“Raf, hari ini jadwal kamu kosong tidak?” tanya perempuan paruh baya pada sang putra sulung yang tengah sibuk dengan gawainya. “Hm … iya ma. Kenapa? Mau dikenalin lagi sama anak teman Mama?” Pria itu Raffan, menatap curiga kearah sang ibu. “Ketemu sama anak teman mama dong Raf,” bujuknya sambil duduk disamping Raffan. "Enggak deh, Ma." “Kenapa? orangya cantik loh Raff, kamu ingat Aletha? Anak tante Nilam yang dulu sering main kesini. Sekarang dia udah balik dari Inggris setelah menyelesaikan kuliahnya. Rencananya mau menetap di Jakarta lagi, kamu ajakin Aletha jalan gih.” "Raffan Malas Ma. Heran, Masih aja mau di ngejodoh-jodohin,” kesal Raffan, berpindah ke sofa single, menghindari teror sang mama. “Raffan Ardian Ghifari, kamu itu yah. Dulu, Mama sama Papa umur 28 itu sudah punya kamu loh. Sekarang, diusia kamu yang segini, pacar saja belum pernah ada yang dikenalkan ke mama.” Wanita itu ikut berpindah, bersandar di sisi sang putra sambil bersedekap dada. “Belum ada yang
Atisha menatap iba pada wanita yang tengah ia tangani. Perempuan itu tengah menjahit luka sobek yang cukup dalam pada pipi kiri pasiennya. Seorang wanita muda yang tengah terkulai. Butuh enam belas jahitan untuk menutup lukanya. Miris, saat perempuan lagi-lagi menjadi korban dari tempramen seorang pria, terlebih pria itu berstatus sebagai suaminya. “Jahat banget ya suaminya dok. Istrinya minta nafkah itu kan haknya. Bukannya di kasih, eh... malah dianiaya. Sumpah! Kalau kayak gini saya jadi takut nikah dok, ngeri,” ucap suster yang menemaninya sejak tadi saat keduanya telah berada di selasar rumah sakit. “Nikah itu pilihan sih Wi,” jawab Atisha. Dirinya pun tak tau harus berkata apa. Selama ini ia antipati terhadap hubungan emosional yang melibatkan antara pria dan wanita. “Kalau dokter sendiri, ada keinginan untuk menikah tidak?” Dewi menatap Atisha penasaran, sementara perempuan itu memilih menatap arlojinya. “Oh iya Wi, jam praktik saya sudah berakhir nih. Dokter Lidya juga
“Raffan kamu Keterlaluan! Menemui Aletha hanya untuk menyampaikan penolakan sama dia, mama malu tau nggak sama mbak Nilam.” Mamanya berenggut di meja makan, saat mereka tengah sarapan.“Ma, ini masih pagi loh,” tegur suaminya membuat wanita itu berdecak.“Tapi Pa, anak Papa itu benar-benar yah!.” Wanita itu menatap Raffan kecewa.“Mama yang keterlaluan, main jodoh-jodohin sama perempuan kayak gitu,” Raffan lalu menghabiskan setangkup roti yang di pegangnya dalam tiga kali gigitan.“Kayak gitu gimana? Aletha cantik iya, cerdas iya, fasionable juga, bibit bebet bobotnya jelas, nah kurangnya dimana coba?” Protes mamanya tak mau kalah.“Kurangnya satu Ma, pakaiannya yang kekurangan bahan,” ucap Raffan lalu berdiri setelah menyelesaikan sarapannya, mengabaikan Rayyan yang menahan tawa, entah apa yang lucu.“Hot banget dong Raf, yaa… kok ditolak sih?” Celetuk Rayyan, pura-pura kecewa.“Tuh kan Pa, kayaknya ada yang salah dengan Raffan. Kamu nggak menyimpang kan Raf?” Mamanya menatap putra s
“Tangan lo kenapa?” Tanya Rina menyaksikan sahabatnya yang sejak tadi tak henti mengibas-ibas. “Habis nampar orang gue!” Rina menghentikan suapannya, menatap Atisha penasaran. Ini kali pertama sahabatnya terdengar bar-bar. “Serius? Siapa?!” “Ada, cowok kurang ajar yang suka semaunya mentang-mentang punya banyak uang,” ucap Atisha yang sedang berbaring diatas sofa bed, keduanya berada di ruangan istirahat saat tengah malam. “Hahaha… bar-bar juga Lo.” Rina terkekeh membayangkan kemarahan Atisha saat berhadapan dengan cowok itu. “Kenapa lo nampar dia? Terus cowok itu gimana setelah lo tampar?” “Gak gimana-gimana gue pergi setelahnya. Cowok itu yang pernah gue ceritain, yang mobilnya ringsek karena ketabrak mobil gue.” “Cowok Bugatti?” Atisha hanya mengedikkan bahu. “Biaya reparasi mobilnya hampir tiga ratus juta dan gue cuma punya dua puluh juta, kebayang gak gimana despatarenya gue. Terus dia malah dengan enteng bilang, gue nggak harus bayar biaya ganti rugi asal gue mau jadi,”
Atisha duduk bersebrangan dengan Raffan, perempuan itu hanya mengangguk meminta penjelasan tanpa suara. “Saya ingin menikah untuk menyelamatkan harga diri saya, saya rasa kamu orang yang tepat untuk membantu saya,” ucapnya. Menatap Atisha yang masih menunggu kelanjutan penjelasannya. "Hanya pernikahan sekedar status, nggak lebih." Jelas Raffan saat mata gadis dihadapannya mendengus. “Orang tua saya selalu menjodohkan saya dengan perempuan manapun yang mereka pikir cocok dengan saya, tapi usaha mereka selama ini tidak berhasil karena saya selalu berhasil berkelit. Tapi bukannya jerah, ada saja anak teman mama yang disodorkan kesaya. Saya lelah dengan itu.” Raffan menghela nafas panjang, menatap Atisha yang balik menatapnya dengan alis tertaut. “Kenapa saya? Kita bahkan dua orang asing. Apa karena saya punya hutang ganti rugi, jadi jadi anda mau memanfaatkan saya?” Tanya Atisha sambil bersedekap dada. Tak dipungkiri dirinya masih kesal setengah mati pada pria dihadapannya, namun men
Surat Perjanjian Pihak pertama: Raffan Ardian Ghifari Pihak kedua: Atisha Namira Dalam hal ini, pihak pertama akan memenuhi segala permintaan pihak kedua sebagai syarat untuk melangsungkan pernikahan diantaranya: 1. Membebaskan tanggung jawab atas biaya ganti rugi kerusakan mobil Buggati Chiron milik pihak pertama. 2. Tidak akan saling ikut campur dengan kehidupan pribadi masing-masing. 3. Tidak ada sentuhan fisik apabila tidak diperkenankan pihak kedua. 4. Memiliki rumah bersama untuk ditempati berdua. 5. Menjaga dan melindungi pihak kedua dengan penuh tanggung jawab. 6. Kewajiban menafkahi secara lahir namun tidak secara batin. 7. Tidak ada kekerasan dalam rumah tangga. 8. Membebaskan ikatan perkawinan saat pihak kedua memintanya. 9. Apabila pihak pertama tidak memenuhi seluruh poin tersebut maka pihak kedua berhak atas seluruh harta kekayaan pihak dari pihak pertama. ~ “Hanya ini?” Tanya Raffan sebelum menandatangani surat perjanjian itu setelah membaca list yang d
“Assalamu’al…” Atihsa tercekat saat menatap seseorang yang tengah tersenyum kearahnya duduk disamping sang oma. “Jerome, kamu!” Atisha berucap dengan suara bergetar, sarat akan emosi menatap pria yang pernah menabur harapan lalu layu sebelum berkembang. Bodohnya Atisha pernah percaya bahwa cinta itu memang ada karena pria dihadapannya dan Atisha sungguh menyesali kebodohannya itu, karena pada akhirnya semua hanyalah gurauan dan omong kosong. “Akhirnya aku bisa ketemu kamu lagi Tisha,” Pria itu tersenyum lebar berjalan mendekatinya, namun Atisha justru mundur menggenggam tangan Raffan. Membuat Jerome berhenti dan berdiri kaku, menyadari bahwa mungkin ia terlambat, kini Atisha bersama si sulung Ghifari. “Jerome Alvaro, saya tidak menyangka bisa bertemu anda disini,” Raffan berucap ramah, mencoba mencairkan kebekuan diantara mereka. Bagaimanapun dalam dunia bisnis, hubungan keluarga mereka terjalin dengan baik. “Raffan Ghifari, senang bisa bertemu anda,” Jerom mengulurkan tangannya,
“Ini undangan siapa Tis,” Rina melirik undangan yang diletakkan Atisha dengan hati-hati di sampingnya. “Rin, lo jangan marah ya ...” Bujuk Atisha. “Ngapain gue mesti marah? Oh iya seragam bridesmide lo ada di mobil gue. Entar lo ambil ya, ingetin gue.” Rina terlihat sangat lahap dengan soto ayamnya. Sementara Atisha, menenggak ludahnya pun terasa berat. “Kenapa lo? Dari tadi ngeliatin gue mulu, lo bohong ya kalau sudah makan?” “Eh, enggak kok. Beneran gue sudah makan kok, tadi bareng suster Dewi.” Perempuan itu tersenyum. Berdoa dalam hati, semoga sahabatnya tidak mencekiknya setelah membaca undangan itu. “Eh, undangan siapa sih nih? Cantik banget.” Setelah menghabiskan sotonya, Rani kembali mengalihkan perhatiannya ke arah undangan gold yang tampak mewah itu. Sementara Atisha semakin menunduk sambil menggigit bibirnya. “Khuuuk…!!!” Rani tersedak lalu menyemburkan es tehnya kearah Atisha saat membaca nama calon pengantin wanita dalam undangan, dr. Atihsa Namira. Rani membaca na
Pria itu menyeka setetes air mata di pipi yang tak betah di pelupuknya. Genggaman hangatnya ditangan sang istri tak ia lepas sejak satu setengah jam yang lalu. Atisha masih terlelap pulas. Sesekali pria itu mengelus punggung tangan istrinya yang agak bengkak. Flebitis akibat bekas jarum infus, sehingga pemasangan infus di pindahkan di tangan lainnya. Pria itu terpejam, sudah banyak untaian kata maaf ia ucapkan pada sang istri. Ternyata, tak mampu menebus dosa dan mengeringkan penyesalan atas perbuatannya di masa lalu. Ia pernah teramat menyakiti sang istri secara brutal. Sakit istrinya kali ini diluar kuasanya. Ia benar-benar tak berniat menyakiti istrinya lagi. Meski secara tidak langsung ada andilnya pada sakit sang istri. Kehamilan istrinya cukup lemah, perempuannya tak jarang mengalami kram perut hingga bercak darah akhir-akhir ini. Belum lagi morning sicknes yang membuat istrinya kian pucat sejak trimester awal hingga trimester kedua ini. Rayyan mengecup tangan perempuan itu. B
Saat membuka mata dan mengerjap, Atisha mendapati suaminya tersenyum lembut padanya. Pria itu menyelipkan anak rambut yang menutupi sebagian wajah istrinya. "Mas." Atisha menatap lekat suaminya, kembali mengingat percakapan mereka sebelum ia jatuh tertidur. Ia Lalu menghembuskan napas dan memeluk sang suami mencari posisi nyaman. "Kok udah bangun sih, padahal tidur baru tiga puluh menit." Rayyan mengangkat tangannya yang bebas dan melirik jam tangannya. "Nggak nyaman yah tidurnya? Pindah di kasur aja yuk." Ajak Rayyan, Atisha hanya menggeleng."Udah jam berapa?" "Jam lima lewat." Rayyan mendekap hangat istrinya, pipinya menempel di kepala istrinya. Pria itu memejamkan mata sambil tersenyum tak dapat membendung keharuannya dengan kemajuan pesat dalam hubungan mereka setelah sekian lama. Mengungkapkan hal yang selama ini mereka pendam bertahun-tahun memang tidak mudah, bagai mengangkat bongkahan batu yang telah lama tertimbun. Namun sepadan dengan kelegaan yang kini mereka hirup ber
"Kamu nggak ngerti, kamu nggak ingat sama aku yang pernah ngejar-ngejar kamu saat SMA." Atisha menatap suaminya dengan serius, ia sama sekali tak tahu maksud suaminya."Kamu mah, dulu hanya melihat Jerome. Mengabaikan cowok lain yang sedang berusaha dekat sama kamu, padahal aku baru tahu suka dan cinta sama cewek itu apa, kompleks banget karena langsung mengecap sakitnya patah hati..." Rayyan berucap sambil menyentuh pelipisnya, tampak menerawang. Ternyata pengalaman buruk itu masih membuat hatinya meradang kala mengingatnya."Aku cowok yang pernah berkompetisi dengan kamu di salah-satu olimpiade mewakili SMA Gantara. Kamu ingat nggak? Cowok yang selalu berusaha ngedeketin kamu, nungguin kamu setiap pulang sekolah bahkan nekat nerobos masuk di sekolah kamu demi bisa kenal dekat dengan kamu, tapi selalu di cuekin dan kamu anggap nggak kasat mata. Terakhir di taman depan perpustakaan umum, waktu itu aku coba deketin kamu lagi dan jujur tentang perasaan aku, tapi malah nggak digubris pad
"Asha, kok udah bangun jam segini?" Tanya Raisa saat menatap siapa yang berada di depan pintu kamarnya menjelang subuh seperti ini, Asha berdiri di depan pintu kamarnya mendongak menatap wajah sang nenek dengan sorot berkaca-kaca sambil memeluk boneka koala kesayangannya."Cucu Oma kenapa, jam segini kok sudah bangun?" Mendengar pertanyaan keheranan Omanya membuat gadis kecil itu menitihkan air matanya."Mami nggak ada," lirihnya dengan bibir bergetar, Raisa segera menggendong cucunya yang langsung terisak di dekapannya. "Didinya Asha juga belum pulang ya?" Tanya Raisa yang dijawab Asha dengan gelengan kepala, semalam putranya itu belum pulang saat ia masuk kamar dan tertidur. "Asha jangan nangis. Sayang..." Raisa berujar khawatir saat cucunya menangis sesegukan. Selama ini, cucu kesayangannya itu jarang menangis seperti ini, ia lalu menoleh kearah Ghifari yang masih tertidur."Memang maminya kemana?" Tanyanya mengelus lembut punggung cucunya. Ia benar-benar bingung saat tiba-tiba cu
Atisha ditemani dua orang koas baru di stase obgyn yang tengah mengobrol dengannya mendiskusikan kondisi pasien kepadanya, teramat serius sampai tidak melihat dokter Kikan yang hendak ke poli, berpapasan dengannya andai perempuan itu tidak menyapanya lebih dulu. "Selamat pagi." "Pagi, dokter Kikan..." jawab Atisha dengan senyum ramah. "Udah lepas jaga kan, papanya Asha di depan nungguin tuh," ujarnya, sambil tersenyum."Oh iya dok, makasih infonya yah. Padahal tadi mau sarapan bareng mereka dulu di kafetaria sebelum balik. Maaf, lain kali ya..." Atisha menoleh pada dua dokter muda di sisinya. "Iyya dok, nggak papa," jawabnya berbarengan. Atisha lalu pamit sebelum meninggalkan mereka. Rayyan menjemputnya adalah suatu hal yang langka sebenarnya, jadi ia tak ingin membuat pria itu menungguinya terlalu lama."Hai," Rayyan tersenyum kearah Atisha yang menghampirinya. Perempuan itu menghela nafas lirih, sebelum balas tersenyum. "Assalamualaikum," ucapannya sebelum meraih punggung tangan
Malam harinya, pemuda itu baru pulang kerja saat mendapati apartemennya diterobos oleh seseorang. Pria itu menggeleng, melihat sosok yang sedang terpaku dalam cahaya remang-remang, penerangan ruang tamunya hanya bersumber dari TV. Bahkan seluruh penjuru ruangan lain apartemen itu, masih gelap. "Kenapa lagi Lo?" Tanya Bram mendapati Rayyan duduk termenung, menyalakan tv sambil melamun. Rayyan hanya menggeleng sambil menghembuskan nafas jengah."Apa nggak capek hidup kayak gini? Yah, gue tau Lo bahagia punya putri cantik dan menggemaskan, tapi kebahagiaan itu nggak cukup. Lo berubah drastis dan nggak lagi main cewek karena Lo takut karma berlaku. Bagaimanapun Lo punya anak cewek juga. Tapi tetap aja, Lo butuh sosok perempuan yang bisa melengkapi hidup Lo, dan gue tebak istri Lo bukan orangnya. Mending Lo nikah lagi deh Ray, jangan ngekang diri Lo sekeras ini." Bram berujar sambil meletakkan tas kerjanya, lalu duduk di samping teman karibnya melirik Rayyan dengan prihatin. Meski Rayyan t
Pagi hari, Atisha sibuk di dapur menyiapkan bekal untuk sang putri yang sudah masuk PAUD. Sementara Bibi menyiapkan sarapan. Tidak lama kemudian setelah makanan tersaji di meja, serta bekal Asha yang telah di tata menarik, putrinya muncul dengan seragam yang sudah rapi melekat di tubuh mungilnya, disusul dengan pengasuhnya yang membawa bando lalu memasangkannya pada Ashana. “Mami…” gadis itu berlari sambil merentangkan tangan kearahnya. “Sayang.” Atisha segera melepaskan apronnya sebelum meraih tubuh mungil sang putri dan menggendongnya. “Sarapan dulu nak,” Atisha mendudukkan putrinya di depan meja makan. “Gabung disini aja Ver,” ucap Atisha saat pengasuh Asha memilih masuk ke dalam. Perempuan itu tidak menyuapi Asha, karena sejak kecil Asha memang di didik untuk dibiasakan mandiri mulai dari hal kecil seperti makan sendiri tanpa di suapi, merapikan tempat tidur, merapikan barang-barangnya setelah belajar maupun bermain dan selalu diajarkan untuk meminta tolong jika dihadapkan deng
Malam harinya, Rayyan ikut membaringkan tubuhnya di sisi sang istri, meski Atisha lebih banyak diam setelah mengikuti persidangan hari ini, serta sore harinya ia malah menyerahkan kado terakhir dari Raffan padanya. Rayyan masih merutuki dirinya akan hal itu, saat istrinya justru semakin uring-uringan, makan seadanya dan lebih memilih bungkam. Ia bahkan hanya mendengar suara istrinya kala bersenandung lirih saat menidurkan putri mereka sebelum meletakkannya di boks bayi setengah jam lalu. Rayyan memperhatikan istrinya yang sibuk menatap plafon kamarnya. Pria itu dapat merasakan kekalutan istrinya saat ini. Perlahan ia menepis jarak, lalu memeluk istrinya dalam diam. Sesekali ia mengecup puncak kepala perempuan itu sambil berbisik lembut, mencoba menyalurkan ketenangan. "Jangan sedih Mami Asha." Atisha menoleh, menatapnya dengan nanar."Ray, bisa nggak kamu kembali saja ke kamar kamu?" Pinta Atisha, saat Rayyan masih memeluknya."Hmm..." Rayyan hanya bergumam, mengabaikan protes istr
Ia tak pernah menyangka akan berada disini, ikut dalam proses peradilan yang membuatnya terus merutuki kejahatan yang telah merenggut nyawa almarhum suaminya, manusia yang begitu ia kasihi melebihi dirinya sendiri. Atisha duduk di hadapan majelis hakim, disebelah kanan meja hakim ia dapat melirik beberapa jaksa penuntut umum, namun disebelah kiri Atisha sama sekali tidak sudi melirik sedikit pun terdakwa dan penasehat hukumnya. Ia tak ingin lagi melihat wajah laki-laki keji itu. "Saudari Atisha Namira, apa benar anda pernah menjalin hubungan pacaran dengan terdakwa?" Tanya salah seorang hakim perempuan dihadapannya."Benar... dulu saat awal hingga akhir masa SMA. Dan hubungan itu berakhir sejak kami memutuskan kuliah di tempat yang berbeda, saya di Jakarta dan dia di Inggris," jika ada penyesalan terbesarnya, itu adalah kenyataan ini. Ia benar-benar malu mengakuinya."Bagaimana intensitas komunikasi anda dengan terdakwa setelah itu?" "Tidak ada komunikasi sama sekali hingga menjelang