"Kerja sama dengan perusahaan Mandratama berjalan dengan lancar, Pak," beritahu Rizal."Hemm," jawab Gio sekenanya dengan mata terpejam."Berkas perjanjian sudah dibuat dan Anda harus melakukan perjalanan ke kantor Mandratama besok pagi."Gio membuka matanya. "Mandratama?""Sebenarnya dulunya nama perusahaannya bukan itu, Pak. Namun karena sekarang sudah ganti pemilik jadi nama perusahaan juga sudah diganti. Saat ini pemiliknya adalah anak tirinya yang bernama Langit Mandratama."Gio manggut-manggut. Dia tak bertanya apapun lagi. Rizal pun kembali menjelaskan apa saja jadwal bosnya hari besok."Besok Anda akan ada pertemuan dengan para mengelola senior Mandratama, dan juga akan menyapa beberapa karyawan yang bekerja di sana.""Hemm." Gio menjawab dengan gumaman saja."Dan juga, nyonya Rena meminta Anda untuk menghubunginya jika ada waktu senggang."Kali ini Gio diam saja, tak ada suara gumaman darinya ataupun memberikan reaksi lainnya, pria itu hanya tersenyum sinis.Rizal sudah mendu
Embun berjalan dengan tergesa-gesa, napasnya naik turun. Setelah sampai di depan toilet dia segera masuk, tak lupa juga dia menguncinya.Detak jantungnya masih berdetak begitu kencang. Dia masih tak percaya dengan apa yang tadi dia lihat."Pasti aku lagi mimpi, kan?" gumam wanita itu.Embun meringis ngilu karena merasakan sakit ketika dia mencubit lengannya."Ah, ternyata aku nggak mimpi. Kenapa dia ada di sini? Kenapa?" Embun menggigiti kuku tangannya. Dia benar-benar gelisah. "Apa tadi dia mengenaliku? Ah, jangan sampai deh. Tapi gimana kalau tadi dia lihat aku? Bukannya tadi mata kami saling memandang? Ahh, gimana ini?"Embun berjalan mondar-mandir di dalam toilet itu, dia ingin keluar dari situ, tapi dia takut bertemu dengan pria itu.Wanita itu memberanikan diri membuka pintu, lalu melongokkan sedikit kepalanya. Setelah memastikan tak ada satu pun orang ada di sana, dia menghela napas lega."Ah, aman. Sebaiknya aku pergi dari sini aja keburu ketahuan."Embun pun memberanikan diri
Untuk beberapa saat mereka terdiam. Saling sibuk dengan pemikiran mereka sendiri. Embun yang bingung mencari jawaban yang tepat untuk Gio, sedangkan Gio selalu saja mendesak Embun."Apa ketika kamu memutuskan untuk pergi itu berarti kamu nggak cinta lagi sama aku?" Kini Gio melirihkan suaranya.Embun menghela napas berat. "Aku nggak seperti itu, Gio. Tapi kalau memang pemikiran kamu seperti itu ya nggak masalah buatku. Aku--""Embun! Kamu ini dari tadi aku cariin juga, ngapain di sini? Tuh sana kerjaan kamu numpuk, kok malah leha-leha. Malah pacaran lagi. Duh, kalau ketahuan sama bos bisa gawat! Tahu sendiri, kan, bos baru kita itu galaknya nggak ketulungan! Ayo cepat lanjut kerja lagi!" tegur Sonia.Sonia tidak melihat Gio karena posisi pria itu membelakangi Sonia.Gio sama sekali tak melepaskan cengkraman tangannya, dia malah mempererat pegangannya, pertanda kalau dirinya tidak mau ditinggal oleh Embun."Aku pergi dulu, nanti kita lanjut bicara lagi," bisik wanita itu.Gio menggelen
"Sial! Kenapa susah sekali bujuk wanita itu," gerutu Gio. "Apa permintaanku ini sangat susah? Padahal kan aku cuma minta jangan tinggalin aku. Itu aja kok nggak muluk-muluk," dengkusnya.Usai pembicaraan kemarin, Embun langsung pergi. Bahkan Embun juga belum menjawab pertanyaan yang sempat dia berikan.Padahal Gio sendiri pun sudah tahu jawabannya kalau Embun memang disuruh pergi dari kehidupannya oleh mamanya. Masalahnya Gio ingin mendengar penjelasan langsung dari Embun. Nggak ada salahnya, kan?"Mungkin nona Embun masih takut oleh nyonya Rena, Pak," sahut Rizal santai.Rizal menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang."Cih! Apa yang harus ditakutkan dari mama? Kenapa dia harus takut dengan mama dibanding aku yang jelas-jelas suaminya," cibir Gio."Kalau boleh saya kasih saran, sebaiknya Anda bicara dengan nona Embun dari hati ke hati. Saya rasa di antara kalian hanya ada kesalahpahaman saja, ditambah lagi dengan adanya orang ketiga yaitu mama Anda sendiri. Semakin cepat semakin baik
"Sialan! Siapa laki-laki yang sedang dekat dengan istriku, Rizal?" tanya Gio seraya mencengkeram erat pundak Rizal membuat pria itu meringis pelan.Bagaimana Gio tidak marah ketika melihat istrinya pulang kerja semobil dengan seorang pria yang tidak dikenalnya."Itu ... itu adalah orang suruhan nyonya Rena. Dialah yang membawa nona Embun ke kota ini, Pak," beritahu Rizal. Dia mencoba menggerak-gerakkan pundaknya supaya cengkraman Gio terlepas. Sayangnya bukannya terlepas yang ada malah cengkeraman Gio semakin kuat.'Duh, Pak, apa Anda ingin bunuh saya? Kulit saya rasanya terkoyak karena ulah Anda,' batin Rizal, nelangsa."Suruhan? Kalau memang iya kenapa harus sampai antar jemput segala? Nggak bisa dibiarin ini, aku harus menghajar pria itu."Gio ingin turun dari mobil itu, tapi langsung dicegat oleh Rizal."Jangan dulu, Pak.""Jangan?" ulang Gio dengan tatapan nyalang. "Kamu membela pria itu dari pada aku yang jelas-jelas suami Embun?" sentaknya kemudian."Bukan seperti itu, Pak. Mak
"Senang bekerja sama dengan Anda, Pak Langit. Saya kagum dengan Anda, masih muda tapi semangatnya sangat luar biasa. Bisnis dalam bidang makanan dan minuman ringan sangat sukses, kini Anda juga merambah ke bisnis properti, sungguh luar biasa. Saya benar-benar takjub dengan Anda."Langit menanggapi dengan senyuman tipis. "Anda terlalu memuji saya. Padahal Anda sendiri yang seperti itu. Justru saya yang kagum dengan Anda. Omong-omong ada hal apa yang ingin Anda sampaikan, sampai-sampai ingin bertemu dengan saya?" "Saya ingin Anda memecat istri saya."Langit membelalakkan matanya. "Istri? Istri Anda bekerja di tempat saya? Bagaimana bisa?"Gio menghela napas berat. "Jadi ... ceritanya panjang, Pak--""Stop, stop. Jangan panggil aku dengan sebutan itu, usiaku masih terlalu muda untuk dipanggil, Pak," sela Langit cepat.Gio tertawa pelan. "Kesannya nggak sopan dong?""Ini di luar kerja, jadi jangan terlalu formal gitu. Santai aja."Gio manggut-manggut."Oke, sekarang lanjutkan, kenapa bis
"Aku emang pergi karena di suruh oleh mama," ungkap Embun pada akhirnya.Gio tak menyahut, dia hanya menatap wanita itu begitu dalam. Tak lama setelah itu dia tertawa sumbang."Bukannya kamu udah janji nggak bakal ninggalin aku? Emangnya aku ketahuan selingkuh ya sampai-sampai kamu pergi?"Embun menggeleng, dia memang menjanjikan hal itu. Embun juga pernah berkata dalam kondisi apapun dia tidak akan meninggalkan pria itu, kecuali satu, kalau selingkuh baru Embun pergi."Terus kenapa kamu pergi?" tanya Gio dengan suara dingin.Embun menelan salivanya dengan susah payah, dia menunduk sebentar, lalu kembali menatap wajah pria itu."Karena ... demi kebaikan kamu. Ya, aku melakukan ini semua demi kebaikan kamu," lirih wanita itu."Kebaikan apa sih? Emang kamu lihat sekarang aku baik-baik aja?" sinis Gio.Embun mengangguk. "Iya, kuharap begitu.""CK! Kamu mana tahu gimana menderitanya aku selama ini. Katakan, apa yang menurut kamu kalau kamu pergi aku akan lebih baik. Katakan sekarang! Aku
Gio berdecak malas ketika melihat Embun terus saja menangis."Udah dong, kalau tahu kayak gini aku nggak bakal cerita," sesal pria itu."Kamu keterlaluan!" Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. "Katakan apa yang keterlaluan?""Kamu itu ya! Emangnya kamu kira aku ini wanita apaan, huh? Wanita gila uang?"Gio tak menjawab, dia mengurut hidungnya karena bingung harus menjawab apa."Benar! Ternyata kamu menganggap ku seperti itu," ucap Embun lagi."Nggak. Aku sama sekali nganggap kamu nggak kayak gitu, Sayang. Aku cuma takut kalau aku mengatakan semuanya sama kamu, takutnya kamu pergi ninggalin aku. Terbukti, kan, pada akhirnya kamu pergi ninggalin aku," ujar Gio dengan mimik wajah sedih."Dengar, Gio. Aku mau nikah sama kamu itu nggak karena harta yang kamu punya. Nggak munafik, semua wanita pasti butuh uang. Tapi ...." Embun menghela napas berat. "Ya kali perusahaan kamu bangkrut terus aku pergi dari kamu. Kamu kira aku ini wanita matre?" dengkusnya kemudian. "Pemikiran kamu itu sal
Bahagia! Itu adalah gambaran sempurna untuk keluarga Gio.Ya, saat ini mereka tengah dikaruniai seorang putri yang begitu cantik, ditambah lagi saat ini sang istri sedang hamil anak kedua, kandungannya sudah berumur tujuh bulan, yang kabarnya anak itu berjenis kelamin laki-laki.Jelas saja kebahagiaan itu semakin lengkap untuk Gio maupun Embun."Dan pada akhirnya si Cinderella pun bahagia dengan pasangannya."Alea menatap ayahnya dengan raut wajah bingung."Kok ceritanya beda kayak yang diceritakan oleh bunda, Yah?" protes anak itu.Pipi Alea menggembung, membuat Gio gemas, dan pada akhirnya dia mencubit kedua pipi Alea itu dengan pelan."Itu kan versi bunda, kalau versi Ayah ya beda dong. Alea kenapa belum tidur? Ayah udah baca dongeng dari tadi loh.""Masih belum ngantuk, Yah. Biasanya kalau bunda yang bacain dongeng, Alea langsung tidur. Tapi kalau sama Ayah kok nggak ya?" tanya anak itu dengan raut wajah bingungnya.Ya bagaimana Alea bisa mau tidur, Gio saja menceritakannya tidak
Embun menangis begitu kencang ketika mendengar penuturan dari suaminya. Ya, Gio mengatakan bahwa saat ini dirinya tengah hamil.Awalnya wanita itu tidak percaya dengan ucapan Gio, karena dokter sudah memvonisnya akan susah hamil akibat kecelakaan itu.Namun, keraguan itu seketika sirna karena Gio membawa bukti yang diberikan oleh dokter itu, dan langsung Gio memberikannya pada Embun. Dari situlah baru Embu percaya kalau saat ini tengah ada janin di dalam perutnya."Sayang, udah, jangan nangis terus," tegur Gio sambil mengusap-usap punggung wanita itu secara perlahan."Ini benar-benar nggak mungkin, Mas. Bagaimana bisa aku ... hamil? Sedangkan--""Ssstttt." Gio menempelkan jari telunjuknya di bibir wanita itu. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau Tuhan sudah berkehendak, Sayang. Ini adalah takdir kita. Tuhan masih memberikan kepercayaannya pada kita untuk merawat bayi ini. Mungkin waktu itu kita masih belum dikasih kepercayaan karena kita masih belum dewasa, kita masih sama-sama egois.
Berkali-kali Gio menciumi telapak tangan Embun. Perasaannya benar-benar campur aduk, tak karuan. Ada rasa khawatir, cemas, emosi dan juga bahagia. Karena perlakuan Gio, membuat Embun dengan perlahan membuka kedua matanya.Kepalanya masih terasa sakit, maka dari itu dia ingin kembali memejamkan matanya, akan tetapi karena ada yang terus menciumi tangannya, pada akhirnya dia mengurungkan niatnya."Mas," panggil wanita itu lirih."Sayang, kamu udah bangun?" tanya pria itu dengan cepat. "Gimana? Apa yang sedang kamu rasakan? Apa ada bagian yang sakit di area tubuhmu?" Pertanyaan beruntun Gio membuat Embun tersenyum tipis.Wanita itu menggeleng pelan. "Nggak ada, Mas. Aku cuma pusing aja, sama lemas juga sih sebenernya," beritahu wanita itu.Embun menatap sekitar, dahinya mengernyit heran karena baru menyadari kalau dia tidak berada di dalam kamarnya, melainkan ruangan yang begitu asing, menurutnya."Kita lagi di mana, Mas?" tanya wanita itu dengan kening berkerut.Gio mendengkus keras. "
Langkah Gio begitu tergesa-gesa. Terlihat begitu jelas raut wajahnya tampak cemas.Tadi, ketika Embun yang menghubunginya, ternyata yang Gio dengar bukan suara istrinya, melainkan suara orang lain, yang lebih parahnya lagi adalah suara seorang pria.Marah? Tentu saja! Siapa yang begitu berani meneleponnya mengunakan nomor istrinya? Bukan itu poin pentingnya, melainkan kenapa ponsel istrinya bisa di tangan orang lain? Terlebih lagi seorang pria."Ha-halo."Mata Gio membulat ketika bukan suara istrinya yang terdengar."Siapa kamu? Kenapa ponsel istriku bisa di tanganmu? Mana istriku?" sentak pria itu cepat."Ma-maaf. Aku akan menjelaskannya nanti--""Kenapa harus nanti? Cepat jelaskan sekarang!" kata Gio dengan suara yang begitu nyaring."Aku akan menjelaskannya nanti, sekarang ada yang lebih penting yang harus kita urus. Ini tentang Embun, dia saat ini pingsan!" Pria yang tak Gio ketahui siapa namanya itu juga ikut berteriak.Gio tersentak, bukan karena bentakan pria itu, akan tetapi d
"Untuk pembangunan di sebelah selatan delapan puluh persen sudah jadi, Pak, sebentar lagi akan rampung," beritahu Rizal.Gio tampak manggut-manggut. "Terima kasih atas laporannya, Rizal. Kamu memang bisa diandalkan. Nggak sia-sia aku kasih kamu kesempatan sekali lagi buat kerja sama aku," ucap pria itu bangga.Rizal tersipu malu. "Anda terlalu banyak memuji, Pak. Saya bisa seperti juga berkat Anda. Terima kasih karena saya sudah dikasih kepercayaan penuh oleh Anda, Pak."Gio kembali mengangguk seraya menepuk pundak Rizal berkali-kali.Dulu, waktu pertama kali Gio mempekerjakan Rizal, Rizal memang sangat payah, tidak mempunyai keahlian ataupun cekatan, tapi berkat kesabaran Gio dan juga ketelatenan pria itu dalam mendidik Rizal, pada akhirnya asistennya pun berubah menjadi semenakjubkan seperti ini. Gio bangga pada Rizal yang mau berjuang dan berusaha. Maka dari itu Gio tidak mungkin melepaskan Rizal begitu saja.Rizal pun demikian. Dia begitu bangga mempunyai bos seperti itu. Mungkin
"Kok lama banget sih datangnya," keluh Dimas ketika melihat Embun sudah datang.Embun mendengkus keras. "Syukur-syukur aku dateng, gitu aja protes," celetuk wanita itu tak terima."Iya, iya. Jangan ngambek gitu dong. Kan jadi makin cantik aja."Embun memutar bola matanya malas, agak jengah juga karena Dimas semakin terang-terangan menunjukkan rasa tertariknya padanya."Mau ngomong apa?" tanya wanita itu to the poin."Eits! Santai dulu dong, ngapain pakai buru-buru segala sih. Aku aja belum pesanin kamu minum. Mau minum apa?"Embun mengibas-ngibaskan tangannya. "Masalahnya aku belum izin sama suami, takutnya nanti dia malah salah paham. Lebih cepat lebih baik, lebih cepat juga aku pulangnya. Jadi kamu mau ngomongin apa?" desak Embun. "Kamu bilang ini tentang masa depan aku, emangnya aku itu kenapa? Apa yang akan terjadi di masa depan?" cerocos wanita itu panjang lebar.Raut wajah Dimas tampak berubah ketika Embun mengatakan tentang suami."Kamu beneran cinta nggak sih sama suami kamu i
[Embun, bisakah kita bicara sebentar? Ada yang mau aku bicarakan, penting. Sangat penting!]Embun mengerutkan keningnya ketika mendapat pesan dari Dimas."Mau ngapain dia?" gumam wanita itu.Akhir-akhir ini dia merasa begitu malas. Biasanya dia selalu bangun pagi untuk menyiapkan segala keperluan suaminya, tapi saat ini tidak, dan beruntungnya Gio sama sekali tak mempermasalahkan hal itu. Embun merasa beruntung mempunyai suami seperti Gio. Dia begitu bodoh karena dulu pernah menyia-nyiakan pria itu, dan mulai saat ini dia tidak akan melakukan hal itu lagi.[Ya udah tinggal ngomong aja lewat chat.]Embun pun membalas pesan dari Dimas. Tak menunggu waktu lama, pria itu langsung membalasnya.[Nggak bisa bicara lewat telpon, bisanya kita bicara secara langsung. Ini benar-benar penting, Embun!]Embun berdecak kesal. Bangun dari tidurnya saja dia malas, apalagi harus sampai bertemu dengan pria itu."Tapi aku penasaran, kira-kira dia mau ngomong apa ya? Katanya penting banget. Males banget
Karena jengah dengan suara deringan itu, pada akhirnya Gio pun mengangkat panggilan dari mamanya."Halo, Ma, ada apa?" tanya pria itu dengan ogah-ogahan."Ah, akhirnya kamu angkat telepon Mama juga, Nak." Dari ujung sana Rena tampak menghela napas lega.Sedangkan Gio, dia memutar bola matanya malas."Ada apa, Ma?" tanya pria itu lagi."Mama kangen sama kamu, Nak."Gio tertawa sinis. Kangen? Sejak kapan mamanya itu bisa berucap seperti itu!"Ma, saat ini aku lagi sibuk, nelponnya lain kali aja," sahut Gio dengan suara ketus."Mama benar-benar minta maaf, Nak. Mama akui kalau Mama itu salah. Maka dari itu izinkan Mama menebus semua dosa-dosa Mama ini. Mama ingin bertemu dengan Embun, Mama mau minta maaf sama dia. Boleh, kan, kalau Mama bertemu dengan dia?" "Nggak boleh!" jawab Gio tegas. Tangannya mengepal dengan erat, serta mengetatkan rahangnya. Dia tahu kalau lagi-lagi mamanya itu pasti merencanakan sesuatu. "Aku tahu apa yang saat ini ada dipikiran Mama, pasti Mama mau hasut Embun
Akhir-akhir ini Gio merasakan bahwa dirinya kembali lagi hidup. Hari-harinya kembali berwarna setelah bersama dengan Embun, istrinya.Banyak celotehan Embun yang membuat dirinya gampang tertawa. Inilah yang pria itu mau, hidup bahagia dengan pilihannya.Sampai-sampai dia lupa bahwa sampai saat ini mamanya masih saja merecokinya. Bukan merecoki untuk menikah dengan wanita lain, tapi mamanya meminta untuk dipertemukan oleh Embun. Tentu saja Gio tidak mau.Pria itu takut kejadian dua tahun lalu akan kembali terulang, mamanya ikut campur dan Embun akan pergi meninggalkannya lagi.Ya, meskipun Embun sudah berjanji padanya tidak akan pergi meninggalkannya, tetap saja yang namanya pikiran itu gampang berubah. Apalagi setahu Gio, perempuan itu moodnya gampang sekali berubah."Kok nggak diangkat teleponnya, Mas? Kenapa?" tanya Embun heran karena Gio mengacuhkan panggilan itu.Gio mengedikkan bahunya acuh, dia lebih memilih menatap laptopnya."Nggak terlalu penting sih," ujarnya cuek."Kan belu