Share

BAB 7 Demi Ayah

Penulis: Kelvin Prayoga
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Saat itu juga, Roman memanggilnya, "Stella, kemarilah."

Stella menoleh ke arah ayahnya.

Dia sebenarnya ingin menunggu jawaban dari Dani, namun pria itu hanya tersenyum seolah tidak ingin memberikan jawaban untuknya.

Stella pun menatap Dani, memutar bola matanya dengan malas, lalu berjalan ke arah ayahnya.

"Apa ada yang bisa saya bantu, Ayah?"

"Stella, kenapa kamu buru-buru pergi? Kenalanlah dengan Aksa," kata Roman.

Stella mendesah, "Untuk apa, Ayah? Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting."

Stella berputar dan hendak berjalan pergi lagi, namun Roman memanggilnya lagi, membuatnya berhenti dan membalikkan tubuhnya memandang ayahnya.

"Stella, bukankah Ayah baru saja menyuruhmu bersikap baik tadi malam? Mengapa kamu ingin mencari musuh sekarang?" tanya Roman.

Stella mengerutkan keningnya, "Ayah, aku hanya tidak ingin mengenalnya. Kami tidak saling mengenal, bagaimana mungkin menjadi musuh?"

Roman menatap Stella dalam diam. Namun Stella tahu jika ayahnya menatapnya seperti itu, artinya ayahnya meminta dia untuk menurutinya meskipun dia tidak mengatakannya secara langsung.

Dengan pasrah, Stella pun mengulurkan tangannya di depan Aksa.

"Namaku Stella," katanya tanpa menatap Aksa.

Aksa pun menjabat tangan Stella dan memperkenalkan dirinya juga.

"Aku Aksa."

Setelah itu, Stella langsung menarik tangannya dengan paksa, seolah-olah berjabatan tangan terlalu lama dengan Aksa membuat tangannya menjadi kotor dan bau.

Stella segera berbalik dan pergi menuju sofa, namun ayahnya memanggilnya kembali.

Stella pun akhirnya kembali ke arah mereka dengan tidak senang.

Dani yang melihat Stella hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala tak berdaya.

"Duduklah di sini," kata Roman sambil menepuk ranjangnya.

Namun Stella menolak dan lebih memilih untuk berdiri, melipat kedua tangannya di depan dadanya.

Roman menatap Aksa dan berkata, "Tolong dimaklumi, Stella memang seperti ini orangnya."

Aksa hanya tersenyum kecil, sementara Stella memutar bola matanya dengan malas, menatap ke arah lain.

"Untuk apa ayah memperkenalkan dia padaku?! Sangat tidak penting!" gerutu Stella dalam hati.

Roman memandang ke arah keduanya secara bergantian.

"Mungkin, kamu tidak tahu mengapa aku mengundangmu kemari, bukan?"

"Dan Stella mungkin tidak tahu siapa Aksa dan mengapa ayah memintanya kemari," kata Roman.

Roman diam sejenak, menatap keduanya.

Aksa pun mengangguk.

Bagaimanapun juga, dia hanya diundang oleh Dani kesini dan tidak tahu apa-apa.

Roman melanjutkan, "Stella, Aksa adalah mandor termuda. Dia telah bekerja selama dua tahun. Ingin bertemu dengannya, selalu tidak ada waktu. Dan baru bertemu sekarang setelah sekian lama."

Stella hanya diam, seolah-olah berita mengenai Aksa sama sekali tidak penting baginya.

"Dan tujuanku mengundang Aksa kemari adalah untuk mengenalkannya padamu. Karena aku ingin menjodohkan kalian," tambah Roman menatap Stella lalu ke arah Aksa.

Mendengar perkataan Roman, kedua anak itu menatapnya dengan bingung.

"Apa?" Stella terkejut, keningnya semakin berkerut saat menatap ayahnya.

Roman menatap putrinya, lalu berkata, "Kamu mau kan menikah dengan Aksa?"

Stella menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk. Bibirnya bergetar, tapi ia bingung ingin mengatakan sesuatu.

"Ayah, apa yang kamu bicarakan? Aku sendiri tidak mengenalnya, kenapa Ayah menanyai aku dengan pertanyaan yang jawabannya sudah pasti?" kata Stella, menatap ayahnya dengan sedikit kesal.

Aksa hanya memandang Roman dengan bingung, tapi tidak berkomentar apapun.

Meskipun ingin menolak sedikit, dia sudah berjanji untuk tidak akan menolak perintah Roman.

"Nak, jika menunggumu mencari pacar, itu akan sangat lama. Belum lagi jika tidak sesuai dengan kriteriaku. Jika aku yang mencarikan, sudah tidak perlu disesuaikan lagi. Tinggal kamu menerima maka selesai," kata Roman.

Stella menatap ayahnya dan menggelengkan kepalanya.

Bagaimana mungkin dia mau menikah dengan Aksa?

Mau ditaruh mana muka Stella jika dia menikah dengan pria yang jauh berada di bawahnya?

"Ayah..."

Stella ingin menolaknya, namun Roman menyelanya, "Nak, umur ayah tidak lama lagi. Semakin kamu memperlama, waktu ayah juga semakin sedikit. Jadi tolong, untuk permintaan ini, kamu jangan protes ya?"

Dia memandang ke arah Aksa, "Dan Nak Aksa, kamu pernah berjanji padaku untuk tidak pernah menolak perintahku, kan? Jadi aku memintamu untuk menikah dengan putri kesayanganku. Seharusnya kamu tidak menolak sesuai dengan janjimu."

Aksa terdiam, tapi dia juga menganggukkan kepalanya dengan ragu.

Roman kemudian berbicara kepada keduanya tentang pernikahan mereka. Dan keduanya pun hanya bisa menerimanya dengan pasrah.

Setelah membicarakan semuanya, Aksa pergi diantar oleh Dani. Mereka meninggalkan ruangan itu.

Saat pintu tertutup, Stella menatap ayahnya dengan serius.

"Ayah, apa yang sedang Ayah lakukan? Kenapa Ayah tega menjodohkan aku dengan pria seperti itu?" Stella mengekspresikan kekecewaannya dengan tegas.

"Aku tidak keberatan jika Ayah mencarikan jodohku. Tapi bisakah Ayah mencari pria yang lebih baik dari pada dia?" lanjutnya.

"Jika tidak bisa setara dengan kita, setidaknya carilah yang berada di bawah kita. Sedangkan dia jauh di bawah kita, Ayah..." Stella melepaskan semua uneg-unegnya dan melampiaskan kekesalan yang sudah dia tahan sejak tadi.

Roman memandang putrinya dengan lembut, "Nak, tolong jangan protes. Lebih cepat lebih baik. Butuh waktu lebih lama bagi Ayah untuk melihat kebahagiaanmu di hari pernikahanmu. Tapi jika kamu memperlambatnya, takutnya sebelum kamu menikah Ayah sudah pergi."

Saat mendengar itu, Stella menjadi diam. Perkataan dokter tentang kondisi kesehatan ayahnya tersirat di benaknya.

"Nona, kami belum mendapatkan penawar racun untuk Tuan Yuan. Tapi kami sedang berusaha mencari tahu siapa pembuatnya. Karena hanya dengan bertemu dengan pembuatnya kita bisa mendapatkan penawar racunnya," kata dokter itu memandang Stella.

Stella berpikir dan merenung. "Apakah tidak bisa melakukan cara lain selain menemukan penawarnya? Atau kalian bisa meraciknya sendiri?"

Dokter menggelengkan kepalanya. "Tidak sembarang obat dan penawar bisa diracik dengan cepat tanpa pengetahuan yang pasti. Laboratorium juga tidak akan diizinkan membuat obat sendiri tanpa izin dari beberapa pihak pemerintah, karena itu termasuk ilegal."

"Selain itu, juga membutuhkan waktu yang lama untuk mencari bahan dasar racun itu. Hanya dengan menanyakan pada pembuatnya, kita bisa mengetahuinya dengan lebih cepat," jelas dokter itu.

Stella terdiam dan menatap dokter itu sejenak. "Apakah alat medis kalian tidak cukup untuk mengeluarkan racun itu?"

Dokter menghela napas panjang. "Racun di tubuh Tuan Yuan sudah menyebar, sulit untuk mengeluarkannya. Selain itu, kami belum memiliki alat yang lebih canggih. Jika Anda ingin mengambil tindakan cepat, sebaiknya membawa Tuan Yuan ke rumah sakit luar negeri yang memiliki teknologi lebih canggih. Namun, saya juga tidak bisa menjamin keberhasilannya."

Stella pun terdiam, sedih ketika memikirkan hal ini. "Lalu apa yang harus aku lakukan, Dok? Tolong selamatkan ayah saya," katanya dengan nada memohon.

Dokter menatap Stella dan berkata, "Karena penawarnya belum ditemukan, saran saya adalah Anda harus membuatnya lebih senang. Apa yang dia inginkan sebisa mungkin Anda turuti. Terkadang pikiran juga menjadi pemicu buruknya kondisi tubuh."

"Ada kata-kata yang sangat kasar jika saya mengatakan ini, namun ini adalah kata-kata dokter terdahulu. Jika tidak bisa menyembuhkan, setidaknya jangan membuat seseorang mati lebih cepat."

Kata-kata itu terngiang di benak Stella. Saat mengingat pesan dokter itu, mau tidak mau Stella harus menyetujui permintaan terakhir ayahnya.

"Mungkin dengan aku menerima permintaan terakhirnya, bisa mengulur waktu lebih lama agar dokter menemukan penawar untuk racun itu," gumam Stella dalam hati.

Dia memandang ke arah ayahnya dan mengangguk. "Baiklah, aku mau menikah dengannya karena permintaan ayah. Tapi ayah harus sembuh."

Mendengar itu, Roman tersenyum lega. Dia mengangguk dan hampir menangis saat menatap Stella. Dia pun memeluk putrinya dan berterima kasih padanya, meskipun dia tidak tahu bahwa Stella sebenarnya keberatan dengan permintaan itu.

Tapi mau bagaimana lagi? Stella tidak bisa berbuat apa-apa.

Bab terkait

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 8 Pernikahan Stella Dan Aksa

    Beberapa hari kemudian, rumah besar Roman dipenuhi oleh beberapa orang yang sibuk menyiapkan acara pernikahan Stella. Mereka adalah tenaga profesional yang ditunjuk untuk menangani dekorasi dan berbagai keperluan lainnya untuk acara itu.Di dalam kamar Stella, gadis itu duduk di tepi tempat tidur sambil merenung. Wajahnya tampak sedih dan seperti tidak rela. Sementara itu, Livy berjalan dari jendela ke arah Stella, lalu duduk di sampingnya."Banyak pria yang mendekatimu dengan status sosial yang berbeda-beda. Mereka tampan dan kaya, tapi kamu menolaknya. Namun, bagaimana mungkin ayahmu mencarikan suami untukmu seorang mandor?" tanya Livy.Stella memang memiliki standar yang tinggi. Tapi mengapa ayahnya justru mencarikan calon suami yang statusnya lebih rendah dari dirinya?Stella menggelengkan kepalanya, "Aku juga tidak tahu kenapa aku dijodohkan dengannya. Padahal di luar sana masih banyak lagi pria tampan dan kaya raya. Tapi

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 9 Kematian Di Hari Pernikahan

    Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Roman masih menunggu di sana. Stella sangat lelah karena menangis, hingga akhirnya tertidur. Salah satu pria di sana memutuskan untuk mengambil tindakan. "Bawa istrimu pulang. Biar kami yang menunggu Tuan Roman di sini. Nona Stella terlihat sangat lelah," ujarnya dengan lembut kepada Aksa. Aksa memandang Stella yang sedang tertidur dan mengangguk setuju. Dia hendak menggendong Stella untuk membawanya pulang, namun mata Stella langsung terbuka dan menatap tajam ke arah Aksa. "Apa yang akan kamu lakukan? Jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menyentuhku," kata Stella dengan nada kasar, membuat Aksa terdiam. Pria yang meminta Aksa mengantar Stella pulang segera bersuara, mencoba menenangkan situasi. "Nona Stella, sepertinya kamu lelah sekali. Pulanglah dan istirahatlah. Biarkan kami

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 10 Ayah Menipuku!

    Keesokan harinya, rumah Roman yang kemarin pagi dipenuhi banyak orang, kini semakin ramai oleh kehadiran orang-orang penting di kota Berlin. Namun kali ini, mereka datang bukan untuk mengucapkan selamat kepada Stella dan Aksa, melainkan untuk menghadiri upacara duka atas meninggalnya Roman Yuan. Stella berdiri di dekat peti mati ayahnya, air mata mengalir deras di wajahnya. Suara pelan dari tamu yang berbicara terdengar seperti gumaman jauh di telinganya, semua terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Dia berlutut di samping peti mati ayahnya, memegang erat pinggirannya. "Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku tak mau hidup sendiri," bisiknya dengan suara bergetar. "Aku tidak tahu dengan siapa aku akan berada di dunia ini jika kamu pergi." Tangisannya pecah, menggema di ruangan yang penuh sesak. Air matanya mengalir tanpa henti. Setiap kenangan bersama ayahnya terlintas di benaknya, menambah beban berat yang ia rasakan.

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 11 Mengerjainya

    Di rumah Roman, tidak ada seorang pun di sana setelah semua tamu yang melayat sudah pulang dan menjalankan aktivitas masing-masing. Suasana yang semula ramai dan penuh dengan kehadiran banyak orang, tiba-tiba berubah menjadi sunyi. Sebuah mobil Mercedes Benz A-Class melaju masuk dan berhenti di depan rumah. Pintu belakang terbuka, lalu Stella dan Livy turun dari mobil itu dan berjalan menuju rumah. "Halaman rumah yang kemarin dan tadi masih sangat ramai, dalam sekejap menjadi sepi," kata Stella sambil memandang sekeliling halaman yang kosong, hanya dihiasi oleh dekorasi pernikahan, meja, dan bunga yang masih tersisa. Livy mengangguk, memahami perasaan Stella, lalu mereka berdua memasuki rumah itu. "Livy, bisakah kamu tinggal di sini bersamaku, menemaniku? Rumah sebesar ini, tidak mungkin aku di sini sendirian," kata Stella, memandang Livy dengan wajah penuh harap.

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 12 Harus Sabar Menghadapinya

    Tak lama kemudian, Aksa datang membawa nampan yang berisi dua piring, disusul bibi yang sedang bertugas di dapur membawakan dua gelas jus jeruk di atas nampan juga. Mereka menyajikan makanan dan minuman dengan sangat hati-hati, seolah-olah sedang berada di restoran mewah. Namun, alis Stella berkerut saat melihat pemandangan ini. "Aksa, apa aku bilang padamu untuk meminta bantuan bibi?" Stella bertanya dengan cemberut, menunjukkan ketidakpuasannya. Aksa hendak menjawab, namun bibi yang mengantarkan jus itu dengan cepat berkata, “Ini inisiatif saya sendiri, Nona. Tuan Aksa ingin melakukannya sendiri, tetapi Bibi kasihan padanya. Jadi saya membantunya.” Tatapan Stella tertuju pada bibi itu, dan dengan nada tidak senang, dia berkata, "Lain kali, kalau aku hanya menyuruh Aksa, maka yang lain jangan membantunya. Bibi, sampaikan hal ini pada pelayan yang lain agar mereka mengerti." Stella mengatakan ini dengan ekspresi wajah teg

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 13 Dasar Pria Mesum!

    "Nak, dunia ini adalah tempat yang kompetitif. Jika kamu berada di bawah, kamu akan terinjak. Namun jika kamu berada di atas, maka kamu akan dirobohkan." “Hukum dan aturan di dunia ini, siapapun yang pintar dan kuat, dialah pemimpinnya. Jadi jika hidupmu ingin stabil dan mendominasi, jadilah pintar dan kuat.” Kata-kata Roman menggantung di udara, memberi kesan mendalam tentang kenyataan hidup yang keras. Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tenang, "Sedangkan yang bisa kita lakukan hanyalah menjadikan diri kita terbiasa dengan posisi yang kita miliki." Stella menatap ayahnya dengan mata penuh pertanyaan, bibirnya bergetar saat mencoba memahami kenyataan pahit ini. Kemudian, dengan hati-hati, dia menyentuh tangan kekar yang sedang membelai pipinya, mencari kepastian dalam sentuhan yang familiar. “Tapi apakah Ayah tahu siapa yang meracunimu?” Roman menggelengkan kepalanya perlahan, sebuah kegetiran terpancar dar

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 14 Merebut Kekayaan

    Setelah makan malam, Aksa berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Stella sendirian di ruang makan. Stella yang melihat hal itu segera menghabiskan sisa susunya dengan cepat dan berdiri untuk mengejarnya. "Aksa, tunggu sebentar," panggil Stella sambil berlari menuju ruang tamu. Aksa berbalik dan menatap Stella. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku, menatapnya dalam diam. “Aku ingin bicara denganmu, ikut aku,” kata Stella sambil berjalan ke luar. Aksa tak punya pilihan selain mengikutinya. Mereka berjalan keluar rumah menuju halaman depan, di mana Stella duduk di kursi taman. Aksa duduk di seberangnya. "Kamu mengajakku ke sini hanya untuk berbicara? Apakah ada hal penting?" tanya Aksa sambil melihat sekeliling. Tidak ada seorang pun di taman kecuali mereka berdua. "Ada sesuatu yang penting atau tidak, apa urusanmu? Kalau kamu bisa ngobrol denganku

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 15 Membuat Kesepakatan

    Malam itu, kesepakatan dan peraturan dibuat di ruang tamu oleh Stella. Beberapa lembar kertas disiapkan, masing-masing berisi peraturan yang menjadi dasar kesepakatan mereka. Stella dengan hati-hati menuliskan setiap bab, memastikan tidak ada yang terlewat. Ruang tamu sunyi, yang terdengar hanyalah suara pena yang menggores kertas. Aksa duduk di seberang meja sambil menatap serius kertas yang mulai terisi. "Pasal tujuh," Stella membacakan dengan lantang, "Aksa harus tidur di lantai seumur hidupnya, sedangkan Stella tidur di kasur seumur hidupnya." Aksa menghela nafas panjang, namun tidak membantah. Stella terus menulis, dan suasana kembali hening. Lampu ruang tamu yang terang memberikan bayangan lembut di kertas, seolah menyaksikan momen bersejarah itu. Setelah semuanya selesai, keduanya pun menandatangani kertas itu. Semua ini adalah ide Stella. Aksa hanya mengikuti

Bab terbaru

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 39 Pewaris Keluarga Fang

    Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 38 Kediaman Keluarga Fang

    Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 37 Pergi Ke Kota Falone

    Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 36 Wilayah Barat Kota Falone

    Stella merasa bingung mendengar perkataan Aksa. Padahal selama ini Stella percaya sepenuhnya pada Aksa dan yakin Aksa tidak pernah berbohong padanya, namun kali ini ada keraguan yang menghampirinya. Stella selalu mempercayai semua yang dikatakan Aksa, kecuali yang berkaitan dengan kekayaan dan harapan besar. "Tidak bisa, Aksa. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana," kata Stella tegas. Aksa menepuk bahu Stella dengan lembut sambil tersenyum, "Aku punya cara untuk mengajakmu masuk ke sana dan melihat-lihat." "Bagaimana caranya?" Stella bertanya, ekspresinya penuh pertanyaan. Aksa memandang ke langit yang mulai gelap, dengan lampu-lampu kota yang bersinar terang dari tempat mereka berdiri. "Sekarang, kita pulang dulu. Kita bisa membicarakan hal ini saat berada di rumah." Stella menolak dengan tegas, "Aku tidak mau. Aku tidak ingin pulang." Ia teringat akan tujuannya datang ke tempat ini. Meski begitu, Aksa tetap meyakinkannya, "Tolong turuti keinginanku sekali ini saja

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 35 Tempat Impian

    Aksa memandang Stella dengan ekspresi khawatir yang dalam. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Stella akan mencapai titik terendah seperti ini. "Stella, kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Setiap kehidupan pasti memiliki cobaan, namun setiap cobaan pasti memiliki solusinya. Kamu harus tetap berjuang," ucap Aksa dengan suara penuh keyakinan.Stella menatap Aksa dengan tatapan getir dan tertawa pahit, "Apa yang kamu tahu? Aku sudah berjuang sekuat tenaga, namun apa yang kudapatkan? Hanya celaan dan hinaan dari sekeliling. Aku hanya menerima luka dan kesedihan. Bagaimana mungkin kamu mengerti perasaanku?"Aksa merasa bersalah saat melihat ekspresi Stella. Selama ini, dia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri sehingga melupakan bahwa Stella juga butuh perhatian dan kebahagiaan.Stella menatap Aksa dengan mata berkaca-kaca, "Aku sudah tak sanggup lagi, Aksa. Hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Setiap hari aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan," desahnya sambil

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 34 Tidak Tahan Lagi

    Tiga tahun kemudian, banyak sekali perubahan yang telah terjadi. Kota Berlin, yang dulunya sedikit tertinggal, kini telah bertransformasi dengan cara yang menakjubkan. Dalam tiga tahun ini, perubahan yang terjadi sungguh luar biasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan siluet perkotaan yang modern dan dinamis. Gedung-gedung baru ini, dengan desain arsitektur futuristik, memberikan sentuhan kemewahan dan kecanggihan yang belum pernah ada sebelumnya. Jalan-jalan yang dulu sepi kini dipenuhi lalu lintas yang ramai, mencerminkan geliat ekonomi dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kota yang sekarang mengalami kemajuan ini dapat membuat semua orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman? Sore hari di makam keluarga Yuan, Stella duduk di dekat makam mendiang ayahnya. Langit yang perlahan berubah jingga memantulkan bayangan yang melankolis di sekelilingnya. Air matanya membasahi pipinya yang pu

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 33 Masakan Aksa

    Stella menatap Aksa dengan sinis, kemudian mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak olehnya.Ternyata, aroma makanan yang diciumnya tadi adalah masakan Aksa?Tanpa menoleh, Aksa berkata, "Jangan khawatir, aku akan memberimu makanan. Duduklah dan tunggu aku selesai." Stella dengan ekspresi kesal menatap Aksa dan menggerutu, "Bertanya tidak boleh. Bahkan melihat sendiri pun tidak boleh? Orang macam apa kamu ini, kenapa kamu pelit sekali?"Aksa menoleh ke arah Stella, dan menatapnya dalam diam.Kening Stella berkerut, menatapnya dengan bingung, "Kenapa menatapku?""Akhirnya kamu menyadari apa yang aku rasakan selama ini," kata Aksa tersenyum sinis.Stella menatapnya penuh emosi, menggertakkan giginya dengan geram, hampir merasa ingin meremas wajah Aksa. Namun, akhirnya Stella memutuskan untuk pergi dan duduk di meja makan sambil terus menggerutu, "Kenapa dia begitu menyebalkan? Hari-harinya selalu membuatku kesal."Beberapa saat kemudian, Stella kembali dengan membawa dua m

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 32 Tidak Bisa Tidur

    Pada pukul dua belas malam, Stella merasa sangat sulit untuk tidur. Kondisi ini sangat tidak biasa baginya karena biasanya ia selalu berada di kamar yang nyaman. Stella telah mencoba berbagai cara untuk memejamkan mata, namun rasa kantuknya tidak kunjung datang. Rasanya seperti malam yang panjang dan sunyi baginya, di mana pikirannya terus berputar tanpa henti."Astaga, mengapa aku begitu sulit tidur? Rumah yang sempit tanpa pendingin ruangan membuatku merasa tidak nyaman," gumam Stella pada dirinya sendiri. Dia duduk dan menatap ke lantai, di mana Aksa terlihat tertidur pulas tanpa kesulitan apapun."Dia sangat mudah tertidur. Mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan sederhana, sehingga tidak terganggu," pikir Stella dengan sedikit nada sinis.Stella kembali berbaring dan memejamkan matanya, tapi dia tetap tidak bisa tidur. Berbagai posisi sudah ia coba, namun rasa kantuk yang tak kunjung datang justru membuatnya merasa tersiksa. Tak lama kemudian Aksa terbangun dan melihat

  • Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta    BAB 31 Pergi Dari Rumah

    Aksa berjalan ke arah keduanya dengan pelan, mendengarkan perdebatan mereka baik-baik. Stella mengepalkan tangannya erat-erat, menahan amarah yang membara di dalam dirinya."Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Bisnis ini adalah warisan Kakek yang dikelola dengan baik oleh ayahku setelah kamu menghancurkannya. Kamu tidak punya hak untuk mengendalikannya lagi!" seru Stella dengan suara gemetar karena emosi.Jiwan tertawa kecil, mendengar ucapan Stella. Seakan-akan, dia hanya bermain dengan keponakan bayinya."Oh, Stella. Kamu masih terlalu naif. Dunia bisnis itu kejam, dan hanya yang kuat yang akan bertahan. Jika kamu tidak bisa mempertahankan bisnis ini, maka aku yang akan melakukannya."Aksa yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, mulai berpikir lebih dalam. Ternyata, keluarga Yuan yang ia kenal, tidak sedamai yang ia kira. Ada banyak hal yang tersembunyi di balik permukaan yang selama ini ia abaikan."Paman Jiwan," Aksa akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas, "a

DMCA.com Protection Status