"Siapa pria itu?" gumam Aldi dalam hati. Dia terus saja menoleh ke belakang namun tak lama pria itu menghilang bak ditelan bumi. Inayah dan Alita menyentuh pundak Aldi pelan ketika pria itu masih diam di tempat dan belum menyalakan mobil mewahnya."Kau melihat apa, Al?" tanya Alita nampak heran."Tdiak apa-apa kok, hanya saja aku tadi melihat seseorang.""Kita pulang sekarang yuk," ajaknya melirik Aldi. Pria brewok itu langsung menginjak gas pedal mobilnya dan melaju perlahan, kecepatan yang standar karena mengingat dia sedang membswa Inayah, perempuan itu paling anti sekali dengan ngebut-ngebutan."Al, bisa berhenti di perempatan jalan itu, aku mau beli mie ayam di sana." Alita melirik Inayah, "Apa kau juga mau, Naya?" tanyanya."Aku mau, beli aja tiga bungkus untuk kita bertiga.""Siap, Nyonya Naya." Alita keluar dari mobil sendirian, sementara Aldi terus melirik kaca spionnya. Entah mengapa dia merasa bahwa ada seseorang yang mengikutinya, tetapi bila dilihat secara l
"Pak Aldi," panggil seseorang itu. Mendengar seseorang memanggilnya dengan sebutan bapak sudah pasti Aldi bisa menebak siapa itu. "Kau!! Aku pikir si pengekor tadi," gumam Aldi sedikit panik."Apakah kau sudah memeriksa siapa orang yang mengikuti kami tadi?" tanya Aldi ingin tahu."Plat nomor mobil itu tidak terdaftar alias ilegal dan kami tidak mengetahui siapa pemiliknya.""Sialan? Sepertinya mereka orang suruhan," jawab Aldi sedikit curiga. Pria brewok itu membisikkan sesuatu kepada asisten pribadinya, "Kau lakukan itu! Setelah ini aku akam pulang," ujarnya menatap tajam ke arah sang asisten."Baik, Pak." Inayah melirik Alita sambil terus berpikir, "Siapa pengendara mobil itu? Mungkinkah ad.--" Inayah mengatupkan bibirnya ketika mengingat sesuatu. "Kalau tidak salah pengendara yang menabrakku adalah mobil berwarna hitam itu,"jawabnya membulatkan sepasang manik matanya begitu terkejut."Apa kau yakin, Naya?" tanya Alita dan Aldi bersamaan."Iya, aku yakin sekali!" Al
"Naya, ayo turun," ajak Alita nampak heran melihat sahabatnya masih betah di dalam mobil."Oh, ya." Inayah langsung keluar dari mobil dan tak menghiraukan sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Rasanya begitu lega ketika bisa menginjakkan kakinya di rumah ternyamannya sendiri. Menghempaskan pantatnya duduk di atas sofa. Inayah melirik dua sahabatnya itu, "Kalian akan menginap di sini atau pulang?" tanya Inayah penasaran."Tentu aku akan menginap di sini, mau pulang pun begitu tanggung karena sebentar lagi akan dini hari." Aldi menyuruh Alita untuk menemani Inayah tidur. Aldi menghentikan langkah dua peremouan itu,"Ada baiknya kalian tidur di lantai bawah saja karena ingat kakimu itu, Naya.""Iya, Al." Berhubung ada kamar tamu dua di bawah, Inayah pun menyruh Aldi untuk tidur di kamar satunya lagi. Inayah membaringkan tubuhnya di atas kasur sambil menatap langit-langit atap rumahnya. Entah kenapa matanya enggan untuk tertidur. Kejadian malam ini sungguh membuat I
"Siapa yang terus-terusan menelponmu, Naya?" tanya Alita heran."Entahlah, Ta. Nomor baru ini selalu saja menghubungiku sampai 30 kali menelpon dan terus menganggu saja.""Bisa aku lihat nomornya?" tanya Aldi iku bicara. Inayah langsung menyodorkan ponselnya ke arah Aldi, "In, coba kau periksa." Aldi mengerutkan dahinya ketika melihat nomor yang tertera di layar ponsel sahabatnya itu. "Kau bisa kirimkan nomor ini kepadaku nanti aku akan menyuruh temanku memeriksanya, kalau bisa panggilannya kau abaikan saja.""Iya, sejak dari kemarin memang sudah aku abaikan." Aldi mengangguk pelan, "Baguslah, kalau begitu." Pria itu pun begitu cepat menghabiskan sarapannya, "Aku mau pulang duluan ya," tukas Aldi seraya bangkit dari duduknya."Iya, kau hati-hati di jalan." Inayah berpesan seperti itu. Setelah menyelesaikan sarapannya, Alita lansung merpaiakn meja makan. "Kau duduk manis saja di itu, naya. Biarkan aku saja yang membereskannya." Mendengar suara ponsel berdering, Inayah
"Oh, kita sudah sampai bandara ya," jawab Al Malik ikut menutupi masa lalu ayah dan ibu angkatnya. Izzan yang melihat Al Malik mengalihkan pembicaraan sontak memngajukan sebuah pertanyaan kepada pria itu, "Katakan saja apa yang sebenarnya terjadi pada kakek?""Aku rasa aku tak punya hak untuk mengungkapkannya karena kau lebih tahu bahwa kakek lebih pantas mengatakan hal ini padamu.""Tidak bisakah Paman katakan secara intinya ssaja?" Al Malik menggelengkan kepalanya, "Maafkan Paman, Zan. Ada baiknya kakek saja yang mengatakannya padamu." Mendengar jam tangannya sudah menunjukkan pukul setengah 9, Izzan langsung keluar dari mobil. "Aku harap Paman akan menceritakannya padaku saat kita bertemu lagi, aku pergi dulu Paman, assalamu'alaikum.""Iya, Zan. Wa'alaikumsalam." Izzan melangkah pergi dan meninggalkan bandara itu, tidak lupa juga pria tampan itu menatap ponselnya sejenak sebelum dia mematikan menjadi mode pesawat. "Kenapa rasanya aku merasa bahagia sekali kembali ke
"Kau yang membuat aku melakukan ini, Pak Beny," jawab pak Gandi dengan suara lantang."Apa maksudmu?" tanya pria paruh baya itu sambil menoleh ke arah lawan bicaranya."Andai saja kau tak menginvestasikan seluruh asetmu kepada perusahaan Irsyad maka aku tak akan melakukan ini," ungkapnya masih dengan kelimat yang mengambang."Aku tidak mengerti apa maksudmu?" ucap pak Beny balik bertanya. Pak Gandi akhirnya menjelaskan bahwa istrinya dioperrasi itu karena ulah pak Beny sendiri, gegara pria tua itu menggagalkan investasinya kepada putra mereka maka istrinya mengalami stress karena itu dia mencoba bunuh diri."Apa maksud Anda?" tanya Izzan tak mengerti namun bisa sedikit menmyimpulkan sesuatu."Sebenarnya putraku dan Irsyad itu teman namun mereka saling bersaing dan membujuk pak Benny untuk menginvestasikan sahamnya kepada perusahaan mereka namun etrnyata hanya perusahaan Irsyad saja yang mendapat investasi." Pak Beny mencoba mengingat hal itu, akhirnya dia tahu sesuatu hal dan
"Bukankah dia..." Pria paruh baya itu mengatupkan bibirnya ketika mengingat nama Inayah, membuat Izzan yang melihat itu nampak sangat penasaran sekali."Apa Anda mengenalnya?" tanya Izzan ingin tahu."Irsyad pernah menceritakan nama perempuan itu padaku sebelum dia meninggal. Bahkan, sebelum kematiannya dia mengingkan sekali bertemu dengan Inayah namun sepertinya takdir tak berpihak padanya.""Iya, kondisi kak Irsyad semakin parah dan harus dirawat di rumah sakit." Pak Beny menatap Izzan dengan sangat dalam, "Irsyad juga mengatakan padaku bahwa adiknya yang akan memegang kuasa atas perusahaan ini." Sebuah senyuman getir nampak terlihat di sudut bibir pak Beny, "Dia juga menitipkan perusahaan ini padaku agar aku mengajarimu, Zan. Berulang kali aku menyuruhnya untuk bekerja di perusahaanku saja namun dia menolak dan bersikeras untuk membangun perusahaan sendiri.""Benarkah?! Aku telah menganggaap Irsyad sebagaai anakku sendiri, kedewasaannya dan kemandiriannya sungguh membuaat aku t
Izzan berharap sekali firasatnya itu salah namun ia tidak ingin ambil resiko bila sesautu hal buruk terjadi pada malaikat penolongnya itu. Masih berada dengan jarak aman, Izzan mencoba untuk mengirim pesan kepada Aldi. Menunggu bila saja pria brewok itu membalas pesannya, tetapi sama saja. Dia hanya fokus dengan setir mobilnya saja. Di jalan raya yang begitu sepi antara jalan menuju ke hutan. Izzan nampak curiga karena mobil berwarna hitam itu berjalan lebih dulu dan berdampingan di sebelah mobil Aldi. Izzan sengaja membunyikan klakson mobilnya agar menggagalkan rencana pria mencurigakan itu. Mobil hitam itu masih saja di tempatnya hingga membuat Izzan semkain histeris lagi membunyikan klakson mobil hingga Aldi yang mendengar itu pun langsung memperlambat laju mobilnya dan mendahulukan mobil berwarna hitam itu. Ketika mendapati Izzan yang sedang berusaha membuka kaca mobilnya mendapati Izzan yang ada dan sejak tadi membunykan sebuah klakson mobil begitu histeris. "Izzan,
Izzan mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Halwa, apakah kau sudah kehilangan akal sehatmu?” tanya Izzan kalut.“Pilihanmu hanya satu, Zan. Kembali padaku atau aku akan mendorong Inayah,” jawab Halwa yang sudah kesetanan.Di saat yang sama, Jody dan Aldi sampai di jembatan itu. Mereka sengaja memarkirkan mobilnya agak jauh dari jembatan supaya tidak ada yang tahu tentang kedatangan mereka.“Astaga, apa yang sedang Halwa lakukan?” gumam Aldi sambil membelalakkan matanya.Posisi Halwa yang membelakangi Aldi dan Jody membuat mereka kesulitan untuk memahami apa yang terjadi. Hingga akhirnya mereka mendengar ancaman demi ancaman yang terlontar dari bibir tipis Halwa.“Kita harus menyelamatkan Inayah dari sana sebelum Halwa mendorongnya,” ucap Jody lirih supaya Halwa tidak mendengar.“Bagaimana caranya? Apakah kau tidak melihat jika Halwa mengikat Inayah di jembatan?” gerutu Aldi cemas.“Pasti ada caranya, Al. Selalu ada cara untuk menyelamatkan seseorang,” balas Jody dengan yakin.Sementa
"Apa kau mendengar suara itu, Al?" tanya Alita ingin tahu."Iya, sepertinya suara itu berasal dari ruangan ini." Aldi menyentuh knop pintu dan ternyata pintunya terkunci. Pria brewok itu mencoba mengetuk pintu sambil bertanya, "Ada siapa di dalam?" Merasa tidak ada jawaban, dua orang itu pun memutar balik namun baru dua langkah memutar balik tiba-tiba terdengar kembali suara orang meminta tolong, dengan sigap Aldi langsung mengetuk pintu itu kembali dan bertanya, "Halo Ada siapa di dalam?" tanya Aldi ingin memastikan."Tolong!!" Terdengar ada jawaban yang meminta tolong akhirnya Aldi bergegas mendobrak pintu tersebut dan alangkah terkejutnya dua orang itu ketika mendapati Al Fattah Shidiq sedang tergeletak di anak tangga bagian bawah dengan posisi kursi roda menimpa tubuhnya."Astagfirullah, Kakek. Bagaimana bisa ini terjadi di mana Izzan dan Inayah?" tanya Alita dan Aldi bersamaan. Aldi dan Alita membantu pria tua itu untuk duduk kembali di atas kursi rodanya, "Izzan edang me
Dan segerombolan pria berseragam datang sembari menyodorkan sebuah pistol ke arah pria tadi. "Borgol dia sekarang," titah pria itu melirik dua orang pria di belakangnya."Kalian tidak akan bisa menangkapku!" serunya masih mengenakan sebuah masker yang menutupi wajahnya."Apa kau masih bermimpi?! Lekas bangun dari ilusimu karena kami sudah menangkapmu sekarang!" jawab seorang pria yang kini sedang berada di daun pintu dengan napas yang ngos-ngosan."Jody," sebut Izzan pelan. Inayah meminta Alita untuk mendekat ke arah Izzan, "Apa kau baik-baik saja, Zan?" tanya Inayah nampak khawatir."Apa kau mulai mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan alis terangkat."Tentu saja, kau terluka seperti ini karena melindungiku dan kakek." Inayah menyentuh jemari Izzan dan membawanya untuk segera duduk di atas sofa, melirik sahabatnya untuk ikut membantu maka Alita pun langsung bergegas cepat. "Aku akan memanggil perawat," ucap Alita mengerti bahwa Inayah tidak ingin sampai terlambat mengobati Izzan.
Inayah sontak tertegun, jujur saja dia bingung untuk menjawab apa. Mengingat bagaimana Irsyad dulu pernah ditolak oleh kedua orang tuanya ketika ingin melamar Inayah. "Atas nama orang tuaku, aku memohon maaf.""Maaf untuk apa, Nay?" tanya pria tua itu tak mengerti."Mungkin penolakan orang tuaku beberapa tahun lalu telah menyakiti hati Kakek." Inayah tertunduk malu dan merasa bersalah, jika saja ibunya tidak menulis surat mana mungkin dia bisa tahu bahwa Irsyad pernah berbicara kepada orang tuanya perihal ingin melamar Inayah."Oh, masalah itu Kakek juga tidak terlalu ingat namun waktu itu Irsyad melarang Kakek untuk menemui orang tuamu." Izzan yang ada di ruangan tersebut sontak menatap Inayah, "Apa maksud ucapanmu itu, Nay?" tanya Izzan sangat penasaran, bukankah selama ini yang Izzan tahu bahwa kak Irsyad belum sempat untuk meminangnya, meski dia sudah menyiapkan semua perlengkapan lamaran."Jangan bilang kalau..." Izzan menelisik tajam ke arah Inayah. Seolah dia bisa menebak
"Jalan satu-satunya adalah membawa beliau pergi ke Singapura untuk pengobatan." Dokter hanya berkata seperti itu namun hal tersebut sungguh sangat membubat Izzan bingung."Akan aku usahan, Dok." Izzan mengangguk pelan ndan akan berusaha untuk membujuk kakeknya agar mau melakukan pengobatan. Pria tampan itu kembali masuk ke dalam ruangana tersebut sambil melirik Al Fattah Shidiq yang nampak sangat akrab sekali dengan Inayah, membuat pria itu nampak tersenyum tipis. "Apakah Kakek sudah merasa baikan?" tanya Izzan melirik kakeknya."Alhamdulillah, lumayan membaik, Zan. Bisakah kau bawa Kakek pulang ke rumah?" ucapnya menoleh ke arah cucunya."Kakek kenapa mau pulang? Kondisi Kakek belum membaik sepenuhnya," imbuh Izzan menolak dengan pelan. Pria berlesung pipi itu mencoba untuk menjelaskan bahwa kakeknya harus dirawat di rumah sakit sampai tubuhnya sudah membaik. Izzan habis kata-kata meliha Al Fattah Shidiq selalu saja menolak dan bersikukuh untuk pulang. Melihat Izzan yang t
"Bisakah kau berhenti membekapku?" ketus Alita tak senang. Gadis cantik itu menoleh ke arah Aldi sambil bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?" Aldi mengedarkan sepasang bola matanya melihat ke penjuru arah lalu berjalan mendekati Alita, menarik tangan gadis itu untuk mendekatinya sambil berbisik dan mengatakan kejadian yang terjadi dan penyebab Inayah terluka."Apa? Dasara gadis licik!" ketusnya tak senang."Maka dari itu, sebelum Izzan pulang kita harus menjaga mereka dengan baik. Perhatikan dokter dan perawat yang masuk," imbuh Aldi mengingatkan Alita."Kau tenang saja ku paling ahli dalam memeriksa orang, memangnya Izan pergi ke mana?" tanya Alita ingin tahu."Izzan pergi memeriksa perusahaan I2 Group, ada sedikit masalah yang mendadak jadi dia pergi ke sana. Bila ada Izzan maka hal ini tidak akan terjadi, andai saja aku tidak menerima telpon maka hal seperti ini tak akan terjadi," tandasnya penuh sesal dan merasa bersalah. Alita menghela napas beratnya, dia tidak pernah t
"Al, cepat selamatkan kakek," balasnya seraya ikut berteriak dan masih menarik kaki Halwa."Kalian tak akan bisa menyelamatkan pria tua itu," imbuh Halwa langsung mendorong Inayah lagi."Mau sekuat apa pun kau mendorongku, aku akan tetap kokoh dan aku tak akan membiarkanmu mencelakai kakek." Inayah sekuat tenaga memegang kaki Halwa agar gadis itu tak mengejar Aldi. Halwa berusaha menendang tubuh Inayah yang sudah terguling dan sepertinya kaki perempuan itu terluka namun dia menahan rasa sakit itu agar bisa menahan Halwa melihat segerombolan pria berseragam membuat Inayah tak mampu lagi untuk menahan Halwa."Tangkap gadis itu sekarang!" Salah satu pria itu langsuang menarik tangan Inayah dan membawanya untuk diperiksa."Kalian bawa dia ke kantor polisi sekarang!" teriak si ketua itu yang tak lain adalah Jody. Jody menggendong tubuh Inayah dan membawanya ke ruangan unit gawat darurat. "Dok, selamatkan Inayah." Jody nampak panik sekali melihat banyak sekali darah yang menetes dar
Pria tua itu meminta Inayah untuk duduk berjongkok dan dia membisikkan sesuatu kepada Inayah, alangkah terkejutnya Inayah ketika mendengar hal tersebut. Dia benar-benar tidak menyangka bila hal tersebut akan menimpah Al Fattah Shidiq. "Baik, Kek. Ayo." Inayah mendorong kursi roda pria tua itu. Diiringi oleh Aldi yang membawa sebuah tas tengah dijinjingnya, pria brewok itu masih sibuk dengan headseat di telinganya namun sepasang bola matanya terus melihat sekeliling arah. Mengawasi bila saja ada hal buruk yang terjadi."Baiklah, aku akan mencari tempat dulu, di sini suaramu tidak terlalu jelas." Aldi menyentuh pundak Inayah seraya berkata, "Naya, aku terima telpon dulu ya.""Iya, aku akan menunggu di mobil ya." Inayah mengangguk pelan. Pria tua itu terus menoleh ke belakang sambil meminta Inayah untuk lewat jalan yang tak dipenuhi dengan banyak orang. "Lewat mana ya, Kek?" tanya Inayah tak paham."Kau ikuti instruksi kakek saja." Mereka hampir saja sampai di pertengahan jal
"Tentu saja," jawab Aldi dan Inayah bersamaan."Baiklah, kalau begitu!" seru Izzan langsung berjalan mendekati sang kakek sambil emnyentuh jemari yang sudah sangat keriput dan semakin tua itu. "Kek, maafkan aku! Dengan sangat terpaska aku harus meninggalkan kakek dulu, perusahaan kak Irsyad dalam masalah. Aku titip kakek pada Inayah," bisiknya pelan. Untuk kedua kalinya, pria tampan dengan lesung pipi itu mengucapkan maaf pada sang kakek. Sangat berat bagi Izzan untuk meninggalkan sang kakek, jika saja itu perusahaannya maka dia tak akan pergi namun mengingat kerja keras sepupunya maka h itu harus dia lakukan."Al, aku titip kakekku dan Naya ya." Izzan menatap Aldi penuh harap."Iya, Zan. Aku akan menjaga mereka dengan baik kok." Inayah memandangi kepergiaan Izzan yang begitu sedih, ia tahu bahwa pria itu tak ingin pergi namun amanah mendiang Irsyad harus dilaksakannya. "Semoga saja kakek segera sadar ya, Al." Inayah duduk di samping sang kakek sambil memandangi wajah pria tua