"Sial! Kenapa susah sekali bujuk wanita itu," gerutu Gio. "Apa permintaanku ini sangat susah? Padahal kan aku cuma minta jangan tinggalin aku. Itu aja kok nggak muluk-muluk," dengkusnya.Usai pembicaraan kemarin, Embun langsung pergi. Bahkan Embun juga belum menjawab pertanyaan yang sempat dia berikan.Padahal Gio sendiri pun sudah tahu jawabannya kalau Embun memang disuruh pergi dari kehidupannya oleh mamanya. Masalahnya Gio ingin mendengar penjelasan langsung dari Embun. Nggak ada salahnya, kan?"Mungkin nona Embun masih takut oleh nyonya Rena, Pak," sahut Rizal santai.Rizal menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang."Cih! Apa yang harus ditakutkan dari mama? Kenapa dia harus takut dengan mama dibanding aku yang jelas-jelas suaminya," cibir Gio."Kalau boleh saya kasih saran, sebaiknya Anda bicara dengan nona Embun dari hati ke hati. Saya rasa di antara kalian hanya ada kesalahpahaman saja, ditambah lagi dengan adanya orang ketiga yaitu mama Anda sendiri. Semakin cepat semakin baik
"Sialan! Siapa laki-laki yang sedang dekat dengan istriku, Rizal?" tanya Gio seraya mencengkeram erat pundak Rizal membuat pria itu meringis pelan.Bagaimana Gio tidak marah ketika melihat istrinya pulang kerja semobil dengan seorang pria yang tidak dikenalnya."Itu ... itu adalah orang suruhan nyonya Rena. Dialah yang membawa nona Embun ke kota ini, Pak," beritahu Rizal. Dia mencoba menggerak-gerakkan pundaknya supaya cengkraman Gio terlepas. Sayangnya bukannya terlepas yang ada malah cengkeraman Gio semakin kuat.'Duh, Pak, apa Anda ingin bunuh saya? Kulit saya rasanya terkoyak karena ulah Anda,' batin Rizal, nelangsa."Suruhan? Kalau memang iya kenapa harus sampai antar jemput segala? Nggak bisa dibiarin ini, aku harus menghajar pria itu."Gio ingin turun dari mobil itu, tapi langsung dicegat oleh Rizal."Jangan dulu, Pak.""Jangan?" ulang Gio dengan tatapan nyalang. "Kamu membela pria itu dari pada aku yang jelas-jelas suami Embun?" sentaknya kemudian."Bukan seperti itu, Pak. Mak
"Senang bekerja sama dengan Anda, Pak Langit. Saya kagum dengan Anda, masih muda tapi semangatnya sangat luar biasa. Bisnis dalam bidang makanan dan minuman ringan sangat sukses, kini Anda juga merambah ke bisnis properti, sungguh luar biasa. Saya benar-benar takjub dengan Anda."Langit menanggapi dengan senyuman tipis. "Anda terlalu memuji saya. Padahal Anda sendiri yang seperti itu. Justru saya yang kagum dengan Anda. Omong-omong ada hal apa yang ingin Anda sampaikan, sampai-sampai ingin bertemu dengan saya?" "Saya ingin Anda memecat istri saya."Langit membelalakkan matanya. "Istri? Istri Anda bekerja di tempat saya? Bagaimana bisa?"Gio menghela napas berat. "Jadi ... ceritanya panjang, Pak--""Stop, stop. Jangan panggil aku dengan sebutan itu, usiaku masih terlalu muda untuk dipanggil, Pak," sela Langit cepat.Gio tertawa pelan. "Kesannya nggak sopan dong?""Ini di luar kerja, jadi jangan terlalu formal gitu. Santai aja."Gio manggut-manggut."Oke, sekarang lanjutkan, kenapa bis
"Aku emang pergi karena di suruh oleh mama," ungkap Embun pada akhirnya.Gio tak menyahut, dia hanya menatap wanita itu begitu dalam. Tak lama setelah itu dia tertawa sumbang."Bukannya kamu udah janji nggak bakal ninggalin aku? Emangnya aku ketahuan selingkuh ya sampai-sampai kamu pergi?"Embun menggeleng, dia memang menjanjikan hal itu. Embun juga pernah berkata dalam kondisi apapun dia tidak akan meninggalkan pria itu, kecuali satu, kalau selingkuh baru Embun pergi."Terus kenapa kamu pergi?" tanya Gio dengan suara dingin.Embun menelan salivanya dengan susah payah, dia menunduk sebentar, lalu kembali menatap wajah pria itu."Karena ... demi kebaikan kamu. Ya, aku melakukan ini semua demi kebaikan kamu," lirih wanita itu."Kebaikan apa sih? Emang kamu lihat sekarang aku baik-baik aja?" sinis Gio.Embun mengangguk. "Iya, kuharap begitu.""CK! Kamu mana tahu gimana menderitanya aku selama ini. Katakan, apa yang menurut kamu kalau kamu pergi aku akan lebih baik. Katakan sekarang! Aku
Gio berdecak malas ketika melihat Embun terus saja menangis."Udah dong, kalau tahu kayak gini aku nggak bakal cerita," sesal pria itu."Kamu keterlaluan!" Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. "Katakan apa yang keterlaluan?""Kamu itu ya! Emangnya kamu kira aku ini wanita apaan, huh? Wanita gila uang?"Gio tak menjawab, dia mengurut hidungnya karena bingung harus menjawab apa."Benar! Ternyata kamu menganggap ku seperti itu," ucap Embun lagi."Nggak. Aku sama sekali nganggap kamu nggak kayak gitu, Sayang. Aku cuma takut kalau aku mengatakan semuanya sama kamu, takutnya kamu pergi ninggalin aku. Terbukti, kan, pada akhirnya kamu pergi ninggalin aku," ujar Gio dengan mimik wajah sedih."Dengar, Gio. Aku mau nikah sama kamu itu nggak karena harta yang kamu punya. Nggak munafik, semua wanita pasti butuh uang. Tapi ...." Embun menghela napas berat. "Ya kali perusahaan kamu bangkrut terus aku pergi dari kamu. Kamu kira aku ini wanita matre?" dengkusnya kemudian. "Pemikiran kamu itu sal
"Rizal, aku ingin bertanya padamu."Rizal melirik ke arah bosnya lewat kaca spion. Pria itu sepertinya bisa menebak bahwa saat ini bosnya tengah gundah gulana."Silakan, Pak. Silakan bertanya, pasti saya akan menjawabnya," sahut Rizal dengan cepat.Gio menghela napas berat, sesekali memejamkan matanya."Menurutmu apa penting seorang wanita hamil dan melahirkan?" tanya Gio seraya menatap Rizal dengan sorot mata tajam.Rizal menggaruk kepalanya yang tidak gatal.'Aduh, gimana ini jawabnya. Aku memang berpengalaman masalah wanita, tapi kalau soal itu aku mana tahu,' decak Rizal dalam hati."Rizal?" tegur Gio.Rizal terkesiap. "Iya, Pak? Gimana?" tanya pria itu gelagapan."Kamu itu dengar nggak sih aku lagi ngomong?" dengkus Gio."Dengar kok, Pak. Bentar dulu ya, Pak, saya carikan dulu informasinya di teman wanita saya," sahut Rizal."Cih! Katanya kamu yang paling berpengalaman masalah perempuan," ejek pria itu.Rizal menanggapinya dengan senyuman saja."Kamu lagi ngapain?" tegur Gio."Sa
"Hai."Embun memutar bola matanya malas ketika melihat Dimas sudah ada di depan rumahnya."Kenapa?" tanya wanita itu ketus."Berangkat kerja bareng yuk."Embun menggeleng. "Aku pakai motor aja," tolak wanita itu."Oh, oke," sahut pria itu seraya tersenyum kecewa.Dimas pun langsung memasuki mobilnya, setibanya di dalam mobil dia tersenyum licik karena melihat raut wajah wanita itu tampak begitu kesal.Tuk ... tuk ...Dimas menurunkan kaca mobilnya."Perlu bantuan?" tanya pria itu.Embun mendengkus keras. "Aku heran kenapa ban motorku selalu aja kempes, curiga nih pasti ada seseorang dengan sengaja melakukannya," ucapnya seraya melirik ke arah Dimas dengan tajam.Dimas mengusap tengkuknya. "Apa kamu lagi nuduh aku?"Embun memicingkan mata. "Emangnya kamu merasa? Padahal aku nggak ada ngomong kalau kamu yang melakukannya loh."Dimas berdecak pelan."Kamu emang nggak ada bilang kalau aku yang melakukannya, tapi sorot matamu itu seolah-olah mengatakan kalau aku yang melakukannya."Embun t
Dimas memukul stir mobil itu dengan keras karena merutuki kebodohannya barusan.Bagaimana tidak, dia hampir saja mencelakai Embun lagi. Kejadian dua tahun lalu hampir terulang kembali.Dan jelas saja dengan kejadian tadi membuat Embun kembali trauma, terlihat begitu jelas dengan raut wajah wanita itu yang begitu pucat."Sial! Aku sudah susah payah membujuk dia untuk tidak takut lagi naik mobil, malah kejadian seperti ini keulang lagi. Benar-benar sial! Kalau kayak gini aku bakal susah bujuk Embun agar mau jalan bareng aku. Arghh!" teriak pria itu.Masih terekam jelas diingatannya, begitu tadi mobil berhenti Embun langsung keluar dari mobil tanpa mengucapkan sepatah katapun, hal itu jelas saja membuat Dimas kian merasa bersalah."Maafin aku, Embun. Aku nggak bermaksud untuk membuat trauma itu datang kembali. Maafin aku." Berkali-kali Dimas menggumamkan kata maaf seolah-olah Embun kini berada di hadapannya.***"Kerjaan di sini sebentar lagi akan selesai, Pak. Apa yang akan kita lakukan