"Kenapa diam aja? Katanya tadi kamu mau jelasin semuanya, Mas?" tanya Embun seraya melipatkan kedua tangannya.Gio yang saat ini sedang menyetir pun tersenyum."Nanti aku bakal jelasin kalau kita udah sampai rumah ya?" pinta Gio."Rumah yang mana? Bukannya rumah yang itu udah di tempati orang lain ya?" Embun terus saja nyerocos membuat Gio tertawa."Istriku ini kenapa bawel sekali?" godanya seraya mencolek dagu Embun."Ish! Aku serius tau, dari tadi aku tanya kok nggak dijawab-jawab?""Nanti ya, Sayang. Pasti bakal aku jelasin kok. Saat ini aku sedang fokus menyetir, jadi nggak bisa jelasin di sini, sabar ya," pinta Gio."Oke deh," lirih Embun.Kini wanita itu sudah tak berbicara lagi, dia malah asyik menatap ke arah luar jendela.'Sebenarnya kenapa Gio menyembunyikan semua ini? Kenapa juga aku nggak boleh tau! Ih, nyebelin banget sumpah,' gerutunya dalam hati.Beberapa menit kemudian mobil itu berhenti, membuat Embun celingukan ke sana-sini, di depan dia melihat ada rumah yang sebelu
Setelah beberapa kali berperang dengan pikirannya, akhirnya Gio memutuskan untuk meminta bantuan pada Rena, mamanya.Dia tak ingin selalu berpangku tangan seperti ini, walau sebenarnya dia tahu kalau semua ini adalah ulah mamanya sendiri. Ya, ternyata orang yang berusaha menghancurkan perusahaannya adalah Rena, dengan bantuan orang dalam yang sangat Gio ketahui itu adalah rekan kerjanya sendiri.Selama ini Gio selalu mencari cara agar perusahaannya kembali normal, selalu mencari-cari nama-nama investor yang mau bekerja sama dengannya, sayangnya satupun tak membuahkan hasil.Usaha Gio selama ini terlihat sia-sia, padahal dia sudah berjuang mati-matian. Entahlah, pikiran Gio ini semua sudah bagian rencana dari mamanya agar dirinya mau mengikuti kemauan mamanya itu.Berkali-kali Gio menghela napas berat, dia menatap rumah yang sudah lama tak dia datangi dengan tatapan penuh makna. Setelah dia berusaha menenangkan pikirannya, dia pun memutuskan untuk memasuki rumah itu."Kirain siapa yang
Embun menggigit bibir bawahnya ketika membaca serentetan pesan dari seseorang itu. Ya, ternyata pesan itu dikirim oleh Rena yang meminta untuk bertemu hanya berdua saja tanpa Gio.Embun bertanya-tanya dalam hati, kira-kira ada apa Rena sampai-sampai ingin mengajaknya untuk bertemu? Biasanya juga kalau Rena ingin datang menemuinya pasti langsung datang ke rumah.'Ada apa ya? Kok aku mendadak gelisah seperti ini. Apa jangan-jangan dia mau menanyakan hal yang sama lagi, yaitu kapan hamil?'Embun mengerjapkan matanya berkali-kali ketika tiba-tiba pikirannya ke arah situ?'Aku baru ingat bulan ini belum halangan, kok tumben telat? Harusnya kan udah,' batinnya lagi.Embun bergegas mendekati kalender yang tergantung di dekatnya itu, lalu tak lama kemudian dia terkesiap.'Aish, harusnya kan ini kedua kalinya aku halangan, apa jangan-jangan--'Embun tersentak ketika ada sebuah lengan yang tengah memeluknya dari belakang."Kangen," bisik pria itu seraya menaruh wajahnya di pundak Embun.Embun t
Setelah puas menangis meratapi nasibnya, akhirnya wanita itu memutuskan untuk pulang.Sebelum pulang tak lupa dia mampir ke apotek untuk memastikan kalau dugaannya ini salah atau tidak."Mbak," sapa Embun pada penjaga apotek itu."Iya, Mbak. Ada yang bisa saya bantu?""Saya mau beli test pack."Penjaga apotek itu mengangguk sambil tersenyum tipis, dia pun mengeluarkan semua jenis test pack itu pada Embun, dan juga dia menjelaskan dari merk dan harganya, tak lupa juga dia menjelaskan cara pakainya."Duh, saya jadi bingung, Mbak. Saya beli semua jenis aja deh.""Baik, Mbak. Semoga beneran positif hamil ya, Mbak."Embun tersenyum hambar, entahlah dia harus bahagia atau sebaliknya."Makasih, Mbak. Saya pergi dulu."Embun pun pergi meninggalkan apotek itu dengan perasaan gamang.'Gimana kalau aku hamil? Apa aku sanggup meninggalkan Gio? Gimana ini? Padahal aku udah janji sama dia nggak bakal ninggalin dia, tapi kalau aku bertahan di sisinya, aku nggak mau dia terluka apalagi sampai jatuh b
"Saya kagum dengan kegigihan Anda, Pak Gio, hanya saja mungkin ada orang yang ingin bersaing dengan Anda secara diam-diam sehingga bisnis Anda mengalami kebangkrutan. Sayang sekali ya, tapi Anda tenang saja, saya akan tetap mengajak Anda untuk bekerja sama karena saya yakin kalau usaha ini memiliki power yang kuat, dan saya sangat yakin suatu saat penjualan ini akan naik drastis. Saya sangat yakin kalau penjualan ini tidak akan musiman seperti kebanyakan. Jadi bagaimana, Pak Gio? Apa kerjasama ini mau dilanjutkan?"Gio mengangguk penuh semangat. "Saya menyetujuinya, Pak. Terima kasih karena sudah mau bekerja sama dengan saya.""Sama-sama, Pak. Jadi ini udah deal ya?""Deal!"Mereka pun akhirnya berjabat tangan. Gio akhirnya bisa bernapas lega karena ternyata tidak ada hal yang menurutnya sangat mencurigakan.Gio kira, mamanya telah merencanakan sesuatu untuknya, ternyata dia salah besar. Dia pun berniat setelah pulang dari sini, dia akan pergi menyambangi mamanya terlebih dahulu.'Maa
Dua tahun kemudian.~ Kita bertemu tak disengaja. Kau mengikatku dengan kekonyolanmu. Melamarku dengan caramu sendiri yang mungkin tidak akan orang lain lakukan, tetapi aku tidak akan melupakan momen yang paling berharga itu ~Di notebook itu tertulis tanggal kejadian di mana Gio melamar Embun dengan caranya sendiri.Ketika mengingat hal itu, Gio tersenyum, lalu matanya kembali melirik ke lembar berikutnya.~ Tidak akan ada yang benar-benar melupakan masa lalu yang kelam. Luka itu pasti membekas dan rasa kecewa itu pasti tak akan benar-benar sembuh. Hanya saja kau pintar menyembunyikan semua itu dengan senyuman ~Gio ingat ketika dia menceritakan traumanya pada Embun tentang perlakuan hak asusila yang pamannya lakukan padanya. Lagi-lagi pria itu tersenyum kecil.~ Aku akan berjuang mati-matian jika hubungan kita tidak direstui oleh orang tuaku, tapi aku tidak akan mampu melawan restu dari kedua orang tuamu apalagi ibumu. Jika seandainya aku menjauh dari hidupmu itu adalah sebuah kehar
"Kerja sama dengan perusahaan Mandratama berjalan dengan lancar, Pak," beritahu Rizal."Hemm," jawab Gio sekenanya dengan mata terpejam."Berkas perjanjian sudah dibuat dan Anda harus melakukan perjalanan ke kantor Mandratama besok pagi."Gio membuka matanya. "Mandratama?""Sebenarnya dulunya nama perusahaannya bukan itu, Pak. Namun karena sekarang sudah ganti pemilik jadi nama perusahaan juga sudah diganti. Saat ini pemiliknya adalah anak tirinya yang bernama Langit Mandratama."Gio manggut-manggut. Dia tak bertanya apapun lagi. Rizal pun kembali menjelaskan apa saja jadwal bosnya hari besok."Besok Anda akan ada pertemuan dengan para mengelola senior Mandratama, dan juga akan menyapa beberapa karyawan yang bekerja di sana.""Hemm." Gio menjawab dengan gumaman saja."Dan juga, nyonya Rena meminta Anda untuk menghubunginya jika ada waktu senggang."Kali ini Gio diam saja, tak ada suara gumaman darinya ataupun memberikan reaksi lainnya, pria itu hanya tersenyum sinis.Rizal sudah mendu
Embun berjalan dengan tergesa-gesa, napasnya naik turun. Setelah sampai di depan toilet dia segera masuk, tak lupa juga dia menguncinya.Detak jantungnya masih berdetak begitu kencang. Dia masih tak percaya dengan apa yang tadi dia lihat."Pasti aku lagi mimpi, kan?" gumam wanita itu.Embun meringis ngilu karena merasakan sakit ketika dia mencubit lengannya."Ah, ternyata aku nggak mimpi. Kenapa dia ada di sini? Kenapa?" Embun menggigiti kuku tangannya. Dia benar-benar gelisah. "Apa tadi dia mengenaliku? Ah, jangan sampai deh. Tapi gimana kalau tadi dia lihat aku? Bukannya tadi mata kami saling memandang? Ahh, gimana ini?"Embun berjalan mondar-mandir di dalam toilet itu, dia ingin keluar dari situ, tapi dia takut bertemu dengan pria itu.Wanita itu memberanikan diri membuka pintu, lalu melongokkan sedikit kepalanya. Setelah memastikan tak ada satu pun orang ada di sana, dia menghela napas lega."Ah, aman. Sebaiknya aku pergi dari sini aja keburu ketahuan."Embun pun memberanikan diri
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu