Bab 15 Naik Jabatan“Kamu tadi malam balik ke rumah sakit, Mas?” tanya Anya dengan wajah yang sulit ditebak, Nathan yang duduk di sampingnya tidak bisa membaca raut wajah cantik itu.“Nggak, aku langsung ke rumah Mama,” sahut Nathan sambil kembali memfokuskan pandangannya ke jalanan, dia kini sedang menyetir dan harus berkonsentrasi penuh agar tidak kecelakaan.“Beneran?” Nathan mengangguk tanpa menoleh, dia melewatkan tatapan berbinar dari Anya. Wajah cantik yang dipoles makeup flawless itu semakin terlihat bersinar kini.“Iya, udah terlalu ngantuk. Makanya aku putuskan buat ke rumah Mama aja.” Nathan kembali bicara. “Tapi kayaknya nanti aku bakal ke sana, kasihan juga si Heba … nggak ada yang jaga,” gumam Nathan pelan.Akan tetapi suasana mobil yang sepi jelas saja bisa membuat Anya mendengar gumaman itu dengan sangat jelas, wajahnya cemberut dan langsung melipat kedua tangannya.“Kenapa sih, harus ke sana, Mas?” tanyanya muram.“Eh? Memangnya kenapa?” tanya Nathan kaget.“Ya, dia
Bab 16 Pulang!Heba meregangkan otot-ototnya yang kaku akibat terlalu lama berbaring di brankar rumah sakit. Akhirnya, setelah berhari-hari kepalanya terasa pusing sebab terlalu banyak menghirup aroma obat-obatan, Heba akhirnya bisa kembali menghirup udara segar.“Hah?!” Heba mendesah pelan. Hatinya sedikit berdenyut nyeri. Dari awal dia masuk ke rumah sakit hingga kini sudah diperbolehkan pulang, keluarga Nathan tidak ada yang menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Jangankan menjenguk, mengirim pesan pun tidak.“Aku ke kantor dulu, ya. Maaf nggak bisa mampir,” ucap Kamila seraya memeluk Heba. Wanita itu yang menjemput Heba dari rumah sakit dan mengantarkannya sampai ke rumah. Bahkan Nathan selaku suami Heba, tidak peduli dengan istrinya sama sekali.Heba melerai pelukan dari Kamila. Bibirnya melengkungkan senyuman manis. “Harusnya aku yang bilang makasih sama kamu. Kamu harus bolak balik jadinya,” jawab Heba.Kamila melirik tajam pada Heba. Menepuk bahu Heba dengan pelan. “Santai
Bab 17 Bikini?“Kamu ini apa-apaan, sih? Kamu mau jadi adik ipar dan juga menantu durhaka, hah? Kamu nggak habis-habisnya ya buat masalah sama Mama dan juga kakakku. Sampai kapan sih kamu mau begini? Kamu nggak ada niatan mau berubah? Hah?” tanya Nathan secara bertubi-tubi.Laki-laki itu kemudian masuk ke dalam rumah dengan langkah tegap, dia berdiri di depan Heba dengan wajah kesal, terlihat jelas kalau saat ini dia tengah sangat marah.“Loh, kok, bisa kamu yang marah sih, Mas? Kamu jangan menghakimi aku seperti itu, dong. Enak aja kamu bilang aku ini adalah adik ipar dan juga menantu yang durhaka, selama ini memangnya aku kurang berbakti sama kamu dan juga keluargamu? Iya? Bahkan ketika aku sakit tidak ada salah satu di antara kalian yang mau datang ke rumah sakit untuk menjenguk aku, itu yang namanya keluarga?” tanya Heba dengan nada menantang.Nathan langsung terdiam, dia tidak menyangka kalau Heba akan menyahuti kalimatnya dengan balasan seperti tadi. Dia tergagap dan menoleh ke
Bab 18 Set Perhiasan“Ma, kita mau ke mana, sih? Aku baru pulang. Loh. Capek banget, nih. Mau istirahat, mau tidur,” ujar Nathan saat Ratih menghentikan langkahnya.Wanita paruh baya itu tak lagi mendorong tubuh Nathan, mereka bertiga kini sedang berada di pinggir jalan. Wajah Ratih dan Diana menunjukkan ketertarikan yang amat sangat, namun Nathan sendiri tidak mengerti mereka tertarik akan hal apa.“Kamu istirahat di rumah Mama aja, lah. Memangnya kamu bisa istirahat di rumah? Yang ada kamu berantem sama Heba,” kata Diana lembut. “Mbak tahu kamu pasti capek banget, kasihan kamu, Dek. Baru sampai di rumah udah di recokin sama si Heba. Istrimu itu cari gara-gara mulu,” kata Diana lagi.Diam-diam Nathan membenarkan apa yang Diana katakan, bisa dipastikan jika dia tetap di rumah maka ujung-ujungnya dia akan bertengkar dengan Heba. Mungkin memang sebaiknya untuk beberapa saat dia menjauh, dan kembali jika suasana sudah kondusif.“Ya udahlah, ayo kita ke rumah Mama. Aku capek banget,” kata
Bab 19 Mencari Pekerjaan!“Kamu mau kemana? Pagi-pagi begini kok sudah rapi?” tanya Nathan saat melihat Heba sudah rapi dan cantik sepagi ini.Wajah Heba tidak dipoles banyak riasan, hanya bedak dan sedikit lipstik, akan tetapi wanita itu sudah terlihat cantik. Dia juga memakai baju terbagus yang dia punya, baju yang dibelikan oleh Kamila sebagai hadiah ulang tahunnya dua bulan yang lalu.Nathan menilai wajah Heba, jika dirawat dengan baik maka Heba akan sangat-sangat cantik. Tapi Nathan gegas menggelengkan kepalanya, salah siapa Heba tidak bisa perawatan? Toh, dia yang boros, kan?“Aku mau ke rumah Bu Lurah, Mas. Ada perkumpulan ibu-ibu komplek hari ini,” kata Heba menyahuti.“Oh!” balas Nathan singkat. “Udah masak kamu?” tanyanya basa-basi. Sebab Nathan hanya ingin mengecek, Heba saat ini masih marah atau sudah reda amarahnya. “Sudah, aku buatkan tempe orek kesukaan kamu.” Lihat, kan? Nathan langsung tersenyum sombong. Heba itu tidak bisa marah padanya lama-lama, karena wanita it
Bab 20 Kebohongan Anya!“Gimana pekerjaan kamu yang di Bali kemarin, Sayang? Apa udah selesai?” tanya Anisa saat dirinya, Luqman, dan juga Anya, sedang sarapan pagi di meja makan.“Udah selesai, Ma. Jauh lebih cepat dari yang aku perkirakan, soalnya kan kemarin aku ke sana bareng sama Mas Nathan dan dia cukup kompeten untuk melakukan pekerjaan yang memang bagi aku itu sulit. Jadi ya gitu deh, hanya dalam 3 hari pekerjaan kami sudah selesai,” katanya sambil mengangkat bahunya acuh tidak acuh.Dia memang mengatakan kepada semua orang kalau dirinya dan Nathan bekerja di Bali, padahal aslinya dia liburan di sana. Menghabiskan waktu 3 hari bersama Nathan, dengan melakukan semua kegiatan yang memang sudah lama dia impikan.“Memangnya ada pekerjaan apa di sana?” tanya Luqman dengan nada heran.Laki-laki itu tidak tahu ada pekerjaan di Bali yang mengharuskan putrinya untuk pergi ke sana, jikalaupun memang ada … pasti bawahannya akan melapor terlebih dahulu. Sebab Anya memang tidak terbiasa ke
Bab 21 Kalah Malu!“Heba! Ngapain kamu di sini?” tanya Diana sambil menarik tangan Heba dengan sedikit kasar.Heba yang ditarik sedemikian rupa langsung terkejut, sebelum pulang ke rumah dia niatnya hendak membeli sebungkus bakso terlebih dahulu. Tapi malah bertemu dengan Diana dan Ratih di sini.“Beli bakso lah, Mbak. Nggak mungkin aku beli semen di warung bakso,” sahut Heba santai.Dia lupa kalau warung bakso ini berdekatan dengan rumah Ratih, kalau dia ingat maka dia tidak akan ke sini. Sudah terlanjur juga, makanya dia hanya bisa berharap kalau penjual bakso itu bergerak cepat membuatkan pesanannya.Karena hari masih pagi, belum ada pembeli di sini. Masih Heba satu-satunya, dan Heba bersyukur. Karena itu artinya, walau Diana membuat keributan sekalipun maka tidak akan ada pembeli yang terganggu.Bukannya suudzon, akan tetapi memang setiap bertemu dengan Diana dan Ratih maka Heba akan selalu berakhir dengan pertengkaran.“Enak ya kamu, tahunya menghabiskan uang adikku saja! Beli ba
Bab 22"Kok kamu malah diem aja, sih? Ayo cerita sama Mama, gimana bisa kamu tau kalau Anya suka sama Mas Nathan!" desak Ratih tak sabaran.Sejenak Nicky memejamkan mata. Ada rasa sesal mengapa dia sampai bicara begitu, lantaran dari raut ibu dan kakaknya, mereka tampak antusias. Nicky yakin jika suatu saat, Heba akan tersingkir dari keluarga mereka."Ky!" panggil Diana seraya mengguncang tubuh adiknya.Mendengkus pelan, akhirnya Nicky berkata, "aku bisa liat kalau sejak dulu Mbak Anya memang suka sama Mas Nathan. Waktu pertama kali kita ketemu sama keluarga Mbak Heba, Mbak Anya itu kelihatanya gak suka sekaligus kecewa sama rencana pernikahan Mbak Heba."Ratih dan Diana saling pandang. Ingatan mereka kembali melayang pada momen tersebut. Sungguh, keduanya sama sekali tidak sadar ada yang lain dari tatapan Anya pada Nathan."Kamu serius merasa kayak gitu?" tanya Ratih ingin memastikan.Sekarang Nicky mengangguk tanpa ragu. "Aku juga seorang perempuan, Ma, jadi tau gerak-gerik Mbak Any
109Hari Sabtu akhirnya tiba. Seperti janjinya pada Shanti, Heba akan berkunjung ke rumah wanita paruh baya itu untuk mengobrol dan membuat kue kering.Sebelum datang ke sana, terlebih dahulu Heba mampir sebentar ke kedai buah, untuk membeli beberapa jenis buah-buahan, yang pastinya akan disukai oleh Shanti.Bertahun-tahun menjadi sekretaris Pratama, tentunya Heba mengetahui dengan pasti makanan dan minuman apa yang disukai oleh keluarga atasannya itu.Setelah dari kedai buah, Heba menaiki ojek online untuk sampai di rumah Shanti. Tiba di sana, ia disambut oleh Shanti yang sudah menunggu."Akhirnya kamu datang juga. Saya pikir kamu nggak jadi datang ke sini," ucap Shanti yang tak ragu menggiring Heba masuk ke dalam rumahnya.Heba tertawa pelan atas perkataan Shanti. "Saya pasti datang kok, Bu. Sekarang bagaimana, Ibu percaya 'kan sama saya?"Giliran Shanti yang tertawa dan mengangguk cepat. "Kamu memang tidak pernah berubah. Sejak dulu kamu selalu menepati janji dan datang tepat waktu
108Heba tidak bisa tinggal diam saja. Pagi ini juga setelah sampai di kantor, ia sudah bertekad untuk bicara dengan Noah soal masalah kemarin. Jangan sampai ada kesalahpahaman di antara mereka berdua.Sebab Heba begitu yakin, kalau itu semua akan mempengaruhi pekerjaan antara sekretaris dan atasan, yang tiap hari harus bertemu dan melakukan komunikasi.Dengan kedua kaki yang melangkah pasti, Heba menemui Noah di ruangannya. Ia membawakan jadwal atasannya itu dan memaparkan seperti biasa. Namun, tentu saja ia juga akan membicarakan masalah yang ada di antara mereka berdua."Sudah, Ba?" tanya Noah, yang kentara tidak melakukan kontak mata dengan sekretarisnya sendiri."Kalau urusan pekerjaan sudah selesai, Pak. Tapi saya mau bicara soal lain," jawab Heba meminta izin agar Noah memberinya sedikit waktu."Soal apa?" tanya lelaki itu setelah berdehem pelan."Soal saya dan Bapak." Heba menatap Noah, sehingga lelaki yang ada di depannya pun terpaksa melakukan hal serupa.Noah terdiam. Harus
107"Kita pergi saja dari sini," ajak Noah hendak menggamit tangan Heba, tetapi Anisa lebih dulu mencegahnya."Jangan ke mana-mana, Ba. Mama mohon sama kamu, kamu harus bantuin Mama," pinta Anisa yang lagi-lagi diucapkan tanpa rasa malu sedikit pun.Heba sendiri benci melihat bagaimana Anisa begitu berusaha. Ia marah, tetapi tidak mau menunjukkannya, karena tenaganya akan terkuras habis. Maka dari itu, ia mengangguk pada Noah dan mereka pun pergi dari rumah Luqman saat itu juga.Menghela napas panjang, Heba menghembuskannya sangat perlahan. Ia mencoba untuk tetap tenang saat masuk ke dalam mobil. Sementara Noah hanya melihat sekilas wanita di sebelahnya, kemudian melajukan mobil.Heba begitu sibuk memikirkan bagaimana caranya ia menyadarkan Anisa, agar tak lagi mendesaknya untuk memperjuangkan Nathan. Tanpa sadar Heba mengepalkan tangan dan menggerutu pelan, dan Noah hanya melihat itu tanpa melakukan apa pun.Sedetik kemudian, Heba tersadar jika ia masih melakukan perjalanan bersama No
Bab 106Hari berganti cukup cepat bagi Heba, lantaran ia tengah merasakan ketenangan yang luar biasa. Hidupnya begitu damai, setelah Heba menjauh perlahan tapi pasti dari Anisa, juga Nathan dan keluarganya.Wanita itu fokus pada diri sendiri, mengembangkan berbagai macam bakat yang selama ini terpendam karena tak pernah mendapatkan ruang selama menikah dengan Nathan."Makan siang di mana kita hari ini?" tanya Noah melihat penunjuk waktu, yang mana setengah jam lagi, mereka akan mendapatkan jatah istirahat."Cuaca di luar sedang bagus, Pak. Bagaimana kalau makan siang di restoran yang baru saja buka?" Heba teringat pada restoran baru, yang letaknya tak jauh dari kantor."Boleh, kita coba makan di sana." Noah setuju.Maka cepat-cepat Heba akan menghubungi restoran untuk melakukan reservasi, agar mereka mendapatkan meja. Namun, tangannya berhenti bekerja saat ia mendapat panggilan dari Luqman."Ada apa, ya?" tanya Heba, tak sadar sudah mengeluarkan suara, sehingga Noah menoleh."Kenapa?"
Bab 105"Kemarin kamu makan malem sama keluarganya Pak Bos, ya?" tanya Kamila seraya berbisik.Sejak tadi ia memicingkan mata dan mengirimkan kode agar sahabatnya bercerita. Namun, sayang sekali Heba benar-benar tidak peka. Sehingga Kamila akhirnya harus bertanya secara gamblang."Ba? Iya atau nggak?" desak Kamila."Kamu tau dari mana?" Heba malah balik bertanya. Seingatnya, ia tak mengatakan pada siapa pun. Lantas dari mana Kamila bisa tahu semuanya?"Itu artinya bener?"Heba mengangguk, tak mungkin menyembunyikan apa pun dari Kamila. Lagi pula, tak ada yang aneh dari makan malam kemarin."Sekarang aku tanya sekali lagi, kamu kok bisa tau?" Heba menatap heran, tetapi Kamila malah terkikik saja."Iyalah aku tau! Orang aku ngikutin kamu sama Pak Bos!" Kamila menjawab jujur.Betul adanya kalau kemarin, diam-diam dirinya mengikuti Heba dan Noah. Sebetulnya Kamila tak memiliki niat seperti itu. Hanya saja, ia penasaran mengapa Heba tampak sedih.Niat untuk menegur Heba dan mengajaknya pul
Bab 104"Kamu harus berani, Sayang," ucap Nathan saat mobilnya sudah tiba di depan rumah Luqman.Anya mengangguk, tetapi tidak juga membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan roda empat tersebut."Yang terpenting kamu jangan ikut emosi. Kita harus tunjukkan sama Mama Anisa dan Papa Luqman, kalau hubungan kita ini sangat serius.""Iya, Mas. Aku akan jaga emosiku di depan Papa sama Mama," balas Anya berjanji.Nathan memang benar, kalau ia harus bersikap lebih dewasa, agar pilihannya untuk menjalin kedekatan dengan Nathan tak disepelekan. Lantas keduanya pun turun dari mobil.Anya masuk lebih dulu ke dalam rumah, diikuti oleh Nathan di belakangnya. Di dalam ruang keluarga, sudah ada Anisa di sana. Awalnya wanita paruh baya itu terlihat senang dengan kehadiran Anya, sehingga ia berdiri dan bergegas menghampiri.Akan tetapi saat melihat ternyata Nathan ikut hadir, senyum di bibir Anya langsung hilang seketika. Ia terang-terangan menatap tak suka pada lelaki yang masih jadi menantunya it
Bab 103Sejak pagi tadi, perasaan Nathan sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Itu semua dikarenakan kedatangan Anisa yang hanya ingin marah-marah kepadanya.Untung saja ada Luqman yang menjadi penengah, tetapi lelaki paruh baya itu sama sekali tidak membela. Setidaknya, Nathan bisa bernapas lebih lega, karena ia tak mendapatkan masalah apa pun di kantor.Tepat jam lima sore ketika semua pekerjaannya sudah selesai, Nathan memutuskan untuk pulang ke rumah Ratih. Awalnya ia akan berkunjung sebentar ke apartemen untuk mengambil beberapa helai pakaian.Akan tetapi niat itu diurungkan, karena Nathan harus menghindari Anisa, yang kemungkinan akan memantau di sana.Nathan sengaja memasang wajah lesu ketika ia membuka pintu rumah. Sehingga Anya yang melihat pun langsung menghampiri dengan perasaan khawatir."Muka kamu kenapa begitu sih, Mas? Kerjaan di kantor banyak banget, ya?" Anya bertanya penuh perhatian, juga segera mengambil tas kerja di tangan kekasihnya."Kerjaan di kantor masih ringan
Bab 102Pagi-pagi sekali Anisa sudah pergi dari rumahnya, tanpa diketahui oleh Luqman. Ia berencana hendak mendatangi Heba dan memohon sekali lagi. Harapannya memang ada pada Heba, maka dari itu Anisa tak akan menyerah."Waktu itu Heba masih marah." Anisa bergumam sendiri. "Harusnya aku nanya sama dia gimana kondisinya, supaya dia juga mau dengerin permintaanku."Anisa memang agak menyesal karena ia tak mengatur strategi yang bagus. Andai saja otaknya bekerja lebih baik, mungkin ia tak perlu repot-repot mendatangi Heba seperti sekarang."Udahlah, aku memang harus berjuang supaya Anya pisah dari Nathan, dan dia mau pulang ke rumah." Anisa mengangguk yakin, dan keluar dari mobil.Berjalan beberapa langkah, ia pun mengetuk pintu rumah Heba yang masih tertutup."Heba? Ini Mama."Di dalam rumah, Heba yang tengah bersiap-siap pun segera mengenakan kerudung dan membuka pintu. Sesaat ia menatap Anisa."Ada apa, Ma?" tanya Heba memaksa senyum di bibir."Mama mau bicara sama kamu, Ba.""Aku gak
Bab 101"Noah, Papa, ayo!" ajak Shanti yang bingung mengapa anak dan suaminya malah diam dan tak mengikuti langkahnya menuju ruang makan."Ayo, Pa!" Noah pun mengajak Pratama.Lelaki paruh baya itu mengangguk. Ia menebak jika Noah memiliki maksud, sampai memberitahunya hal pribadi tentang Heba. Padahal selama ini, Pratama tak pernah sekali pun bertanya soal suami dari mantan sekretarisnya itu.Pratama sangat paham batasan mana yang tak boleh ia langgar. Sehingga selama masa kerjanya dengan Heba bertahun yang lalu, ia pun kurang tahu bagaimana nasib wanita yang satu itu di kehidupan pribadinya."Makan yang banyak ya, Ba." Shanti sangat senang melayani Heba. Mulai dari menyendokkan nasi, mengisi gelas, sampai menawarkan berbagai macam menu yang ada di atas meja makan."Makasih ya, Bu," ucap Heba yang tak tahu lagi harus berkata apa.Heba juga senang karena Shanti menerimanya dengan baik tiap kali bertamu ke rumah ini. Ia merasa seperti mendapatkan sosok ibu yang baru, yang begitu hangat