"Coba tebak apa kata gadis itu?""Gadis ini bilang, tanpa aturan, nggak akan ada keteraturan. Kalau nggak punya undangan, maka dia nggak akan masuk. Dia nggak mau melanggar aturan Keluarga Japardi.""Melihat gadis ini begitu keras kepala dan berpegang teguh pada prinsipnya, jadi aku langsung mengambil undangan kosong, menuliskan undangan itu dengan tanganku sendiri, dan memintanya untuk datang malam ini."Saat Derek berkata demikian, Bronson mengerutkan alisnya dan melirik Tiffany sekilas. Ada sedikit rasa kagum yang terlihat di matanya."Sayangnya, undangan yang kutulis sendiri malah dianggap palsu sama putrimu dan Jayla. Mereka bahkan ingin mengusir Tiffany keluar."Derek menggelengkan kepalanya dengan lelah. "Menurutmu, kalau orang yang kuundang secara pribadi diusir hari ini, mau taruh di mana mukaku ini?"Setelah Derek berkata sejauh ini, semua orang yang hadir mulai mengerti situasinya. Jika masih tidak bisa memahaminya, berarti mereka benar-benar bodoh.Bronson mengerutkan alisn
"Kakek ... lagi bercanda, 'kan?"Dengan wajah yang masih terlihat jelas bekas tamparan besar, Cathy merangkak mendekati Derek sambil menangis. Dia memegang ujung jubah Derek dengan penuh putus asa. "Kakek pasti lagi bercanda, 'kan?""Bagaimana mungkin ... bagaimana mungkin aku bukan bagian dari Keluarga Japardi? Sejak kecil, aku adalah bagian dari keluarga ini ...."Derek hanya mendengus dingin, lalu perlahan memegang tangan Cathy yang mencengkeram pakaiannya. Dengan tenang, dia membuka jemari Cathy satu per satu dari jubahnya."Kamu bukan," ujarnya dengan nada tajam.Cathy langsung panik sepenuhnya. Dia berbalik menatap Bronson, matanya penuh harap. "Ayah, aku ...."Wajah Bronson menunjukkan ketidaktegasan, tetapi akhirnya dia menghela napas panjang. "Apa yang dikatakan kakekmu ... itu benar."Seluruh ruangan seketika terkesiap. Derek menatap Bronson sejenak, kemudian berkata, "Sudah waktunya untuk mengumumkannya."Bronson mengangguk perlahan. Dia menarik napas panjang, lalu berjalan
Di atas panggung, Bronson tidak tega melihat reaksi Cathy. Sebagai seorang manusia, tentu hatinya tidak terbuat dari batu. Bagaimanapun juga, Cathy adalah anak yang telah dia rawat selama 19 tahun seperti putrinya sendiri.Melihatnya seperti ini, hati Bronson terasa perih.Namun ... fakta memang sering kali menyakitkan.Dia menarik napas panjang dan melanjutkan, "Awalnya, aku sangat sulit menerima hasil ini. Karena itu, aku melakukan tes berulang kali di lebih dari 10 pusat tes DNA yang berbeda. Namun, hasilnya tetap sama. Cathy dan aku, sama sekali nggak punya hubungan darah.""Setelah satu bulan penyelidikan, aku menemukan bahwa ketika Nancy meninggalkanku 19 tahun yang lalu, dia memang meninggalkan seorang anak, tetapi dia juga diam-diam membawa pergi seorang anak lain.""Keluarga Japardi menduga bahwa Nancy menukar anak kandungku dengan seorang anak yang dia adopsi dari panti asuhan."Suara bisikan dan diskusi dari bawah panggung kembali memenuhi ruangan. Semua tamu merasa seperti
Malam musim panas terasa begitu meriah dan penuh semangat. Pesta ulang tahun itu seketika berubah menjadi konferensi pers untuk pencarian anak Keluarga Japardi. Para tamu mulai mengajukan berbagai pertanyaan satu per satu dan Bronson menjawabnya dengan serius.Dari cerita bagaimana dia dan Nancy jatuh cinta, pertengkaran mereka, hingga semua yang telah dia lakukan setelah Nancy pergi.Pertanyaan-pertanyaan itu seperti tidak ada habisnya. Para tamu masih bersemangat, tetapi Tiffany sudah merasa bosan dan lelah mendengarkan. Dia bersandar di pelukan Sean, terus menerus menguap."Ngantuk?" tanya pria itu dengan lembut."Sedikit," jawab Tiffany sambil tersenyum malu-malu. Dia berbalik hendak mengambil secangkir kopi dari meja untuk menyegarkan dirinya, tetapi Sean segera menghentikannya."Terlalu banyak minum kopi nggak baik. Kalau ngantuk, kita pulang saja untuk istirahat, ya?""Tapi ... bukannya itu nggak sopan?" Tiffany menggigit bibirnya, melirik Bronson yang masih di atas panggung den
Cathy langsung menangis, matanya memerah. "Tapi ... tapi Kakek bilang ...."Bronson menghela napas berat. "Meskipun kamu bukan bagian dari Keluarga Japardi, aku sudah merawatmu selama bertahun-tahun. Aku nggak akan membuangmu begitu saja.""Tapi kalau kamu kembali memanfaatkan statusmu untuk menindas orang lain, mungkin Keluarga Japardi benar-benar nggak akan mengakui keberadaanmu lagi."Cathy mengusap air matanya dan berkata pelan, "Aku mengerti ...."Setelah itu, dia melirik Tiffany yang berdiri di sampingnya. Kebencian yang awalnya tampak jelas di matanya kini perlahan memudar. Meskipun Derek tidak sepenuhnya setuju dengan keputusan Bronson, dia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.Ketika tiba waktunya meniup lilin, dia menarik Tiffany ke sisinya dan memperingatkan Cathy dengan suara rendah, "Kalau kamu berani menyusahkan Tiffany lagi, lihat saja gimana aku akan menghabisimu!"Tangan Cathy mengepal erat di sisi tubuhnya, tetapi dia tetap menjawab dengan nada hormat, "Aku paham, K
Karena perlawanan keras dari Tiffany, malam itu Sean bukan hanya kehilangan kesempatan untuk "berolahraga", tetapi juga diusir keluar dari kamar oleh istrinya. Dia duduk di sofa ruang tamu, saling memandang dengan Sofyan.Sofyan memecah keheningan. "Tuan, sudah larut malam. Anda seharusnya kembali ke kamar untuk tidur."Sean menatapnya datar. "Lalu kenapa kamu nggak kembali ke kamar untuk tidur?"Sofyan menghela napas. "Aku dikunci di luar sama Chaplin. Malam ini aku mau tidur di sofa."Sean mendengus ringan. "Aku dikunci di luar sama Tiffany. Malam ini aku juga mau tidur di sofa."Sofyan terdiam. Bahkan sofa pun jadi rebutan, ya?Setelah beberapa saat saling menatap dalam diam, Sean menghela napas panjang. "Tidur saja di sofa. Aku mau jalan-jalan."Sofyan melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sepuluh malam. "Tuan, Anda mau pergi ke mana malam-malam begini?"Sean menjawab santai, "Ke rumah Keluarga Japardi. Aku mau lihat apakah ada cara untuk dapat kunci cadangan, atau kalau perlu pin
Sean mengangguk dengan serius dan tersenyum tulus pada Derek. "Aku janji, aku pasti akan memperlakukannya dengan baik.""Lalu, jangan beri tahu dia tentang semua ini," lanjut Derek sambil menghela napas panjang dan menutup matanya sejenak. "Sebenarnya, aku selalu tahu keberadaan Nancy, tapi aku nggak punya cara untuk ngasih tahu Bronson ....""Jadi, jangan beri tahu Tiffany.""Dia sekarang hidup dengan bebas dan tanpa beban, bukankah itu baik? Kalau dia tahu tentang latar belakangnya, tahu siapa ayah dan ibunya sebenarnya ...."Derek menggelengkan kepala dengan berat hati. "Lalu, soal bagaimana menghancurkan cip itu," lanjutnya sambil mengeluarkan sebotol cairan. "Obat ini harus diminumkan padanya selama tiga hari, setiap pagi sebanyak sepertiga botol.""Dalam tiga hari, efek obat ini akan menyebar ke sistem sarafnya, menghancurkan cip itu, sehingga nggak ada seorang pun yang bisa mengendalikannya. Cip yang rusak nggak akan memberikan dampak besar padanya."Sean mengangguk dan menerima
Cahaya bulan menyelimuti Desa Maheswari dengan tenang. Kendra bersandar di dinding halaman dengan mengenakan mantel sambil mengisap rokok dengan santai.Setelah menidurkan kedua anak mereka, Indira pergi ke kamar ibu Kendra untuk menyalakan obat nyamuk. Akhirnya, dia menutup pintu dengan perlahan, lalu berjalan ke halaman dan berdiri di samping Kendra."Belum bisa tidur?" tanyanya.Pria paruh baya itu menghela napas panjang, lalu merangkul Indira ke dalam pelukannya. "Akhir-akhir ini aku merasa gelisah.""Seminggu yang lalu, Tiffany bilang bahwa Sean membawanya ke Elupa untuk liburan. Aku nggak tahu kapan dia akan kembali." Dia menutup matanya sejenak. "Matanya ... sangat mirip dengan ibunya ....""Aku khawatir ...."Indira menghela napas kecil, lalu menggenggam erat tangannya. "Sudah bertahun-tahun berlalu dan semuanya baik-baik saja, bukan?""Kamu sendiri bilang, ibu kandung Tiffany ... sudah bersama pria lain .... Mungkin dia bahkan sudah punya anak lain sekarang. Siapa tahu dia sud
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli