Pukul sepuluh malam, ketika ruangan telah sepi dan hanya menyisakan Stella dan ayahnya, suasana menjadi semakin hening.
Dengan cemas, Stella bertanya padanya, "Ayah, apakah kamu benar-benar sudah lebih baik sekarang?" Roman memandang wajah putrinya dengan senyuman penuh makna. "Kenapa kamu begitu khawatir pada ayah? Apakah kamu benar-benar takut kehilangan ayah?" Stella mengangguk, menunjukkan betapa besar kekhawatirannya. "Dalam hidup ini, hanya ayah yang aku miliki. Tentu saja, aku tidak ingin kehilanganmu," ucap Stella dengan ekspresi sedih yang terpancar jelas dari wajahnya. Roman meraih tangan putrinya dengan penuh kasih sayang. Meskipun terlihat sedih, Roman mencoba menghilangkan kesedihan dengan menghela nafas. "Dunia ini penuh dengan misteri, Nak. Takdir seseorang tidak bisa diprediksi atau dikendalikan, termasuk takdir ayah," ujar Roman dengan serius. Stella menatapnya dengan kening berkerut, bertanya-tanya tentang maksud dari perkataan ayahnya. Roman menghela nafas panjang, kesedihan semakin terlihat jelas di wajahnya. "Ayah juga khawatir padamu, Ayah tidak ingin berada jauh darimu," kata Roman dengan penuh perasaan. Kata-kata itu membuat Stella terdiam dalam pemikirannya, merenungkan arti dari kata-kata ayahnya. "Aku tidak akan pergi, ayah. Aku akan tetap bersama ayah di sini," kata Stella dengan tegas. Roman menggeleng pelan, ekspresinya membuat Stella bingung. Tatapannya kosong, tapi bibirnya tetap bergerak, "Bukan kamu yang pergi. Tapi ayah yang akan pergi." "Maksud ayah?" Stella menatap ayahnya dengan serius, kerutan di dahinya semakin jelas. Roman mengangguk perlahan, matanya bertemu dengan mata Stella, "Aku tidak tahu sampai kapan bisa bertahan. Dokter mengatakan penyakitku sulit untuk disembuhkan." Kata-kata itu membuat Stella membeku. Wajahnya pucat seketika, ekspresinya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Apa yang sedang ayah katakan? Bukankah ayah tadi mengatakan bahwa kondisimu sudah membaik?" Stella yang sebelumnya tenang, kini kembali dilanda kekhawatiran. Dia tidak bisa membayangkan kehilangan ayahnya, dan perasaan khawatir itu semakin merasuk dalam dirinya. Roman mengangguk pelan, suaranya dipenuhi keraguan, "Sejujurnya, ayah tidak bermaksud membuatmu khawatir, tapi aku khawatir menyembunyikan kebenaran akan membuatmu membenci ayah. Lebih baik aku mengatakan yang sebenarnya padamu, daripada mengecewakanmu dengan kebohongan." Mata Stella memerah, air mata tak tertahankan mulai mengalir membasahi pipinya. Meskipun tak mengucapkan sepatah kata pun, bibirnya bergetar menahan tangis yang ingin pecah. Roman melanjutkan, "Ayah ingin melihatmu tumbuh menjadi wanita dewasa dan mandiri, agar tidak tergantung pada ayah. Namun, umurku tidak lama lagi." Air mata juga mengalir dari mata Roman saat ia mengatakan ini. Kepeduliannya terhadap Stella begitu tulus hingga tak mampu ditahan. Berpisah dengan orang yang dicintainya memang menyedihkan, dan Roman tidak mampu menahan kesedihannya. "Ayah tidak boleh mengatakan hal itu. Hidup ayah masih panjang. Aku tidak ingin ayah pergi!" Stella menggelengkan kepala dengan tegas, air mata tak terbendung mengalir deras di pipinya. Roman juga semakin tak terkendali, tangisnya bergabung dengan tangis Stella. Dengan erat, Stella memeluk ayahnya. "Ayah tidak boleh pergi. Harus di sini bersamaku selamanya," desisnya di antara isak tangis. Roman mengangguk, tapi dia juga menggelengkan kepalanya. Benar-benar bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang. Orang yang tidak merasakan, tidak akan tahu apa yang dirasakan Roman. "Iya, aku sangat ingin tinggal bersamamu, putriku tercinta. Hanya saja aku tidak bisa," ucap Roman sambil menepuk lembut punggung Stella, air mata mengalir tak terbendung dari matanya. Stella berusaha memejamkan matanya untuk menahan air matanya, tapi rasa sesak di dadanya membuatnya tak bisa menahan tangisannya. Seperti dadanya sedang dipukul oleh palu yang berat, membuatnya sulit bernafas karena kesedihan yang begitu mendalam. Roman menenangkan Stella dengan lembut, mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Dia kemudian mengangkat Stella yang masih memeluknya. "Jangan bersedih, putri cantik ayah tidak boleh menangis," ucap Roman sambil menyeka air mata Stella, mencoba menenangkan gadis itu dari kesedihannya. "Kenapa, kenapa ayah tidak berkata jujur sejak awal? Kenapa ayah mencoba untuk membohongiku?" tanya Stella tajam, tatapannya menembus hati Roman. Pria itu menggenggam tangan putrinya dengan erat, mencoba menjelaskan, "Ayah sebenarnya ingin menyembunyikan ini darimu. Namun, ayah tak sanggup membohongi putri tercinta. Ayah hanya ingin pergi tanpa membawa kebencian darimu. Itu saja yang ayah inginkan." Stella terdiam, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun di tengah kebingungannya. "Jika memang kematianku sudah dekat, ayah hanya meminta satu hal darimu," lanjut Roman sambil memandang langit-langit, menempatkan kedua tangannya di atas dadanya. Stella meraih tangan ayahnya dan menggelengkan kepalanya, "Sudah, jangan katakan seperti itu lagi. Ayah harus sembuh!" Roman pun mengangguk sambil tersenyum kepada putrinya. Di rumah Martin, suasana hangat memenuhi ruang tamu saat mereka berkumpul. Dua botol anggur membawa semangat, dan setiap gelas yang diisi penuh menjadi saksi keceriaan mereka. Suara tawa dan percakapan riang mengisi malam mereka dengan kebahagiaan. "Penyakit kakak tertua semakin parah. Peluang untuk sembuh juga kecil. Kita harus mulai membahas masalah ini," ucap Martin kepada mereka. Mereka semua menganggukkan kepalanya sambil menuangkan anggur yang ada. "Ya, dia mengurus sembilan puluh persen bisnis keluarga Yuan. Ini adalah kesempatan kita untuk mengambil alih kendali darinya," ucap Jiwan. Andre meletakkan gelasnya di atas meja dan duduk dengan tegak. Matanya sudah memerah, tampaknya dia sudah sangat mabuk kali ini. "Kita harus bertindak cepat. Jika memungkinkan, kita bisa mendapatkan semua harta keluarga Yuan sebelum dia benar-benar meninggal. Ah, senang sekali menjadi bos di sebuah perusahaan milik keluarga Yuan," katanya sambil tertawa. "Mari kita minum untuk kondisi Kakak tertua yang semakin memburuk!" kata Andre sambil tertawa. Mereka tertawa bahagia dan bersulang untuk merayakan momen yang telah mereka tunggu-tunggu. **** Beberapa hari berlalu, rumah sakit yang sebelumnya ramai kini masih dipenuhi dengan aktivitas yang sibuk. Dokter, perawat, dan pengunjung keluar masuk ruangan seperti semut yang bergerak di sarangnya. Aroma antibiotik khas rumah sakit menyelimuti udara di sekitar. Di ruangan tempat Roman dirawat, dokter dan perawat dengan serius memeriksanya. Stella berdiri di depan jendela di luar ruangan, melihat ayahnya yang lemah di tengah perawatan intensif dari tim medis. Dalam hati, ia berbisik, "Ayah, kamu harus sembuh. Kamu harus sembuh, tidak boleh gagal!" Dokter dengan serius memeriksa kondisi Roman, didampingi oleh perawat-perawat yang siap membantunya dengan penuh perhatian. Setelah beberapa saat, dokter dan para perawat keluar dari ruangan Roman. Stella menunggu di depan pintu dengan ekspresi khawatir yang tak tersembunyi. “Dokter, bagaimana kondisi ayah saya?” tanyanya cemas. Dokter melepaskan maskernya dan menatap Stella, "Nona Yuan, ada hal yang perlu saya bicarakan dengan Anda secara pribadi. Silakan ikuti saya ke ruangan." Stella tampak ragu sejenak, namun akhirnya menganggukkan kepala dan mengikuti dokter ke ruangannya. Di dalam ruangan, mereka duduk di meja berhadapan. Seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah map, yang di letakkan di atas meja. Dokter itu kemudian berbicara, "Kondisi ayah Anda semakin memburuk. Penyakit yang sebelumnya saya duga sebagai masalah liver, ternyata adalah akibat racun yang menyebar di tubuhnya." Dokter mengambil folder terdekat dan membukanya. Stella tentu saja terkejut dengan perkataan dokter itu. Dia menatapnya dengan serius, "Apa? Racun?"Dokter mengangguk serius, "Maafkan saya karena tidak menyadari hal ini sejak awal. Memang sulit membedakan gejala penyakit liver dan racun ini." Wajah Stella langsung memucat saat mendengar bahwa ayahnya terkena racun, sebuah fakta yang sangat berbeda dari apa yang pernah dia bayangkan sebelumnya. "Bukankah hasil tes sebelumnya menunjukkan penyakit liver? Kenapa sekarang menjadi terkena racun?" Stella bertanya dengan kebingungan. "Aku bisa menuntut kalian jika kalian bekerja seperti ini," tambahnya dengan nada bicara penuh emosi. Dokter mencoba menenangkan Stella, “Maaf, Nona. Tolong tenangkan diri Anda terlebih dahulu. Saya akan memberikan penjelasan.” Stella masih bingung dan emosional, namun ia berusaha menenangkan dirinya. Nafasnya naik turun dengan cepat, menunjukkan amarah yang membara. Setelah cukup tenang, Stella berkata, "Cepat katakan. Jika penjelasanmu tidak masuk akal, aku tidak ragu untuk melaporkan rumah sakit ini." Dokter mengangguk cepat, "Baik, saya akan menjel
“Ya, itu yang ayah inginkan. Jika kamu berkenan, anggap saja ini sebagai permintaan terakhir ayah,” kata Roman dengan tulus. Stella memandang ayahnya dalam diam, mencoba memahami maksud di balik permintaan tersebut. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Dia tentu dalam keadaan bingung saat ini. Setelah berpikir sejenak, Stella segera berkata, “Ayah, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal ini? Ayah tahu aku tidak punya pacar, kan? Lagipula, aku masih muda. Masih ingin menghabiskan masa muda bersama ayah.” Roman tersenyum dan menatap putrinya dengan tulus. “Jika ayah masih berumur panjang, meski kamu ingin menikah di usia tiga puluhan, juga tidak masalah. Sayangnya, masa hidup ayah hampir habis. Ayah khawatir tidak bisa melihatmu menikah, dan tidak tahu apakah suamimu bisa menggantikan ayah untuk menjagamu,” kata Roman menjelaskan. Roman diam sejenak dan melanjutkan, “Karena ayah tahu kalau kamu jauh dari saudara-saudaramu. Jadi menurutku, hanya calon suamimu yang akan m
Setelah dirawat di rumah sakit, Roman menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Jiwan, mengambil alih semua aktivitas Grup Yuan. Jiwan melambaikan tangannya seraya berkata, “Kau tenang saja, masih seperti ini jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Semuanya berjalan dengan lancar.” Jiwan tersenyum sambil menepuk punggung Roman. Roman pun tersenyum, meski terlihat kecut. "Apa kata dokter mengenai penyakitmu? Dan apa tindakan selanjutnya?" Saat ini Roman hanya termenung. Dia memandang mereka berdua untuk sesaat, kemudian berkata, "Saat ini hanya perlu menjalani. Mereka terus mengikuti perkembanganku. Jika lebih baik, maka bisa pulang dengan cepat." Jiwan memandangnya, memberi semangat kepadanya. Mereka berbicara sejenak sebelum memutuskan untuk pulang. Saat membuka pintu, mereka papasan dengan Stella. Ketiganya berbicara sebentar sebelum mereka pergi, dan Stella menutup pintu ruangan kembali, lalu berjalan menuju ayahnya. "Ayah belum tidur?" tanya Stella mendekat. Roman meng
Di hari berikutnya, saat siang tiba, Stella dengan penuh kasih menyuapi ayahnya dengan makanan yang disediakan oleh rumah sakit. Roman terlihat makan dengan lahap, seolah-olah tidak merasakan rasa sakit sedikit pun. Meskipun terus dipantau secara intensif oleh dokter dan perawat, keberadaannya di kelas VIP memberinya perlakuan istimewa. Stella meletakkan mangkuk itu setelah ayahnya selesai makan, lalu membawakan air minum untuknya. Roman minum dengan perlahan, dan kemudian memberikan gelas itu kembali pada putrinya. "Stella, apakah kamu tidak keberatan untuk menikah dalam waktu dekat dan menjalani kehidupan berumah tangga?" tanya Roman sambil menatapnya. Stella duduk di tepi ranjang, memikirkan pertanyaan itu dengan bingung. Jika dia berbicara jujur, dan jika ayahnya masih memiliki waktu yang panjang, tentu saja dia akan sangat keberatan dengan permintaan itu. Baginya, hidupnya saat ini penuh damai dan kebahagiaan, mengapa dia harus menikah dan menjadi istri orang? "Ini
Saat itu juga, Roman memanggilnya, "Stella, kemarilah." Stella menoleh ke arah ayahnya. Dia sebenarnya ingin menunggu jawaban dari Dani, namun pria itu hanya tersenyum seolah tidak ingin memberikan jawaban untuknya. Stella pun menatap Dani, memutar bola matanya dengan malas, lalu berjalan ke arah ayahnya. "Apa ada yang bisa saya bantu, Ayah?" "Stella, kenapa kamu buru-buru pergi? Kenalanlah dengan Aksa," kata Roman. Stella mendesah, "Untuk apa, Ayah? Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting." Stella berputar dan hendak berjalan pergi lagi, namun Roman memanggilnya lagi, membuatnya berhenti dan membalikkan tubuhnya memandang ayahnya. "Stella, bukankah Ayah baru saja menyuruhmu bersikap baik tadi malam? Mengapa kamu ingin mencari musuh sekarang?" tanya Roman. Stella mengerutkan keningnya, "Ayah, aku hanya tidak ingin mengenalnya. Kami tidak saling mengenal, bagaimana mungkin menjadi musuh?" Roman menatap Stella dalam diam. Namun Stella t
Beberapa hari kemudian, rumah besar Roman dipenuhi oleh beberapa orang yang sibuk menyiapkan acara pernikahan Stella. Mereka adalah tenaga profesional yang ditunjuk untuk menangani dekorasi dan berbagai keperluan lainnya untuk acara itu.Di dalam kamar Stella, gadis itu duduk di tepi tempat tidur sambil merenung. Wajahnya tampak sedih dan seperti tidak rela. Sementara itu, Livy berjalan dari jendela ke arah Stella, lalu duduk di sampingnya."Banyak pria yang mendekatimu dengan status sosial yang berbeda-beda. Mereka tampan dan kaya, tapi kamu menolaknya. Namun, bagaimana mungkin ayahmu mencarikan suami untukmu seorang mandor?" tanya Livy.Stella memang memiliki standar yang tinggi. Tapi mengapa ayahnya justru mencarikan calon suami yang statusnya lebih rendah dari dirinya?Stella menggelengkan kepalanya, "Aku juga tidak tahu kenapa aku dijodohkan dengannya. Padahal di luar sana masih banyak lagi pria tampan dan kaya raya. Tapi
Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Roman masih menunggu di sana. Stella sangat lelah karena menangis, hingga akhirnya tertidur. Salah satu pria di sana memutuskan untuk mengambil tindakan. "Bawa istrimu pulang. Biar kami yang menunggu Tuan Roman di sini. Nona Stella terlihat sangat lelah," ujarnya dengan lembut kepada Aksa. Aksa memandang Stella yang sedang tertidur dan mengangguk setuju. Dia hendak menggendong Stella untuk membawanya pulang, namun mata Stella langsung terbuka dan menatap tajam ke arah Aksa. "Apa yang akan kamu lakukan? Jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menyentuhku," kata Stella dengan nada kasar, membuat Aksa terdiam. Pria yang meminta Aksa mengantar Stella pulang segera bersuara, mencoba menenangkan situasi. "Nona Stella, sepertinya kamu lelah sekali. Pulanglah dan istirahatlah. Biarkan kami
Keesokan harinya, rumah Roman yang kemarin pagi dipenuhi banyak orang, kini semakin ramai oleh kehadiran orang-orang penting di kota Berlin. Namun kali ini, mereka datang bukan untuk mengucapkan selamat kepada Stella dan Aksa, melainkan untuk menghadiri upacara duka atas meninggalnya Roman Yuan. Stella berdiri di dekat peti mati ayahnya, air mata mengalir deras di wajahnya. Suara pelan dari tamu yang berbicara terdengar seperti gumaman jauh di telinganya, semua terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Dia berlutut di samping peti mati ayahnya, memegang erat pinggirannya. "Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku tak mau hidup sendiri," bisiknya dengan suara bergetar. "Aku tidak tahu dengan siapa aku akan berada di dunia ini jika kamu pergi." Tangisannya pecah, menggema di ruangan yang penuh sesak. Air matanya mengalir tanpa henti. Setiap kenangan bersama ayahnya terlintas di benaknya, menambah beban berat yang ia rasakan.