Dua tahun kemudian.~ Kita bertemu tak disengaja. Kau mengikatku dengan kekonyolanmu. Melamarku dengan caramu sendiri yang mungkin tidak akan orang lain lakukan, tetapi aku tidak akan melupakan momen yang paling berharga itu ~Di notebook itu tertulis tanggal kejadian di mana Gio melamar Embun dengan caranya sendiri.Ketika mengingat hal itu, Gio tersenyum, lalu matanya kembali melirik ke lembar berikutnya.~ Tidak akan ada yang benar-benar melupakan masa lalu yang kelam. Luka itu pasti membekas dan rasa kecewa itu pasti tak akan benar-benar sembuh. Hanya saja kau pintar menyembunyikan semua itu dengan senyuman ~Gio ingat ketika dia menceritakan traumanya pada Embun tentang perlakuan hak asusila yang pamannya lakukan padanya. Lagi-lagi pria itu tersenyum kecil.~ Aku akan berjuang mati-matian jika hubungan kita tidak direstui oleh orang tuaku, tapi aku tidak akan mampu melawan restu dari kedua orang tuamu apalagi ibumu. Jika seandainya aku menjauh dari hidupmu itu adalah sebuah kehar
"Kerja sama dengan perusahaan Mandratama berjalan dengan lancar, Pak," beritahu Rizal."Hemm," jawab Gio sekenanya dengan mata terpejam."Berkas perjanjian sudah dibuat dan Anda harus melakukan perjalanan ke kantor Mandratama besok pagi."Gio membuka matanya. "Mandratama?""Sebenarnya dulunya nama perusahaannya bukan itu, Pak. Namun karena sekarang sudah ganti pemilik jadi nama perusahaan juga sudah diganti. Saat ini pemiliknya adalah anak tirinya yang bernama Langit Mandratama."Gio manggut-manggut. Dia tak bertanya apapun lagi. Rizal pun kembali menjelaskan apa saja jadwal bosnya hari besok."Besok Anda akan ada pertemuan dengan para mengelola senior Mandratama, dan juga akan menyapa beberapa karyawan yang bekerja di sana.""Hemm." Gio menjawab dengan gumaman saja."Dan juga, nyonya Rena meminta Anda untuk menghubunginya jika ada waktu senggang."Kali ini Gio diam saja, tak ada suara gumaman darinya ataupun memberikan reaksi lainnya, pria itu hanya tersenyum sinis.Rizal sudah mendu
Embun berjalan dengan tergesa-gesa, napasnya naik turun. Setelah sampai di depan toilet dia segera masuk, tak lupa juga dia menguncinya.Detak jantungnya masih berdetak begitu kencang. Dia masih tak percaya dengan apa yang tadi dia lihat."Pasti aku lagi mimpi, kan?" gumam wanita itu.Embun meringis ngilu karena merasakan sakit ketika dia mencubit lengannya."Ah, ternyata aku nggak mimpi. Kenapa dia ada di sini? Kenapa?" Embun menggigiti kuku tangannya. Dia benar-benar gelisah. "Apa tadi dia mengenaliku? Ah, jangan sampai deh. Tapi gimana kalau tadi dia lihat aku? Bukannya tadi mata kami saling memandang? Ahh, gimana ini?"Embun berjalan mondar-mandir di dalam toilet itu, dia ingin keluar dari situ, tapi dia takut bertemu dengan pria itu.Wanita itu memberanikan diri membuka pintu, lalu melongokkan sedikit kepalanya. Setelah memastikan tak ada satu pun orang ada di sana, dia menghela napas lega."Ah, aman. Sebaiknya aku pergi dari sini aja keburu ketahuan."Embun pun memberanikan diri
Untuk beberapa saat mereka terdiam. Saling sibuk dengan pemikiran mereka sendiri. Embun yang bingung mencari jawaban yang tepat untuk Gio, sedangkan Gio selalu saja mendesak Embun."Apa ketika kamu memutuskan untuk pergi itu berarti kamu nggak cinta lagi sama aku?" Kini Gio melirihkan suaranya.Embun menghela napas berat. "Aku nggak seperti itu, Gio. Tapi kalau memang pemikiran kamu seperti itu ya nggak masalah buatku. Aku--""Embun! Kamu ini dari tadi aku cariin juga, ngapain di sini? Tuh sana kerjaan kamu numpuk, kok malah leha-leha. Malah pacaran lagi. Duh, kalau ketahuan sama bos bisa gawat! Tahu sendiri, kan, bos baru kita itu galaknya nggak ketulungan! Ayo cepat lanjut kerja lagi!" tegur Sonia.Sonia tidak melihat Gio karena posisi pria itu membelakangi Sonia.Gio sama sekali tak melepaskan cengkraman tangannya, dia malah mempererat pegangannya, pertanda kalau dirinya tidak mau ditinggal oleh Embun."Aku pergi dulu, nanti kita lanjut bicara lagi," bisik wanita itu.Gio menggelen
"Sial! Kenapa susah sekali bujuk wanita itu," gerutu Gio. "Apa permintaanku ini sangat susah? Padahal kan aku cuma minta jangan tinggalin aku. Itu aja kok nggak muluk-muluk," dengkusnya.Usai pembicaraan kemarin, Embun langsung pergi. Bahkan Embun juga belum menjawab pertanyaan yang sempat dia berikan.Padahal Gio sendiri pun sudah tahu jawabannya kalau Embun memang disuruh pergi dari kehidupannya oleh mamanya. Masalahnya Gio ingin mendengar penjelasan langsung dari Embun. Nggak ada salahnya, kan?"Mungkin nona Embun masih takut oleh nyonya Rena, Pak," sahut Rizal santai.Rizal menyetir mobilnya dengan kecepatan sedang."Cih! Apa yang harus ditakutkan dari mama? Kenapa dia harus takut dengan mama dibanding aku yang jelas-jelas suaminya," cibir Gio."Kalau boleh saya kasih saran, sebaiknya Anda bicara dengan nona Embun dari hati ke hati. Saya rasa di antara kalian hanya ada kesalahpahaman saja, ditambah lagi dengan adanya orang ketiga yaitu mama Anda sendiri. Semakin cepat semakin baik
"Sialan! Siapa laki-laki yang sedang dekat dengan istriku, Rizal?" tanya Gio seraya mencengkeram erat pundak Rizal membuat pria itu meringis pelan.Bagaimana Gio tidak marah ketika melihat istrinya pulang kerja semobil dengan seorang pria yang tidak dikenalnya."Itu ... itu adalah orang suruhan nyonya Rena. Dialah yang membawa nona Embun ke kota ini, Pak," beritahu Rizal. Dia mencoba menggerak-gerakkan pundaknya supaya cengkraman Gio terlepas. Sayangnya bukannya terlepas yang ada malah cengkeraman Gio semakin kuat.'Duh, Pak, apa Anda ingin bunuh saya? Kulit saya rasanya terkoyak karena ulah Anda,' batin Rizal, nelangsa."Suruhan? Kalau memang iya kenapa harus sampai antar jemput segala? Nggak bisa dibiarin ini, aku harus menghajar pria itu."Gio ingin turun dari mobil itu, tapi langsung dicegat oleh Rizal."Jangan dulu, Pak.""Jangan?" ulang Gio dengan tatapan nyalang. "Kamu membela pria itu dari pada aku yang jelas-jelas suami Embun?" sentaknya kemudian."Bukan seperti itu, Pak. Mak
"Senang bekerja sama dengan Anda, Pak Langit. Saya kagum dengan Anda, masih muda tapi semangatnya sangat luar biasa. Bisnis dalam bidang makanan dan minuman ringan sangat sukses, kini Anda juga merambah ke bisnis properti, sungguh luar biasa. Saya benar-benar takjub dengan Anda."Langit menanggapi dengan senyuman tipis. "Anda terlalu memuji saya. Padahal Anda sendiri yang seperti itu. Justru saya yang kagum dengan Anda. Omong-omong ada hal apa yang ingin Anda sampaikan, sampai-sampai ingin bertemu dengan saya?" "Saya ingin Anda memecat istri saya."Langit membelalakkan matanya. "Istri? Istri Anda bekerja di tempat saya? Bagaimana bisa?"Gio menghela napas berat. "Jadi ... ceritanya panjang, Pak--""Stop, stop. Jangan panggil aku dengan sebutan itu, usiaku masih terlalu muda untuk dipanggil, Pak," sela Langit cepat.Gio tertawa pelan. "Kesannya nggak sopan dong?""Ini di luar kerja, jadi jangan terlalu formal gitu. Santai aja."Gio manggut-manggut."Oke, sekarang lanjutkan, kenapa bis
"Aku emang pergi karena di suruh oleh mama," ungkap Embun pada akhirnya.Gio tak menyahut, dia hanya menatap wanita itu begitu dalam. Tak lama setelah itu dia tertawa sumbang."Bukannya kamu udah janji nggak bakal ninggalin aku? Emangnya aku ketahuan selingkuh ya sampai-sampai kamu pergi?"Embun menggeleng, dia memang menjanjikan hal itu. Embun juga pernah berkata dalam kondisi apapun dia tidak akan meninggalkan pria itu, kecuali satu, kalau selingkuh baru Embun pergi."Terus kenapa kamu pergi?" tanya Gio dengan suara dingin.Embun menelan salivanya dengan susah payah, dia menunduk sebentar, lalu kembali menatap wajah pria itu."Karena ... demi kebaikan kamu. Ya, aku melakukan ini semua demi kebaikan kamu," lirih wanita itu."Kebaikan apa sih? Emang kamu lihat sekarang aku baik-baik aja?" sinis Gio.Embun mengangguk. "Iya, kuharap begitu.""CK! Kamu mana tahu gimana menderitanya aku selama ini. Katakan, apa yang menurut kamu kalau kamu pergi aku akan lebih baik. Katakan sekarang! Aku