Rika memperhatikan Tiffany dengan saksama. Lalu setelah beberapa saat, dia berpaling dan terbatuk pelan, "Kurusan, kurusan!"Tiffany merengut dengan wajah sedih, "Sikapmu ini pasti karena kamu pikir aku gemukan!"Sebelumnya, saat di Desa Maheswari, pamannya juga mengatakan dia gemukan. Apa dia benar-benar gemukan?Tiffany cemberut lagi dan menarik napas panjang. "Aku memutuskan, mulai sekarang aku akan belajar sambil diet!""Baik, baik, baik!" Rika tersenyum lebar sambil menarik Tiffany masuk ke dalam vila. "Aku sudah masakkin paha ayam kesukaanmu. Kita makan dulu jamuan penyambutan yang kusiapkan, baru diet!"Tiffany terdiam.....Di kantor polisi Kota Aven.Kepala kepolisian memandang Sean dengan wajah putus asa. "Pak Sean, kenapa Anda bisa sepeka itu? Orang yang baru saja kami tangkap bahkan belum sempat diinterogasi, Anda sudah datang untuk menjenguknya. Ini melanggar prosedur, lho!"Sean mengangguk, lalu duduk dengan nyaman di kursi di depan kepala polisi. "Nggak masalah. Anda pun
Sean terdiam cukup lama. Akhirnya, dia tersenyum tipis dan berkata pelan, "Dia memang polos, tapi dia benar-benar peduli padamu. Kalau aku nggak mencegahnya, dia mungkin sudah tahu semuanya sekarang."Kendra tertegun sejenak, lalu menundukkan kepala dan berkata dengan suara serak, "Terima kasih.""Nggak perlu berterima kasih padaku." Sean menutup matanya sejenak. "Aku nggak pernah menyangka, kebakaran tiga belas tahun yang lalu itu, bukan hanya menghancurkan hidupku dan kakakku, tapi juga menyelamatkan nyawa seorang gadis.""Yang lebih mengejutkanku lagi, gadis itu ternyata adalah istriku, orang yang akan berbagi hidup denganku di masa depan."Sean menyilangkan tangan di depan dada. "Paman, aku datang ke sini hari ini bukan untuk menuntutmu. Kronologi dan detail dari kejadian itu sudah diselidiki oleh orang-orangku. Aku hanya nggak menyangka ... semua orang ternyata bisa menyembunyikan hal ini dariku selama ini."Sejak awal, dia sudah merasa bahwa Kendra adalah orang yang tidak sederha
"Nggak kusangka .... Kakek memang benar."Sean menyipitkan matanya, lalu mengulangi apa yang Kendra katakan sebelumnya dengan tegas, "Kamu sebenarnya cuma alat. Tiga belas tahun yang lalu, meskipun bukan kamu, pasti akan ada orang lain."Sean menutup matanya, kedua tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. "Sebenarnya nggak semua tanggung jawab bisa dibebankan padamu."Kendra tersenyum getir. "Tapi aku sudah melakukan kesalahan, dan kesalahan tetaplah kesalahan. Apa pun yang harus kutanggung, aku memang pantas menanggungnya."Dia meregangkan tubuhnya dan mencoba sedikit rileks. "Semuanya sudah kuatur untuk keluarga di rumah. Bibinya akan membawa seluruh keluarga pergi ke tempat di mana nggak ada yang mengenal mereka. Tanpa aku, nggak akan ada yang cari masalah sama mereka."Setelah itu, dia menutup matanya. "Sebenarnya, yang paling membuatku khawatir ... tetap saja gadis polos itu. Dia punya latar belakang yang rumit, ibunya seorang wanita yang sangat kuat, dan ayahnya ...."Setelah he
Sean menghabiskan seluruh sore di ruang tahanan berbicara dengan Kendra.Ketika dia kembali ke rumah, Tiffany sedang duduk di ruang belajar dan memeluk buku pelajarannya sambil tertidur. Saat melihat catatan kelas yang rapi di depannya, Sean tersenyum tipis. Tulisan tangan Tiffany sama seperti dirinya ... sangat tertataa, rapi, dan membuat orang menyukainya.Sean mengangkat Tiffany dengan lembut, mengganti pakaian sederhana untuknya, dan membaringkannya di tempat tidur."Teorema Bayes ...." Dalam tidurnya, Tiffany masih mengigau soal materi yang dia pelajari.Sean hanya bisa tersenyum dan merapikan selimutnya. Semakin lama Tiffany tidak mengetahui masalah Kendra, akan semakin baik. Lagi pula ... dia masih harus menghadapi ujian akhir semester."Nyonya menunggu Anda sepanjang malam, lho." Setelah memastikan Tiffany nyaman, Sean keluar dari kamar dan bertemu dengan Rika yang baru saja naik ke lantai atas.Di tangan Rika ada sepiring ikan asam pedas yang sudah dihangatkan. "Ini adalah mas
Sean yang sedang memegang sendok tiba-tiba terhenti. "Hampir saja aku lupa. Rika, kamu juga pernah melayani ibuku."Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengangkat pandangannya ke arah Rika. "Menurutmu, kalau ibuku masih hidup, bagaimana dia akan memperlakukan orang-orang yang membakar dan melukai aku dan kakakku?"Setelah berkata demikian, Sean merasa ucapannya sedikit ambigu sehingga dia menambahkan, "Yang kumaksud adalah orang yang membakar, bukan dalang di belakangnya.""Ibu Anda adalah orang yang sangat baik." Rika menghela napas panjang dan menutup matanya sebentar, lalu berkata, "Saat ibu dan ayah Anda baru menikah, pernah suatu kali mantan tunangan ayah Anda menyuruh seseorang untuk menabrak ibu Anda dengan mobil.""Walaupun ibu Anda nggak terluka, kalau pengemudi itu menekan gas lebih kuat sedikit saja hari itu, ibu Anda pasti nggak akan selamat."Otot di dahi Sean menegang. "Lalu apa yang terjadi?""Belakangan, keluarga pengemudi yang menabrak itu datang memohon ampun. Katanya
Keesokan paginya, Tiffany terbangun karena dering telepon dari dosen pembimbingnya. Dengan mata masih setengah terpejam, dia meraih telepon tanpa melihat nomornya dan menjawab, "Siapa ini?""Tiffany, sudah jam delapan, kamu masih tidur?" Di seberang sana, suara dosen pembimbingnya terdengar penuh keluhan. "Kamu masih ingat nggak, dulu kamu selalu bangun jam lima pagi untuk membaca?""Kamu masih ingat nggak, dulu kamu menjadikan belajar sebagai tugas utama dan bekerja keras setiap hari tanpa lelah?"Tiffany menguap sambil melirik waktu di layar ponselnya dan memang benar sudah lewat jam delapan.Sepertinya sejak menikah, dia jadi semakin malas. Dulu, dia benar-benar bisa bangun jam lima pagi setiap hari. Sekarang ... ya sudahlah ...."Teman belajarku sudah sampai." Dosen pembimbingnya terbatuk ringan di telepon. "Dia bilang dia sangat penasaran dengan murid berbakat sepertimu dan sangat 'bersemangat' untuk membimbingmu belajar!""Aku rasa gaya bicara Bapak agak aneh," ujar Tiffany denga
Tiffany benar-benar ingin menjawab, "Kalau dia bosan nunggu, biarkan saja dia pergi!"Namun, dia tidak berani.Bagaimanapun, yang meneleponnya adalah dosen pembimbingnya, setara dengan wali kelas semasa sekolah dulu. Tidak patuh pada dosen hanya akan membuat hidupnya semakin sulit."Pak, aku sudah sampai di perpustakaan. Aku akan segera ketemu teman Anda, jadi tolong jangan khawatir lagi," jawabnya sebelum buru-buru menutup telepon, dengan perasaan kesal yang masih mengganjal.Dia naik ke lantai dua dengan langkah cepat. Sesuai petunjuk yang diberikan dosen pembimbingnya, Tiffany berjalan ke area paling selatan lantai dua perpustakaan.Bagian selatan perpustakaan sangat sepi. Pagi itu, hanya ada seorang pria yang duduk membelakanginya di sebuah meja dan sedang asyik bermain game. Tiffany mengernyit. Jangan-jangan pria yang sedang "membantai musuh" di game itu adalah "teman belajar berbakat" yang disebut dosen pembimbingnya?Namun, punggung pria itu tampak familier. Seolah menyadari sua
Tiffany membawa Xavier ke sebuah kedai mi di dekat kampus.Sebagai seorang pria kaya yang belum pernah mengunjungi Kota Aven, Xavier terlihat sangat penasaran dengan segalanya di sana. Dia memegang menu dan terus-menerus bertanya kepada pemilik kedai."Mi dengan saus daging atau mi dengan kuah, mana yang lebih enak?""Apa bedanya mi dengan saus daging dan mi dengan kuah?""Apa perbedaan mi tarik dan mi goreng?""Kalian ada mi instan nggak di sini?"Melihat tatapan putus asa dari pemilik kedai, Tiffany ingin sekali mencari lubang untuk bersembunyi. Namun, Xavier tetap melanjutkan sesi tanya-jawabnya tanpa merasa bersalah.Dengan pasrah, Tiffany duduk di kursi dan mengirim pesan kepada Sean.[ Jangan lupa makan siang! ]Tak lama kemudian, balasan dari Sean masuk.[ Aku tahu. Kamu juga harus makan teratur. ][ Tiffany: Ya, aku tahu. Jangan terlalu sibuk! ][ Sean: Kamu juga. ]Melihat balasan pesan dari Sean, Tiffany tiba-tiba merasa tenang. Kekesalan yang tadinya hampir meledak karena Xa
Sean menggenggam setir mobilnya, tangannya sedikit membeku.Dia menatap kaca spion tengah dengan ekspresi geli, melihat wanita yang tampak terkejut sekaligus tersentuh itu. "Aku cuma nyatakan perasaan ke kamu, perlu mikir sejauh itu?"Wajah Tiffany memerah. Dia mengintip ke arah Sean dengan hati-hati melalui kaca spion. "Aku cuma merasa aneh saja ...."Suara wanita itu lembut dan agak manja. "Ngapain kamu tiba-tiba ngomong kayak gitu? Nggak ada angin, nggak ada hujan."Genggaman Sean di setir semakin kencang. Dia mengatakan itu bukan tanpa alasan! Semuanya ada alasannya!Sean menatap wanita yang duduk di kursi belakang, hatinya penuh dengan emosi. Selama 5 tahun, dia terus mencari Tiffany.Bahkan saat Sean belum menemukannya, Tiffany tetap nekat menyelamatkannya dalam kebakaran besar yang terjadi 3 tahun lalu.Setelah menyelamatkannya, Tiffany malah tidak mengatakan sepatah kata pun. Kalau dibandingkan dengan Vivi yang selama 3 tahun ini terus mengklaim dirinya sebagai penyelamat dan m
Awalnya, Sean masih begitu yakin orang yang menyelamatkannya di tengah kebakaran saat itu adalah Tiffany. Namun, Mark dan Charles terus menjelaskan padanya bahwa orang yang berada di ambang kematian pasti akan berhalusinasi. Lama-kelamaan, dia juga merasa semua itu hanya halusinasi. Setelah kemunculan Vivi, dia benar-benar percaya Tiffany tidak pernah menyelamatkannya.Namun kini, perasaan Sean benar-benar bergejolak saat teringat kembali dengan perkataan Zion dan melihat buku kenangan di tangannya. Yang berarti orang yang menyelamatkannya saat kebakaran tiga tahun yang lalu adalah Tiffany.Satu menit kemudian.Rika yang baru saja turun tangga dan hendak mulai membersihkan rumah pun mengambil pel lantai. Saat Sean tiba-tiba turun dari lantai atas sambil memegang buku kenangan dan melangkah menuju pintu keluar, dia kebingungan. Tadi Sean berkata ingin mengantar jaket untuk anak-anak, sekarang malah hanya membawa sebuah buku.Saat tangannya hampir menyentuh gagang pintu, Jason berhenti s
Sean mengantar kedua anaknya ke TK."Kamu ayahnya Arlo dan Arlene?" tanya bibi di TK itu dengan ramah.Sean menggandeng tangan kedua anaknya, lalu menganggukkan kepalanya dan menjawab dengan tenang, "Ya.""Serahkan saja anak-anak padaku."Bibi itu menarik tangan Arlo dan Arlene sambil tersenyum, lalu mengingatkan Sean, "Belakangan ini cuacanya mulai dingin dan ramalan cuaca juga bilang hari ini akan turun hujan. Sepertinya pakaian Arlo dan Arlene terlalu tipis. Bisakah kamu pulang dan mengambil jaket untuk mereka? Sistem imun anak kecil masih lemah. Kalau nggak menjaga mereka tetap hangat, mereka akan mudah masuk angin."Setelah ragu sejenak, Sean menganggukkan kepala. "Baik."Sean langsung mencari jaket di dalam lemari setelah kembali ke rumah, tetapi tidak menemukan yang cocok. Saat hendak menelepon Tiffany, pandangannya tiba-tiba tertuju pada koper yang terletak di bawah tempat tidur Arlo.Dia pun menepuk keningnya. Saat Tiffany ikut dengannya ke Kota Aven, Tiffany pasti sudah menyi
Vivi berkata dengan tatapan penuh dengan tekad dan nafsu, "Bagaimana kalau kita berdamai saja? Aku janji mulai sekarang aku nggak akan berpikiran yang macam-macam terhadap Sean, asalkan kamu nggak memberitahunya kebenarannya dan mengusirku."Setelah mengatakan itu, Vivi mengangkat empat jarinya dan melanjutkan, "Tenang saja, aku bersumpah kelak aku benar-benar nggak akan mengganggu Sean lagi. Aku sebenarnya nggak begitu mencintainya juga, aku hanya tertarik pada status dan kedudukannya saja. Masih ada banyak pria baik di dunia ini, aku bukannya nggak bisa hidup tanpa dia. Jadi ...."Tiffany menguap, lalu menatap Vivi dengan tatapan meremehkan. "Vivi, kamu nggak merasa sekarang kamu ini benar-benar lucu? Aku dan Sean adalah pasangan yang akan bersama-sama seumur hidup, jadi aku pasti akan memberitahunya hal ini. Aku sudah membuat masalah yang begitu besar karena sebelumnya aku menyembunyikan hal ini, jadi aku nggak akan menyembunyikan apa pun lagi dari dia.""Soal kamu .... Aku nggak pu
Melihat Vivi yang begitu ahli melempar semua tanggung jawab pada Lena, Tiffany tertawa. Dia menatap Vivi dengan ekspresi cuek dan berkata, "Bagaimanapun juga, Lena sudah menjadi adikmu selama puluhan tahun ini, tapi kamu malah memanfaatkannya seperti ini. Apa kamu nggak merasa bersalah sedikit pun?"Vivi mendengus. "Kenapa aku harus merasa bersalah? Sejak kecil, dia selalu merebut barangku di rumah. Orang tuaku juga bilang nilainya lebih bagus, jadi mereka nggak mengizinkanku untuk terus bersekolah lagi. Malah dia yang boleh bersekolah. Kalau bukan karena orang tua kami meninggal dalam kecelakaan saat dia SMP, aku pasti harus bekerja untuk membiayai sekolahnya ke SMA.""Apa haknya? Aku ini anak kandung orang tuaku, semua ini seharusnya milikku."Seolah-olah teringat dengan berbagai kejadian masa lalu, tatapan Vivi menjadi ganas dan nada bicaranya terdengar liar. "Lena itu bukan adikku dan aku juga nggak pernah menganggapnya sebagai adikku. Kalau bukan karena dia masih berguna, aku suda
Saat ini, Vivi sedang bersandar di tempat tidur sambil menonton drama dan matanya sudah berkaca-kaca karena terbawa suasana. Dia mengira itu adalah perawat yang mengantar sarapannya saat mendengar ada yang mengetuk pintu, sehingga dia merespons dengan santai. "Masuk saja."Setelah mengatakan itu, Vivi bahkan sempat mengomel, "Bukankah aku sudah bilang jangan begitu pagi antar sarapannya? Kalau terlalu pagi sarapan, nanti aku sudah lapar lagi sebelum waktunya makan siang."Tiffany yang mendengar perkataan Vivi begitu masuk ke dalam kamar pun tersenyum dan berkata dengan tenang, "Sepertinya aku memang nggak sopan ya. Apa aku seharusnya datang menjenguk sambil membawa sarapan?"Vivi terkejut sejenak saat mendengar suara wanita dengan nada dingin dan menyindir, lalu mengangkat kepalanya dan melihat Tiffany yang sudah berpakaian rapi sedang berdiri di depan pintu. Dia mengernyitkan alis, lalu mengambil remot dan mematikan dramanya. "Nona Tiffany, kenapa kamu bisa datang ke sini?"Tiffany me
Saat Tiffany tersadar kembali, itu sudah keesokan paginya dan Julie menjaganya di samping dengan mata yang masih merah.Melihat Tiffany yang sudah bangun, Julie segera membantu Tiffany untuk duduk. "Bagaimana? Apa ada yang sakit?"Tiffany memijat pelipisnya yang sakit. "Kenapa aku di sini?"Julie menuangkan segelas air dan menyerahkannya pada Tiffany, lalu menghela napas. "Kamu sudah sibuk menyelesaikan tugas akhir selama beberapa hari ini, jadi nggak istirahat dengan baik. Kejadian di pintu lembaga riset kemarin membuatmu terlalu kaget dan kamu juga terlalu sedih saat dengar kondisi Xavier, jadi kamu pingsan. Tapi, sekarang kamu sudah baik-baik saja.""Hanya saja, tunangan dari Xavier sudah semalaman nggak tidur. Dia terus duduk di samping tempat tidur dan memegang tangan Xavier. Dia bilang dia yakin satu jam lagi Xavier pasti akan bangun. Tapi, waktu terus berlalu, Xavier masih tetap begitu. Dia masih terus yakin Xavier pasti akan sadar, jadi dia mau tunggu sampai Xavier bangun."Set
Lena merangkak mendekat dan menggenggam ujung celana Tiffany, lalu berkata, "Aku bersedia mengakui kesalahanku dan dihukum sesuai hukum, tapi tolong jangan sakiti kakakku. Jangan melibatkan dia dalam masalah ini. Aku mohon padamu."Tiffany mendengus, lalu langsung mengangkat kakinya dan menyingkirkan tangan Lena. "Karena kamu memohonku, jadi aku harus menurut padamu? Kalau tahu hari ini akan begini, kenapa kamu harus melakukannya? Kamu pikir kamu bisa lolos dari hukum setelah melakukan semua ini?"Wajah Lena langsung menjadi pucat. Sebenarnya, dia sudah memperkirakan semua yang terjadi sekarang, tetapi kakaknya terus murung selama beberapa hari ini. Kakaknya bilang Tiffany sudah kembali, berarti dia harus meninggalkan Sean dan Kota Aven.Selama tiga tahun ini, Lena melihat dengan jelas betapa baiknya kehidupan kakaknya di sisi Sean. Jika meninggalkan Sean, kakaknya akan kehilangan pengobatan yang terbaik dan standar hidup kakaknya juga akan memburuk. Dia mengakui dirinya bukan orang ya
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi