri, “tatap Mas, Sayaaang. Katakan, sejak kapan kamu sering bertukar kabar dengan Pram.”Rani terdiam dengan otak bekerja mencari alasan yang tepat supaya sang suami tidak marah.“Mas, tidak butuh diammu, Rani. Yang Mas butuh kan kejujuran dari istri Mas.”Doni berucap pelan di depan telinga, membuat Rani berjengket. Andai pinggangnya tidak di pegang, mungkin dia tersungkur.“Hati-hati Sayaaang, Mas hanya minta kejujur.”Rani menghembuskan nafas, dan akhirnya mau tidak mau Rani pun membalas tatapan Doni dengan menelan saliva seret.“Emmm, sebenarnya, sudah lama. Kalau tidak salah ketika di antar pulang waktu dari rumah sakit.”Doni terkejut, tubuhnya menegang menatap sang istri mencari kebohongan, namun dia tidak mendapatkannya. Hati Doni mulai tidak tenang.“Apa kalian sering bertemu di luar atau di rumah tanpa se_”“Tidak dan iyah!”Rani cemberut dan
Rani di bawa masuk ke kamar dan di jatuhkan sedikit kasar, membuat dia menjerit.“Bisa kan pelan-pelan, sakit tahu!” Rani menggerutu dan duduk di atas kasur.“Itu hukuman kamu karena tidak bisa diam.”“Ya wajarlah aku berontak, Mas bikin aku malu di depan Mamih dan orang rumah.”Doni tidak menggubrisnya, dia malah masuk ke kamar mandi tanpa berucap sedikit pun.“Mas, tenggorokannya sakit, ya? Perasaan dari tadi aku yang jerit-jerit.”Doni mendengus, sembari menatap Rani dengan ujung matanya.Rani yang melihat itu hanya mengedikkan bahu. Dia malah turun menapaki kaki yang sedikit berjinjit.“Jangan coba-coba untuk kabur! Kita selesaikan semua hari ini.”Rani mengangguk sebelum Doni menutup pintu kamar mandi, dan dia pun keluar.Perutnya terasa lapar karena, sejak pulang dari supermarket dia belum makan apa-apa.“Perutku lapar sekali, mudah-mudahan ada yang bisa di makan.” Ucap Rani sembari mengusap perut yang sudah berdemo.Namun, semua dipatahkan dengan cukup keras ketika Rani membuka
Doni melepaskan tangan Mawar, berlari dan kembali menghampiri Rani, “Sayaaang, Mas mohon, jangan seperti ini.”“Seperti apa, Mas?”“Emmm,” Doni tidak bisa menjawab. Dia merasa pertanyaan itu sebuah jebakan yang akhirnya bisa merugikan dirinya.“Maaas, apa?”“Kamu pulang ke rumah kita, ya. Nanti Mas pulang ke sana.” Doni mengalihkan pembicaraan dan meraih kepala Rani pun mendaratkan satu kecupan di kening.Setelah itu, Doni pergi kembali pada Mawar dan belanjaan mereka.Rani menghembuskan nafas menatap kepergian suaminya, “sepertinya aku harus berpikir ulang.” Gumamnya sembari naik ke mobil dan akhirnya pulang bersama Pram.Pram berdehem menatap Rani dari kaca depan, “emmm, kita pulang ke_”“Rumah utama saja, Bang. Rumah itu kan jauh. Kasihan Fania, dia sudah ingin tidur di kasur empuk. Lagian, Mamih pasti sudah merindukan cucunya."Pram mengangguk, akhirnya Rani pun di bawa pulang ke rumah uta
Kedua orang itu, mengangguk karena baru sadar. Dengan cepat mereka berjalan kembali, apalagi sudah banyak orang yang memperhatikan, seolah pikiran keponya memberontak."Siap! ayo kita pergiiii!"Doni menggendong Fania, membawa mengelilingi supermarket seperti kapal terbang.Rani kembali mengusap ujung mata dan tersenyum melihat kekonyolan orang yang saat ini sudah menjadi yang terpenting dalam hidupnya.“Maafkan Rani, Kak. Sepertinya hati Rani mulai terbuka untuk suami Rani.” Rani mengusap dadanya yang bergemuruh dan menghela nafas berat.“Jangan terlalu berharap banyak, Ran. Kamu harus sadar dengan apa yang kamu rasakan. Di hatinya masih bertakhta kan nama orang lain.” Gumam Rani sembari berjalan mengekori anak dan suaminya.“Loh, Mas! kita kan belum_” Pundak Rani melorot melihat Doni dan Fania pergi.Dengan langkah pelan, Rani berbelok untuk mengambil troli belanjaan.Setelahnya dia tidak lagi menghiraukan anak dan suami yang sudah tidak terlihat rimbanya.“Nanti juga mereka mencar
“Bagaimana ini, Bu. Semua tidak mau dengan apa yang Bu Rani sarankan. Haruskah_”“Tidak usah, Bu. Kita pakai cara ambil suara saja, dan karena tadi banyak yang menyetujui, kita ambil kesimpulan saja, kalau kita tetap tidak mengizinkan untuk membawa mobil pribadi.”“Baiklah. Kalau begitu, nanti Saya bagikan suratnya lewat grup.”Rani tersenyum, “terima kasih, Bu. Kalau begitu Saya pamit undur diri.”“Silakan, Bu. Terima kasih atas kerja samanya.” “Sama-sama, Bu.” Rani menerima uluran tangan Bu Ira dan pergi untuk menemui Fania yang tengah bersama satpam sekolah.“Mamaaah!” Fania berlari menghampiri Rani yang tersenyum sambil merentangkan tangan.“Kamu keluar dari tadi, Sayang?”Fania menggeleng, “baru saja, Mah.”“Ok. Sekarang kamu mau ke mana? Apa mau langsung pulang, atau kita_”“Papaaah!” Fani kembali menghampiri Doni yang baru saja datang.“Aduuuh, ternyata Papahnya Fania itu sangat mengerikan.”Rani mengerutkan kening ketika mendengar ucapan salah satu wali murid yang terus men