Di sebuah rumah sakit di kota Berlin, seorang pria berusia empat puluh tahun, yang merupakan pemimpin dari keluarga Yuan, sebuah keluarga berpengaruh di kota itu, terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Dia adalah Roman Yuan, figur utama dalam keluarga Yuan saat ini. Meskipun sudah dirawat selama beberapa hari, Roman masih belum pulih dan tetap tidak sadar. Di dalam ruangan itu, banyak orang berdiri dengan wajah sedih, memandang Roman dari kejauhan. Seorang gadis cantik berusia dua puluhan tahun duduk di sampingnya, terlihat khawatir. Kekhawatiran itu dirasakan oleh semua orang yang hadir, tidak dapat disembunyikan lagi. Dengan hati yang penuh kekhawatiran, gadis itu berbisik dalam hatinya, "Ayah, tolong bangunlah. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini terus-menerus. Aku berharap kamu segera sembuh," ucapnya sambil menggenggam erat tangan ayahnya. Sejak hari pertama di rumah sakit, gadis itu tidak pernah meninggalkan kursinya, selalu berada di samping ayahnya seolah enggan berpisah darinya. Di belakang, anggota keluarga Yuan menatap ke arah ranjang dengan serius, namun tidak ada yang mendekat. Meskipun mereka memiliki hubungan darah, terlihat ada jarak yang terasa di antara mereka, tanpa diketahui apa sebabnya. Martin Yuan berkata dengan ekspresi serius, "Penyakit Kakak Pertama semakin parah. Dokter bahkan mengatakan bahwa masa depannya sulit diprediksi. Aku khawatir Stella akan sangat terpukul jika sesuatu terjadi padanya." Semua anggota keluarga mengangguk setuju dengan pernyataan Martin. Stella Yuan yang tumbuh tanpa kehadiran ibu, hanya mengalami kasih sayang dari sang ayah. Ibu Stella meninggal setelah melahirkannya, sehingga kehadiran seorang ibu tidak pernah ia rasakan dalam hidupnya. Jika ayahnya meninggal, Stella akan benar-benar sendirian tanpa sosok yang tersisa kecuali keluarga Yuan. Jiwan Yuan bertanya, "Bagaimana dengan bisnis keluarga Yuan kita? Sepertinya tidak mungkin, kan, berjalan tanpa adanya penanggung jawab?" Andre menyela tanpa memberi jeda, "Kita akan membicarakannya nanti saat kita sudah berada di rumah. Membahasnya sekarang mungkin tidak tepat." Semua anggota keluarga mengangguk, tidak ada yang berbicara lagi. Di samping itu, Stella tetap menggenggam erat tangan ayahnya sambil mengusapnya dengan lembut. Tiba-tiba, tangan yang digenggamnya bergerak, membuat Stella terkejut. "Ayah?" panggilnya dengan suara pelan dan penuh harapan. Stella menatap mata ayahnya yang masih tertutup. "Ayah, apakah kamu sudah bangun?" keceriaan terpancar dari wajah Stella. Siapa yang tidak senang melihat ayahnya yang sakit bisa sembuh? Stella tentu saja sangat senang melihat hal ini. Dia mencoba membangunkan ayahnya dengan memanggilnya beberapa kali, namun mata ayahnya tetap tertutup, seolah menolak untuk terbuka. Stella terkejut melihat reaksi ayahnya yang tidak sesuai dengan harapannya. Dengan kekhawatiran yang semakin memuncak, Stella terus memanggil ayahnya dengan penuh kecemasan, "Ayah, ada apa? Katakan sesuatu!!" Namun, ayahnya tetap tidak merespon, matanya terus tertutup dengan kuat. Stella takut perkiraan dokter sebelumnya akan menjadi kenyataan. "Ayah, tolong bangun!!" Stella mengguncang tubuh ayahnya sambil terus memanggil dengan khawatir. Tanpa ragu, dia berlari keluar untuk meminta bantuan dokter yang merawat ayahnya. Para pamannya yang berada di belakang segera mendekati pria yang sedang kejang di ranjang itu. "Kakak tertua, ada apa?" Mereka memanggilnya dengan khawatir, sementara semua orang bergerak mendekat untuk melihat keadaannya. Roman yang masih memejamkan matanya dengan erat, terus mengalami kejang yang semakin parah. Tidak lama kemudian, seorang dokter paruh baya dan beberapa perawat masuk ke ruangan bersama Stella. Mereka meminta semua orang untuk menunggu di luar sementara mereka melakukan penanganan medis. Stella ingin tetap berada di samping ayahnya, namun dokter melarangnya untuk tetap di ruangan itu. Dokter dengan lembut meminta Stella untuk meninggalkan ruangan, "Nona, Anda harus meninggalkan ruangan ini agar kami dapat menangani pasien dengan lebih efektif." Dia kemudian meminta anggota keluarga Yuan untuk membantu membawa Stella keluar. Meskipun dihadapkan dengan permintaan tersebut, Stella menolak dan memberontak, "Aku tidak mau pergi! Aku ingin berada disini bersama ayahku. Aku ingin berada di sisinya!" Meskipun berusaha melawan, Stella akhirnya dipaksa keluar oleh para pamannya yang menahannya. Dalam keadaan putus asa, Stella hanya bisa menangis tanpa bisa melawan karena tubuhnya yang kecil tidak mampu melawan kekuatan pamannya. Salah satu pamannya mencoba menenangkan Stella, "Tenangkan dirimu, Stella. Dokter akan melakukan yang terbaik jika kamu tidak mengganggunya." Stella menatapnya, air matanya mengalir deras. "Bagaimana aku bisa tenang jika aku tidak bisa melihat ayahku? Bagaimana aku bisa tenang?!" Stella terus menangis di luar ruangan, tidak bisa masuk karena dihalangi oleh pamannya. Dia hanya bisa menatap pintu ruangan yang tertutup rapat dengan sedih sambil terus menangis dan memanggil ayahnya. Mereka semua menunggu di luar ruangan, di tengah-tengah tangisan Stella yang tak kunjung reda. Stella semakin cemas dan tangisannya tidak henti sejak tadi, bahkan semakin deras. Wajah anggota keluarga Yuan ikut menegang saat menunggu, karena mereka juga tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan. Setelah beberapa waktu yang tegang, dokter akhirnya membuka pintu ruangan. Ketika pintu terbuka, dokter memanggil keluarga Yuan, dan semua segera mendekat, termasuk Stella yang penuh antusias. Stella bertanya dengan penuh harap, "Dokter, bagaimana kondisi ayah saya? Dia baik baik saja, kan?" Dokter tersenyum lembut dan mengangguk, "Tuan Roman Yuan sekarang sudah sadar. Ia dapat berbicara, namun kondisinya masih lemah." Stella merasa lega dan tersenyum mendengar kabar itu. Tanpa ragu, dia segera masuk ke dalam ruangan, melewati dokter. Sementara itu, anggota keluarga lainnya juga bertanya kepada dokter mengenai kondisi Roman. Ketika Stella mendekati ayahnya, pria paruh baya itu tersenyum senang melihat putrinya berjalan di sisinya. "Stella, kamu di sini... Ayah hampir tidak mengenalimu." Stella menatap ayahnya dengan khawatir, namun juga bersyukur karena ayahnya telah sadar kembali. "Ayah, apa yang terjadi tadi? Kenapa kamu…" Sebelum Stella menyelesaikan kalimatnya, Roman tersenyum dan mengusap lembut tangan putrinya. "Aku baik-baik saja sayang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," dia meyakinkan Stella sambil tersenyum. Namun, Stella tidak percaya. Bagaimana semuanya bisa baik-baik saja jika dia mengalami kejang seperti itu? "Ayah, aku mengkhawatirkanmu. Tolong beritahu aku bagaimana kondisimu saat ini," desaknya. Roman menggeleng, memahami kekhawatiran putrinya. "Stella, putriku sayang. Ayah baik-baik saja. Sungguh! Apa kamu tidak percaya padaku?" Wajah Roman tampak meyakinkan saat dia berbicara. Stella terdiam menatap wajah ayahnya. Dia bingung antara percaya dan ragu dengan apa yang dikatakan olehnya. Namun, dia juga lega karena ayahnya sudah sadar kembali. Dia mengangguk pelan sambil menatap ayahnya. "Ayah, apa yang kamu butuhkan? Biarkan aku mengambilkannya untukmu." Roman memandangnya sejenak, tampak khawatir tentang sesuatu mengenai putrinya. "Ayah tidak membutuhkan apa pun untuk saat ini. Hanya saja..." Roman terdiam, membuat Stella bingung. "Hanya saja apa?" Stella bertanya, penasaran. Saat itu juga, pamannya masuk dan menghampiri mereka. "Kakak tertua, bagaimana kondisimu?" Roman memandang mereka, lalu tersenyum dan mengangguk, "Aku merasa lebih baik. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku." Stella menoleh untuk melihat mereka tetapi tetap duduk dekat ayahnya, enggan untuk pergi. "Maafkan aku. Bisnis keluarga terpaksa terhenti sementara karena kondisiku yang seperti inii," kata Roman dengan wajah serius. Mereka bertukar pandang sejenak sebelum salah satu dari mereka melambaikan tangan, "Aih, jangan membahas masalah lain untuk saat ini. Kamu harus fokus pada pemulihan terlebih dahulu. Oke?" "Benar, kamu perlu memulihkan diri sebelum membahas hal lain. Urusan hal lain, di bahas setelah kamu benar-benar pulih," mereka semua setuju sambil mengangguk serempak. Roman mempertimbangkan sesaat sebelum menganggukkan kepalanya. Mereka berbincang dengan penuh perhatian sebelum akhirnya pulang.Pukul sepuluh malam, ketika ruangan telah sepi dan hanya menyisakan Stella dan ayahnya, suasana menjadi semakin hening.Dengan cemas, Stella bertanya padanya, "Ayah, apakah kamu benar-benar sudah lebih baik sekarang?"Roman memandang wajah putrinya dengan senyuman penuh makna. "Kenapa kamu begitu khawatir pada ayah? Apakah kamu benar-benar takut kehilangan ayah?"Stella mengangguk, menunjukkan betapa besar kekhawatirannya."Dalam hidup ini, hanya ayah yang aku miliki. Tentu saja, aku tidak ingin kehilanganmu," ucap Stella dengan ekspresi sedih yang terpancar jelas dari wajahnya. Roman meraih tangan putrinya dengan penuh kasih sayang. Meskipun terlihat sedih, Roman mencoba menghilangkan kesedihan dengan menghela nafas. "Dunia ini penuh dengan misteri, Nak. Takdir seseorang tidak bisa diprediksi atau dikendalikan, termasuk takdir ayah," ujar Roman dengan serius. Stella menatapnya dengan kening berkerut, bertanya-tanya tentang maksud dari perkataan ayahnya. Roman menghela nafas pan
Dokter mengangguk serius, "Maafkan saya karena tidak menyadari hal ini sejak awal. Memang sulit membedakan gejala penyakit liver dan racun ini." Wajah Stella langsung memucat saat mendengar bahwa ayahnya terkena racun, sebuah fakta yang sangat berbeda dari apa yang pernah dia bayangkan sebelumnya. "Bukankah hasil tes sebelumnya menunjukkan penyakit liver? Kenapa sekarang menjadi terkena racun?" Stella bertanya dengan kebingungan. "Aku bisa menuntut kalian jika kalian bekerja seperti ini," tambahnya dengan nada bicara penuh emosi. Dokter mencoba menenangkan Stella, “Maaf, Nona. Tolong tenangkan diri Anda terlebih dahulu. Saya akan memberikan penjelasan.” Stella masih bingung dan emosional, namun ia berusaha menenangkan dirinya. Nafasnya naik turun dengan cepat, menunjukkan amarah yang membara. Setelah cukup tenang, Stella berkata, "Cepat katakan. Jika penjelasanmu tidak masuk akal, aku tidak ragu untuk melaporkan rumah sakit ini." Dokter mengangguk cepat, "Baik, saya akan menjel
“Ya, itu yang ayah inginkan. Jika kamu berkenan, anggap saja ini sebagai permintaan terakhir ayah,” kata Roman dengan tulus. Stella memandang ayahnya dalam diam, mencoba memahami maksud di balik permintaan tersebut. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Dia tentu dalam keadaan bingung saat ini. Setelah berpikir sejenak, Stella segera berkata, “Ayah, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal ini? Ayah tahu aku tidak punya pacar, kan? Lagipula, aku masih muda. Masih ingin menghabiskan masa muda bersama ayah.” Roman tersenyum dan menatap putrinya dengan tulus. “Jika ayah masih berumur panjang, meski kamu ingin menikah di usia tiga puluhan, juga tidak masalah. Sayangnya, masa hidup ayah hampir habis. Ayah khawatir tidak bisa melihatmu menikah, dan tidak tahu apakah suamimu bisa menggantikan ayah untuk menjagamu,” kata Roman menjelaskan. Roman diam sejenak dan melanjutkan, “Karena ayah tahu kalau kamu jauh dari saudara-saudaramu. Jadi menurutku, hanya calon suamimu yang akan m
Setelah dirawat di rumah sakit, Roman menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Jiwan, mengambil alih semua aktivitas Grup Yuan. Jiwan melambaikan tangannya seraya berkata, “Kau tenang saja, masih seperti ini jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Semuanya berjalan dengan lancar.” Jiwan tersenyum sambil menepuk punggung Roman. Roman pun tersenyum, meski terlihat kecut. "Apa kata dokter mengenai penyakitmu? Dan apa tindakan selanjutnya?" Saat ini Roman hanya termenung. Dia memandang mereka berdua untuk sesaat, kemudian berkata, "Saat ini hanya perlu menjalani. Mereka terus mengikuti perkembanganku. Jika lebih baik, maka bisa pulang dengan cepat." Jiwan memandangnya, memberi semangat kepadanya. Mereka berbicara sejenak sebelum memutuskan untuk pulang. Saat membuka pintu, mereka papasan dengan Stella. Ketiganya berbicara sebentar sebelum mereka pergi, dan Stella menutup pintu ruangan kembali, lalu berjalan menuju ayahnya. "Ayah belum tidur?" tanya Stella mendekat. Roman meng
Di hari berikutnya, saat siang tiba, Stella dengan penuh kasih menyuapi ayahnya dengan makanan yang disediakan oleh rumah sakit. Roman terlihat makan dengan lahap, seolah-olah tidak merasakan rasa sakit sedikit pun. Meskipun terus dipantau secara intensif oleh dokter dan perawat, keberadaannya di kelas VIP memberinya perlakuan istimewa. Stella meletakkan mangkuk itu setelah ayahnya selesai makan, lalu membawakan air minum untuknya. Roman minum dengan perlahan, dan kemudian memberikan gelas itu kembali pada putrinya. "Stella, apakah kamu tidak keberatan untuk menikah dalam waktu dekat dan menjalani kehidupan berumah tangga?" tanya Roman sambil menatapnya. Stella duduk di tepi ranjang, memikirkan pertanyaan itu dengan bingung. Jika dia berbicara jujur, dan jika ayahnya masih memiliki waktu yang panjang, tentu saja dia akan sangat keberatan dengan permintaan itu. Baginya, hidupnya saat ini penuh damai dan kebahagiaan, mengapa dia harus menikah dan menjadi istri orang? "Ini
Saat itu juga, Roman memanggilnya, "Stella, kemarilah." Stella menoleh ke arah ayahnya. Dia sebenarnya ingin menunggu jawaban dari Dani, namun pria itu hanya tersenyum seolah tidak ingin memberikan jawaban untuknya. Stella pun menatap Dani, memutar bola matanya dengan malas, lalu berjalan ke arah ayahnya. "Apa ada yang bisa saya bantu, Ayah?" "Stella, kenapa kamu buru-buru pergi? Kenalanlah dengan Aksa," kata Roman. Stella mendesah, "Untuk apa, Ayah? Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting." Stella berputar dan hendak berjalan pergi lagi, namun Roman memanggilnya lagi, membuatnya berhenti dan membalikkan tubuhnya memandang ayahnya. "Stella, bukankah Ayah baru saja menyuruhmu bersikap baik tadi malam? Mengapa kamu ingin mencari musuh sekarang?" tanya Roman. Stella mengerutkan keningnya, "Ayah, aku hanya tidak ingin mengenalnya. Kami tidak saling mengenal, bagaimana mungkin menjadi musuh?" Roman menatap Stella dalam diam. Namun Stella t
Beberapa hari kemudian, rumah besar Roman dipenuhi oleh beberapa orang yang sibuk menyiapkan acara pernikahan Stella. Mereka adalah tenaga profesional yang ditunjuk untuk menangani dekorasi dan berbagai keperluan lainnya untuk acara itu.Di dalam kamar Stella, gadis itu duduk di tepi tempat tidur sambil merenung. Wajahnya tampak sedih dan seperti tidak rela. Sementara itu, Livy berjalan dari jendela ke arah Stella, lalu duduk di sampingnya."Banyak pria yang mendekatimu dengan status sosial yang berbeda-beda. Mereka tampan dan kaya, tapi kamu menolaknya. Namun, bagaimana mungkin ayahmu mencarikan suami untukmu seorang mandor?" tanya Livy.Stella memang memiliki standar yang tinggi. Tapi mengapa ayahnya justru mencarikan calon suami yang statusnya lebih rendah dari dirinya?Stella menggelengkan kepalanya, "Aku juga tidak tahu kenapa aku dijodohkan dengannya. Padahal di luar sana masih banyak lagi pria tampan dan kaya raya. Tapi
Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Roman masih menunggu di sana. Stella sangat lelah karena menangis, hingga akhirnya tertidur. Salah satu pria di sana memutuskan untuk mengambil tindakan. "Bawa istrimu pulang. Biar kami yang menunggu Tuan Roman di sini. Nona Stella terlihat sangat lelah," ujarnya dengan lembut kepada Aksa. Aksa memandang Stella yang sedang tertidur dan mengangguk setuju. Dia hendak menggendong Stella untuk membawanya pulang, namun mata Stella langsung terbuka dan menatap tajam ke arah Aksa. "Apa yang akan kamu lakukan? Jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menyentuhku," kata Stella dengan nada kasar, membuat Aksa terdiam. Pria yang meminta Aksa mengantar Stella pulang segera bersuara, mencoba menenangkan situasi. "Nona Stella, sepertinya kamu lelah sekali. Pulanglah dan istirahatlah. Biarkan kami
Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung
Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem
Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka
Stella merasa bingung mendengar perkataan Aksa. Padahal selama ini Stella percaya sepenuhnya pada Aksa dan yakin Aksa tidak pernah berbohong padanya, namun kali ini ada keraguan yang menghampirinya. Stella selalu mempercayai semua yang dikatakan Aksa, kecuali yang berkaitan dengan kekayaan dan harapan besar. "Tidak bisa, Aksa. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana," kata Stella tegas. Aksa menepuk bahu Stella dengan lembut sambil tersenyum, "Aku punya cara untuk mengajakmu masuk ke sana dan melihat-lihat." "Bagaimana caranya?" Stella bertanya, ekspresinya penuh pertanyaan. Aksa memandang ke langit yang mulai gelap, dengan lampu-lampu kota yang bersinar terang dari tempat mereka berdiri. "Sekarang, kita pulang dulu. Kita bisa membicarakan hal ini saat berada di rumah." Stella menolak dengan tegas, "Aku tidak mau. Aku tidak ingin pulang." Ia teringat akan tujuannya datang ke tempat ini. Meski begitu, Aksa tetap meyakinkannya, "Tolong turuti keinginanku sekali ini saja
Aksa memandang Stella dengan ekspresi khawatir yang dalam. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Stella akan mencapai titik terendah seperti ini. "Stella, kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Setiap kehidupan pasti memiliki cobaan, namun setiap cobaan pasti memiliki solusinya. Kamu harus tetap berjuang," ucap Aksa dengan suara penuh keyakinan.Stella menatap Aksa dengan tatapan getir dan tertawa pahit, "Apa yang kamu tahu? Aku sudah berjuang sekuat tenaga, namun apa yang kudapatkan? Hanya celaan dan hinaan dari sekeliling. Aku hanya menerima luka dan kesedihan. Bagaimana mungkin kamu mengerti perasaanku?"Aksa merasa bersalah saat melihat ekspresi Stella. Selama ini, dia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri sehingga melupakan bahwa Stella juga butuh perhatian dan kebahagiaan.Stella menatap Aksa dengan mata berkaca-kaca, "Aku sudah tak sanggup lagi, Aksa. Hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Setiap hari aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan," desahnya sambil
Tiga tahun kemudian, banyak sekali perubahan yang telah terjadi. Kota Berlin, yang dulunya sedikit tertinggal, kini telah bertransformasi dengan cara yang menakjubkan. Dalam tiga tahun ini, perubahan yang terjadi sungguh luar biasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan siluet perkotaan yang modern dan dinamis. Gedung-gedung baru ini, dengan desain arsitektur futuristik, memberikan sentuhan kemewahan dan kecanggihan yang belum pernah ada sebelumnya. Jalan-jalan yang dulu sepi kini dipenuhi lalu lintas yang ramai, mencerminkan geliat ekonomi dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kota yang sekarang mengalami kemajuan ini dapat membuat semua orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman? Sore hari di makam keluarga Yuan, Stella duduk di dekat makam mendiang ayahnya. Langit yang perlahan berubah jingga memantulkan bayangan yang melankolis di sekelilingnya. Air matanya membasahi pipinya yang pu
Stella menatap Aksa dengan sinis, kemudian mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak olehnya.Ternyata, aroma makanan yang diciumnya tadi adalah masakan Aksa?Tanpa menoleh, Aksa berkata, "Jangan khawatir, aku akan memberimu makanan. Duduklah dan tunggu aku selesai." Stella dengan ekspresi kesal menatap Aksa dan menggerutu, "Bertanya tidak boleh. Bahkan melihat sendiri pun tidak boleh? Orang macam apa kamu ini, kenapa kamu pelit sekali?"Aksa menoleh ke arah Stella, dan menatapnya dalam diam.Kening Stella berkerut, menatapnya dengan bingung, "Kenapa menatapku?""Akhirnya kamu menyadari apa yang aku rasakan selama ini," kata Aksa tersenyum sinis.Stella menatapnya penuh emosi, menggertakkan giginya dengan geram, hampir merasa ingin meremas wajah Aksa. Namun, akhirnya Stella memutuskan untuk pergi dan duduk di meja makan sambil terus menggerutu, "Kenapa dia begitu menyebalkan? Hari-harinya selalu membuatku kesal."Beberapa saat kemudian, Stella kembali dengan membawa dua m
Pada pukul dua belas malam, Stella merasa sangat sulit untuk tidur. Kondisi ini sangat tidak biasa baginya karena biasanya ia selalu berada di kamar yang nyaman. Stella telah mencoba berbagai cara untuk memejamkan mata, namun rasa kantuknya tidak kunjung datang. Rasanya seperti malam yang panjang dan sunyi baginya, di mana pikirannya terus berputar tanpa henti."Astaga, mengapa aku begitu sulit tidur? Rumah yang sempit tanpa pendingin ruangan membuatku merasa tidak nyaman," gumam Stella pada dirinya sendiri. Dia duduk dan menatap ke lantai, di mana Aksa terlihat tertidur pulas tanpa kesulitan apapun."Dia sangat mudah tertidur. Mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan sederhana, sehingga tidak terganggu," pikir Stella dengan sedikit nada sinis.Stella kembali berbaring dan memejamkan matanya, tapi dia tetap tidak bisa tidur. Berbagai posisi sudah ia coba, namun rasa kantuk yang tak kunjung datang justru membuatnya merasa tersiksa. Tak lama kemudian Aksa terbangun dan melihat
Aksa berjalan ke arah keduanya dengan pelan, mendengarkan perdebatan mereka baik-baik. Stella mengepalkan tangannya erat-erat, menahan amarah yang membara di dalam dirinya."Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Bisnis ini adalah warisan Kakek yang dikelola dengan baik oleh ayahku setelah kamu menghancurkannya. Kamu tidak punya hak untuk mengendalikannya lagi!" seru Stella dengan suara gemetar karena emosi.Jiwan tertawa kecil, mendengar ucapan Stella. Seakan-akan, dia hanya bermain dengan keponakan bayinya."Oh, Stella. Kamu masih terlalu naif. Dunia bisnis itu kejam, dan hanya yang kuat yang akan bertahan. Jika kamu tidak bisa mempertahankan bisnis ini, maka aku yang akan melakukannya."Aksa yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, mulai berpikir lebih dalam. Ternyata, keluarga Yuan yang ia kenal, tidak sedamai yang ia kira. Ada banyak hal yang tersembunyi di balik permukaan yang selama ini ia abaikan."Paman Jiwan," Aksa akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas, "a