Bab 6 Playing Victim
Nathan pulang jam sembilan malam, Heba tidak bertanya apapun dan memunggungi Nathan seolah dia sudah tidur. Nathan juga tidak berinisiatif bertanya, dia malah asik memainkan ponselnya dan sesekali tertawa-tawa.
Heba sedikit terkejut saat mendengar suara ponsel Nathan, ada yang menelepon suaminya itu.
“Halo, Mbak. Ada apa?” tanya Nathan cepat. “Aku lagi main game ini, kalau nggak penting-penting amat ntar aja ngomongnya!” Suara Nathan kembali terdengar.
[.......]
Suara orang yang ada di seberang sana tidak begitu terdengar, apalagi Nathan berada di ujung ranjang sedangkan Heba berbaring di sisi lainnya. Namun, Heba sangat yakin kalau itu adalah Diana.
“Ya udah, lima menit lagi aku telepon!”
Telepon terputus dan Nathan kembali melanjutkan main game di ponselnya, Heba menunggu dalam diam. Ternyata tidak sampai lima menit, game Nathan sudah berakhir dia kemudian beranjak dan keluar dari kamar.
Heba mengikuti perlahan, ternyata Nathan ke dapur. Setelah dia menelepon Diana, Nathan meletakkan ponselnya di atas kulkas dengan posisi ponsel dalam kondisi loudspeaker.
“Mbak mau ngomong apa tadi?” tanya Nathan setelah terdengar suara panggilan yang tersambung, sedangkan suami Heba itu tengah mengambil mie instan di lemari dapur.
[Nasehati istri kamu itu, bisa-bisanya dia membuat Anya sedih. Mbak nggak suka, ya. Anya itu udah ngasih pinjaman modal biar Mbak bisa buat butik, loh!] Dia langsung mengomel dari seberang sana.
“Iya, tadi Anya juga udah cerita sama aku. Ini niatnya tadi aku mau negur Heba, tapi dia udah tidur,” sahut Nathan sambil menghidupkan kompor.
[Kamu masak? Kok, ada suara kompor? Istrimu yang nggak guna itu apa nggak menyediakan makanan buat kamu? Emang nggak ada otak tu manusia.] Diana kembali mengomel, kali ini suaranya mampu membuat Heba yang tengah sembunyi menutup telinga.
“Heba masak, tapi aku nggak selera makan makanya aku masak mie instan,” sahut Nathan sanati. “Lagian tadi aku udah makan malam bareng Anya, kok.”
Heba menggenggam tangannya dengan kuat hingga kuku jarinya terasa menusuk telapak tangan, berarti benar perkiraannya. Nathan bersama Anya hingga malam, makanya suaminya itu lama pulang ke rumah.
[Bagus, kamu harus menghibur Anya. Jangan sampai dia marah dan sakit hati, ingat loh … dia itu baik, ngasih Mbak modal, sama Mama juga baik banget, sama kamu apalagi. Jauh beda sama si Heba!] Diana mengingatkan dengan nada otoriter, dia mengharuskan Nathan melakukan apa yang dia katakan.
“Mbak, aku udah pasti bakalan bersikap baik sama Anya. Dia itu atasan aku, sekaligus kakak tiri istriku.” Nathan menjawab sambil terkekeh, dia kemudian memasukkan mie instan yang sudah selesai dimasak ke dalam mangkuk. “Udahlah, aku mau makan dulu. Bye, Mbak.”
Laki-laki itu berniat mengambil ponselnya yang ada di atas kulkas, namun dia terkejut bukan main saat menemukan Heba tengah berdiri di depan pintu dapur, dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.
“Kita harus bicara, Mas.”
Nathan menghela napas panjang saat Heba berbalik pergi meninggalkan dirinya, nafsu makannya menghilang sudah.
******
“Apa, sih? Aku hilang nafsu makan gara-gara kamu. Mau ngomong apa?” tanya Nathan ketus.
Heba menunggu lima belas menit dan itu artinya Nathan sudah selesai makan, lalu dengan entengnya laki-laki itu mengatakan hilang nafsu makan? Ingin sekali Heba tertawa rasanya.
“Kamu kenapa pulang malam banget, Mas? Padahal kamu nggak ada bilang bakal ada lembur sama aku,” tanya Heba langsung, dia malas basa-basi.
“Aku lembur mendadak, gantiin si Adit,” sahut Nathan ogah-ogahan.
“Lembur? Padahal kamu di minimarket sama si Anya, loh. Makan malam sama dia juga, kan? Itu namanya lembur?” tanya Heba lagi, kali ini senyum sinus tersungging di bibirnya.
Nathan terdiam, dia tengah berpikir dari mana Heba mengetahui kegiatannya sore ini. Mungkin jika perkara makan malam, Heba mengetahuinya dari mendengar percakapannya dan Diana tadi.
Tapi mengenai dia dan Anya yang pergi ke minimarket, istrinya ini tahu dari mana?
“Kamu jangan mengada-ada, deh. Okelah aku ngaku, aku memang makan malam sama Anya tapi kamu fitnah kalau bilang aku di minimarket sama dia!” Nathan berjalan menuju ranjang, dan duduk di sana.
“Fitnah? Terus, ini apa?” Ponsel milik Heba terlempar di sana terpampang foto yang diambil Kamila tadi sore.
Nathan mendelik. “Ini dari Kamila? Kamu lebih percaya sama dia ketimbang sama aku? Aku ini suami kamu, loh!”
“Ya gimana aku nggak percaya sama dia, wong buktinya juga udah jelas!” Heba berujar marah. “Kamu nggak usah ngeles lagi, Mas!”
Akhirnya mereka bertengkar, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Daerah rumah mereka sudah sunyi. Heba dan Nathan masih bersitegang.
“Oke, aku ngaku. Aku ke minimarket sama Anya, tapi aku juga bareng Mama bukan berdua doang! Udah aku bilang kan, jangan bergaul sama Kamila. Dia itu tukang adu domba, tukang fitnah! Kamu jadi salah paham begini sama aku!” kata Nathan emosi.
“Lah, kok kamu yang marah? Lagian Kamila bilang kalian cuma berdua, nggak ada Mama di sana! Jangan bohong kamu!” pekik Heba hilang kesabaran.
“Eh, kamu kok teriak-teriak, hah? Mau durhaka sama suami? Iya? Lagian aku juga nggak bakalan sama Anya kalau kamu nggak jahat sama dia! Kamu ngehina dia nggak punya Mama, pantas begitu? Hah? Kamu durhaka sama aku, durhaka sama kakak kamu juga!”
Plak!
Nathan balas berteriak, dan bahkan menampar Heba. Hal yang sanggup membuat Heba terhenyak. Bagaimana bisa Nathan malah playing victim seperti ini? Dia yang bersalah, tapi dia malah memojokkan Heba.
“Dia bukan kakakku, mas!” sahut Heba sambil memegangi pipinya yang terasa kebas.
Heba menghapus air matanya, dan berjalan cepat keluar dari rumah.
******
Bab 7 PertemuanWalau sudah semakin malam, tapi jalanan semakin ramai. Andai dia membawa ponselnya, pasti dia akan mengajak Kamila untuk makan es krim bersama. Akan tetapi dia terkejut bukan kepalang saat mendengar suara—“Sendirian saja?”Heba menoleh, dan matanya yang basah mengerjap saat melihat … Noah?“Kamu kenapa?” tanya Noah cepat, pipi Heba memerah dan wajah wanita itu basah oleh air mata. “Kamu terluka?” tanyanya lagi.“Tidak, maaf … saya sebaiknya pulang.” Heba menjauhi tangan Noah yang terulur ke pipinya. “Heba!” Noah memanggil dan langkah Heba langsung berhenti, suara laki-laki itu tetap saja dingin dan otoriter.“Obati pipimu,” ujarnya memberi perintah. “Jika Kamila melihatmu seperti ini, maka dia tidak akan bisa fokus bekerja. Jangan sampai kinerja sekretarisku menurun karena mengkhawatirkanmu!” lanjutnya pedas dan langsung masuk ke dalam mobilnya tanpa menoleh ke arah Heba yang terpaku.“Dia baru saja memarahiku?” gumam Heba hampir menangis. “Kenapa semua orang jahat p
Bab 8 Dibandingkan!Pagi ini Nathan emosi, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi dan Heba masih tidur. Istrinya itu biasanya bangun sebelum subuh, dan tidak akan kembali tidur setelahnya karena Heba akan lanjut memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.Nathan akan pergi kerja dalam keadaan prima, penampilan yang bagus, baju wangi, dan perut yang kenyang. Akan tetapi, sekarang situasinya sangat berbeda. Jangankan perut kenyang, wong, makanan saja tidak ada.“Heba! Kamu nggak masak? Bangun, dong! Aku mau pergi kerja ini!” Nathan menggoyangkan bahu Heba hingga membuat istrinya itu mengerjap.Pipinya masih bengkak, dan jejak air mata terlihat jelas di matanya yang sembab. Akan tetapi Nathan tidak peduli, toh, itu salah Heba sendiri. Siapa suruh dia menuduh Nathan yang tidak-tidak, lagi pula apa salahnya dia makan malam bersama Anya?Anya itu kakak iparnya, sekaligus atasannya di kantor. Lagian Nathan juga menemani Anya karena mau minta maaf atas nama Heba, istrinya itu sudah sangat kuran
Bab 9 Darah!“Kamu nggak usah masuk aja hari ini, Sayang. Mama mau ganti waktu kita kemarin, ayo kita shopping hari ini.” Anisa berbicara dengan nada lembut, apalagi dia bisa melihat wajah Anya yang lesu dan murung.“Nggak ah, Ma. Aku nggak mood,” balas Anya cepat, dia kemudian mendudukkan diri di meja makan. “Mama shopping sendiri saja, aku mau ke kantor. Mau nyibukin diri dengan bekerja, biar hilang dari pikiran aku hinaan Heba kemarin,” lanjutnya lagi.Dia meminum jus jambu yang sudah dihidangkan pelayan di atas meja, sekalipun dia tidak menoleh ke arah Anisa dan itu sukses membuat wanita yang lebih tua merasa tak enak. Dia menoleh sekilas ke arah Luqman, suaminya itu sarapan dengan tenang seolah tak mendengar pembicaraannya dengan Anya. Anisa gundah, dia takut Luqman marah karena Heba sudah bersikap kurang ajar kemarin. “Sayang, Mama mau minta maaf sama kamu atas nama Heba. Dia memang be—”“Kenapa Mama yang minta maaf?” tanya Anya dengan nada datar. “Mama cuma ngerasa—”Kalau Ma
Bab 10 Prasangka NoahHeba terbangun dengan kepala yang sangat sakit, dia nenatap ke sekeliling dengan tatapan nanar. Namun dia sama sekali tidak bisa menemukan sosok mertuanya, padahal Heba bisa mengingat dengan sangat jelas kalau dia terjatuh akibat tamparan yang diberikan oleh Ratih.Saat melihat jam di dinding Heba bisa memastikan kalau dia sudah pingsan hampir 3 jam, dan Heba mendesah lalu menangis sambil memeluk lututnya. Tega-teganya mertuanya meninggalkan dirinya sendirian dalam kondisi pingsan, dengan pintu rumah yang terbuka lebar.Bagaimana jika ada seorang penjahat yang masuk ke rumahnya? Bagaimana jika ada pencuri? Apakah mertuanya sama sekali tidak memikirkan hal tersebut? Minimal jika dia sudah berbuat jahat kepada Heba, bukankah seharusnya dia bisa bertanggung jawab dengan mengobatinya?Heba menangisi hidupnya yang terasa sangat menyedihkan, dia sama sekali tidak dianggap dan dihargai oleh keluarga suaminya. Mungkin mereka lebih memilih Heba tidak ada di dalam keluarga
Bab 11 Hasutan Ratih dan Diana“Heba bilang dia sakit, dan dia minta aku ngantar dia ke rumah sakit,” ujar Nathan sambil mendesah kesal, dia baru saja bangun tidur dan setelah melihat jam dinding dia sedikit terkejut karena ternyata sudah jam tujuh malam.Dia mendudukkan dirinya di sofa, Ratih dan Diana duduk di sofa depannya. Alih-alih berada di perusahaan, saat ini Nathan malah sedang berada di rumah Ratih. Anya tadi mengatakan kalau dia tidak masuk hari ini, dan dia menyuruh Nathan untuk rapat bersama klien dan setelah selesai rapat Anya mengatakan dia bebas untuk pulang.Punya kerabat di perusahaan benar-benar membuat Nathan senang, dia leluasa bolos karena Anya akan mengurus semuanya. Tak jarang banyak rekannya yang iri dan menginginkan posisi Nathan saat ini.“Halah, manja banget istrimu itu,” sahut Diana emosi. “Nyusahin doang kerjanya, heran aku!”“Iya, kenapa dia suka banget drama, sih? Minimal mandiri lah, jangan cuma tahunya nyusahin aja,” kata Ratih ikut bicara. Dia sama
Bab 12 Dihajar!“Aduh! Kamu apa-apaan sih, Mil?” Nathan tersungkur setelah dihantam Kamila menggunakan tasnya.Kepala Nathan pusing, walau tidak menimbulkan luka tapi tetap saja dia sekarang kesakitan. Saat dia menatap Kamila, Nathan langsung menggeram kesal saat melihat sahabat baik istrinya itu malah tertawa mengejek.“Kenapa? Sakit? Gitu doang kok, sakit, sih? Lemah banget!” ejek Kamila.“Kamu jangan semena-mena sama aku, ya. Dibaikin malah ngelunjak kamu!” Nathan menunjuk Kamila dengan wajah geram. “Dibaikin? Emangnya kamu ngasih apa ke aku?” tanya Kamila sok polos. “Yang semena-mena itu kamu! Istri sakit bukannya diantar ke rumah sakit, eh, malah cuek bebek. Gitu sifat seorang laki-laki sejati? Hah?” tanya Kamila berapi-api.“Ya elahhh, manja banget!”BUAGH!BUAGH!BUAGH!Tiga kali tas Kamila kembali berayun ke kepala Nathan hingga laki-laki itu kembali tersungkur, Kamila puas sekali. Dia tidak sudi mendaratkan tangannya di tubuh Nathan, makanya dia menggunakan tasnya. Apalagi t
Bab 13 Selingkuh?Sampai pagi Nathan tidak kunjung kembali, Heba sendirian di kamar inapnya sambil menangis dan merenungi pernikahannya yang mulai memburuk. Padahal dulu hubungannya dan Nathan baik-baik saja, dia bahkan selalu dibela oleh laki-laki itu jika Ratih atau Diana membuat masalah.Akan tetapi, sekarang semua itu hanya tinggal harapan semu Heba saja. Nathan berubah, laki-laki itu sangat berubah.“Kenapa murung?”Heba bahkan tidak menyadari kedatangan Kamila, temannya itu memakai baju santai alih-alih memakai pakaian kerja. “Kamu nggak kerja, Mil?” tanya Heba heran.“Nggak, aku udah izin sama si Bos dan beliau mengizinkan. Tumben banget,” sahut Kamila cepat.Biasanya Noah sangat sulit memberi izin jika memang tidak terlalu mendesak, Kamila juga sudah menyiapkan diri jika Noah menolak permintaannya. Namun dugaan Kamila salah besar, Noah mengizinkan dia tidak masuk kerja hari ini ketika mendengar alasannya tidak masuk adalah untuk menjaga Heba yang ternyata harus dirawat di rum
Bab 14 Hasutan!“Ughhhh, kamu bau banget, Than.”Diana menutup hidungnya saat Nathan menggaruk ketiaknya, adik kandungnya itu berdiri di sampingnya yang tengah mengambil apel di dalam kulkas.“Aku mau, Mbak. Potongin, ya. Ntar bawa ke depan, aku mau nonton tv,” ujar Nathan memberi perintah.“Enak aja kamu nyuruh-nyuruh Mbak, nggak sopan banget!” seru Diana tidak terima, akan tetapi dia tetap menuruti perintah Nathan.“Bukannya kamu ke rumah sakit tadi malam? Kenapa balik ke sini?” tanya Diana sambil meletakkan sepiring apel yang sudah dipotong.Nathan menguap sebentar, lalu mengambil apel dengan garpu yang Diana bawa serta. Setelah menelan apel itu, barulah Nathan memfokuskan pandangannya pada Diana dan menjawab pertanyaan wanita itu.“Aku tadi malam bantuin Anya, Mbak. Mobilnya mogok, makanya aku ninggalin Heba. Mau balik ke rumah sakit juga udah kemalaman, ya udahlah … aku ke sini aja,” jawab Nathan lugas.Diana mengangguk mengerti, pantas saja dia baru melihat Nathan pagi ini terny
109Hari Sabtu akhirnya tiba. Seperti janjinya pada Shanti, Heba akan berkunjung ke rumah wanita paruh baya itu untuk mengobrol dan membuat kue kering.Sebelum datang ke sana, terlebih dahulu Heba mampir sebentar ke kedai buah, untuk membeli beberapa jenis buah-buahan, yang pastinya akan disukai oleh Shanti.Bertahun-tahun menjadi sekretaris Pratama, tentunya Heba mengetahui dengan pasti makanan dan minuman apa yang disukai oleh keluarga atasannya itu.Setelah dari kedai buah, Heba menaiki ojek online untuk sampai di rumah Shanti. Tiba di sana, ia disambut oleh Shanti yang sudah menunggu."Akhirnya kamu datang juga. Saya pikir kamu nggak jadi datang ke sini," ucap Shanti yang tak ragu menggiring Heba masuk ke dalam rumahnya.Heba tertawa pelan atas perkataan Shanti. "Saya pasti datang kok, Bu. Sekarang bagaimana, Ibu percaya 'kan sama saya?"Giliran Shanti yang tertawa dan mengangguk cepat. "Kamu memang tidak pernah berubah. Sejak dulu kamu selalu menepati janji dan datang tepat waktu
108Heba tidak bisa tinggal diam saja. Pagi ini juga setelah sampai di kantor, ia sudah bertekad untuk bicara dengan Noah soal masalah kemarin. Jangan sampai ada kesalahpahaman di antara mereka berdua.Sebab Heba begitu yakin, kalau itu semua akan mempengaruhi pekerjaan antara sekretaris dan atasan, yang tiap hari harus bertemu dan melakukan komunikasi.Dengan kedua kaki yang melangkah pasti, Heba menemui Noah di ruangannya. Ia membawakan jadwal atasannya itu dan memaparkan seperti biasa. Namun, tentu saja ia juga akan membicarakan masalah yang ada di antara mereka berdua."Sudah, Ba?" tanya Noah, yang kentara tidak melakukan kontak mata dengan sekretarisnya sendiri."Kalau urusan pekerjaan sudah selesai, Pak. Tapi saya mau bicara soal lain," jawab Heba meminta izin agar Noah memberinya sedikit waktu."Soal apa?" tanya lelaki itu setelah berdehem pelan."Soal saya dan Bapak." Heba menatap Noah, sehingga lelaki yang ada di depannya pun terpaksa melakukan hal serupa.Noah terdiam. Harus
107"Kita pergi saja dari sini," ajak Noah hendak menggamit tangan Heba, tetapi Anisa lebih dulu mencegahnya."Jangan ke mana-mana, Ba. Mama mohon sama kamu, kamu harus bantuin Mama," pinta Anisa yang lagi-lagi diucapkan tanpa rasa malu sedikit pun.Heba sendiri benci melihat bagaimana Anisa begitu berusaha. Ia marah, tetapi tidak mau menunjukkannya, karena tenaganya akan terkuras habis. Maka dari itu, ia mengangguk pada Noah dan mereka pun pergi dari rumah Luqman saat itu juga.Menghela napas panjang, Heba menghembuskannya sangat perlahan. Ia mencoba untuk tetap tenang saat masuk ke dalam mobil. Sementara Noah hanya melihat sekilas wanita di sebelahnya, kemudian melajukan mobil.Heba begitu sibuk memikirkan bagaimana caranya ia menyadarkan Anisa, agar tak lagi mendesaknya untuk memperjuangkan Nathan. Tanpa sadar Heba mengepalkan tangan dan menggerutu pelan, dan Noah hanya melihat itu tanpa melakukan apa pun.Sedetik kemudian, Heba tersadar jika ia masih melakukan perjalanan bersama No
Bab 106Hari berganti cukup cepat bagi Heba, lantaran ia tengah merasakan ketenangan yang luar biasa. Hidupnya begitu damai, setelah Heba menjauh perlahan tapi pasti dari Anisa, juga Nathan dan keluarganya.Wanita itu fokus pada diri sendiri, mengembangkan berbagai macam bakat yang selama ini terpendam karena tak pernah mendapatkan ruang selama menikah dengan Nathan."Makan siang di mana kita hari ini?" tanya Noah melihat penunjuk waktu, yang mana setengah jam lagi, mereka akan mendapatkan jatah istirahat."Cuaca di luar sedang bagus, Pak. Bagaimana kalau makan siang di restoran yang baru saja buka?" Heba teringat pada restoran baru, yang letaknya tak jauh dari kantor."Boleh, kita coba makan di sana." Noah setuju.Maka cepat-cepat Heba akan menghubungi restoran untuk melakukan reservasi, agar mereka mendapatkan meja. Namun, tangannya berhenti bekerja saat ia mendapat panggilan dari Luqman."Ada apa, ya?" tanya Heba, tak sadar sudah mengeluarkan suara, sehingga Noah menoleh."Kenapa?"
Bab 105"Kemarin kamu makan malem sama keluarganya Pak Bos, ya?" tanya Kamila seraya berbisik.Sejak tadi ia memicingkan mata dan mengirimkan kode agar sahabatnya bercerita. Namun, sayang sekali Heba benar-benar tidak peka. Sehingga Kamila akhirnya harus bertanya secara gamblang."Ba? Iya atau nggak?" desak Kamila."Kamu tau dari mana?" Heba malah balik bertanya. Seingatnya, ia tak mengatakan pada siapa pun. Lantas dari mana Kamila bisa tahu semuanya?"Itu artinya bener?"Heba mengangguk, tak mungkin menyembunyikan apa pun dari Kamila. Lagi pula, tak ada yang aneh dari makan malam kemarin."Sekarang aku tanya sekali lagi, kamu kok bisa tau?" Heba menatap heran, tetapi Kamila malah terkikik saja."Iyalah aku tau! Orang aku ngikutin kamu sama Pak Bos!" Kamila menjawab jujur.Betul adanya kalau kemarin, diam-diam dirinya mengikuti Heba dan Noah. Sebetulnya Kamila tak memiliki niat seperti itu. Hanya saja, ia penasaran mengapa Heba tampak sedih.Niat untuk menegur Heba dan mengajaknya pul
Bab 104"Kamu harus berani, Sayang," ucap Nathan saat mobilnya sudah tiba di depan rumah Luqman.Anya mengangguk, tetapi tidak juga membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan roda empat tersebut."Yang terpenting kamu jangan ikut emosi. Kita harus tunjukkan sama Mama Anisa dan Papa Luqman, kalau hubungan kita ini sangat serius.""Iya, Mas. Aku akan jaga emosiku di depan Papa sama Mama," balas Anya berjanji.Nathan memang benar, kalau ia harus bersikap lebih dewasa, agar pilihannya untuk menjalin kedekatan dengan Nathan tak disepelekan. Lantas keduanya pun turun dari mobil.Anya masuk lebih dulu ke dalam rumah, diikuti oleh Nathan di belakangnya. Di dalam ruang keluarga, sudah ada Anisa di sana. Awalnya wanita paruh baya itu terlihat senang dengan kehadiran Anya, sehingga ia berdiri dan bergegas menghampiri.Akan tetapi saat melihat ternyata Nathan ikut hadir, senyum di bibir Anya langsung hilang seketika. Ia terang-terangan menatap tak suka pada lelaki yang masih jadi menantunya it
Bab 103Sejak pagi tadi, perasaan Nathan sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Itu semua dikarenakan kedatangan Anisa yang hanya ingin marah-marah kepadanya.Untung saja ada Luqman yang menjadi penengah, tetapi lelaki paruh baya itu sama sekali tidak membela. Setidaknya, Nathan bisa bernapas lebih lega, karena ia tak mendapatkan masalah apa pun di kantor.Tepat jam lima sore ketika semua pekerjaannya sudah selesai, Nathan memutuskan untuk pulang ke rumah Ratih. Awalnya ia akan berkunjung sebentar ke apartemen untuk mengambil beberapa helai pakaian.Akan tetapi niat itu diurungkan, karena Nathan harus menghindari Anisa, yang kemungkinan akan memantau di sana.Nathan sengaja memasang wajah lesu ketika ia membuka pintu rumah. Sehingga Anya yang melihat pun langsung menghampiri dengan perasaan khawatir."Muka kamu kenapa begitu sih, Mas? Kerjaan di kantor banyak banget, ya?" Anya bertanya penuh perhatian, juga segera mengambil tas kerja di tangan kekasihnya."Kerjaan di kantor masih ringan
Bab 102Pagi-pagi sekali Anisa sudah pergi dari rumahnya, tanpa diketahui oleh Luqman. Ia berencana hendak mendatangi Heba dan memohon sekali lagi. Harapannya memang ada pada Heba, maka dari itu Anisa tak akan menyerah."Waktu itu Heba masih marah." Anisa bergumam sendiri. "Harusnya aku nanya sama dia gimana kondisinya, supaya dia juga mau dengerin permintaanku."Anisa memang agak menyesal karena ia tak mengatur strategi yang bagus. Andai saja otaknya bekerja lebih baik, mungkin ia tak perlu repot-repot mendatangi Heba seperti sekarang."Udahlah, aku memang harus berjuang supaya Anya pisah dari Nathan, dan dia mau pulang ke rumah." Anisa mengangguk yakin, dan keluar dari mobil.Berjalan beberapa langkah, ia pun mengetuk pintu rumah Heba yang masih tertutup."Heba? Ini Mama."Di dalam rumah, Heba yang tengah bersiap-siap pun segera mengenakan kerudung dan membuka pintu. Sesaat ia menatap Anisa."Ada apa, Ma?" tanya Heba memaksa senyum di bibir."Mama mau bicara sama kamu, Ba.""Aku gak
Bab 101"Noah, Papa, ayo!" ajak Shanti yang bingung mengapa anak dan suaminya malah diam dan tak mengikuti langkahnya menuju ruang makan."Ayo, Pa!" Noah pun mengajak Pratama.Lelaki paruh baya itu mengangguk. Ia menebak jika Noah memiliki maksud, sampai memberitahunya hal pribadi tentang Heba. Padahal selama ini, Pratama tak pernah sekali pun bertanya soal suami dari mantan sekretarisnya itu.Pratama sangat paham batasan mana yang tak boleh ia langgar. Sehingga selama masa kerjanya dengan Heba bertahun yang lalu, ia pun kurang tahu bagaimana nasib wanita yang satu itu di kehidupan pribadinya."Makan yang banyak ya, Ba." Shanti sangat senang melayani Heba. Mulai dari menyendokkan nasi, mengisi gelas, sampai menawarkan berbagai macam menu yang ada di atas meja makan."Makasih ya, Bu," ucap Heba yang tak tahu lagi harus berkata apa.Heba juga senang karena Shanti menerimanya dengan baik tiap kali bertamu ke rumah ini. Ia merasa seperti mendapatkan sosok ibu yang baru, yang begitu hangat