Beranda / Romansa / Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta / BAB 4 Antara Permintaan Terakhir Dan Cita-cita

Share

BAB 4 Antara Permintaan Terakhir Dan Cita-cita

Penulis: Kelvin Prayoga
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Ya, itu yang ayah inginkan. Jika kamu berkenan, anggap saja ini sebagai permintaan terakhir ayah,” kata Roman dengan tulus.

Stella memandang ayahnya dalam diam, mencoba memahami maksud di balik permintaan tersebut.

Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Dia tentu dalam keadaan bingung saat ini.

Setelah berpikir sejenak, Stella segera berkata, “Ayah, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal ini? Ayah tahu aku tidak punya pacar, kan? Lagipula, aku masih muda. Masih ingin menghabiskan masa muda bersama ayah.”

Roman tersenyum dan menatap putrinya dengan tulus.

“Jika ayah masih berumur panjang, meski kamu ingin menikah di usia tiga puluhan, juga tidak masalah. Sayangnya, masa hidup ayah hampir habis. Ayah khawatir tidak bisa melihatmu menikah, dan tidak tahu apakah suamimu bisa menggantikan ayah untuk menjagamu,” kata Roman menjelaskan.

Roman diam sejenak dan melanjutkan, “Karena ayah tahu kalau kamu jauh dari saudara-saudaramu. Jadi menurutku, hanya calon suamimu yang akan mencintaimu sebesar cinta ayahmu padamu. Dengan cara ini, ayah bisa lebih tenang. Jadi pikirkan dan pertimbangkan baik-baik.”

Stella merenung sejenak, meresapi kata-kata ayahnya.

Dia menatap ayahnya dalam diam.

Penerimaan memang sulit, namun penolakan akan sangat menyakitkan.

Dia memikirkannya dan sulit menemukan jawaban untuk sementara waktu.

“Baiklah, aku akan memberitahu jawabannya nanti.”

Roman tersenyum dan mengangguk.

Apapun keputusan yang diambil putrinya, dia sepertinya siap menerimanya.

Di malam yang tenang, sebuah Mercedes-Benz A-Class meluncur dengan elegan melalui pusat kota.

Saat mencapai sebuah kafe, mobil itu berbelok dengan gesit dan dengan keahlian yang mengagumkan parkir di tempat yang sempurna.

Ketika pintu mobil terbuka, cahaya kecil dari kafe yang berdekatan memperlihatkan siluet seorang wanita misterius.

Dengan langkah yang penuh keyakinan, gadis itu muncul dari dalam mobil. Kakinya yang halus keluar dengan lembut, menyentuh tanah dengan keanggunan.

Dibungkus dalam sepatu hak tinggi yang menyempurnakan langkahnya, dia melangkah menuju pintu kafe dengan langkah yang anggun dan penuh pesona.

Sorot matanya yang tajam memancarkan kepercayaan diri, dan senyumnya yang lembut menambah keindahan malam itu.

"Stella," panggil dari gadis di ujung sana memecah keheningan malam itu. Dengan senyum hangat, Stella mendekatinya tanpa ragu.

"Tumben sekali mengajakku bertemu di malam seperti ini. Ada apa?" tanya Livy sambil menatapnya dengan rasa ingin tahu.

Stella duduk di seberangnya, menyeimbangkan tubuhnya dengan santai. "Aku ingin merepotkanmu dengan membagi keluh kesahku," ucapnya sambil menatap Livy dengan tatapan serius.

Gadis di seberangnya adalah Livy, sahabatnya sejak mereka duduk di sekolah tingkat kedua. Dalam tatapannya terpancar kehangatan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun.

Livy memandang Stella dengan penuh kekhawatiran, mengerutkan keningnya. "Ada apa lagi, Stella? Masalah apa yang bisa menghampirimu?"

Sebagai nona keluarga Yuan, Stella tentu saja hidup dengan kenyamanan dan kelebihan yang melimpah. Setiap masalah yang muncul, selalu terselesaikan dengan mudah. Jadi apa yang membuatnya gelisah sekarang?

Saat itu, seorang pelayan mendekati mereka dengan ramah. Tanpa ragu, keduanya memesan kopi kesukaan mereka.

Setelah pergi, Stella menghela nafas, memperhatikan ekspresi Livy dengan penuh perasaan.

"Sebenarnya, aku sedang menghadapi masalah yang cukup rumit. Aku merasa seperti terjebak di antara tebing yang terjal. Rasanya sulit untuk menemukan keseimbangan saat ini."

Livy memandang Stella dengan serius. Selama berteman dengannya, Stella tidak pernah terlihat begitu bingung. Livy hampir tidak percaya jika Stella mengalami kesedihan dalam hidupnya hingga pada titik ini.

"Coba katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Apakah kamu berselisih dengan saudara-saudaramu lagi?" tanya Livy, mencoba mencari tahu akar masalahnya.

Stella diam sejenak, mencerna pertanyaan Livy dengan hati-hati. Namun, setelah beberapa saat, dia menggelengkan kepalanya.

"Lebih dari itu. Ini tentang ayahku dan aku," akhirnya dia menjawab dengan suara yang agak bergetar.

Stella akhirnya mulai menceritakan masalahnya pada Livy. Dia membuka hatinya, menjelaskan konflik yang sedang terjadi di dalam keluarganya.

“Apa yang kau katakan? Menikah?" Livy terbelalak saat mendengar Stella mengucapkan kata-kata itu.

Stella hanya mengangguk pasrah sambil menghela nafas tak berdaya.

Tepat pada saat itu, seorang pelayan datang untuk mengantarkan minuman mereka. Setelah menyajikan, ia segera pergi meninggalkan mereka.

Livy memandang Stella dengan bingung. Dia menatapnya dengan alis yang meruncing.

"Stella, bukankah ayahmu yang melarangmu untuk berpacaran hingga menyelesaikan pendidikanmu? Tapi kenapa dia sekarang memintamu untuk menikah?"

Stella hanya melamun, membiarkan pikirannya melayang di udara. Setelah beberapa saat, ia menjawab, "Kata dokter, penyakit ayahku cukup serius. Dia mungkin tidak akan hidup lama. Jadi, sebagai permintaan terakhirnya, dia meminta aku untuk segera menikah."

Stella menatap ke atas, menahan air matanya agar tidak jatuh.

Livy menatap Stella tidak percaya.

Jadi, selama ini, Stella tidak fokus pada kuliah karena ini?

“Stella, kenapa kamu tidak pernah memberitahuku sebelumnya? Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang? Jadi, kamu sering datang terlambat ke kelas dan tidak fokus selama pelajaran karena hal ini?”

Stella menganggukkan kepalanya, meminum sedikit kopinya, tubuhnya terasa lemas.

“Aku tidak punya waktu untuk menghubungimu. Yang ada di pikiranku hanya ayah dan penyakitnya. Bahkan tidur pun tidak tenang,” ujarnya.

Livy menganggukkan kepala, memahami kondisi sahabatnya.

Dari bertahun-tahun menjadi sahabat, baru kali ini Livy melihat Stella benar-benar sedih dan tampak kehilangan harapan.

Biasanya, gadis cantik itu bahagia dan ceria di setiap harinya, meskipun ada masalah yang menimpanya.

Namun malam ini sangat berbeda.

Stella menceritakan seluruh kejadian dan perasaannya, membuat situasi hatinya menjadi lebih tenang.

“Stella, jika aku berada di posisimu, aku akan memilih untuk memenuhi permintaan terakhir itu. Kita tidak pernah tahu kapan kita bisa membuat mereka merasa senang lagi,” saran Livy.

Stella memandangnya dengan serius sejenak. Dia kemudian kembali meminum kopinya, mencoba memikirkannya dengan baik.

Di sisi lain, di rumah sakit, Roman masih terjaga. Dia berbaring memandang ke atas, sepertinya sedang merenungkan sesuatu.

Tidak lama kemudian, ponsel di dekatnya berdering. Roman segera meraihnya dan menjawab panggilan itu.

"Bagaimana?" tanya Roman begitu panggilan terhubung.

"Saya sudah menemukan orang yang Anda cari, tuan," kata seseorang di ujung panggilan.

Roman tampak terbelalak dan tersenyum, seolah-olah melihat tumpukan uang kertas setinggi gunung di hadapannya.

"Benarkah? Apakah kamu mengambil gambarnya?" tanya Roman.

"Saya sedang mengirimkannya kepada Anda. Silakan Anda lihat," jawab suara dari ujung panggilan.

Roman tersenyum dan mengangguk. Dia menunggu foto masuk dan segera membukanya. Setelah melihatnya, dia memandangnya dengan serius.

"Benar, ini orang yang aku cari."

Tepat saat itu, pintu ruangan terbuka, dan Jiwan masuk ke dalam kamar bersama istrinya.

Melihat kedatangan mereka, Roman melirik sejenak dan menganggukkan kepalanya.

Dia segera berbicara dengan penelpon menggunakan nada lirih, "Bagus, tetap awasi dia dan tunggu instruksi selanjutnya. Aku akan menghubungimu lagi nanti."

Roman mengakhiri panggilan dan Jiwan mendekat sambil bertanya, "Kakak tertua, bagaimana kondisimu?"

Roman tersenyum kepadanya, “Sudah lebih baik.”

Istri Jiwan meletakkan oleh-oleh yang dibawanya ke atas meja. "Apa kau sendirian? Dimana Stella? Kenapa dia tidak menemanimu?”

Roman mencoba untuk bangkit dengan bantuan Jiwan. Dia duduk dan bersandar pada bantal. “Stella sedang keluar sebentar. Mungkin dia akan kembali tak lama lagi,” katanya.

Dia memandang Jiwan dan bertanya, “Bagaimana dengan Grup Yuan?”

Bab terkait

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 5 Tidak Perlu Khawatir

    Setelah dirawat di rumah sakit, Roman menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Jiwan, mengambil alih semua aktivitas Grup Yuan. Jiwan melambaikan tangannya seraya berkata, “Kau tenang saja, masih seperti ini jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Semuanya berjalan dengan lancar.” Jiwan tersenyum sambil menepuk punggung Roman. Roman pun tersenyum, meski terlihat kecut. "Apa kata dokter mengenai penyakitmu? Dan apa tindakan selanjutnya?" Saat ini Roman hanya termenung. Dia memandang mereka berdua untuk sesaat, kemudian berkata, "Saat ini hanya perlu menjalani. Mereka terus mengikuti perkembanganku. Jika lebih baik, maka bisa pulang dengan cepat." Jiwan memandangnya, memberi semangat kepadanya. Mereka berbicara sejenak sebelum memutuskan untuk pulang. Saat membuka pintu, mereka papasan dengan Stella. Ketiganya berbicara sebentar sebelum mereka pergi, dan Stella menutup pintu ruangan kembali, lalu berjalan menuju ayahnya. "Ayah belum tidur?" tanya Stella mendekat. Roman meng

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 6 Menjodohkan Kalian

    Di hari berikutnya, saat siang tiba, Stella dengan penuh kasih menyuapi ayahnya dengan makanan yang disediakan oleh rumah sakit. Roman terlihat makan dengan lahap, seolah-olah tidak merasakan rasa sakit sedikit pun. Meskipun terus dipantau secara intensif oleh dokter dan perawat, keberadaannya di kelas VIP memberinya perlakuan istimewa. Stella meletakkan mangkuk itu setelah ayahnya selesai makan, lalu membawakan air minum untuknya. Roman minum dengan perlahan, dan kemudian memberikan gelas itu kembali pada putrinya. "Stella, apakah kamu tidak keberatan untuk menikah dalam waktu dekat dan menjalani kehidupan berumah tangga?" tanya Roman sambil menatapnya. Stella duduk di tepi ranjang, memikirkan pertanyaan itu dengan bingung. Jika dia berbicara jujur, dan jika ayahnya masih memiliki waktu yang panjang, tentu saja dia akan sangat keberatan dengan permintaan itu. Baginya, hidupnya saat ini penuh damai dan kebahagiaan, mengapa dia harus menikah dan menjadi istri orang? "Ini

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 7 Demi Ayah

    Saat itu juga, Roman memanggilnya, "Stella, kemarilah." Stella menoleh ke arah ayahnya. Dia sebenarnya ingin menunggu jawaban dari Dani, namun pria itu hanya tersenyum seolah tidak ingin memberikan jawaban untuknya. Stella pun menatap Dani, memutar bola matanya dengan malas, lalu berjalan ke arah ayahnya. "Apa ada yang bisa saya bantu, Ayah?" "Stella, kenapa kamu buru-buru pergi? Kenalanlah dengan Aksa," kata Roman. Stella mendesah, "Untuk apa, Ayah? Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting." Stella berputar dan hendak berjalan pergi lagi, namun Roman memanggilnya lagi, membuatnya berhenti dan membalikkan tubuhnya memandang ayahnya. "Stella, bukankah Ayah baru saja menyuruhmu bersikap baik tadi malam? Mengapa kamu ingin mencari musuh sekarang?" tanya Roman. Stella mengerutkan keningnya, "Ayah, aku hanya tidak ingin mengenalnya. Kami tidak saling mengenal, bagaimana mungkin menjadi musuh?" Roman menatap Stella dalam diam. Namun Stella t

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 8 Pernikahan Stella Dan Aksa

    Beberapa hari kemudian, rumah besar Roman dipenuhi oleh beberapa orang yang sibuk menyiapkan acara pernikahan Stella. Mereka adalah tenaga profesional yang ditunjuk untuk menangani dekorasi dan berbagai keperluan lainnya untuk acara itu.Di dalam kamar Stella, gadis itu duduk di tepi tempat tidur sambil merenung. Wajahnya tampak sedih dan seperti tidak rela. Sementara itu, Livy berjalan dari jendela ke arah Stella, lalu duduk di sampingnya."Banyak pria yang mendekatimu dengan status sosial yang berbeda-beda. Mereka tampan dan kaya, tapi kamu menolaknya. Namun, bagaimana mungkin ayahmu mencarikan suami untukmu seorang mandor?" tanya Livy.Stella memang memiliki standar yang tinggi. Tapi mengapa ayahnya justru mencarikan calon suami yang statusnya lebih rendah dari dirinya?Stella menggelengkan kepalanya, "Aku juga tidak tahu kenapa aku dijodohkan dengannya. Padahal di luar sana masih banyak lagi pria tampan dan kaya raya. Tapi

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 9 Kematian Di Hari Pernikahan

    Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Roman masih menunggu di sana. Stella sangat lelah karena menangis, hingga akhirnya tertidur. Salah satu pria di sana memutuskan untuk mengambil tindakan. "Bawa istrimu pulang. Biar kami yang menunggu Tuan Roman di sini. Nona Stella terlihat sangat lelah," ujarnya dengan lembut kepada Aksa. Aksa memandang Stella yang sedang tertidur dan mengangguk setuju. Dia hendak menggendong Stella untuk membawanya pulang, namun mata Stella langsung terbuka dan menatap tajam ke arah Aksa. "Apa yang akan kamu lakukan? Jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menyentuhku," kata Stella dengan nada kasar, membuat Aksa terdiam. Pria yang meminta Aksa mengantar Stella pulang segera bersuara, mencoba menenangkan situasi. "Nona Stella, sepertinya kamu lelah sekali. Pulanglah dan istirahatlah. Biarkan kami

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 10 Ayah Menipuku!

    Keesokan harinya, rumah Roman yang kemarin pagi dipenuhi banyak orang, kini semakin ramai oleh kehadiran orang-orang penting di kota Berlin. Namun kali ini, mereka datang bukan untuk mengucapkan selamat kepada Stella dan Aksa, melainkan untuk menghadiri upacara duka atas meninggalnya Roman Yuan. Stella berdiri di dekat peti mati ayahnya, air mata mengalir deras di wajahnya. Suara pelan dari tamu yang berbicara terdengar seperti gumaman jauh di telinganya, semua terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Dia berlutut di samping peti mati ayahnya, memegang erat pinggirannya. "Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku tak mau hidup sendiri," bisiknya dengan suara bergetar. "Aku tidak tahu dengan siapa aku akan berada di dunia ini jika kamu pergi." Tangisannya pecah, menggema di ruangan yang penuh sesak. Air matanya mengalir tanpa henti. Setiap kenangan bersama ayahnya terlintas di benaknya, menambah beban berat yang ia rasakan.

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 11 Mengerjainya

    Di rumah Roman, tidak ada seorang pun di sana setelah semua tamu yang melayat sudah pulang dan menjalankan aktivitas masing-masing. Suasana yang semula ramai dan penuh dengan kehadiran banyak orang, tiba-tiba berubah menjadi sunyi. Sebuah mobil Mercedes Benz A-Class melaju masuk dan berhenti di depan rumah. Pintu belakang terbuka, lalu Stella dan Livy turun dari mobil itu dan berjalan menuju rumah. "Halaman rumah yang kemarin dan tadi masih sangat ramai, dalam sekejap menjadi sepi," kata Stella sambil memandang sekeliling halaman yang kosong, hanya dihiasi oleh dekorasi pernikahan, meja, dan bunga yang masih tersisa. Livy mengangguk, memahami perasaan Stella, lalu mereka berdua memasuki rumah itu. "Livy, bisakah kamu tinggal di sini bersamaku, menemaniku? Rumah sebesar ini, tidak mungkin aku di sini sendirian," kata Stella, memandang Livy dengan wajah penuh harap.

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 12 Harus Sabar Menghadapinya

    Tak lama kemudian, Aksa datang membawa nampan yang berisi dua piring, disusul bibi yang sedang bertugas di dapur membawakan dua gelas jus jeruk di atas nampan juga. Mereka menyajikan makanan dan minuman dengan sangat hati-hati, seolah-olah sedang berada di restoran mewah. Namun, alis Stella berkerut saat melihat pemandangan ini. "Aksa, apa aku bilang padamu untuk meminta bantuan bibi?" Stella bertanya dengan cemberut, menunjukkan ketidakpuasannya. Aksa hendak menjawab, namun bibi yang mengantarkan jus itu dengan cepat berkata, “Ini inisiatif saya sendiri, Nona. Tuan Aksa ingin melakukannya sendiri, tetapi Bibi kasihan padanya. Jadi saya membantunya.” Tatapan Stella tertuju pada bibi itu, dan dengan nada tidak senang, dia berkata, "Lain kali, kalau aku hanya menyuruh Aksa, maka yang lain jangan membantunya. Bibi, sampaikan hal ini pada pelayan yang lain agar mereka mengerti." Stella mengatakan ini dengan ekspresi wajah teg

Bab terbaru

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 39 Pewaris Keluarga Fang

    Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 38 Kediaman Keluarga Fang

    Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 37 Pergi Ke Kota Falone

    Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 36 Wilayah Barat Kota Falone

    Stella merasa bingung mendengar perkataan Aksa. Padahal selama ini Stella percaya sepenuhnya pada Aksa dan yakin Aksa tidak pernah berbohong padanya, namun kali ini ada keraguan yang menghampirinya. Stella selalu mempercayai semua yang dikatakan Aksa, kecuali yang berkaitan dengan kekayaan dan harapan besar. "Tidak bisa, Aksa. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana," kata Stella tegas. Aksa menepuk bahu Stella dengan lembut sambil tersenyum, "Aku punya cara untuk mengajakmu masuk ke sana dan melihat-lihat." "Bagaimana caranya?" Stella bertanya, ekspresinya penuh pertanyaan. Aksa memandang ke langit yang mulai gelap, dengan lampu-lampu kota yang bersinar terang dari tempat mereka berdiri. "Sekarang, kita pulang dulu. Kita bisa membicarakan hal ini saat berada di rumah." Stella menolak dengan tegas, "Aku tidak mau. Aku tidak ingin pulang." Ia teringat akan tujuannya datang ke tempat ini. Meski begitu, Aksa tetap meyakinkannya, "Tolong turuti keinginanku sekali ini saja

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 35 Tempat Impian

    Aksa memandang Stella dengan ekspresi khawatir yang dalam. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Stella akan mencapai titik terendah seperti ini. "Stella, kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Setiap kehidupan pasti memiliki cobaan, namun setiap cobaan pasti memiliki solusinya. Kamu harus tetap berjuang," ucap Aksa dengan suara penuh keyakinan.Stella menatap Aksa dengan tatapan getir dan tertawa pahit, "Apa yang kamu tahu? Aku sudah berjuang sekuat tenaga, namun apa yang kudapatkan? Hanya celaan dan hinaan dari sekeliling. Aku hanya menerima luka dan kesedihan. Bagaimana mungkin kamu mengerti perasaanku?"Aksa merasa bersalah saat melihat ekspresi Stella. Selama ini, dia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri sehingga melupakan bahwa Stella juga butuh perhatian dan kebahagiaan.Stella menatap Aksa dengan mata berkaca-kaca, "Aku sudah tak sanggup lagi, Aksa. Hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Setiap hari aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan," desahnya sambil

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 34 Tidak Tahan Lagi

    Tiga tahun kemudian, banyak sekali perubahan yang telah terjadi. Kota Berlin, yang dulunya sedikit tertinggal, kini telah bertransformasi dengan cara yang menakjubkan. Dalam tiga tahun ini, perubahan yang terjadi sungguh luar biasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan siluet perkotaan yang modern dan dinamis. Gedung-gedung baru ini, dengan desain arsitektur futuristik, memberikan sentuhan kemewahan dan kecanggihan yang belum pernah ada sebelumnya. Jalan-jalan yang dulu sepi kini dipenuhi lalu lintas yang ramai, mencerminkan geliat ekonomi dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kota yang sekarang mengalami kemajuan ini dapat membuat semua orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman? Sore hari di makam keluarga Yuan, Stella duduk di dekat makam mendiang ayahnya. Langit yang perlahan berubah jingga memantulkan bayangan yang melankolis di sekelilingnya. Air matanya membasahi pipinya yang pu

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 33 Masakan Aksa

    Stella menatap Aksa dengan sinis, kemudian mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak olehnya.Ternyata, aroma makanan yang diciumnya tadi adalah masakan Aksa?Tanpa menoleh, Aksa berkata, "Jangan khawatir, aku akan memberimu makanan. Duduklah dan tunggu aku selesai." Stella dengan ekspresi kesal menatap Aksa dan menggerutu, "Bertanya tidak boleh. Bahkan melihat sendiri pun tidak boleh? Orang macam apa kamu ini, kenapa kamu pelit sekali?"Aksa menoleh ke arah Stella, dan menatapnya dalam diam.Kening Stella berkerut, menatapnya dengan bingung, "Kenapa menatapku?""Akhirnya kamu menyadari apa yang aku rasakan selama ini," kata Aksa tersenyum sinis.Stella menatapnya penuh emosi, menggertakkan giginya dengan geram, hampir merasa ingin meremas wajah Aksa. Namun, akhirnya Stella memutuskan untuk pergi dan duduk di meja makan sambil terus menggerutu, "Kenapa dia begitu menyebalkan? Hari-harinya selalu membuatku kesal."Beberapa saat kemudian, Stella kembali dengan membawa dua m

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 32 Tidak Bisa Tidur

    Pada pukul dua belas malam, Stella merasa sangat sulit untuk tidur. Kondisi ini sangat tidak biasa baginya karena biasanya ia selalu berada di kamar yang nyaman. Stella telah mencoba berbagai cara untuk memejamkan mata, namun rasa kantuknya tidak kunjung datang. Rasanya seperti malam yang panjang dan sunyi baginya, di mana pikirannya terus berputar tanpa henti."Astaga, mengapa aku begitu sulit tidur? Rumah yang sempit tanpa pendingin ruangan membuatku merasa tidak nyaman," gumam Stella pada dirinya sendiri. Dia duduk dan menatap ke lantai, di mana Aksa terlihat tertidur pulas tanpa kesulitan apapun."Dia sangat mudah tertidur. Mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan sederhana, sehingga tidak terganggu," pikir Stella dengan sedikit nada sinis.Stella kembali berbaring dan memejamkan matanya, tapi dia tetap tidak bisa tidur. Berbagai posisi sudah ia coba, namun rasa kantuk yang tak kunjung datang justru membuatnya merasa tersiksa. Tak lama kemudian Aksa terbangun dan melihat

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 31 Pergi Dari Rumah

    Aksa berjalan ke arah keduanya dengan pelan, mendengarkan perdebatan mereka baik-baik. Stella mengepalkan tangannya erat-erat, menahan amarah yang membara di dalam dirinya."Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Bisnis ini adalah warisan Kakek yang dikelola dengan baik oleh ayahku setelah kamu menghancurkannya. Kamu tidak punya hak untuk mengendalikannya lagi!" seru Stella dengan suara gemetar karena emosi.Jiwan tertawa kecil, mendengar ucapan Stella. Seakan-akan, dia hanya bermain dengan keponakan bayinya."Oh, Stella. Kamu masih terlalu naif. Dunia bisnis itu kejam, dan hanya yang kuat yang akan bertahan. Jika kamu tidak bisa mempertahankan bisnis ini, maka aku yang akan melakukannya."Aksa yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, mulai berpikir lebih dalam. Ternyata, keluarga Yuan yang ia kenal, tidak sedamai yang ia kira. Ada banyak hal yang tersembunyi di balik permukaan yang selama ini ia abaikan."Paman Jiwan," Aksa akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas, "a

DMCA.com Protection Status