Cahaya bulan menyelimuti Desa Maheswari dengan tenang. Kendra bersandar di dinding halaman dengan mengenakan mantel sambil mengisap rokok dengan santai.Setelah menidurkan kedua anak mereka, Indira pergi ke kamar ibu Kendra untuk menyalakan obat nyamuk. Akhirnya, dia menutup pintu dengan perlahan, lalu berjalan ke halaman dan berdiri di samping Kendra."Belum bisa tidur?" tanyanya.Pria paruh baya itu menghela napas panjang, lalu merangkul Indira ke dalam pelukannya. "Akhir-akhir ini aku merasa gelisah.""Seminggu yang lalu, Tiffany bilang bahwa Sean membawanya ke Elupa untuk liburan. Aku nggak tahu kapan dia akan kembali." Dia menutup matanya sejenak. "Matanya ... sangat mirip dengan ibunya ....""Aku khawatir ...."Indira menghela napas kecil, lalu menggenggam erat tangannya. "Sudah bertahun-tahun berlalu dan semuanya baik-baik saja, bukan?""Kamu sendiri bilang, ibu kandung Tiffany ... sudah bersama pria lain .... Mungkin dia bahkan sudah punya anak lain sekarang. Siapa tahu dia sud
Tiffany menghapus air matanya, mengambil ponsel, dan hampir saja menelepon Kendra. Namun, ketika dering pertama terdengar, dia buru-buru memutuskan panggilan itu."Nggak, nggak bisa," katanya sambil menghela napas dan mengusap hidungnya yang merah. "Kalau Paman dengar aku menangis, dia pasti akan ngira kamu marahin aku lagi! Jadi, aku nggak boleh telepon sekarang!"Tiffany melemparkan ponselnya ke samping dan kembali bersembunyi di pelukan Sean, tubuhnya masih gemetaran. Namun, ponselnya mulai bergetar di atas tempat tidur. Kendra menelepon balik.Dering ponsel memenuhi kamar, membuat Tiffany yang bersandar di pelukan Sean merasa semakin cemas. Dia memandangnya dengan mata memelas. "Aku nggak berani jawab ...."Sean hanya bisa menggelengkan kepala dengan pasrah. Dengan gerakan santai, dia mengangkat ponsel itu dan menjawab panggilan tersebut."Paman.""Sean?" Suara Kendra terdengar dari ujung telepon, disertai dengan tawa kecil. "Kenapa Tiffany nelepon aku di waktu begini?""Dia mimpi
Ternyata, tangan Sean memang cukup cekatan.Meskipun Tiffany merasa agak sakit saat Sean menggosok tubuhnya. Namun setelah selesai mandi, tubuhnya terasa segar dan nyaman.Namun, tidak lama setelah itu, Tiffany mulai merengek dan memaksa Sean untuk menemaninya keluar berbelanja."Aku sudah janji sama Paman mau belikan oleh-oleh untuk Bibi dan yang lain," katanya sambil tengkurap di sofa. Kedua tangannya menggenggam lengan Sean yang sedang mengetik di laptop dan menggoyangkannya dengan manja."Sayang, kamu nggak tega lihat istrimu disebut suka ingkar janji, 'kan?"Sean tersenyum tipis, lalu melepaskan tangannya dari genggaman Tiffany dan mengusap kepalanya. "Jangan coba-coba memanipulasiku. Aku dengar jelas tadi, itu kamu sendiri yang menawarkan oleh-oleh."Tiffany terdiam. "Meskipun aku yang menawarkan, aku sudah telanjur janji. Masa mau ditarik lagi?"Dengan nada memelas, Tiffany kembali menggenggam lengan Sean, menggoyangkannya lagi. "Sayang ....""Sayang ... sayang ... sayang ...."
"Nggak sibuk," ujar Sean sambil tersenyum ringan. "Dibandingkan denganmu, semua hal itu nggak penting."Wajah Tiffany langsung memerah dan akhirnya menurut untuk naik ke mobil bersamanya.Saat mobil mulai melaju, Tiffany duduk di kursi belakang sambil sibuk membolak-balik panduan wisata lokal di ponselnya untuk mencari oleh-oleh khas yang bisa dia bawa pulang untuk keluarganya.Sementara itu di sampingnya, Sean melihat ponselnya dengan ekspresi tak tahu harus tertawa atau menangis. Ternyata, karyawan yang tadi terputus percakapan di laptop sudah mengiriminya belasan pesan.[ Bos, apa yang saya lakukan nggak cukup baik sampai Anda bahkan nggak ingin mengkritik saya lagi? ][ Bos, kalau saya membuat kesalahan, tolong katakan! Saya pasti akan memperbaikinya! ][ Anda lama sekali nggak membalas. Bos nggak lagi memikirkan cara untuk memecat saya, 'kan?" ][ Bos .... ]Sean hanya bisa menggelengkan kepala dengan pasrah dan mengetik balasan.[ Jangan mikir yang aneh-aneh. Aku nggak ada masala
Tiffany sebenarnya punya tujuan lain saat meninggalkan Sean di area istirahat pria. Dia ingin membeli hadiah untuk Sean.Setelah bersama sekian lama, semua yang dia makan, pakai, dan habiskan selalu berasal dari Sean. Tiffany sendiri merasa belum melakukan sesuatu yang berarti untuk Sean.Beberapa hari yang lalu, bantuan beasiswanya sudah cair. Itu adalah beasiswa terakhir yang dia terima. Sebab, setelah menikah dengan Sean, dia sudah tidak lagi memenuhi kriteria sebagai mahasiswa yang kurang mampu.Meskipun begitu, beasiswa ini adalah hasil pengajuan dari semester lalu, sehingga tetap diberikan kepadanya sesuai prosedur.Saat berjalan-jalan di mal, Tiffany berpikir keras. Dengan uang 16 juta, hadiah apa yang bisa kuberikan untuknya?Sean tidak kekurangan apa pun. Semua yang dia miliki, mulai dari pakaian hingga aksesori, harganya selalu bernilai puluhan juta. Dia melihat-lihat sambil terus berpikir, mungkin sebuah pena, manset, atau dasi?Namun, pikirannya berhenti saat dia melihat se
Staf toko bertanya, "Apa kamu nggak mau lihat harganya dulu?"Tiffany kelelahan karena berlari. Dia tidak menyadari maksud dari ucapan staf toko. Tiffany melambaikan tangannya dan berujar dengan napas tersengal-sengal, "Nggak ... aku mau beli tas ini!"Begitu Tiffany melontarkan ucapannya, wajah Cathy memucat. Tadi dia tidak jadi membeli tas itu karena harganya terlalu mahal.Jayla juga mengernyit. Dia langsung menghentikan staf toko yang hendak mengurus pembayaran, "Cathy mau beli tas ini."Staf toko mengangguk dan menimpali, "Oke. Aku bungkus tas ini untuk Bu Cathy."Tiffany berujar seraya mengernyit, "Tapi, aku yang bilang mau beli tas ini terlebih dulu."Jelas-jelas tadi Tiffany mendengar Cathy tidak jadi membeli tas itu, jadi Tiffany baru mengatakan pada staf toko dia ingin membelinya.Cathy dan Tiffany memang berselisih, tetapi Tiffany tidak suka mencari masalah. Biarpun orang asing mengatakan ingin membeli tas itu, Tiffany juga tidak akan merebutnya. Paling-paling dia hanya meng
Staf toko terdiam. Bos mereka berstatus tinggi, kenapa gadis yang terlihat seperti mahasiswa ini berbicara seolah-olah suaminya adalah bos dari mal ini?Staf toko memang tidak memercayai ucapan Tiffany, tetapi dia segera meletakkan tas dan pergi mengecek nama bos mereka agar Tiffany tidak berebutan dengan Cathy lagi.Satu menit kemudian, staf toko tersenyum kepada Tiffany. Dia mengambil tas dan berucap, "Nyonya Tanuwijaya, aku urus pembayarannya untukmu sekarang. Kamu mau bayar pakai kartu atau uang tunai?""Pakai kartu," sahut Tiffany.Respons staf toko benar-benar di luar dugaan Jayla. Dia melihat perubahan sikap staf toko kepada Tiffany dengan ekspresi kaget dan marah-marah, "Kenapa kamu bersikap seperti ini? Bagaimanapun, selama ini Cathy menghabiskan uang ratusan juta di sini setiap bulan. Apa seperti ini pelayanan kalian terhadap pelanggan lama?"Staf toko menimpali tanpa berbalik, "Bu, nggak masalah kalau kami kehilangan pelanggan penting seperti Bu Cathy. Tapi, kami nggak boleh
Cathy juga terdiam.....Setelah mengusir 2 wanita yang menyebalkan itu, Tiffany mengambil tas itu dengan perasaan gembira dan lanjut jalan-jalan di mal. Akhirnya, Tiffany memutuskan untuk memberikan pena kepada Sean.Pena yang biasanya dipakai Sean di ruang kerjanya sudah terlihat lama. Tiffany menebak pena itu pasti mempunyai kegunaan istimewa untuk Sean.Jadi, Tiffany berencana memberikan pena baru kepada Sean agar Sean bisa menyimpan pena di ruang kerjanya sebagai kenang-kenangan.Sesudah Tiffany selesai jalan-jalan, Sean sudah selesai bertengkar dengan Mark. Sean menyuruh Sofyan mengantar barang-barang ke kediaman Keluarga Japardi, lalu membawa Tiffany makan di restoran yang unik.Sean tersenyum saat melihat Tiffany yang duduk di seberangnya memotong steik dengan susah payah. Dia berkata, "Kamu makan ini saja."Sean memberikan steiknya yang sudah dipotong kepada Tiffany, lalu memindahkan piring Tiffany ke tempatnya. Tiffany tersenyum canggung dan berkomentar, "Aku memang agak bodo
Sean terdiam cukup lama. Akhirnya, dia tersenyum tipis dan berkata pelan, "Dia memang polos, tapi dia benar-benar peduli padamu. Kalau aku nggak mencegahnya, dia mungkin sudah tahu semuanya sekarang."Kendra tertegun sejenak, lalu menundukkan kepala dan berkata dengan suara serak, "Terima kasih.""Nggak perlu berterima kasih padaku." Sean menutup matanya sejenak. "Aku nggak pernah menyangka, kebakaran tiga belas tahun yang lalu itu, bukan hanya menghancurkan hidupku dan kakakku, tapi juga menyelamatkan nyawa seorang gadis.""Yang lebih mengejutkanku lagi, gadis itu ternyata adalah istriku, orang yang akan berbagi hidup denganku di masa depan."Sean menyilangkan tangan di depan dada. "Paman, aku datang ke sini hari ini bukan untuk menuntutmu. Kronologi dan detail dari kejadian itu sudah diselidiki oleh orang-orangku. Aku hanya nggak menyangka ... semua orang ternyata bisa menyembunyikan hal ini dariku selama ini."Sejak awal, dia sudah merasa bahwa Kendra adalah orang yang tidak sederha
Rika memperhatikan Tiffany dengan saksama. Lalu setelah beberapa saat, dia berpaling dan terbatuk pelan, "Kurusan, kurusan!"Tiffany merengut dengan wajah sedih, "Sikapmu ini pasti karena kamu pikir aku gemukan!"Sebelumnya, saat di Desa Maheswari, pamannya juga mengatakan dia gemukan. Apa dia benar-benar gemukan?Tiffany cemberut lagi dan menarik napas panjang. "Aku memutuskan, mulai sekarang aku akan belajar sambil diet!""Baik, baik, baik!" Rika tersenyum lebar sambil menarik Tiffany masuk ke dalam vila. "Aku sudah masakkin paha ayam kesukaanmu. Kita makan dulu jamuan penyambutan yang kusiapkan, baru diet!"Tiffany terdiam.....Di kantor polisi Kota Aven.Kepala kepolisian memandang Sean dengan wajah putus asa. "Pak Sean, kenapa Anda bisa sepeka itu? Orang yang baru saja kami tangkap bahkan belum sempat diinterogasi, Anda sudah datang untuk menjenguknya. Ini melanggar prosedur, lho!"Sean mengangguk, lalu duduk dengan nyaman di kursi di depan kepala polisi. "Nggak masalah. Anda pun
Sean menggenggam erat setir mobil. "Waktu kamu sakit itu ... musim panas?""Iya."Tiffany mengangguk patuh. "Ngomong-ngomong soal itu, lain kali kalau aku pulang, aku seharusnya mengingatkan Paman.""Meskipun kerabat jauh itu sudah bertahun-tahun nggak muncul, tetap saja kita harus bayar utangnya. Ini soal kepercayaan."Sean mengangguk sambil tersenyum. "Baik, lain kali kalau pulang, aku yang bayar, kamu tanyakan sama Paman. Lagi pula, aku berterima kasih sama orang yang menyelamatkan nyawa istriku."Tiffany menggigit bibir dan mengangguk dengan sungguh-sungguh. Dia masih ingin mengatakan sesuatu, tetapi ponselnya tiba-tiba berbunyi. Ternyata itu pesan dari dosen pembimbing di kampus. Pesannya dikirim ke grup, isinya mengingatkan semua orang untuk belajar dengan giat karena ujian akhir semester akan segera tiba.Selain itu, dosen tersebut mengirim pesan pribadi untuk Tiffany secara khusus dan menyuruhnya belajar dengan baik. Katanya, pelajaran yang tertinggal selama semester ini cukup
Tiffany menggigit bibirnya. Dia akhirnya tak mampu menahan diri, lalu bertanya kepada Sean, "Sayang, gimana kalau kita kembali saja? Aku merasa kedua pria di rumah Paman bukan orang baik-baik."Tiffany menambahkan, "Paman bilang mereka anak dari teman seperjuangannya. Tapi, selama ini Paman nggak pernah berhubungan sama teman lamanya. Dia sudah pensiun lebih dari 20 tahun, kenapa tiba-tiba hari ini anak dari temannya datang, bahkan bersikeras nggak mau pergi?"Makin memikirkannya, Tiffany makin merasa ada yang tidak beres. Dia berujar, "Nggak bisa, kita harus kembali untuk periksa. Gimana kalau mereka sebenarnya ...."Tiffany menggaruk-garuk kepalanya. Dia berpikir keras sebelum melanjutkan, "Paman biasanya jujur dan sederhana. Dia nggak pernah bermusuhan dengan siapa pun ...."Setelah berpikir cukup lama, Tiffany tiba-tiba mendongak sambil bertanya, "Sayang, mungkinkah ini ada hubungannya sama suami Wenda? Gimana kalau dia sudah keluar dari penjara dan utus orang untuk menyulitkan pam
Meskipun di dalam rumah sudah tidak ada orang lain, dua polisi berpakaian biasa itu tetap menunjukkan kartu identitas mereka dengan serius.Salah satu dari mereka berujar, "Pak Kendra, kami menerima laporan dari Nona Sanny yang mengatakan bahwa kamu terkait dengan kebakaran yang terjadi 13 tahun lalu. Mohon ikut dengan kami untuk menjalani penyelidikan.""Oke, aku akan ikut," jawab Kendra sambil tersenyum. Dia berbalik, lalu menyeret koper berisi hadiah dari Tiffany ke pintu belakang. Sebelumnya, dia sudah berbicara dengan Jones dan memintanya untuk membawa barang-barang di rumah ini setelah dia ditangkap.Setelah memastikan semuanya siap, Kendra kembali tersenyum dan mengulurkan tangan ke arah kedua polisi itu. Dia berucap, "Ayo."Saat borgol dingin melingkar di pergelangan tangannya, Kendra hanya tersenyum. Ingatannya melayang jauh, kembali ke musim panas 13 tahun lalu.Musim panas itu, Tiffany yang baru berusia 6 tahun terkena flu berat yang sedang mewabah di desa. Penyakit itu sebe
Tiffany mengerucutkan bibirnya, lalu berbicara dengan kesal, "Sudahlah. Lagian, ini bukan pertemuan terakhir. Aku masih bisa bertemu Nenek lain kali saat pulang lagi."Tiffany hanya berencana tinggal setengah jam di rumah, sekadar meninggalkan hadiah lalu pergi. Dia sudah lama absen kuliah, apalagi ujian akhir semester akan segera tiba. Dia benar-benar tak boleh menunda lagi.Mengingat ini, Tiffany menarik napas dalam-dalam sebelum berujar, "Hmph! Tinggal kurang dari setengah bulan lagi sebelum ujian akhir!"Tiffany menambahkan, "Begitu ujian selesai dan liburan musim panas dimulai, aku akan pulang ke sini dan tinggal beberapa hari. Aku akan memastikan Nenek nggak punya waktu untuk pergi nonton orang main kartu karena dia harus menemani aku di rumah!""Lagian, aku juga jago main kartu! Aku bisa menemaninya bermain!" lanjut Tiffany. Dulu setiap liburan musim panas, dia selalu bermain kartu bersama nenek dan bibinya. Mengingat masa-masa itu sekarang, rasanya sedikit nostalgia.Kendra ter
Ketika Tiffany dan Sean tiba di Desa Maheswari, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore lebih. Pagi harinya saat berangkat dari bandara, Tiffany sudah menelepon Kendra dan memberi tahu bahwa mereka akan tiba di rumah sekitar pukul 2 siang.Namun karena sedikit tertunda di tempat Zara, mobil mereka baru berhenti di depan rumah Kendra pada pukul setengah 4 sore. Begitu keluar dari mobil, Tiffany langsung berlari ke dalam halaman seperti anak kecil yang antusias. Dia berseru, "Paman!"Di belakangnya, Sean hanya bisa tersenyum tak berdaya sambil membuka bagasi. Dengan cekatan, dia mengeluarkan koper besar yang penuh dengan hadiah yang dibawa Tiffany.Saat membawa koper ke pintu, pandangan Sean tertuju pada halaman kosong di sebelah rumah Kendra. Di sana, ada sebuah mobil sedan hitam yang terlihat baru. Jelas itu bukan mobil milik warga desa.Tiffany terkejut saat masuk ke rumah. Selain Kendra, ada dua pria berjas rapi yang duduk di sofa ruang tamu. Dia pun bertanya, "Paman, siapa kedua orang
Ketika seluruh rumah bergaya tradisional di depan perlahan menghilang dari pandangan, Tiffany menghela napas sebelum berucap, "Awalnya, hari ini cukup menyenangkan ...."Hanya saja, suasana itu berubah ketika Zara menyebutkan soal "ibu". Bagi Julie, kata "ibu" adalah luka yang tak pernah sembuh seumur hidupnya. Alhasil, mereka berdua membuat suasana makin berat seperti saling membuka luka lama."Ibuku dulu juga sangat baik padaku," ujar Sean sambil memegang kemudi. Dia menatap lurus ke depan. Emosi samar-samar terlihat di dalam matanya yang gelap dan dalam.Sean melanjutkan, "Sayangnya, dia pergi terlalu cepat. Dia adalah orang yang sangat baik hati, sama seperti kamu. Kalau saja dia nggak meninggal terlalu cepat ... aku yakin, kakakku nggak akan menjadi seperti sekarang."Tiffany menggigit bibirnya. Sean jarang membahas tentang keluarganya. Dia menarik napas panjang, lalu berkata lembut, "Aku bisa merasakan kalau ibumu orang yang sangat baik. Soalnya pengaruhnya pada dirimu terlihat j
Sean mengernyit, lalu mengangguk dan menjawab, "Boleh.""Terima kasih," ujar Zara. Dia menunduk dan meminum sepertiga obat di tangannya sambil terisak pelan.Zara berkata, "Sebenarnya ... aku nggak sedekat itu dengan ayah dan kakakku. Sejak kecil hingga dewasa, hanya ibuku yang memperlakukanku dengan baik. Sayangnya ...."Gadis itu tersenyum pahit. Air mata mengalir tanpa bisa ditahan dari sudut matanya. "Aku merindukan ibuku ...," ucapnya.Tangisan Zara menular. Tangan Julie yang sedang memegang sendok makan juga membeku di udara. Dia tersenyum getir dan menimpali, "Sebenarnya, kamu masih lebih baik dariku."Julie menatap mata Zara yang memerah dan berucap dengan hati sendu, "Setidaknya kamu punya kenangan indah bersama ibumu. Kamu tahu apa yang kuingat tentang ibuku? Sebelum aku berusia 7 tahun, dia hanya terbaring tanpa bisa bergerak.""Setiap hari ayahku membersihkan tubuhnya dan perawat memberinya larutan nutrisi, sementara aku hanya bisa melihatnya dengan tatapan kosong. Ibu lain