“Pernikahanmu akan berlangsung sesuai rencana awal, Kanya.”
Kanya mengerutkan kening mendengar ucapan ibunya. Perasaannya seketika campur aduk, terkejut sekaligus bingung.
“Mas Arga udah pergi untuk selamanya, Bunda...,” kata Kanya dengan suara tertahan. “Ini maksudnya Bunda mau Kanya nikah sama siapa?”
Kanya sungguh tak habis pikir dengan orang tuanya sendiri. Sejak tiga bulan lalu, Kanya masih mati-matian berdamai dengan rasa sedih yang seolah tak berujung. Calon suaminya meninggal dalam kecelakaan tragis dan rasa bersalah masih terus merayapi setiap sudut hatinya.
Sampai detik ini, masa berduka Kanya jelas belum rampung. Jangankan memikirkan pernikahan, dia bahkan tak yakin bisa jatuh cinta lagi seumur hidupnya. Lagipula, pernikahan tidak mungkin berlangsung tanpa mempelai pria, kan?
“Sejak awal, perjodohan ini bukan tentang kamu dan Arga, tetapi Gayatri Silver dan Pandega Group,” jelas ayah Kanya. “Jadi, meski Arga telah berpulang, bukan berarti pernikahanmu batal.”
Kanya memejamkan mata seraya berusaha mengatur napas. Perempuan berambut panjang itu mulai bisa menebak arah bicara ayah dan ibunya, tetapi masih berharap dirinya salah duga.
“Jika bukan Mas Arga, Kanya harus menikah dengan siapa …?”
Saat itulah pintu ruang naratama restoran yang ditempati Kanya dan keluarganya terbuka. Jantung perempuan itu berdebar kencang saat melihat pelayan mempersilahkan masuk kedua orang tua mendiang calon suaminya.
Waktu seakan melambat ketika seorang pria menyusul masuk beberapa saat setelahnya. Bergabung dengan para orang tua yang tengah saling menyapa, senyum yang terlukis di wajah pria itu tampak canggung, tak sepenuh hati, dan langsung lenyap begitu matanya bertemu dengan tatapan cemas Kanya.
“Kanya, ini calon suami kamu sudah datang,” tutur sang ibu sembari mengarahkan pria itu untuk duduk di samping Kanya.
“Mas Sena …?”
Pria yang disebut namanya memandang Kanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sena mengangguk pelan, seolah coba memberi isyarat bahwa dia adalah bagian dari keputusan yang telah dibuat tanpa sepengetahuan Kanya.
“Sena, terima kasih, ya. Berkat kamu, pernikahan ini bisa tetap berlangsung sesuai rencana,” kata ayah Kanya.
Kanya tanpa sadar menahan napas, berusaha mencerna kata-kata ayahnya. Hingga tiga bulan yang lalu, Sena, saudara kandung mendiang Arga satu-satunya, adalah calon adik iparnya.
Selama bertahun-tahun, hubungan Kanya dan Sena tidak bisa dibilang baik. Kanya tidak tahu kenapa, tetapi lelaki yang dia kenal sejak kecil ini jelas membencinya. Lalu, mengapa Sena tiba-tiba mau menikah dengan Kanya?
***
"Saya terima nikah dan kawinnya Kanya Ayudya binti Banyu Drajat dengan maskawin tersebut dibayar tunai …!"
Kanya menghela napas berat saat kembali teringat momen ijab kabul yang berlangsung pagi ini. Beberapa jam yang lalu, dia akhirnya resmi menjadi istri Sena.
Ini adalah hari yang sebelumnya sangat dinantikan Kanya. Mulai dari gaun pengantin hingga pernak-pernik suvenir pernikahan, semuanya mengikuti kemauan Kanya sejak awal. Hampir setiap detailnya benar-benar seperti yang diharapkan Kanya, kecuali sosok mempelai pria.
Kanya mestinya menikah dengan Arga, bukan Sena. Bimasena Wardana mestinya menjadi adik iparnya, bukan malah suaminya.
“Gaun bikinan desainer pilihan Mas Arga cantik banget. Terima kasih, ya, Mas ….”
Kanya tersenyum simpul sambil memandangi pantulan dirinya pada cermin di sudut ruangan. Kebaya yang dipakai saat prosesi akad nikah telah berganti menjadi gaun putih bertabur kristal yang berkilau mewah. Rambutnya ditata bergelombang dengan gaya half updo, semakin cantik berkat hiasan kepala perak berbentuk bunga yang juga berhias untaian berlian.
Sebelum acara resepsi dimulai sore ini, Kanya minta waktu sebentar untuk dirinya sendiri. Sempat ragu karena cemas sang pengantin bakal melakukan hal-hal yang tak diinginkan, pihak wedding organizer akhirnya memberikan waktu 10 menit.
“Andai Mas Arga masih ada, pasti rasanya lebih …”
Monolognya terhenti karena pintu kamar rias perlahan terbuka. Kanya ingin marah namun urung begitu tahu bahwa pelakunya adalah Sena. Tampak menawan mengenakan setelan jas pengantin berwarna hitam, pria itu memasuki ruangan dengan langkah hati-hati.
“Ada yang harus kita bicarakan sebelum acara dimulai, Kanya.”
Sena menghentikan langkahnya dengan menyisakan jarak dua langkah di antara mereka.
“Soal apa?” tanya Kanya dengan suara berbisik.
Sena tak langsung menjawab. Tanpa kata-kata, bola mata pria itu bergerak menyensor penampilan istrinya dari ujung kepala hingga kaki.
“Kamu cantik hari ini,” puji Sena tanpa tersenyum sedikit pun.
“Tapi maaf, ya,” katanya kemudian.
Ada jeda beberapa detik sebelum Sena lanjut bicara, “Maaf karena pada akhirnya aku yang menikahi pengantin secantik kamu, bukan Mas Arga.”
Kanya bergeming. Untuk apa minta maaf sekarang? Jika Sena menganggap pernikahan ini adalah sebuah kesalahan, bukankah dia bisa saja menolak sejak awal? Kanya sungguh tak mengerti kenapa Sena malah mau-mau saja menikahi dirinya.
“Sebagai pengganti Mas Arga yang sangat kamu cintai itu, aku berjanji akan menjadi suami yang bertanggung jawab dalam pernikahan ini,” ujar Sena.
“Sebagai suami yang bertanggung jawab, aku akan memastikan istriku mendapatkan semua yang dibutuhkan. Jadi, apa pun yang kamu mau, bilang saja.”
Tanpa memutus kontak mata dengan lawan bicaranya, Kanya menghela napas panjang. Perempuan itu mencoba meredakan kegelisahannya.
“Apa pun?” tanya Kanya memastikan.
“Apa pun,” tegas Sena.
Namun, apa yang diucapkan Sena berikutnya membuat Kanya yakin bahwa kehidupan rumah tangga mereka bakal lebih banyak tidak bahagianya.
“Aku bisa memberikan semuanya, kecuali cinta ….”
Kemeriahan pesta pernikahan Sena dan Kanya yang digelar begitu mewah telah berakhir. Akhirnya mereka bisa istirahat selepas habis-habisan mencurahkan segenap energi untuk bersandiwara sepanjang hari.Mengabaikan perasaan masing-masing, keduanya sepakat bahwa pernikahan bisnis membutuhkan profesionalitas. Oleh karenanya, Sena dan Kanya berusaha terlihat seperti pasangan pengantin baru pada umumnya.Tak masalah meski kelihatan sama-sama canggung, orang-orang justru memandang gemas. Mereka menganggap sejoli itu cuma masih malu-malu, efek menikah karena dijodohkan.“Malam pertama yang mengesankan,” ucap Kanya sambil membaringkan tubuhnya di kasur bertabur kelopak bunga mawar.Malam semakin larut dan suasana kamar pengantin terasa sangat sunyi. Semua lampu sengaja dibiarkan tetap menyala karena tidur sendirian dalam kegelapan tidak akan pernah menjadi pilihan Kanya.Ironis. Pada malam pertama di hari pernikahannya, Kanya sendirian menempati kamar termewah dari salah satu hotel bintang lima
Kanya terdiam memandangi cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya. Memadukan emas dan perak, two tone wedding ring tersebut tampak mewah karena juga dipercantik dengan berlian warna kuning madu.Ironis. Pikir Kanya, dibanding kehidupan pernikahannya, cincin berhias fancy coloured diamond miliknya jauh lebih indah.“Jangan ngelamun di depan kompor!”Kanya tersentak karena Sena tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya, mematikan kompor sambil mengomel.“Kamu sengaja bikin singkong bakar atau gimana? Baunya udah gosong banget. Bisa-bisanya malah bengong.”“Sorry, aku …”Belum sempat menyelesaikan kalimat permintaan maaf, Kanya berujung cuma menghela napas karena Sena langsung balik kanan meninggalkannya.Pria itu berpenampilan kasual, namun tetap rapi dan menawan. Entah mau pergi ke mana, mungkin ada urusan pekerjaan atau sekadar hangout bersama kawan di akhir pekan. Kanya tidak diberi tahu dan pada dasarnya memang tak mau tahu.Setelah meratapi singkong kukus yang nyaris berubah me
Jingga Eliana dikenal sebagai influencer kecantikan yang konsisten dengan konten edukatif perihal kosmetika. Namanya melejit saat latar belakang keluarga Jingga terungkap beberapa tahun lalu. Tak disangka, Jingga merupakan cucu bungsu pemilik perusahaan kecantikan terkemuka di Indonesia.Selain cerdas, Jingga mempunyai kepribadian yang hangat, tipikal kupu-kupu sosial idaman banyak orang. Jingga juga beberapa kali dikabarkan dekat dengan sejumlah selebritas ternama, membuat sorotan publik hampir selalu tertuju padanya sepanjang tahun.Ke mana pun Jingga pergi, atensi orang-orang selalu mudah tertuju padanya. Tentu saja tak terkecuali saat Jingga datang ke kafe milik istri mantan kekasihnya siang ini."Itu Jingga, kan? Cantik banget!""Aslinya ternyata lebih cantik.""Spek bidadari kayak begitu bisa-bisanya ngaku jomblo. Nggak mungkin!"Banyak pengunjung Kanya Coffee & Bakery yang tak bisa menyembunyikan antusiasme mereka. Selain mendadak kasak-kusuk, mereka tidak mau melewatkan kesempa
“Sena sialan!”Begitu mendapat cerita tentang janji Sena pada Jingga untuk menceraikan Kanya setelah tiga tahun menikah, Mika tak mau menyembunyikan amarahnya. Jangan bilang kalau Sena selama ini diam-diam masih menjalin hubungan juga dengan sang mantan. Jika benar demikian, Sena sungguh layak dilaknat!“Kalian beneran nggak nikah kontrak, kan? Soalnya kalau niatnya emang udahan setelah tiga tahun, mending dia …”“Nggak, Mik,” potong Kanya sambil mengusap lengan Mika yang duduk bersebelahan dengannya di taman belakang, berharap bisa menenangkan sang sahabat.Dibanding Kanya, saat ini Mika memang tampak lebih emosional. Itulah mengapa mereka harus menjauh dari area utama. Bagaimanapun, pelanggan kafe tidak boleh tahu tentang obrolan mereka sekarang, pun dengan para karyawan.“Memang ada satu kesepakatan dan kamu tahu banget soal itu,” ungkap Kanya. “Tapi, bukan berarti ini pernikahan kontrak. Nikah, ya, nikah aja. Mana ada rencana jatuh tempo kayak omongannya Jingga itu.”“Terus, Jingga
Selepas kepergian mendiang tunangannya lebih dari tiga tahun yang lalu, Kanya selalu meyakini bahwa dirinya akan sangat sulit jatuh cinta lagi. Arga terlalu sempurna untuk dibandingkan dengan siapa pun. Jika ingin menggantikan posisi Arga di hati Kanya, sekedar ganteng dan kaya saja jelas tidak cukup.Bahkan di mata Kanya, Arga adalah sosok pasangan yang tampak terlalu sempurna untuk menjadi nyata. Walau demikian, nyatanya Arga dan segala bahasa cintanya memang pernah begitu mewarnai kehidupan Kanya.Namun, apakah Kanya salah? Apakah jatuh cinta selepas kepergian Arga sebenarnya tidak sesulit itu bagi Kanya?Barusan jantungnya berdebar tak karuan hanya karena melihat Sena tersenyum padanya. Orang-orang yang jatuh cinta, biasanya mengalami hal klise semacam itu, kan?"Jangan gila, Kanya. Mana boleh kamu jatuh cinta sama orang itu?" gumam Kanya setelah buru-buru memutus kontak mata dengan Sena yang masih tersenyum padanya."Jangan jatuh cinta sama orang yang jelas-jelas membenci kamu …."
Kebingungan Sena bertahan cukup lama, membuat pria itu hanya diam karena tak tahu harus bagaimana menanggapinya.Pertanyaan sensitif yang dilontarkan Kanya membuatnya merasa tidak nyaman, tetapi sang istri tidak boleh tahu alasannya.Sambil tetap memandang Kanya yang enggan menoleh padanya, Sena menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, “Memangnya siapa yang mau menceraikan kamu?”Sena balik bertanya dengan suara tertahan, berusaha tidak meninggikan nada bicara. Kanya menganggapnya sebagai upaya menekan amarah, tetapi kenapa pria itu harus marah? Bukannya harusnya senang karena momen yang dinanti sejak lama mungkin segera tiba?Lagi-lagi hening. Keduanya sama-sama membisu, sibuk dengan perasaan dan pikiran masing-masing.“Kamu harus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi sampai tiba-tiba kita jadi bahas perkara konyol ini, Kanya Ayudya.”Setelah mengatakannya, Sena kembali melajukan mobil menuju rumah. Sementara di sebelahnya, Kanya diam-diam merasa takut karena nada bicara suaminya
Kanya baru keluar kamar pukul 10 pagi dan terheran-heran dengan apa yang dia temukan di meja makan. Tertutup tudung saji mini, menu sarapan Kanya sudah siap santap.Jelas bukan Kanya yang memasak. Sejak tadi, dirinya bertahan di dalam kamar dengan laptop dalam pangkuan karena mendadak dapat ide untuk buku baru. Lalu, siapa?“Aneh banget kalau sampai dia yang masak,” kata Kanya sambil berspekulasi tentang sosok di balik sarapan sehatnya hari ini.Makanan yang disajikan terlalu kompleks untuk Kanya yang sudah cukup lama terbiasa makan seadanya di pagi hari. Terlalu malas memikirkan menu, terlebih karena hanya dia sendiri yang makan.Scramble eggs berhias daun peterseli tersaji bersama kentang rebus yang dibumbui bubuk rempah. Tak cuma itu, ada mangkuk kecil berisi salad simpel berbahan potongan daun selada, bawang bombai, dan tomat ceri.Sejujurnya, ini terlalu cantik untuk langsung dimakan. Kanya minimal harus memotretnya untuk dipamerkan kepada para pengikutnya di media sosial.Perempu
Sebagaimana biasanya, unggahan Kanya di media sosial secepat kilat disukai banyak orang. Kanya juga menerima banyak balasan dari para pengikutnya. Ada yang sekedar mengungkapkan rasa gemas, iri dengan kemesraan yang lagi-lagi dipamerkan, hingga beragam pertanyaan jenaka tentang pertengkaran Kanya dan Sena.Reaksi yang cukup meriah juga bermunculan setelah seseorang membawa unggahan Kanya Sena ke platform media sosial lain. Foto jepretan Sena diberi label ‘before’, sementara potret piring kosong milik Kanya adalah versi ‘after’.“Kanya adalah kita semua. Perut kenyang, ngambeknya hilang,” demikian cuitan anon
Setiap kali melihat Jingga menangis, hal pertama yang pasti segera dilakukan Sena dulu adalah memeluknya. Sena tidak perlu mengatakan apa pun untuk menenangkan Jingga. Hanya dengan sebuah pelukan, isak perempuan itu perlahan akan mereda.Hanya saja, lain dulu, lain sekarang.Hatinya kini memang tergerak melihat Jingga menangis pilu. Namun, afeksi semacam itu tidak lagi pantas dia berikan. Sena sepenuhnya sadar bahwa dirinya harus membiarkan garis batas di antara mereka tetap jelas. Akhirnya, cukup lama Sena hanya diam di tempatnya. Memandang iba Jingga yang sesenggukan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan, Sena menunggu sampai Jingga mampu menenangkan dirinya sendiri.Di sisi lain, Jingga mulai berusaha mengatur napas yang sesekali masih tersengal. Air matanya belum berhenti mengalir, tetapi sudah lebih terkendali.“Kita bisa mulai lagi dari awal …” Suara Jingga terdengar serak saat ia kembali berbicara seraya mengusap air matanya sendiri.“Aku janji nggak bakal bikin Mas kec
“Aku dulu terlalu kecewa dan marah, jadinya mengabaikan rasa sakit hati yang kamu tahan sendirian.”Bahkan sampai sore tadi, Sena masih memendam amarah yang sama pada Jingga. Hubungan mereka dulu barangkali tidak melulu bahagia, sesekali ada cekcok juga. Namun, mereka selalu cepat berbaikan, jadi tak ada alasan kisah kasih keduanya kandas di tengah jalan.Andai Sena tidak melihat Jingga selingkuh dengan mata kepalanya sendiri, mungkin mereka masih menjalin asmara hingga hari ini. Sena hanya perlu terus pura-pura tidak tahu bahwa dirinya telah dikhianati. Sena yakin, dirinya di masa lalu sanggup melakukan hal seperti itu demi tetap bersama Jingga.Namun, kekecewaan Sena sungguh telah mencapai puncaknya ketika mendapati Jingga tidur tanpa busana bersama pria lain di ranjang tempat mereka sering bercinta. Sejak malam itu, kemarahan Sena tidak pernah sedikit pun berkurang. Bahkan air mata Jingga, tangisannya yang pecah-pecah saat memohon maaf, tak dapat meluluhkan hati Sena.Sena merasa d
“Apa harus sejauh ini? Kenapa mesti dihapus semua?”Dua hari setelah putus, Jingga sempat mengira Sena ingin kembali padanya. Pria itu datang ke apartemennya tanpa pemberitahuan dan Jingga tentu saja dengan senang hati menyambutnya.Namun, kedatangan Sena hari itu ternyata hanya untuk menghapus segala jejak kenangan selama mereka menjalin asmara. Sena menjelajahi setiap sudut tempat tinggal Jingga, mengambil semua foto yang dipajang tak peduli sebesar apa ukurannya.Sena juga menyisir laptop Jingga, menghapus semua foto dan video mereka berdua, tak terkecuali yang ada di perangkat penyimpanan eksternal. Memori kamera digital pun tidak luput dari perhatiannya. Sena bahkan mereset ponsel Jingga setelah menghapus seluruh unggahan yang berkaitan dengan hubungan mereka di setiap akun media sosial Jingga. Dia rela menghabiskan banyak waktu untuk itu semua—sebegitunya tak mau ada satu pun kenangan yang tersisa.Jingga sendiri tak mengerti mengapa dirinya tidak bisa berbuat banyak. Awalnya s
Cinta pertama katanya akan selalu memiliki tempat spesial sampai kapan pun. Entah berujung bahagia atau justru jadi luka yang seakan tidak ada obatnya, cinta pertama seolah tidak ditakdirkan untuk dilupakan begitu saja.Itulah mengapa obrolan tentang cinta pertama seakan tidak pernah terasa membosankan. Bahkan tak sedikit pasangan yang saling penasaran dengan cinta pertama sang pujaan hati.Awal masa pacaran dulu, Jingga dan Sena juga pernah tiba-tiba mengobrolkan cinta pertama. Mulanya gara-gara Jingga tak sengaja bertemu mantannya ketika kencan di sebuah kafe bersama Sena.“Dulu pacarannya lama?”Kala itu, Sena terdengar sangat ingin tahu. Dia bisik-bisik bertanya, bahkan sebelum pria yang sempat menyapa Jingga baru beberapa langkah meninggalkan mereka mereka.Jingga tertawa tanpa suara melihat wajah penasaran Sena. Cemburunya cukup kentara karena jarang-jarang Sena menatap sinis pria lain.“Cuma beberapa bulan, kok. Nggak sampai setahun. Sekitar 5-6 bulan, mungkin?”Sena masih memp
Jingga meringkuk di atas ranjang, memeluk kedua lutut dengan pandangan kosong. Tangisannya sudah reda, menyisakan mata sembap dan bekas air mata yang mengering di wajahnya.Di sebelahnya, Chacha setia menemani. Sang asisten cuma diam, tak sedikit pun coba menghibur Jingga dengan kata-kata. Ia hanya sesekali mengusap pelan punggung Jingga, berusaha menenangkan tanpa suara.“Mas Sena mana …?”Setelah cukup lama, Jingga akhirnya memecah kesunyian dengan suara yang terdengar serak khas orang habis menangis.“Kak Jingga masih mau ketemu orang itu?”Chacha bertanya karena khawatir. Bagaimana jika Jingga merasa syok atau terguncang lagi gara-gara berinteraksi dengan Sena? Namun, Jingga tampaknya lebih cemas jika dirinya tak jadi menghabiskan waktu bersama Sena seperti apa yang terlanjur dia bayangkan sejak kemarin.Perempuan itu mengangguk kecil, lalu berkata, “Aku harus ketemu dia malam ini, Cha. Di mana Mas Sena sekarang …?”Selepas insiden sore tadi, Sena memang sempat tinggal sejenak di
Kanya ingin bertemu dengan Jingga bukan hanya untuk mengoceh tak jelas. Ada sesuatu yang hendak dia katakan pada mantan kekasih suaminya itu.“Jadi, sesuai apa yang kamu mau, akhirnya aku minta cerai.”Setelah mengatakan itu, Kanya ingat benar bagaimana suasana di antara mereka jadi hening sepenuhnya. Suara-suara lain di sekitarnya perlahan menghilang, tak terkecuali gemuruh angin laut dan deburan ombak yang saling berkejaran.Tak ada dengusan kesal atau helaan napas emosional. Jingga benar-benar hanya diam, pun dengan Kanya yang menunggu reaksinya.“Dia bilang apa …?”Ketika Jingga akhirnya memecah sunyi, suaranya sangat pelan, bahkan nyaris tak terdengar.“Setelah kamu minta cerai, dia bilang apa?”Jingga memperjelas pertanyaannya dengan suara yang sedikit bergetar.Saat menoleh ke arah Jingga, Kanya menangkap ekspresi yang tak bisa ia pahami. Jingga tampak menunduk, memandangi lantai dengan tatapan kosong.“Dia nggak mau,” tutur Kanya lirih. “Dia nggak mau kami bercerai.”Hening la
“Sialan kamu! Semuanya kacau gara-gara kamu! Semua salahmu! Aaargh …!”Jingga berteriak di sela isak tangisnya. Dia terus-menerus menyalahkan Kanya sambil mengguncang-guncang bahu perempuan yang menurutnya telah mengambil sumber kebahagiaannya itu.Baik Jingga maupun Kanya sama-sama tak menyadari saat pintu kamar terbuka. Pun dengan keributan kecil yang sempat terjadi di luar sebelum Sena memilih berlari menghampiri mereka berdua.Kamar yang ditempati Jingga cukup luas. Meski begitu, hanya butuh beberapa langkah bagi Sena untuk mencapai balkon.“Jingga …!”Sena tanpa sadar meninggikan suaranya ketika berusaha menghentikan apa yang Jingga lakukan pada Kanya. Tangan besarnya men
“Jujur, sampai sekarang pun aku belum paham kenapa Sena tiba-tiba muncul sebagai pengganti kakaknya.”Setelah susah payah meletakkan egonya, Jingga akhirnya mau duduk bersama Kanya di balkon. Namun, baru saja Kanya mulai bicara, dia sudah mencebik tak suka.“Selama bertahun-tahun, kami bahkan nggak pernah ngobrol. Basa-basi pun, dia kelihatan banget malesnya. Jadi, aku beneran nggak habis pikir waktu dia tiba-tiba diperkenalkan sebagai calon suamiku.”“Sebelum menikah, aku sempat tanya soal kalian. Bukannya kalian mau tunangan? Emangnya masuk akal kalau dia mendadak nikahnya malah sama aku?”Kanya masih ingat betapa dingin sikap Sena padanya dulu. Bicara sungguh hanya seperlunya. Saat berbicara pun, Sena tak mau melihat matanya kecuali saat ada orang yang memperhatikan.“Aku tanya nggak cuma 1-2 kali, tapi dia selalu nggak mau menjelaskan apa pun. Cuma bilang kalau kalian udah putus. Titik. Soal kapan dan/atau kenapa kalian putus, dia nggak merasa aku berhak tahu.”Jingga tersenyum mi
Jingga tersenyum mendengar suara ombak yang berpadu dengan desiran angin laut saat berjalan menuju kamarnya. Deburan lembut yang berulang tanpa henti membawa pikirannya melintasi waktu.Memorinya kembali pada sebuah sore yang tak terlupakan. Enam tahun yang lalu, ia dan Sena duduk berdua di tepi pantai sambil menunggu senja datang.Hari itu, hati Jingga terasa begitu hangat. Bersama Sena, Jingga bisa membicarakan apa saja. Pria ini selalu siap menjadi pendengar yang baik untuknya. Seringkali, hanya dari cara Sena menanggapi hal sepele, Jingga merasa dimengerti sepenuhnya.Jingga menyukai Sena yang selalu bisa membuat percakapan kecil mereka jadi lebih bermakna. Bahkan dalam diam pun, ada kenyamanan yang selalu dia dambakan.Kala itu, ketika semburat jingga begitu indah menghiasi langit, Sena menggenggam tangan Jingga terlebih dahulu untuk pertama kalinya. Terasa ada keraguan pada awalnya, tetapi perlahan menjadi lebih erat dan penuh keyakinan.“Mulai hari ini, boleh aku membalas peras