Beberapa hari kemudian, rumah besar Roman dipenuhi oleh beberapa orang yang sibuk menyiapkan acara pernikahan Stella.
Mereka adalah tenaga profesional yang ditunjuk untuk menangani dekorasi dan berbagai keperluan lainnya untuk acara itu. Di dalam kamar Stella, gadis itu duduk di tepi tempat tidur sambil merenung. Wajahnya tampak sedih dan seperti tidak rela. Sementara itu, Livy berjalan dari jendela ke arah Stella, lalu duduk di sampingnya. "Banyak pria yang mendekatimu dengan status sosial yang berbeda-beda. Mereka tampan dan kaya, tapi kamu menolaknya. Namun, bagaimana mungkin ayahmu mencarikan suami untukmu seorang mandor?" tanya Livy. Stella memang memiliki standar yang tinggi. Tapi mengapa ayahnya justru mencarikan calon suami yang statusnya lebih rendah dari dirinya? Stella menggelengkan kepalanya, "Aku juga tidak tahu kenapa aku dijodohkan dengannya. Padahal di luar sana masih banyak lagi pria tampan dan kaya raya. Tapi kenapa harus dia?" Livy memandang Stella dengan penuh simpati, “Mungkinkah ayahmu melihat sesuatu yang tidak kita lihat?” Stella menggelengkan kepalanya dengan hampa. "Apa yang tidak bisa kita lihat? Aku punya mata untuk melihatnya secara langsung. Juga punya informasi lengkap tentang latar belakangnya. Apa lagi yang tidak bisa aku lihat?" Livy kembali berpikir sebelum akhirnya berkata, "Terkadang cinta bukan soal penampilan atau harta benda, tapi soal hati. Aku rasa ayahmu mempunyai penilaian tersendiri mengenai Aksa." "Entahlah, menolak juga tidak bisa. Mau tidak mau harus menjalani," kata Stella sambil menghela napas panjang. Dia menyandarkan kepalanya di bahu Livy, meredam semua rasa yang ia rasakan saat ini. Ada beberapa hal yang hanya bisa diterima tanpa banyak berprotes. Sementara itu, di luar kamar, persiapan pernikahan terus berlanjut. Bunga-bunga dipasang, meja-meja dihias, dan lampu-lampu digantung dengan hati-hati. Semuanya terlihat sempurna, tapi di hati Stella, ada perasaan yang berkecamuk, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. ***** Beberapa hari kemudian, hari pernikahan mereka akhirnya tiba. Stella mengenakan gaun pengantin cantik berwarna putih, seolah-olah dia adalah seorang putri kerajaan yang hendak berjalan menuju altar untuk menemui pangerannya. Gaun itu dipenuhi detail renda yang rumit, membuat setiap gerak-gerik Stella terlihat anggun dan mempesona. Rambutnya diikat rapi di sanggul dan dihiasi bunga-bunga kecil yang melengkapi penampilannya yang sempurna. Meski terlihat cantik, hatinya tetap berat. Di sampingnya, Roman berdiri dengan perasaan lega sekaligus khawatir saat melihat putrinya. Saat upacara dimulai, Stella berjalan menuju altar dengan tangan gemetar. Di ujung altar, berdiri seorang pria pilihan ayahnya. Pria itu adalah Aksa, seorang mandor yang berpenampilan sederhana namun tulus. Saat mereka saling berhadapan, Stella mencoba mencari jawaban di matanya. Aksa memandang Stella dengan penuh kelembutan, seolah tahu ini adalah awal dari sesuatu yang baik. "Stella," kata Aksa dengan suara lembut, "Aku tahu ini mungkin bukan yang kamu harapkan. Tapi aku berjanji akan selalu menjaga dan mencintaimu. Aku ingin kita membangun kehidupan yang indah bersama, tanpa terbebani dengan masa lalu atau ekspektasi berlebihan. Biarlah cinta kita tumbuh dan berkembang dengan sendirinya." Stella terdiam sejenak menatap Aksa dengan lekat. "Bagaimana mungkin aku menikah dengan pria seperti dirinya? Kalau bukan karena ayah, mana mungkin aku mau?" gumam Stella dalam hati. Dengan hati yang masih bimbang, Stella mengangguk, "Baiklah," katanya pelan. "Aku akan mencoba." Upacara pun berlanjut, dan mereka bertukar janji. Setelah upacara selesai, Stella dan Aksa menerima ucapan selamat dari para tamu. Roman dengan mata yang berkaca-kaca, mendekati mereka. "Aksa, Stella, selamat sekarang kalian sudah menikah. Sudah lega rasanya beban berat di hatiku." "Aksa, berjanjilah padaku untuk menjaga putri kesayanganku. Jaga dia baik-baik dan jangan pernah buat dia menangis. Apakah kamu bersedia?" tanya Roman menatap Aksa dengan serius. Aksa mengangguk dengan yakin, "Aku berjanji akan menjaga dan melindungi Stella lebih dari menjaga diriku sendiri. Aku berjanji padamu, ayah." "Bagus, bagus," Roman mengangguk dan tersenyum lega. Dia bahkan sedikit menyeka sudut matanya. Pandangannya ganti tertuju pada Stella, "Stella, sekarang kamu sudah menikah dan menjadi istri Aksa. Kelak, kamu harus menjadi istri dan ibu yang baik untuk suami dan anakmu. Terima kasih, sudah menuruti permintaan terakhir ayah." Stella hanya mengangguk pelan. Matanya berlinang, seperti dia enggan menerima semua ini. Namun demi pria paruh baya di depannya, dia rela melakukan semua ini demi dia. "Satu pesan untuk kalian berdua. Kelak, apapun yang terjadi pada kehidupan kalian, jangan pernah saling meninggalkan. Tetap menjadi satu, baik suka maupun duka. Semoga kalian bahagia," katanya sambil memeluk putrinya erat, dan mengeluarkan tangannya untuk memeluk Aksa juga. Ketiganya berpelukan di hadapan semua orang. Stella hanya tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan perasaannya yang campur aduk. "Baiklah, sekarang kalian berbahagialah. Aku akan menemui para tamu yang hadir," ucap Roman sambil melepaskan mereka dan pergi dengan penuh semangat. Ekspresinya terlihat sangat bahagia saat dia berjalan. Stella menyaksikan ayahnya pergi dengan hati yang rumit. Ada perasaan campur aduk, tapi dia bingung dengan perasaan itu. Setelah itu, Stella menghela nafas panjang dan membuang muka, bersiap menerima ucapan selamat dan doa dari para tamu. Namun, tiba-tiba suasana menjadi kacau. Banyak orang berteriak dan langsung berkumpul. Stella melihat ayahnya sedikit tertutupi kerumunan dan matanya langsung membelalak. "Ayah!" Stella berteriak. Aksa kaget dan menoleh ke arah Stella, namun gadis itu langsung berlari ke arah ayahnya. Di rumah sakit kota Berlin, sedan seperti Mercedes-Benz dan Audi berbelok ke sana. Puluhan orang berjas rapi turun dan panik serta berhamburan. Stella yang masih mengenakan gaun pengantinnya menangis sambil mendorong tempat tidur pasien bersama Aksa dan para perawat, menuju ruang ICU. "Ayah, bertahanlah," kata Stella sambil menangis. Di belakang mereka, orang-orang berpengaruh dan bos di kota Berlin mengikuti dengan cepat. Mereka berhenti di depan pintu ruangan. Roman membuka matanya dan melihat Stella menatapnya dengan sedih. "Stella, jaga dirimu baik-baik. Ingat semua pesan yang ayah berikan padamu," kata Roman lemah. "Bantu aku menjaga Stella, ya?" kata Roman pada Aksa. Aksa menganggukkan kepalanya sebagai tanda setuju. Saat perawat membuka pintu ruang ICU, mereka langsung mendorong ranjang rumah sakit ke dalam. Stella hendak masuk, tetapi dihentikan oleh perawat. "Nona Yuan, mohon tunggu di luar," kata perawat itu dengan lembut. Stella hanya bisa berdiri di depan pintu sambil menangis. Tubuhnya lemas, dan dia duduk lemas di luar ruangan. Aksa menghampiri Stella, "Stella, ayo kita duduk di sana." Namun Stella melambaikan tangannya dan menolak tawaran Aksa, "Jangan sentuh aku! Aku tidak mau pergi dari sini!" Semua orang menatap mereka, tapi tidak ada yang berani mendekat. Stella hanya menangis dalam kesedihan yang mendalam. Aksa memandangi anggota keluarga Yuan, tetapi tidak ada satupun yang terlihat di sana. Kening Aksa pun berkerut seketika.Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Roman masih menunggu di sana. Stella sangat lelah karena menangis, hingga akhirnya tertidur. Salah satu pria di sana memutuskan untuk mengambil tindakan. "Bawa istrimu pulang. Biar kami yang menunggu Tuan Roman di sini. Nona Stella terlihat sangat lelah," ujarnya dengan lembut kepada Aksa. Aksa memandang Stella yang sedang tertidur dan mengangguk setuju. Dia hendak menggendong Stella untuk membawanya pulang, namun mata Stella langsung terbuka dan menatap tajam ke arah Aksa. "Apa yang akan kamu lakukan? Jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menyentuhku," kata Stella dengan nada kasar, membuat Aksa terdiam. Pria yang meminta Aksa mengantar Stella pulang segera bersuara, mencoba menenangkan situasi. "Nona Stella, sepertinya kamu lelah sekali. Pulanglah dan istirahatlah. Biarkan kami
Keesokan harinya, rumah Roman yang kemarin pagi dipenuhi banyak orang, kini semakin ramai oleh kehadiran orang-orang penting di kota Berlin. Namun kali ini, mereka datang bukan untuk mengucapkan selamat kepada Stella dan Aksa, melainkan untuk menghadiri upacara duka atas meninggalnya Roman Yuan. Stella berdiri di dekat peti mati ayahnya, air mata mengalir deras di wajahnya. Suara pelan dari tamu yang berbicara terdengar seperti gumaman jauh di telinganya, semua terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Dia berlutut di samping peti mati ayahnya, memegang erat pinggirannya. "Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku tak mau hidup sendiri," bisiknya dengan suara bergetar. "Aku tidak tahu dengan siapa aku akan berada di dunia ini jika kamu pergi." Tangisannya pecah, menggema di ruangan yang penuh sesak. Air matanya mengalir tanpa henti. Setiap kenangan bersama ayahnya terlintas di benaknya, menambah beban berat yang ia rasakan.
Di rumah Roman, tidak ada seorang pun di sana setelah semua tamu yang melayat sudah pulang dan menjalankan aktivitas masing-masing. Suasana yang semula ramai dan penuh dengan kehadiran banyak orang, tiba-tiba berubah menjadi sunyi. Sebuah mobil Mercedes Benz A-Class melaju masuk dan berhenti di depan rumah. Pintu belakang terbuka, lalu Stella dan Livy turun dari mobil itu dan berjalan menuju rumah. "Halaman rumah yang kemarin dan tadi masih sangat ramai, dalam sekejap menjadi sepi," kata Stella sambil memandang sekeliling halaman yang kosong, hanya dihiasi oleh dekorasi pernikahan, meja, dan bunga yang masih tersisa. Livy mengangguk, memahami perasaan Stella, lalu mereka berdua memasuki rumah itu. "Livy, bisakah kamu tinggal di sini bersamaku, menemaniku? Rumah sebesar ini, tidak mungkin aku di sini sendirian," kata Stella, memandang Livy dengan wajah penuh harap.
Tak lama kemudian, Aksa datang membawa nampan yang berisi dua piring, disusul bibi yang sedang bertugas di dapur membawakan dua gelas jus jeruk di atas nampan juga. Mereka menyajikan makanan dan minuman dengan sangat hati-hati, seolah-olah sedang berada di restoran mewah. Namun, alis Stella berkerut saat melihat pemandangan ini. "Aksa, apa aku bilang padamu untuk meminta bantuan bibi?" Stella bertanya dengan cemberut, menunjukkan ketidakpuasannya. Aksa hendak menjawab, namun bibi yang mengantarkan jus itu dengan cepat berkata, “Ini inisiatif saya sendiri, Nona. Tuan Aksa ingin melakukannya sendiri, tetapi Bibi kasihan padanya. Jadi saya membantunya.” Tatapan Stella tertuju pada bibi itu, dan dengan nada tidak senang, dia berkata, "Lain kali, kalau aku hanya menyuruh Aksa, maka yang lain jangan membantunya. Bibi, sampaikan hal ini pada pelayan yang lain agar mereka mengerti." Stella mengatakan ini dengan ekspresi wajah teg
"Nak, dunia ini adalah tempat yang kompetitif. Jika kamu berada di bawah, kamu akan terinjak. Namun jika kamu berada di atas, maka kamu akan dirobohkan." “Hukum dan aturan di dunia ini, siapapun yang pintar dan kuat, dialah pemimpinnya. Jadi jika hidupmu ingin stabil dan mendominasi, jadilah pintar dan kuat.” Kata-kata Roman menggantung di udara, memberi kesan mendalam tentang kenyataan hidup yang keras. Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tenang, "Sedangkan yang bisa kita lakukan hanyalah menjadikan diri kita terbiasa dengan posisi yang kita miliki." Stella menatap ayahnya dengan mata penuh pertanyaan, bibirnya bergetar saat mencoba memahami kenyataan pahit ini. Kemudian, dengan hati-hati, dia menyentuh tangan kekar yang sedang membelai pipinya, mencari kepastian dalam sentuhan yang familiar. “Tapi apakah Ayah tahu siapa yang meracunimu?” Roman menggelengkan kepalanya perlahan, sebuah kegetiran terpancar dar
Setelah makan malam, Aksa berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Stella sendirian di ruang makan. Stella yang melihat hal itu segera menghabiskan sisa susunya dengan cepat dan berdiri untuk mengejarnya. "Aksa, tunggu sebentar," panggil Stella sambil berlari menuju ruang tamu. Aksa berbalik dan menatap Stella. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku, menatapnya dalam diam. “Aku ingin bicara denganmu, ikut aku,” kata Stella sambil berjalan ke luar. Aksa tak punya pilihan selain mengikutinya. Mereka berjalan keluar rumah menuju halaman depan, di mana Stella duduk di kursi taman. Aksa duduk di seberangnya. "Kamu mengajakku ke sini hanya untuk berbicara? Apakah ada hal penting?" tanya Aksa sambil melihat sekeliling. Tidak ada seorang pun di taman kecuali mereka berdua. "Ada sesuatu yang penting atau tidak, apa urusanmu? Kalau kamu bisa ngobrol denganku
Malam itu, kesepakatan dan peraturan dibuat di ruang tamu oleh Stella. Beberapa lembar kertas disiapkan, masing-masing berisi peraturan yang menjadi dasar kesepakatan mereka. Stella dengan hati-hati menuliskan setiap bab, memastikan tidak ada yang terlewat. Ruang tamu sunyi, yang terdengar hanyalah suara pena yang menggores kertas. Aksa duduk di seberang meja sambil menatap serius kertas yang mulai terisi. "Pasal tujuh," Stella membacakan dengan lantang, "Aksa harus tidur di lantai seumur hidupnya, sedangkan Stella tidur di kasur seumur hidupnya." Aksa menghela nafas panjang, namun tidak membantah. Stella terus menulis, dan suasana kembali hening. Lampu ruang tamu yang terang memberikan bayangan lembut di kertas, seolah menyaksikan momen bersejarah itu. Setelah semuanya selesai, keduanya pun menandatangani kertas itu. Semua ini adalah ide Stella. Aksa hanya mengikuti
Di salah satu kantor Grup Yuan, bangunan itu menjulang megah, mencerminkan kekuatan dan kesuksesan perusahaan. Di belakang area itu terdapat berbagai macam alat berat yang tertata rapi, siap digunakan untuk proyek konstruksi besar yang sedang dikerjakan perusahaan. Suasana di sekitar kantor yang penuh aktivitas, suara mesin dan alat berat yang beroperasi menggambarkan aktivitas yang sibuk dan dinamis. Roman Yuan dan karyawannya menjalankan operasi kantor pusat dari sini, mengendalikan dan mengawasi setiap aspek proyek konstruksi yang sedang berlangsung. Grup Yuan terkenal di industri konstruksi karena kemampuannya menyediakan segala yang diperlukan, mulai dari alat berat hingga bahan konstruksi berkualitas tinggi. Dengan pengalaman dan keahlian mereka, Grup Yuan telah menjadi salah satu pemain utama dalam industri konstruksi di kota ini. Sebuah BMW X7 berhenti dengan mantap di area parkir. Aksa duduk diam di
Pandangan Stella jatuh kepada Aksa.Dia menatapnya dengan serius dan berkata, "Apa yang sebenarnya terjadi? Tolong beritahu aku lebih banyak tentang semua ini. Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa mereka memanggilmu Tuan Muda?"Aksa menatapnya sejenak sembari berkata, "Aku mengerti bahwa semua ini membingungkanmu. Sekarang duduklah, aku akan menjelaskan semuanya."Stella tampak ragu, namun akhirnya dia duduk di sofa itu sesuai perintah Aksa. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seolah-olah menunggu pengakuan besar yang akan datang. Aksa pun duduk di dekatnya. Dia menghela napas, menatap mata Stella dalam-dalam, dan mulai menjelaskan, "Nama asliku adalah Theo. Dan Aksa adalah nama yang aku gunakan untuk menyembunyikan identitasku selama ini. Aku adalah Tuan Muda keluarga Fang."Stella menatap Aksa dengan mata yang lebar, berusaha memahami apa yang baru saja ia dengar. "Tuan Muda keluarga Fang? Kamu...?"Stella merasa kesulitan untuk mempercayai perkataan Aksa kali ini. Jika Aksa mengung
Tidak lama setelah itu, mereka melewati pemeriksaan keamanan dengan cepat dan langsung dibawa ke sebuah jet pribadi yang menunggu di landasan. Stella merasa seperti berada dalam mimpi yang tidak masuk akal. Saat mereka menaiki tangga jet pribadi itu, Stella merasa seolah-olah dunia yang selama ini dikenalnya telah berubah total.Ia masih memikirkan hubungan antara Aksa dan Liam saat mereka duduk di kursi jet pribadi itu."Aksa, kenapa kamu tidak pernah menceritakan tentang ini sebelumnya?" tanya Stella pelan setelah mereka duduk."Karena kamu tidak pernah percaya dengan apa yang aku katakan padamu," jawab Aksa singkat tanpa menoleh.Setelah mengatakan itu, Aksa langsung memejamkan matanya, untuk mengistirahatkan pikirannya.Stella yang ingin mengatakan sesuatu pun akhirnya mengurungkan niatnya.Jet pribadi itu pun mulai bergerak di landasan pacu, dan dalam beberapa menit, mereka sudah terbang di udara. Stella menatap keluar jendela, melihat pem
Aksa pun mengangguk dan berkata, "Wilayah barat kota Falone adalah aset terbesar yang dimiliki Keluarga Fang. Kamu tahu tentang ini, kan?" Stella berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Tentu saja ia tahu tentang hal ini. "Lalu kenapa?" Aksa menatap Stella dengan tatapan serius, "Keluarga Fang sedang mengalami krisis internal. Ada kesempatan untuk mendekati mereka dan mencari jalan agar kamu bisa memasuki wilayah barat tanpa menimbulkan kecurigaan. Aku punya koneksi yang bisa membantu." Stella mengernyitkan alisnya, penasaran. "Koneksi apa? Bagaimana caranya?" "Aku mengenal salah satu anggota keluarga Fang yang punya pengaruh. Dia bisa memberikan izin masuk jika kita bisa meyakinkan dia bahwa kita punya tujuan yang sama," jawab Aksa. Stella yang mendengar hal ini tentu saja terkejut. Aksa mempunyai kenalan anggota keluarga Fang? "Jangan mencoba untuk membohongiku," kata Stella memasang raut wajah tidak percaya. "Aku tidak membohongimu. Aku berbicara jujur," kata Aksa meyakinka
Stella merasa bingung mendengar perkataan Aksa. Padahal selama ini Stella percaya sepenuhnya pada Aksa dan yakin Aksa tidak pernah berbohong padanya, namun kali ini ada keraguan yang menghampirinya. Stella selalu mempercayai semua yang dikatakan Aksa, kecuali yang berkaitan dengan kekayaan dan harapan besar. "Tidak bisa, Aksa. Tidak sembarang orang bisa masuk ke sana," kata Stella tegas. Aksa menepuk bahu Stella dengan lembut sambil tersenyum, "Aku punya cara untuk mengajakmu masuk ke sana dan melihat-lihat." "Bagaimana caranya?" Stella bertanya, ekspresinya penuh pertanyaan. Aksa memandang ke langit yang mulai gelap, dengan lampu-lampu kota yang bersinar terang dari tempat mereka berdiri. "Sekarang, kita pulang dulu. Kita bisa membicarakan hal ini saat berada di rumah." Stella menolak dengan tegas, "Aku tidak mau. Aku tidak ingin pulang." Ia teringat akan tujuannya datang ke tempat ini. Meski begitu, Aksa tetap meyakinkannya, "Tolong turuti keinginanku sekali ini saja
Aksa memandang Stella dengan ekspresi khawatir yang dalam. Tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa Stella akan mencapai titik terendah seperti ini. "Stella, kamu tidak boleh menyerah begitu saja. Setiap kehidupan pasti memiliki cobaan, namun setiap cobaan pasti memiliki solusinya. Kamu harus tetap berjuang," ucap Aksa dengan suara penuh keyakinan.Stella menatap Aksa dengan tatapan getir dan tertawa pahit, "Apa yang kamu tahu? Aku sudah berjuang sekuat tenaga, namun apa yang kudapatkan? Hanya celaan dan hinaan dari sekeliling. Aku hanya menerima luka dan kesedihan. Bagaimana mungkin kamu mengerti perasaanku?"Aksa merasa bersalah saat melihat ekspresi Stella. Selama ini, dia terlalu fokus pada kehidupannya sendiri sehingga melupakan bahwa Stella juga butuh perhatian dan kebahagiaan.Stella menatap Aksa dengan mata berkaca-kaca, "Aku sudah tak sanggup lagi, Aksa. Hidupku dipenuhi dengan penderitaan. Setiap hari aku tenggelam dalam kesedihan yang tak berkesudahan," desahnya sambil
Tiga tahun kemudian, banyak sekali perubahan yang telah terjadi. Kota Berlin, yang dulunya sedikit tertinggal, kini telah bertransformasi dengan cara yang menakjubkan. Dalam tiga tahun ini, perubahan yang terjadi sungguh luar biasa. Bangunan-bangunan tinggi menjulang di sepanjang jalan, menciptakan siluet perkotaan yang modern dan dinamis. Gedung-gedung baru ini, dengan desain arsitektur futuristik, memberikan sentuhan kemewahan dan kecanggihan yang belum pernah ada sebelumnya. Jalan-jalan yang dulu sepi kini dipenuhi lalu lintas yang ramai, mencerminkan geliat ekonomi dan aktivitas masyarakat yang semakin meningkat. Namun, siapa yang bisa menjamin bahwa kota yang sekarang mengalami kemajuan ini dapat membuat semua orang yang tinggal di dalamnya merasa nyaman? Sore hari di makam keluarga Yuan, Stella duduk di dekat makam mendiang ayahnya. Langit yang perlahan berubah jingga memantulkan bayangan yang melankolis di sekelilingnya. Air matanya membasahi pipinya yang pu
Stella menatap Aksa dengan sinis, kemudian mencium aroma harum dari masakan yang sedang dimasak olehnya.Ternyata, aroma makanan yang diciumnya tadi adalah masakan Aksa?Tanpa menoleh, Aksa berkata, "Jangan khawatir, aku akan memberimu makanan. Duduklah dan tunggu aku selesai." Stella dengan ekspresi kesal menatap Aksa dan menggerutu, "Bertanya tidak boleh. Bahkan melihat sendiri pun tidak boleh? Orang macam apa kamu ini, kenapa kamu pelit sekali?"Aksa menoleh ke arah Stella, dan menatapnya dalam diam.Kening Stella berkerut, menatapnya dengan bingung, "Kenapa menatapku?""Akhirnya kamu menyadari apa yang aku rasakan selama ini," kata Aksa tersenyum sinis.Stella menatapnya penuh emosi, menggertakkan giginya dengan geram, hampir merasa ingin meremas wajah Aksa. Namun, akhirnya Stella memutuskan untuk pergi dan duduk di meja makan sambil terus menggerutu, "Kenapa dia begitu menyebalkan? Hari-harinya selalu membuatku kesal."Beberapa saat kemudian, Stella kembali dengan membawa dua m
Pada pukul dua belas malam, Stella merasa sangat sulit untuk tidur. Kondisi ini sangat tidak biasa baginya karena biasanya ia selalu berada di kamar yang nyaman. Stella telah mencoba berbagai cara untuk memejamkan mata, namun rasa kantuknya tidak kunjung datang. Rasanya seperti malam yang panjang dan sunyi baginya, di mana pikirannya terus berputar tanpa henti."Astaga, mengapa aku begitu sulit tidur? Rumah yang sempit tanpa pendingin ruangan membuatku merasa tidak nyaman," gumam Stella pada dirinya sendiri. Dia duduk dan menatap ke lantai, di mana Aksa terlihat tertidur pulas tanpa kesulitan apapun."Dia sangat mudah tertidur. Mungkin sudah terbiasa dengan kehidupan sederhana, sehingga tidak terganggu," pikir Stella dengan sedikit nada sinis.Stella kembali berbaring dan memejamkan matanya, tapi dia tetap tidak bisa tidur. Berbagai posisi sudah ia coba, namun rasa kantuk yang tak kunjung datang justru membuatnya merasa tersiksa. Tak lama kemudian Aksa terbangun dan melihat
Aksa berjalan ke arah keduanya dengan pelan, mendengarkan perdebatan mereka baik-baik. Stella mengepalkan tangannya erat-erat, menahan amarah yang membara di dalam dirinya."Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Bisnis ini adalah warisan Kakek yang dikelola dengan baik oleh ayahku setelah kamu menghancurkannya. Kamu tidak punya hak untuk mengendalikannya lagi!" seru Stella dengan suara gemetar karena emosi.Jiwan tertawa kecil, mendengar ucapan Stella. Seakan-akan, dia hanya bermain dengan keponakan bayinya."Oh, Stella. Kamu masih terlalu naif. Dunia bisnis itu kejam, dan hanya yang kuat yang akan bertahan. Jika kamu tidak bisa mempertahankan bisnis ini, maka aku yang akan melakukannya."Aksa yang sejak tadi mendengarkan percakapan itu, mulai berpikir lebih dalam. Ternyata, keluarga Yuan yang ia kenal, tidak sedamai yang ia kira. Ada banyak hal yang tersembunyi di balik permukaan yang selama ini ia abaikan."Paman Jiwan," Aksa akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun tegas, "a