Emma terlihat cemberut begitu mendengar ucapannya. Kimberly pun tahu alasan Emma seperti itu. Tentu saja karena Aiden yang pergi dengan terburu."Yang mulia."Namun, suara itu membuat Kimberly dan Emma menoleh. Terlihat Aiden menyelinap masuk karena pintu kamar yang masih terbuka. Mata Aiden begitu fokus ke arah Emma."Aku tadi mencarimu," ujar Aiden.Emma menundukkan wajah dan bertanya dengan malu, "kenapa Tuan Aiden mencariku?""Yang mulia, apa saya boleh membawa Emma pergi?" tanya Aiden dan memilih mengabaikan pertanyaan dari Emma."Ah ya tentu saja."Aiden tersenyum dan mendekat hanya untuk menggenggam tangan Emma. "Ayo.""Ke mana?""Yang mulia Raja," sahut Aiden membuat Emma mengerutkan dahi."Buat apa mencari Raja?"Aiden tak menyahut. Bibir justru mengulas senyum dengan senang. Membuat Emma mengerutkan dahi semakin banyak karena Aiden benar-benar tak bicara lagi.Hingga mereka berdua mengetuk pintu ruang kerja Yuksel begitu tiba. "Masuk," ujar Yuksel dari dalam."Yang mulia!"
"Kira-kira siapa yang datang ya," gumamnya sembari merapikan pakaian."Siapa pun itu, tapi dia sudah mengganggu," gerutu Yuksel sangat pelan, takut sang istri mendengar.Kimberly membuka pintu yang memang terkunci. Begitu terbuka, Kimberly dapat melihat Emma yang berkunjung dengan mata menangis. Jelas itu membuatnya kaget dan menjadi cemas."Emma, ada apa denganmu? Apa Aiden menyakitimu?"Kepala Emma menggeleng. "Apakah saya boleh memeluk Yang mulia?""Tentu saja."Tanpa penuh keraguan Emma langsung memeluk tubuhnya. Emma memang semula terlihat menangis. Tapi, begitu sudah dipelukannya, Emma justru tertawa pelan."Saya sangat senang karena bisa menikah, bahkan dijadwalkan begitu cepat, besok saya akan menikah dengan tuan Aiden," ujar Emma memang terdengar sangat bahagia."Apa kau menangis karena bahagia?"Kepala Emma mengangguk antusias. "Benar sekali Yang mulia."Kimberly tersenyum dan mengusap punggung Emma. "Hah, pelayan kecilku ini rupanya sudah besar. Sebentar lagi mau menikah, t
Semalam Kimberly tidur sangat nyenyak dan bangun pagi sekali. Padahal sudah sangat pagi, namun tetap saja para pelayan sudah berdatangan ke kamarnya untuk membantu Kimberly bersiap sarapan. Satu hal yang membuat semua pelayan terheran, yakni keberadaan Emma di antara mereka."Apa yang kau lakukan di sini?" Dan pertanyaan dari Kimberly sangat mewakilkan rasa penasaran dari semua pelayan.Emma menunjukkan wajah memelas ke arahnya. Jelas membuatnya langsung mengerti. Kalau Emma ingin mengatakan hal serius padanya."Kalian semua keluarlah, kecuali Emma," pintanya."Dan Madam Ane," lanjutnya saat wanita itu menawarkan diri dengan menunjuk diri sendiri."Baik Yang mulia."Ketika semua pelayan telah pergi dari kamarnya. Kimberly langsung menarik tangan Emma untuk duduk di sisinya, di atas ranjang. Sementara Madam Ane menatap lekat ekspresi Emma."Saya sangat malu Yang mulia," adu Emma dengan suara pelan."Malu kenapa? Semalam kalian melakukannya kan?" selidiknya.Emma cemberut. "Kami tidak m
Waktu berlalu sangat cepat dan terus berlalu. Hingga tak terasa kandungan Kimberly mencapai batasnya. Dan menghadapi persalinan di dalam kamar. Sementara Yuksel terburu meninggalkan pekerjaan dan sedang mondar-mandir di depan kamar. Dia begitu cemas dengan Kimberly yang sedang berjuang. Pangeran kelima dan mantan Raja yang ikut menunggu, sama-sama cemas."Bagaimana kalau Kimberly membutuhkan aku? Aku harus masuk," ujar Yuksel sudah ingin meraih pintu kamar.Namun, Pangeran kelima mencegah sang putra. "Tunggu di sini. Kehadiranmu bisa menjadi masalah pada istrimu.""Kenapa malah jadi masalah? Aku suaminya Ayah," protes Yuksel."Wanita akan menjadi lemah jika di hadapan suaminya," ujar mantan Raja membuat Yuksel dan sang ayah menatap.Yuksel menarik napas dan memutuskan untuk tetap menunggu. Meski kaki terkadang tetap mondar-mandir. Hingga terdengar suara tangis bayi membuat Yuksel tersentak dan langsung menghampiri pintu. "Apa itu suara tangis laki-laki?" tanya mantan Raja."Sepertin
Setelah beberapa minggu berlalu. Kimberly yang lebih sehat serta sang putra yang sudah boleh dibawa ke mana pun. Siang itu, dengan menggunakan kereta dorong. Kimberly membawa Noah bersama Madam Ane, Emma dan pelayan lainnya menuju ruang kerja Yuksel.Mendengar adanya pembicaraan di dalam ruangan. Membuat Kimberly melirik pada Emma yang langsung mengetuk pintu. Terlihat pintu yang dibuka oleh pelayan dan suara tak lagi terdengar. Hanya suara langkah serta sosok suaminya yang mendekat."Sayang, kenapa mengetuk pintu? Aku kira siapa yang datang."Yuksel mengusap wajahnya, kemudian menunduk dan mengecup sang putra yang sedang tertidur. Mata Kimberly menatap Aiden dan Pangeran kelima yang ada di ruangan, serta penasihat suaminya. Ah, hanya pria itu yang terlihat tak suka dengan dirinya."Aku lihat kau ada pekerjaan, jadi aku takut mengganggumu."Ya, selama ini kan Kimberly hanya datang jika Yuksel sedang sendirian. Atau bersama Aiden saja. Karena Kimberly pun harus jadi istri yang pengerti
Pagi yang cerah harusnya terasa menyenangkan. Namun, hari itu Yuksel merasa kesal selama memimpin pertemuan. Lagi-lagi yang mereka bahas adalah selir."Aku sudah memiliki seorang Pangeran, dan kau masih memintaku untuk mengambil selir?" tanya Yuksel dengan kesal."Yang mulia, mengambil selir bukanlah hal yang buruk. Menambah keturunan juga bukan hal buruk."Tangan Yuksel mengepal dengan kesal. Dia pikir selama berbulan-bulan mereka akhirnya diam, karena menurut. Kemudian Kimberly yang sudah melahirkan penerus, harusnya sudah cukup. Namun itu tetap tidak membuat mereka puas."Apa kalian pikir, Raja adalah seorang peliharaan yang bisa kalian perintahkan seenak jidat!" seru Yuksel saking kesalnya.Pangeran kelima menatap sang anak yang marah besar. Sementara Aiden hanya diam, jelas tak ingin menambah kekesalan sang Raja jika berpendapat. Hingga suara tangis bayi membuat perhatian mereka teralihkan.Raut wajah Yuksel sedikit membaik ketika melihat Kimberly yang berjalan mendekat. Tangis s
Lama Yuksel duduk di sebelahnya yang mulai sibuk memakan buah yang dipotong oleh Madam Ane. Pandangan Yuksel tertuju pada Noah yang digendong oleh sang kakek. Tiba-tiba saja Yuksel langsung berdiri dari duduk membuatnya menoleh."Mau ke mana?" "Aku ingin menggendong Noah," sahut Yuksel."Gantian, bahkan ayah saja belum puas menggendong Noah," ujar Pangeran kelima membuat Yuksel menatap tak terima."Lalu bagaimana dengan aku Yah? Sejak pagi hingga malam aku harus duduk di ruang kerja," ujar Yuksel dan itu berupa keluhan.Kimberly meraih tangan suaminya untuk duduk kembali. Meski terlihat kesal, tapi Yuksel tetap menurut dan duduk di sampingnya. Bahkan ketika Kimberly memberikan secangkir teh, suaminya langsung meneguk hingga habis."Biarpun kau dihadapkan pada pekerjaan, tapi bukankah Noah akan terus bersamamu sepanjang malam?" tanya sang kakek."Memang. Tapi kan Noah tidur," sahut Yuksel dengan nada iri."Tidak harus bangun untuk bisa kau gendong, selama tidur pun kau bisa melakukann
Siang harinya, matahari tak begitu terik. Bahkan cuaca sedikit mendung. Yuksel berjalan-jalan kecil di sekitar meja kerja. Hingga dia melihat Kimberly yang sedang berjalan bersama Emma dan pelayan lainnya di taman.Yuksel terlihat sangat ingin menghampiri sang istri. Namun, tak ada kemungkinan untuk melakukannya. Karena ada pekerjaan yang menumpuk."Apa yang Anda pikirkan, Yang mulia?" tanya Aiden karena melihat Yuksel yang hanya diam.Yuksel menatap Aiden, kemudian mulai bertanya, "bagaimana menurutmu kalau aku merekrut seorang asisten?""Asisten?""Ya. Orang yang membantu melakukan pekerjaan," sahut Yuksel.Dahi Aiden mengerut. "Kenapa Yang mulia membutuhkannya? Bukankah Anda sudah memiliki tangan kanan dan kiri? Lalu penasihat."Yuksel menarik napas. "Aku butuh asisten supaya kau juga memiliki waktu.""Ya?" Dan Aiden masih lambat seperti dulu."Maksudku, begini. Aku tidak bisa terlalu lama tidak melihat Kimberly, aku mencari asisten supaya bisa punya waktu lebih banyak bersama istr