Rayyan menggeliat pelan, saat matahari yang menerobos dari celah gorden menerpa wajahnya. Pria itu tersenyum dengan mata yang masih terpejam, seolah sesuatu yang sangat luar biasa baru saja terjadi dalam hidupnya. Pria itu meraba sisinya, mencari sosok yang telah memberinya kepuasan semalaman suntuk kembali ia rindukan. Dengan malas pria itu membuka matanya saat tempat di sisinya terasa dingin dan kosong. Rayyan masih tersenyum menatap dirinya yang polos dibalik selimut, menjadi bukti bahwa semua yang ia alami, hal yang selama ini begitu mustahil menjadi kenyataan tapi faktanya memang benar-benar terjadi, ia telah berhasil menaklukkan Atisha Namira, perempuan sombong yang pernah meluluh lantakkan hatinya. Semalam memang bukan yang pertama kali baginya, tapi merupakan hal yang paling indah yang pernah ia alami, perempuan itu benar-benar memabukkan, murni dan belum pernah terjamah.Tunggu, bukankah perempuan yang ia nikahi itu adalah janda dari almarhum kakaknya, bagaimana mungkin Atish
Atisha mengerjap pelan saat cahaya mulai menyergaap netranya saat mulai terjaga, kemudian meringis saat kepalanya pusing dan terasa berat. "Alhamdulillah, akhirnya mbak sudah sadar. Jangan bangun dulu mbak, istirahat saja dulu," ucap seorang wanita berhijab syar'i di hadapannya. "Ini dimana?" Atisha menatap sekeliling ruangan yang tampak begitu asing. "Dirumah saya, menjelang magrib tadi saya ziarah bersama adik-adik saya, dan menemukan mbak pingsan di pemakaman dengan kondisi basah kuyub. Saya dan adik saya membawa mbak ke rumah, kebetulan rumah kami tidak jauh diri sana," Jelasnya dengan sorot prihatin. Atisha lalu menatap dirinya di balik selimut, pakaiannya tadi kini telah berganti dengan daster rumahan, begitupun jilbab dan cadarnya telah terlepas."Maaf ya, saya tidak bermaksud lancang menggantikan pakaiannya. Tadi saya benar-benar khawatir, takut mbak semakin sakit kalau dibiarkan dengan pakaian basah," sambungnya saat melihat sorot menelisik Atisha pada tubuhnya. "Mbak ten
Rayyan mendekap sayang istrinya yang tengah tertidur di sisinya. Sementara dirinya sama sekali tak bisa tidur hanya memperhatikan wajah yang sesekali meringis. Sejak memutuskan menikah dengan Atisha, Rayyan tahu bahwa bukan sekedar rasa penasaran yang ia miliki untuk perempuan ini, ia hanya selalu menampik bahwa Atisha adalah perempuan spesial di hatinya. Tapi ia tak akan memungkiri lagi, Atisha telah memberikan hal yang paling berharga yang ia jaga selama ini padanya dan tentu menjadi suatu kehormatan untuknya sebagai seorang suami. Ia berjanji pada dirinya, akan selalu menjaga istrinya dengan setulus hati dan menjadikan Atisha satu-satunya perempuan dalam hidupnya. Pria itu kembali mengecup puncak kepala istrinya, semua perasaan yang pernah padam di seakan kembali membara."Raffan jangan tinggalin aku, hiks ... Raffan," lirih Atisha sambil terisak dalam tidurnya. Rayyan Tercengang, seolah telah ditarik paksa kembali pada kenyataan. Jiwa Atisha milik Raffan, yang ia punya hanya raga i
Atisha menatap langit yang tak berbintang, membiarkan hembusan angin malam menerpanya. Ia masih ingin berlama-lama menikmati kelam malam. Namun, nampaknya hujan akan segera turun dan Atisha mulai tak suka hujan akhir-akhir ini. Gemuruh langit kian memekakkan telinga disusul dengan kilatan petir yang begitu menyilaukan. Perempuan itu segera meninggalkan balkon dan menutup pintu dengan rapat. Rayyan hanya menatap istrinya sekilas sebelum kembali menatap layar laptop di depannya. Pria itu sedang selonjoran memangku laptop di atas tempat tidur. Atisha berjalan melaluinya menuju kamar mandi dan ke ruang ganti beberapa saat setelahnya, sisi tempat tidur melesat saat Atisha berbaring dan masuk kedalam selimut menutupi tubuhnya sambi memejamkan mata, sama sekali tak berniat membuka percakapan dengannya. "Atisha," Rayyan bersuara setelah menutup laptopnya, lalu melirik jam dinding yang telah menunjukkan pukul sembilan malam. "Hmm..." Perempuan itu sama sekali tidak berniat membuka matanya, At
Atisha masih memejamkan matanya, jantungnya berdegup tak karuan. Sambil menggigit bibir akhirnya perempuan itu menghela nafas berkali-kali sebelum memutuskan untuk membuka mata dan menatap benda kecil di genggamannya. Ia hanya terlambat haid dua minggu sejak hari pernikahannya. Beberapa hari terakhir ia sering merasakan kram perut disertai dengan bercak darah, hal itu pula yang mendorongnya untuk melakukan tes kehamilan dengan benda kecil ditangannya. Atisha terduduk di atas closet yang tertutup. Ia tersenyum haru, sambil mengelus perutnya yang rata, dua garis merah menunjukkan akan ada nyawa yang bergantung padanya, hidup di perutnya dalam beberapa bulan ke depan."Kamu hadir begitu cepat nak, kamu pasti akan jadi anak yang hebat, kesayangan mama. Janji, mama akan jaga kamu dengan segenap jiwa raga mama," lirihnya penuh tekad, menyeka air matanya. Dulu ia selalu percaya kelak akan mengandung anak dari Raffan. Namun takdir tak memberinya kesempatan. Sekarang anak Rayyan lah yang tumbuh
"Jangan Ray, aku... aku hamil." Rayyan membatu mendengar lirih perempuan di depannya, kemarahan yang sejak tadi bergejolak di dadanya seakan diselimuti kebekuan. Pria itu mundur selangkah, sambil mengelap wajah dengan gusar. "Kamu bohong?" Akhirnya pria itu kembali mampu berujar, jelas suaranya sarat akan kerisauan. Atisha meraba saku bagian depan piamanya, mengulurkan benda mungil itu menyodorkan pada suaminya tanpa berucap sepatah katapun. Rayyan hanya menatap benda itu dengan kaku, beberapa saat kesunyian melingkupi mereka, hingga kemudian pria itu menepis tangan Atisha dengan kasar, membuat dua buah testpack itu terjatuh begitu saja. Rayyan Mengacak rambutnya dengan frustasi lalu menatap nyalang kearah Atisha. "Saya nggak mau punya anak, tidak dengan kamu. Dasar licik!" Umpatnya, sebelum berjalan meninggalkan perempuan itu dengan langkah lebar, bahkan membanting pintu kamar dengan keras. Atisha hanya bisa menggigit bibirnya sambil menatap murung benda kecil yang telah menunjukk
"Berisik!!" Rayyan membuka pintu dengan kesal."Kamu gila Ray." Atisha berujar pelan namun dengan sorot marah. Tatapan Atisha lalu memindai perempuan seksi yang tengah duduk santai di pinggir tempat tidur suaminya sambil menatap kuku-kuku jarinya yang lentik."Hentikan Atisha!" Bentak Ray, saat Atisha mencoba meraih kunci kamar. "Apapun yang saya lakukan itu bukan urusan kamu. Pergi sana, jangan ganggu kami!" Rayyan mendorong Atisha untuk mendur lalu hendak kembali menutup pintu kamarnya. Atisha hanya bisa mengelus dada, ia tidak pernah membayangkan akan terlibat dalam kondisi seperti ini. Entah dosa apa yang pernah ia perbuat hingga memiliki suami segila ini. "Aku bakal telpon mama sekarang jika perempuan itu nggak keluar dari sini," Ancam Atisha, membuat gerakan Rayyan untuk menutup pintu terhenti. Namun saat berikutnya, Rayyan justru membanting pintu dihadapannya dengan begitu keras, membuat Atisha tergelonjak, sambil memegang dadanya. Tak lama Rayyan kembali membuka pintu ka
Atisha duduk di sudut kafe, menatap hujan dari sekat kaca, ia lalu duduk bersadar sambil menjentikkan telunjuknya di atas meja, dua kali ia menghela nafas berat. Ia pernah berada dibawah guyuran hujan dengan sangat bahagia, tertawa dengan begitu lepasnya tanpa pernah mengira jika hari-hari kelamnya akan tiba. Hari dimana ia hanya bisa mengenang, membujuk hati sambil memeluk tubuh sendiri. Hari dimana ia hanya bisa termenung mengabaikan lelehan air matanya, perlahan meraup nafas yang justru semakin membuatnya sesak. Sakit, saat mengingat pria yang ia cintai pergi dengan cara mengiris hati, takdir merenggut kebahagiaan mereka dengan paksa. Sakit, saat besarnya rindu yang ia punya tak mampu untuk membawa Raffannya pulang. Sakit, saat sekelabat senyum dan tawa yang ia lihat hanya ilusi. "Atisha, ternyata beneran kamu." Seorang pria jangkung berkulit putih itu duduk diseberang mejanya tanpa perlu izinnya. Buru-Buru Atisha menyeka sudut matanya."Kamu nangis, Tisha?" Jerome berujar pelan,
Pria itu menyeka setetes air mata di pipi yang tak betah di pelupuknya. Genggaman hangatnya ditangan sang istri tak ia lepas sejak satu setengah jam yang lalu. Atisha masih terlelap pulas. Sesekali pria itu mengelus punggung tangan istrinya yang agak bengkak. Flebitis akibat bekas jarum infus, sehingga pemasangan infus di pindahkan di tangan lainnya. Pria itu terpejam, sudah banyak untaian kata maaf ia ucapkan pada sang istri. Ternyata, tak mampu menebus dosa dan mengeringkan penyesalan atas perbuatannya di masa lalu. Ia pernah teramat menyakiti sang istri secara brutal. Sakit istrinya kali ini diluar kuasanya. Ia benar-benar tak berniat menyakiti istrinya lagi. Meski secara tidak langsung ada andilnya pada sakit sang istri. Kehamilan istrinya cukup lemah, perempuannya tak jarang mengalami kram perut hingga bercak darah akhir-akhir ini. Belum lagi morning sicknes yang membuat istrinya kian pucat sejak trimester awal hingga trimester kedua ini. Rayyan mengecup tangan perempuan itu. B
Saat membuka mata dan mengerjap, Atisha mendapati suaminya tersenyum lembut padanya. Pria itu menyelipkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah istrinya. "Mas." Atisha menatap lekat suaminya, kembali mengingat percakapan mereka sebelum ia jatuh tertidur. Ia Lalu menghembuskan napas dan memeluk sang suami mencari posisi nyaman. "Kok udah bangun sih, padahal tidur baru tiga puluh menit." Rayyan mengangkat tangannya yang bebas dan melirik jam tangannya. "Nggak nyaman yah tidurnya? Pindah di kasur aja yuk." Ajak Rayyan, Atisha hanya menggeleng."Udah jam berapa?" "Jam lima lewat." Rayyan mendekap hangat istrinya, pipinya menempel di kepala istrinya. Pria itu memejamkan mata sambil tersenyum tak dapat membendung keharuannya dengan kemajuan pesat dalam hubungan mereka setelah sekian lama. Mengungkapkan hal yang selama ini mereka pendam bertahun-tahun memang tidak mudah, bagai mengangkat bongkahan batu yang telah lama tertimbun. Namun sepadan dengan kelegaan yang kini mereka hirup ber
"Kamu nggak ngerti, kamu nggak ingat sama aku yang pernah ngejar-ngejar kamu saat SMA." Atisha menatap suaminya dengan serius, ia sama sekali tak tahu maksud suaminya."Kamu mah, dulu hanya melihat Jerome. Mengabaikan cowok lain yang sedang berusaha dekat sama kamu, padahal aku baru tahu suka dan cinta sama cewek itu apa, kompleks banget karena langsung mengecap sakitnya patah hati..." Rayyan berucap sambil menyentuh pelipisnya, tampak menerawang. Ternyata pengalaman buruk itu masih membuat hatinya meradang kala mengingatnya."Aku cowok yang pernah berkompetisi dengan kamu di salah-satu olimpiade mewakili SMA Gantara. Kamu ingat nggak? Cowok yang selalu berusaha ngedeketin kamu, nungguin kamu setiap pulang sekolah bahkan nekat nerobos masuk di sekolah kamu demi bisa kenal dekat dengan kamu, tapi selalu di cuekin dan kamu anggap nggak kasat mata. Terakhir di taman depan perpustakaan umum, waktu itu aku coba deketin kamu lagi dan jujur tentang perasaan aku, tapi malah nggak digubris pad
"Asha, kok udah bangun jam segini?" Tanya Raisa saat menatap siapa yang berada di depan pintu kamarnya menjelang subuh seperti ini, Asha berdiri di depan pintu kamarnya mendongak menatap wajah sang nenek dengan sorot berkaca-kaca sambil memeluk boneka koala kesayangannya."Cucu Oma kenapa, jam segini kok sudah bangun?" Mendengar pertanyaan keheranan Omanya membuat gadis kecil itu menitihkan air matanya."Mami nggak ada," lirihnya dengan bibir bergetar, Raisa segera menggendong cucunya yang langsung terisak di dekapannya. "Didinya Asha juga belum pulang ya?" Tanya Raisa yang dijawab Asha dengan gelengan kepala, semalam putranya itu belum pulang saat ia masuk kamar dan tertidur. "Asha jangan nangis. Sayang..." Raisa berujar khawatir saat cucunya menangis sesegukan. Selama ini, cucu kesayangannya itu jarang menangis seperti ini, ia lalu menoleh kearah Ghifari yang masih tertidur."Memang maminya kemana?" Tanyanya mengelus lembut punggung cucunya. Ia benar-benar bingung saat tiba-tiba cu
Atisha ditemani dua orang koas baru di stase obgyn yang tengah mengobrol dengannya mendiskusikan kondisi pasien kepadanya, teramat serius sampai tidak melihat dokter Kikan yang hendak ke poli, berpapasan dengannya andai perempuan itu tidak menyapanya lebih dulu. "Selamat pagi." "Pagi, dokter Kikan..." jawab Atisha dengan senyum ramah. "Udah lepas jaga kan, papanya Asha di depan nungguin tuh," ujarnya, sambil tersenyum."Oh iya dok, makasih infonya yah. Padahal tadi mau sarapan bareng mereka dulu di kafetaria sebelum balik. Maaf, lain kali ya..." Atisha menoleh pada dua dokter muda di sisinya. "Iyya dok, nggak papa," jawabnya berbarengan. Atisha lalu pamit sebelum meninggalkan mereka. Rayyan menjemputnya adalah suatu hal yang langka sebenarnya, jadi ia tak ingin membuat pria itu menungguinya terlalu lama."Hai," Rayyan tersenyum kearah Atisha yang menghampirinya. Perempuan itu menghela nafas lirih, sebelum balas tersenyum. "Assalamualaikum," ucapannya sebelum meraih punggung tangan
Malam harinya, pemuda itu baru pulang kerja saat mendapati apartemennya diterobos oleh seseorang. Pria itu menggeleng, melihat sosok yang sedang terpaku dalam cahaya remang-remang, penerangan ruang tamunya hanya bersumber dari TV. Bahkan seluruh penjuru ruangan lain apartemen itu, masih gelap. "Kenapa lagi Lo?" Tanya Bram mendapati Rayyan duduk termenung, menyalakan tv sambil melamun. Rayyan hanya menggeleng sambil menghembuskan nafas jengah."Apa nggak capek hidup kayak gini? Yah, gue tau Lo bahagia punya putri cantik dan menggemaskan, tapi kebahagiaan itu nggak cukup. Lo berubah drastis dan nggak lagi main cewek karena Lo takut karma berlaku. Bagaimanapun Lo punya anak cewek juga. Tapi tetap aja, Lo butuh sosok perempuan yang bisa melengkapi hidup Lo, dan gue tebak istri Lo bukan orangnya. Mending Lo nikah lagi deh Ray, jangan ngekang diri Lo sekeras ini." Bram berujar sambil meletakkan tas kerjanya, lalu duduk di samping teman karibnya melirik Rayyan dengan prihatin. Meski Rayyan t
Pagi hari, Atisha sibuk di dapur menyiapkan bekal untuk sang putri yang sudah masuk PAUD. Sementara Bibi menyiapkan sarapan. Tidak lama kemudian setelah makanan tersaji di meja, serta bekal Asha yang telah di tata menarik, putrinya muncul dengan seragam yang sudah rapi melekat di tubuh mungilnya, disusul dengan pengasuhnya yang membawa bando lalu memasangkannya pada Ashana. “Mami…” gadis itu berlari sambil merentangkan tangan kearahnya. “Sayang.” Atisha segera melepaskan apronnya sebelum meraih tubuh mungil sang putri dan menggendongnya. “Sarapan dulu nak,” Atisha mendudukkan putrinya di depan meja makan. “Gabung disini aja Ver,” ucap Atisha saat pengasuh Asha memilih masuk ke dalam. Perempuan itu tidak menyuapi Asha, karena sejak kecil Asha memang di didik untuk dibiasakan mandiri mulai dari hal kecil seperti makan sendiri tanpa di suapi, merapikan tempat tidur, merapikan barang-barangnya setelah belajar maupun bermain dan selalu diajarkan untuk meminta tolong jika dihadapkan deng
Malam harinya, Rayyan ikut membaringkan tubuhnya di sisi sang istri, meski Atisha lebih banyak diam setelah mengikuti persidangan hari ini, serta sore harinya ia malah menyerahkan kado terakhir dari Raffan padanya. Rayyan masih merutuki dirinya akan hal itu, saat istrinya justru semakin uring-uringan, makan seadanya dan lebih memilih bungkam. Ia bahkan hanya mendengar suara istrinya kala bersenandung lirih saat menidurkan putri mereka sebelum meletakkannya di boks bayi setengah jam lalu. Rayyan memperhatikan istrinya yang sibuk menatap plafon kamarnya. Pria itu dapat merasakan kekalutan istrinya saat ini. Perlahan ia menepis jarak, lalu memeluk istrinya dalam diam. Sesekali ia mengecup puncak kepala perempuan itu sambil berbisik lembut, mencoba menyalurkan ketenangan. "Jangan sedih Mami Asha." Atisha menoleh, menatapnya dengan nanar."Ray, bisa nggak kamu kembali saja ke kamar kamu?" Pinta Atisha, saat Rayyan masih memeluknya."Hmm..." Rayyan hanya bergumam, mengabaikan protes istr
Ia tak pernah menyangka akan berada disini, ikut dalam proses peradilan yang membuatnya terus merutuki kejahatan yang telah merenggut nyawa almarhum suaminya, manusia yang begitu ia kasihi melebihi dirinya sendiri. Atisha duduk di hadapan majelis hakim, disebelah kanan meja hakim ia dapat melirik beberapa jaksa penuntut umum, namun disebelah kiri Atisha sama sekali tidak sudi melirik sedikit pun terdakwa dan penasehat hukumnya. Ia tak ingin lagi melihat wajah laki-laki keji itu. "Saudari Atisha Namira, apa benar anda pernah menjalin hubungan pacaran dengan terdakwa?" Tanya salah seorang hakim perempuan dihadapannya."Benar... dulu saat awal hingga akhir masa SMA. Dan hubungan itu berakhir sejak kami memutuskan kuliah di tempat yang berbeda, saya di Jakarta dan dia di Inggris," jika ada penyesalan terbesarnya, itu adalah kenyataan ini. Ia benar-benar malu mengakuinya."Bagaimana intensitas komunikasi anda dengan terdakwa setelah itu?" "Tidak ada komunikasi sama sekali hingga menjelang