Bab 4 Ambisi Anya
“Kamu itu apa-apaan sih, Ba. Jahat banget, tau nggak, sih!”
Heba menoleh, wajahnya menunjukkan raut bingung. Diana ada di depannya saat ini, entah kapan kakak iparnya itu datang tapi yang pasti dia tidak mendengar suaranya. Apa mungkin karena dia terlalu fokus pada lamunannya, ya?
Wajah Diana menatapnya dengan tatapan yang sangat tajam seolah dirinya sudah membuat kesalahan yang amat besar.
“Maksud Mbak apa? Perkara minjem duit? Kan, udah dibilang aku gak bisa minta-minta sama Mama,” sahut Heba malas, dia kemudian bangkit dan berjalan ke arah dispenser demi mengambil segelas air putih.
“Wah, enteng banget kamu ngomong. Pelit banget kamu sama kakak ipar sendiri, malah orang lain yang lebih baik sama aku. Ah, andai si Anya bisa jadi adik iparku, maka aku akan sangat bahagia,” balas Diana tajam.
Air minum yang baru saja melewati tenggorokannya membuat Heba mual, bahkan tenggorokannya terasa sakit saat ini seolah tengah ditusuk oleh banyak duri. Kalimat Diana tadi kembali membuatnya sakit hati, bagaimana bisa dia mengatakan hal itu dengan wajah biasa saja?
Dia mengharap Anya menjadi adik iparnya? Bukankah itu artinya dia sama sekali tidak menghargai Heba sebagai istri Nathan?
“Mbak, kalau ngomong bisa di rem dikit nggak, sih? Nggak pantes Mbak ngomong begitu sama aku, cuma gara-gara uang Mbak membandingkan aku sama Anya. Aku ini istri Mas Nathan, loh.” Heba menatap Diana dengan tatapan kesal.
“Lah, kalau kamu sadar status kamu itu istri adikku … ya kamu harus nurut waktu Mama nyuruh kamu minta uang ke Tante Anisa,” cibir Diana.
“Udahlah, aku gak mau bahas ini lagi. Kalau Mbak cuma mau ngomongin hal itu, aku menolak buat membahasnya. Aku juga udah nggak ada tenaga buat ngebahas status Mbak kemarin, mendingan Mbak pergi dari sini. Aku mau istirahat!” tegas Heba, namun raut wajahnya menunjukkan kelelahan yang amat sangat.
Dia baru saja selesai sholat dzuhur dan niatnya dia ingin duduk bersantai sementara menunggu kantuk datang, namun keinginannya untuk tidur siang pupus sudah. Diana datang mengganggu lamunannya, dan kini dia yakin kalau dia tidak akan bisa tidur siang.
“Heh, status yang aku buat itu seharusnya membuat kamu sadar. Kamu nggak ada hak buat marah ataupun tersinggung!” ujar Diana tajam.
“Pergi, Mbak. Aku mau istirahat!” balas Heba.
Dia hampir masuk ke kamarnya sebelum mendengar suara Diana.
“Gila, ya. Kamu itu jahat banget, pelit. Ipar minjem duit, kamu nggak kasih. Eh, sekarang kamu malah ngusir aku. Tadi kamu juga udah buat Anya sedih, bisa-bisanya kamu ngatain dia nggak punya Mama. Jahat!”
Heba menoleh, dia menatap Diana dengan alis yang terangkat tinggi. “Ah, ini perkara Anya? Karena itu Mbak sampai repot-repot datang ke sini buat nyeramahin aku?” tanyanya dengan alis yang terangkat tinggi.
“Anya itu dewi penolong aku, kalau kamu jahat sama dia aku nggak bakalan diem aja!” Diana mengacungkan telunjuknya.
“Terserah, deh. Mau aku jelasin juga percuma, toh, Mbak bakalan membela dia,” kata Heba santai. “Kalau keluar pintunya jangan lupa di tutup.”
Heba langsung masuk ke dalam kamar tanpa menghiraukan teriakan yang Diana keluarkan, dia lelah dan dia ingin istirahat. Dia tidak mau pusing dengan apa yang tidak dia lakukan, bodo amat jika orang menganggapnya jahat.
********
“Sumpah, ya. Tu anak makin lama semakin nggak ada otaknya!” Anya masuk ke dalam ruangan Luqman dengan wajah gusar.
“Kamu itu datang-datang malah marah-marah, kenapa, sih? Bukannya kamu ada janji sama Mamamu buat ke salon?” tanya Luqman heran.
Dia menghentikan pekerjaannya dan menatap anak semata wayangnya yang tengah menggerutu, setahunya Anya dan Anisa— istrinya, memiliki janji temu hari ini untuk pergi ke salon. Sebab istrinya memang selama tiga hari ini pergi ke Bali bersama teman-teman arisannya, dan tadi malam baru pulang.
“Itu dia yang jadi masalah, Pa. Aku lagi di cafe nunggu Mama, dan ketemu sama si Heba. Tu anak makin lama makin kurang ajar, deh. Bisa-bisanya dia ngatain aku nggak punya Mama, makanya dia berbagi sama aku.” Anya mengadu dengan wajah memerah menahan amarah.
“Halah, ngapain kamu pikirin? Toh, Mamamu itu sekarang udah jadi punya kamu, Sayang. Papa berani bertaruh, dia lebih sayang sama kamu ketimbang sama Heba,” sahut Luqman santai.
Dia tahu, hubungan Anisa dengan anak kandungnya itu tidak pernah akur. Bahkan Heba tidak mau tinggal bersama mereka setelah dia dan Anisa menikah, anak tirinya itu juga tidak pernah meminta apapun pada mereka. Yah, Luqman sih malah bersyukur.
Karena dengan itu Heba tidak akan menyusahkan, dan perhatian Anisa akan terfokus sepenuhnya pada Anya. Lihatlah sekarang, orang-orang mengira Anisa hanya memiliki satu orang putri dan itu adalah Anya, anaknya yang memang dari kecil sudah tidak memiliki Ibu. Sebab istrinya meninggal ketika Anya duduk di bangku TK dulu akibat penyakit kanker.
“Tapi, Pa—”
“Nya, kalau kamu uring-uringan hanya karena masalah sepele seperti ini, bagaimana Papa bisa mempercayakan perusahaan sama kamu?” tanya Luqman memutus protes yang akan Anya lontarkan. “Ini masalah sepele sekali, toh, kamu lebih segala-galanya dari Heba. Mama, perusahaan, semua harta Papa, akan kamu miliki. Jadi jangan gusar hanya karena masalah ini.”
Anya diam, dia membenarkan semua yang Luqman katakan. Namun, tetap saja dia masih kepikiran akan lancangnya kalimat Heba tadi.
“Nggak, Pa. Ada satu yang dia miliki, tapi aku tidak punya. Tapi tenang saja, hal itu juga akan menjadi milikku sebentar lagi,” gumamnya lirih.
********
Bab 5 Foto[Tadi aku mau nyamperin kamu, tapi kamu udah keburu pulang.]Satu pesan masuk ke ponsel Heba dan pengirimnya adalah Kamila, Heba tersenyum. Walau sudah tidak lagi bekerja di perusahaan yang sama, tetapi hubungan persahabatan Heba dan Kamila sangat terjaga. Mereka akan meluangkan waktu sesekali di akhir pekan untuk bertemu.Maklum saja, mereka sudah berteman saat masih berada di bangku SMA. Kuliah di tempat yang sama, jurusan yang diambil juga sama, dan pada akhirnya bekerja di perusahaan yang sama. Jika ada yang namanya saudara, maka Heba akan mengatakan … alih-alih Anya, Kamila lah yang paling pantas menjadi saudaranya.“Aku buru-buru tadi, Mil. Next time kita ke cafe itu lagi, aku pengen makan cheesecake nya. Soalnya tadi nggak keburu,” tulis Heba sebagai balasan.[Ya kamu sih, cepat kurang cepat pulangnya. Kenapa memangnya? Karena ada si Anya dan Tante Anisa, ya?] Balasan dari Kamila langsung masuk, Heba tersenyum.Jika sedang bertukar pesan seperti sekarang ini, Kamila
Bab 6 Playing VictimNathan pulang jam sembilan malam, Heba tidak bertanya apapun dan memunggungi Nathan seolah dia sudah tidur. Nathan juga tidak berinisiatif bertanya, dia malah asik memainkan ponselnya dan sesekali tertawa-tawa. Heba sedikit terkejut saat mendengar suara ponsel Nathan, ada yang menelepon suaminya itu.“Halo, Mbak. Ada apa?” tanya Nathan cepat. “Aku lagi main game ini, kalau nggak penting-penting amat ntar aja ngomongnya!” Suara Nathan kembali terdengar.[.......]Suara orang yang ada di seberang sana tidak begitu terdengar, apalagi Nathan berada di ujung ranjang sedangkan Heba berbaring di sisi lainnya. Namun, Heba sangat yakin kalau itu adalah Diana.“Ya udah, lima menit lagi aku telepon!”Telepon terputus dan Nathan kembali melanjutkan main game di ponselnya, Heba menunggu dalam diam. Ternyata tidak sampai lima menit, game Nathan sudah berakhir dia kemudian beranjak dan keluar dari kamar.Heba mengikuti perlahan, ternyata Nathan ke dapur. Setelah dia menelepon D
Bab 7 PertemuanWalau sudah semakin malam, tapi jalanan semakin ramai. Andai dia membawa ponselnya, pasti dia akan mengajak Kamila untuk makan es krim bersama. Akan tetapi dia terkejut bukan kepalang saat mendengar suara—“Sendirian saja?”Heba menoleh, dan matanya yang basah mengerjap saat melihat … Noah?“Kamu kenapa?” tanya Noah cepat, pipi Heba memerah dan wajah wanita itu basah oleh air mata. “Kamu terluka?” tanyanya lagi.“Tidak, maaf … saya sebaiknya pulang.” Heba menjauhi tangan Noah yang terulur ke pipinya. “Heba!” Noah memanggil dan langkah Heba langsung berhenti, suara laki-laki itu tetap saja dingin dan otoriter.“Obati pipimu,” ujarnya memberi perintah. “Jika Kamila melihatmu seperti ini, maka dia tidak akan bisa fokus bekerja. Jangan sampai kinerja sekretarisku menurun karena mengkhawatirkanmu!” lanjutnya pedas dan langsung masuk ke dalam mobilnya tanpa menoleh ke arah Heba yang terpaku.“Dia baru saja memarahiku?” gumam Heba hampir menangis. “Kenapa semua orang jahat p
Bab 8 Dibandingkan!Pagi ini Nathan emosi, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi dan Heba masih tidur. Istrinya itu biasanya bangun sebelum subuh, dan tidak akan kembali tidur setelahnya karena Heba akan lanjut memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.Nathan akan pergi kerja dalam keadaan prima, penampilan yang bagus, baju wangi, dan perut yang kenyang. Akan tetapi, sekarang situasinya sangat berbeda. Jangankan perut kenyang, wong, makanan saja tidak ada.“Heba! Kamu nggak masak? Bangun, dong! Aku mau pergi kerja ini!” Nathan menggoyangkan bahu Heba hingga membuat istrinya itu mengerjap.Pipinya masih bengkak, dan jejak air mata terlihat jelas di matanya yang sembab. Akan tetapi Nathan tidak peduli, toh, itu salah Heba sendiri. Siapa suruh dia menuduh Nathan yang tidak-tidak, lagi pula apa salahnya dia makan malam bersama Anya?Anya itu kakak iparnya, sekaligus atasannya di kantor. Lagian Nathan juga menemani Anya karena mau minta maaf atas nama Heba, istrinya itu sudah sangat kuran
Bab 9 Darah!“Kamu nggak usah masuk aja hari ini, Sayang. Mama mau ganti waktu kita kemarin, ayo kita shopping hari ini.” Anisa berbicara dengan nada lembut, apalagi dia bisa melihat wajah Anya yang lesu dan murung.“Nggak ah, Ma. Aku nggak mood,” balas Anya cepat, dia kemudian mendudukkan diri di meja makan. “Mama shopping sendiri saja, aku mau ke kantor. Mau nyibukin diri dengan bekerja, biar hilang dari pikiran aku hinaan Heba kemarin,” lanjutnya lagi.Dia meminum jus jambu yang sudah dihidangkan pelayan di atas meja, sekalipun dia tidak menoleh ke arah Anisa dan itu sukses membuat wanita yang lebih tua merasa tak enak. Dia menoleh sekilas ke arah Luqman, suaminya itu sarapan dengan tenang seolah tak mendengar pembicaraannya dengan Anya. Anisa gundah, dia takut Luqman marah karena Heba sudah bersikap kurang ajar kemarin. “Sayang, Mama mau minta maaf sama kamu atas nama Heba. Dia memang be—”“Kenapa Mama yang minta maaf?” tanya Anya dengan nada datar. “Mama cuma ngerasa—”Kalau Ma
Bab 10 Prasangka NoahHeba terbangun dengan kepala yang sangat sakit, dia nenatap ke sekeliling dengan tatapan nanar. Namun dia sama sekali tidak bisa menemukan sosok mertuanya, padahal Heba bisa mengingat dengan sangat jelas kalau dia terjatuh akibat tamparan yang diberikan oleh Ratih.Saat melihat jam di dinding Heba bisa memastikan kalau dia sudah pingsan hampir 3 jam, dan Heba mendesah lalu menangis sambil memeluk lututnya. Tega-teganya mertuanya meninggalkan dirinya sendirian dalam kondisi pingsan, dengan pintu rumah yang terbuka lebar.Bagaimana jika ada seorang penjahat yang masuk ke rumahnya? Bagaimana jika ada pencuri? Apakah mertuanya sama sekali tidak memikirkan hal tersebut? Minimal jika dia sudah berbuat jahat kepada Heba, bukankah seharusnya dia bisa bertanggung jawab dengan mengobatinya?Heba menangisi hidupnya yang terasa sangat menyedihkan, dia sama sekali tidak dianggap dan dihargai oleh keluarga suaminya. Mungkin mereka lebih memilih Heba tidak ada di dalam keluarga
Bab 11 Hasutan Ratih dan Diana“Heba bilang dia sakit, dan dia minta aku ngantar dia ke rumah sakit,” ujar Nathan sambil mendesah kesal, dia baru saja bangun tidur dan setelah melihat jam dinding dia sedikit terkejut karena ternyata sudah jam tujuh malam.Dia mendudukkan dirinya di sofa, Ratih dan Diana duduk di sofa depannya. Alih-alih berada di perusahaan, saat ini Nathan malah sedang berada di rumah Ratih. Anya tadi mengatakan kalau dia tidak masuk hari ini, dan dia menyuruh Nathan untuk rapat bersama klien dan setelah selesai rapat Anya mengatakan dia bebas untuk pulang.Punya kerabat di perusahaan benar-benar membuat Nathan senang, dia leluasa bolos karena Anya akan mengurus semuanya. Tak jarang banyak rekannya yang iri dan menginginkan posisi Nathan saat ini.“Halah, manja banget istrimu itu,” sahut Diana emosi. “Nyusahin doang kerjanya, heran aku!”“Iya, kenapa dia suka banget drama, sih? Minimal mandiri lah, jangan cuma tahunya nyusahin aja,” kata Ratih ikut bicara. Dia sama
Bab 12 Dihajar!“Aduh! Kamu apa-apaan sih, Mil?” Nathan tersungkur setelah dihantam Kamila menggunakan tasnya.Kepala Nathan pusing, walau tidak menimbulkan luka tapi tetap saja dia sekarang kesakitan. Saat dia menatap Kamila, Nathan langsung menggeram kesal saat melihat sahabat baik istrinya itu malah tertawa mengejek.“Kenapa? Sakit? Gitu doang kok, sakit, sih? Lemah banget!” ejek Kamila.“Kamu jangan semena-mena sama aku, ya. Dibaikin malah ngelunjak kamu!” Nathan menunjuk Kamila dengan wajah geram. “Dibaikin? Emangnya kamu ngasih apa ke aku?” tanya Kamila sok polos. “Yang semena-mena itu kamu! Istri sakit bukannya diantar ke rumah sakit, eh, malah cuek bebek. Gitu sifat seorang laki-laki sejati? Hah?” tanya Kamila berapi-api.“Ya elahhh, manja banget!”BUAGH!BUAGH!BUAGH!Tiga kali tas Kamila kembali berayun ke kepala Nathan hingga laki-laki itu kembali tersungkur, Kamila puas sekali. Dia tidak sudi mendaratkan tangannya di tubuh Nathan, makanya dia menggunakan tasnya. Apalagi t
109Hari Sabtu akhirnya tiba. Seperti janjinya pada Shanti, Heba akan berkunjung ke rumah wanita paruh baya itu untuk mengobrol dan membuat kue kering.Sebelum datang ke sana, terlebih dahulu Heba mampir sebentar ke kedai buah, untuk membeli beberapa jenis buah-buahan, yang pastinya akan disukai oleh Shanti.Bertahun-tahun menjadi sekretaris Pratama, tentunya Heba mengetahui dengan pasti makanan dan minuman apa yang disukai oleh keluarga atasannya itu.Setelah dari kedai buah, Heba menaiki ojek online untuk sampai di rumah Shanti. Tiba di sana, ia disambut oleh Shanti yang sudah menunggu."Akhirnya kamu datang juga. Saya pikir kamu nggak jadi datang ke sini," ucap Shanti yang tak ragu menggiring Heba masuk ke dalam rumahnya.Heba tertawa pelan atas perkataan Shanti. "Saya pasti datang kok, Bu. Sekarang bagaimana, Ibu percaya 'kan sama saya?"Giliran Shanti yang tertawa dan mengangguk cepat. "Kamu memang tidak pernah berubah. Sejak dulu kamu selalu menepati janji dan datang tepat waktu
108Heba tidak bisa tinggal diam saja. Pagi ini juga setelah sampai di kantor, ia sudah bertekad untuk bicara dengan Noah soal masalah kemarin. Jangan sampai ada kesalahpahaman di antara mereka berdua.Sebab Heba begitu yakin, kalau itu semua akan mempengaruhi pekerjaan antara sekretaris dan atasan, yang tiap hari harus bertemu dan melakukan komunikasi.Dengan kedua kaki yang melangkah pasti, Heba menemui Noah di ruangannya. Ia membawakan jadwal atasannya itu dan memaparkan seperti biasa. Namun, tentu saja ia juga akan membicarakan masalah yang ada di antara mereka berdua."Sudah, Ba?" tanya Noah, yang kentara tidak melakukan kontak mata dengan sekretarisnya sendiri."Kalau urusan pekerjaan sudah selesai, Pak. Tapi saya mau bicara soal lain," jawab Heba meminta izin agar Noah memberinya sedikit waktu."Soal apa?" tanya lelaki itu setelah berdehem pelan."Soal saya dan Bapak." Heba menatap Noah, sehingga lelaki yang ada di depannya pun terpaksa melakukan hal serupa.Noah terdiam. Harus
107"Kita pergi saja dari sini," ajak Noah hendak menggamit tangan Heba, tetapi Anisa lebih dulu mencegahnya."Jangan ke mana-mana, Ba. Mama mohon sama kamu, kamu harus bantuin Mama," pinta Anisa yang lagi-lagi diucapkan tanpa rasa malu sedikit pun.Heba sendiri benci melihat bagaimana Anisa begitu berusaha. Ia marah, tetapi tidak mau menunjukkannya, karena tenaganya akan terkuras habis. Maka dari itu, ia mengangguk pada Noah dan mereka pun pergi dari rumah Luqman saat itu juga.Menghela napas panjang, Heba menghembuskannya sangat perlahan. Ia mencoba untuk tetap tenang saat masuk ke dalam mobil. Sementara Noah hanya melihat sekilas wanita di sebelahnya, kemudian melajukan mobil.Heba begitu sibuk memikirkan bagaimana caranya ia menyadarkan Anisa, agar tak lagi mendesaknya untuk memperjuangkan Nathan. Tanpa sadar Heba mengepalkan tangan dan menggerutu pelan, dan Noah hanya melihat itu tanpa melakukan apa pun.Sedetik kemudian, Heba tersadar jika ia masih melakukan perjalanan bersama No
Bab 106Hari berganti cukup cepat bagi Heba, lantaran ia tengah merasakan ketenangan yang luar biasa. Hidupnya begitu damai, setelah Heba menjauh perlahan tapi pasti dari Anisa, juga Nathan dan keluarganya.Wanita itu fokus pada diri sendiri, mengembangkan berbagai macam bakat yang selama ini terpendam karena tak pernah mendapatkan ruang selama menikah dengan Nathan."Makan siang di mana kita hari ini?" tanya Noah melihat penunjuk waktu, yang mana setengah jam lagi, mereka akan mendapatkan jatah istirahat."Cuaca di luar sedang bagus, Pak. Bagaimana kalau makan siang di restoran yang baru saja buka?" Heba teringat pada restoran baru, yang letaknya tak jauh dari kantor."Boleh, kita coba makan di sana." Noah setuju.Maka cepat-cepat Heba akan menghubungi restoran untuk melakukan reservasi, agar mereka mendapatkan meja. Namun, tangannya berhenti bekerja saat ia mendapat panggilan dari Luqman."Ada apa, ya?" tanya Heba, tak sadar sudah mengeluarkan suara, sehingga Noah menoleh."Kenapa?"
Bab 105"Kemarin kamu makan malem sama keluarganya Pak Bos, ya?" tanya Kamila seraya berbisik.Sejak tadi ia memicingkan mata dan mengirimkan kode agar sahabatnya bercerita. Namun, sayang sekali Heba benar-benar tidak peka. Sehingga Kamila akhirnya harus bertanya secara gamblang."Ba? Iya atau nggak?" desak Kamila."Kamu tau dari mana?" Heba malah balik bertanya. Seingatnya, ia tak mengatakan pada siapa pun. Lantas dari mana Kamila bisa tahu semuanya?"Itu artinya bener?"Heba mengangguk, tak mungkin menyembunyikan apa pun dari Kamila. Lagi pula, tak ada yang aneh dari makan malam kemarin."Sekarang aku tanya sekali lagi, kamu kok bisa tau?" Heba menatap heran, tetapi Kamila malah terkikik saja."Iyalah aku tau! Orang aku ngikutin kamu sama Pak Bos!" Kamila menjawab jujur.Betul adanya kalau kemarin, diam-diam dirinya mengikuti Heba dan Noah. Sebetulnya Kamila tak memiliki niat seperti itu. Hanya saja, ia penasaran mengapa Heba tampak sedih.Niat untuk menegur Heba dan mengajaknya pul
Bab 104"Kamu harus berani, Sayang," ucap Nathan saat mobilnya sudah tiba di depan rumah Luqman.Anya mengangguk, tetapi tidak juga membuka pintu mobil dan keluar dari kendaraan roda empat tersebut."Yang terpenting kamu jangan ikut emosi. Kita harus tunjukkan sama Mama Anisa dan Papa Luqman, kalau hubungan kita ini sangat serius.""Iya, Mas. Aku akan jaga emosiku di depan Papa sama Mama," balas Anya berjanji.Nathan memang benar, kalau ia harus bersikap lebih dewasa, agar pilihannya untuk menjalin kedekatan dengan Nathan tak disepelekan. Lantas keduanya pun turun dari mobil.Anya masuk lebih dulu ke dalam rumah, diikuti oleh Nathan di belakangnya. Di dalam ruang keluarga, sudah ada Anisa di sana. Awalnya wanita paruh baya itu terlihat senang dengan kehadiran Anya, sehingga ia berdiri dan bergegas menghampiri.Akan tetapi saat melihat ternyata Nathan ikut hadir, senyum di bibir Anya langsung hilang seketika. Ia terang-terangan menatap tak suka pada lelaki yang masih jadi menantunya it
Bab 103Sejak pagi tadi, perasaan Nathan sudah tidak bisa dikondisikan lagi. Itu semua dikarenakan kedatangan Anisa yang hanya ingin marah-marah kepadanya.Untung saja ada Luqman yang menjadi penengah, tetapi lelaki paruh baya itu sama sekali tidak membela. Setidaknya, Nathan bisa bernapas lebih lega, karena ia tak mendapatkan masalah apa pun di kantor.Tepat jam lima sore ketika semua pekerjaannya sudah selesai, Nathan memutuskan untuk pulang ke rumah Ratih. Awalnya ia akan berkunjung sebentar ke apartemen untuk mengambil beberapa helai pakaian.Akan tetapi niat itu diurungkan, karena Nathan harus menghindari Anisa, yang kemungkinan akan memantau di sana.Nathan sengaja memasang wajah lesu ketika ia membuka pintu rumah. Sehingga Anya yang melihat pun langsung menghampiri dengan perasaan khawatir."Muka kamu kenapa begitu sih, Mas? Kerjaan di kantor banyak banget, ya?" Anya bertanya penuh perhatian, juga segera mengambil tas kerja di tangan kekasihnya."Kerjaan di kantor masih ringan
Bab 102Pagi-pagi sekali Anisa sudah pergi dari rumahnya, tanpa diketahui oleh Luqman. Ia berencana hendak mendatangi Heba dan memohon sekali lagi. Harapannya memang ada pada Heba, maka dari itu Anisa tak akan menyerah."Waktu itu Heba masih marah." Anisa bergumam sendiri. "Harusnya aku nanya sama dia gimana kondisinya, supaya dia juga mau dengerin permintaanku."Anisa memang agak menyesal karena ia tak mengatur strategi yang bagus. Andai saja otaknya bekerja lebih baik, mungkin ia tak perlu repot-repot mendatangi Heba seperti sekarang."Udahlah, aku memang harus berjuang supaya Anya pisah dari Nathan, dan dia mau pulang ke rumah." Anisa mengangguk yakin, dan keluar dari mobil.Berjalan beberapa langkah, ia pun mengetuk pintu rumah Heba yang masih tertutup."Heba? Ini Mama."Di dalam rumah, Heba yang tengah bersiap-siap pun segera mengenakan kerudung dan membuka pintu. Sesaat ia menatap Anisa."Ada apa, Ma?" tanya Heba memaksa senyum di bibir."Mama mau bicara sama kamu, Ba.""Aku gak
Bab 101"Noah, Papa, ayo!" ajak Shanti yang bingung mengapa anak dan suaminya malah diam dan tak mengikuti langkahnya menuju ruang makan."Ayo, Pa!" Noah pun mengajak Pratama.Lelaki paruh baya itu mengangguk. Ia menebak jika Noah memiliki maksud, sampai memberitahunya hal pribadi tentang Heba. Padahal selama ini, Pratama tak pernah sekali pun bertanya soal suami dari mantan sekretarisnya itu.Pratama sangat paham batasan mana yang tak boleh ia langgar. Sehingga selama masa kerjanya dengan Heba bertahun yang lalu, ia pun kurang tahu bagaimana nasib wanita yang satu itu di kehidupan pribadinya."Makan yang banyak ya, Ba." Shanti sangat senang melayani Heba. Mulai dari menyendokkan nasi, mengisi gelas, sampai menawarkan berbagai macam menu yang ada di atas meja makan."Makasih ya, Bu," ucap Heba yang tak tahu lagi harus berkata apa.Heba juga senang karena Shanti menerimanya dengan baik tiap kali bertamu ke rumah ini. Ia merasa seperti mendapatkan sosok ibu yang baru, yang begitu hangat