Di atas panggung, Bronson tidak tega melihat reaksi Cathy. Sebagai seorang manusia, tentu hatinya tidak terbuat dari batu. Bagaimanapun juga, Cathy adalah anak yang telah dia rawat selama 19 tahun seperti putrinya sendiri.Melihatnya seperti ini, hati Bronson terasa perih.Namun ... fakta memang sering kali menyakitkan.Dia menarik napas panjang dan melanjutkan, "Awalnya, aku sangat sulit menerima hasil ini. Karena itu, aku melakukan tes berulang kali di lebih dari 10 pusat tes DNA yang berbeda. Namun, hasilnya tetap sama. Cathy dan aku, sama sekali nggak punya hubungan darah.""Setelah satu bulan penyelidikan, aku menemukan bahwa ketika Nancy meninggalkanku 19 tahun yang lalu, dia memang meninggalkan seorang anak, tetapi dia juga diam-diam membawa pergi seorang anak lain.""Keluarga Japardi menduga bahwa Nancy menukar anak kandungku dengan seorang anak yang dia adopsi dari panti asuhan."Suara bisikan dan diskusi dari bawah panggung kembali memenuhi ruangan. Semua tamu merasa seperti
Malam musim panas terasa begitu meriah dan penuh semangat. Pesta ulang tahun itu seketika berubah menjadi konferensi pers untuk pencarian anak Keluarga Japardi. Para tamu mulai mengajukan berbagai pertanyaan satu per satu dan Bronson menjawabnya dengan serius.Dari cerita bagaimana dia dan Nancy jatuh cinta, pertengkaran mereka, hingga semua yang telah dia lakukan setelah Nancy pergi.Pertanyaan-pertanyaan itu seperti tidak ada habisnya. Para tamu masih bersemangat, tetapi Tiffany sudah merasa bosan dan lelah mendengarkan. Dia bersandar di pelukan Sean, terus menerus menguap."Ngantuk?" tanya pria itu dengan lembut."Sedikit," jawab Tiffany sambil tersenyum malu-malu. Dia berbalik hendak mengambil secangkir kopi dari meja untuk menyegarkan dirinya, tetapi Sean segera menghentikannya."Terlalu banyak minum kopi nggak baik. Kalau ngantuk, kita pulang saja untuk istirahat, ya?""Tapi ... bukannya itu nggak sopan?" Tiffany menggigit bibirnya, melirik Bronson yang masih di atas panggung den
Cathy langsung menangis, matanya memerah. "Tapi ... tapi Kakek bilang ...."Bronson menghela napas berat. "Meskipun kamu bukan bagian dari Keluarga Japardi, aku sudah merawatmu selama bertahun-tahun. Aku nggak akan membuangmu begitu saja.""Tapi kalau kamu kembali memanfaatkan statusmu untuk menindas orang lain, mungkin Keluarga Japardi benar-benar nggak akan mengakui keberadaanmu lagi."Cathy mengusap air matanya dan berkata pelan, "Aku mengerti ...."Setelah itu, dia melirik Tiffany yang berdiri di sampingnya. Kebencian yang awalnya tampak jelas di matanya kini perlahan memudar. Meskipun Derek tidak sepenuhnya setuju dengan keputusan Bronson, dia memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.Ketika tiba waktunya meniup lilin, dia menarik Tiffany ke sisinya dan memperingatkan Cathy dengan suara rendah, "Kalau kamu berani menyusahkan Tiffany lagi, lihat saja gimana aku akan menghabisimu!"Tangan Cathy mengepal erat di sisi tubuhnya, tetapi dia tetap menjawab dengan nada hormat, "Aku paham, K
Karena perlawanan keras dari Tiffany, malam itu Sean bukan hanya kehilangan kesempatan untuk "berolahraga", tetapi juga diusir keluar dari kamar oleh istrinya. Dia duduk di sofa ruang tamu, saling memandang dengan Sofyan.Sofyan memecah keheningan. "Tuan, sudah larut malam. Anda seharusnya kembali ke kamar untuk tidur."Sean menatapnya datar. "Lalu kenapa kamu nggak kembali ke kamar untuk tidur?"Sofyan menghela napas. "Aku dikunci di luar sama Chaplin. Malam ini aku mau tidur di sofa."Sean mendengus ringan. "Aku dikunci di luar sama Tiffany. Malam ini aku juga mau tidur di sofa."Sofyan terdiam. Bahkan sofa pun jadi rebutan, ya?Setelah beberapa saat saling menatap dalam diam, Sean menghela napas panjang. "Tidur saja di sofa. Aku mau jalan-jalan."Sofyan melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sepuluh malam. "Tuan, Anda mau pergi ke mana malam-malam begini?"Sean menjawab santai, "Ke rumah Keluarga Japardi. Aku mau lihat apakah ada cara untuk dapat kunci cadangan, atau kalau perlu pin
Sean mengangguk dengan serius dan tersenyum tulus pada Derek. "Aku janji, aku pasti akan memperlakukannya dengan baik.""Lalu, jangan beri tahu dia tentang semua ini," lanjut Derek sambil menghela napas panjang dan menutup matanya sejenak. "Sebenarnya, aku selalu tahu keberadaan Nancy, tapi aku nggak punya cara untuk ngasih tahu Bronson ....""Jadi, jangan beri tahu Tiffany.""Dia sekarang hidup dengan bebas dan tanpa beban, bukankah itu baik? Kalau dia tahu tentang latar belakangnya, tahu siapa ayah dan ibunya sebenarnya ...."Derek menggelengkan kepala dengan berat hati. "Lalu, soal bagaimana menghancurkan cip itu," lanjutnya sambil mengeluarkan sebotol cairan. "Obat ini harus diminumkan padanya selama tiga hari, setiap pagi sebanyak sepertiga botol.""Dalam tiga hari, efek obat ini akan menyebar ke sistem sarafnya, menghancurkan cip itu, sehingga nggak ada seorang pun yang bisa mengendalikannya. Cip yang rusak nggak akan memberikan dampak besar padanya."Sean mengangguk dan menerima
Cahaya bulan menyelimuti Desa Maheswari dengan tenang. Kendra bersandar di dinding halaman dengan mengenakan mantel sambil mengisap rokok dengan santai.Setelah menidurkan kedua anak mereka, Indira pergi ke kamar ibu Kendra untuk menyalakan obat nyamuk. Akhirnya, dia menutup pintu dengan perlahan, lalu berjalan ke halaman dan berdiri di samping Kendra."Belum bisa tidur?" tanyanya.Pria paruh baya itu menghela napas panjang, lalu merangkul Indira ke dalam pelukannya. "Akhir-akhir ini aku merasa gelisah.""Seminggu yang lalu, Tiffany bilang bahwa Sean membawanya ke Elupa untuk liburan. Aku nggak tahu kapan dia akan kembali." Dia menutup matanya sejenak. "Matanya ... sangat mirip dengan ibunya ....""Aku khawatir ...."Indira menghela napas kecil, lalu menggenggam erat tangannya. "Sudah bertahun-tahun berlalu dan semuanya baik-baik saja, bukan?""Kamu sendiri bilang, ibu kandung Tiffany ... sudah bersama pria lain .... Mungkin dia bahkan sudah punya anak lain sekarang. Siapa tahu dia sud
Tiffany menghapus air matanya, mengambil ponsel, dan hampir saja menelepon Kendra. Namun, ketika dering pertama terdengar, dia buru-buru memutuskan panggilan itu."Nggak, nggak bisa," katanya sambil menghela napas dan mengusap hidungnya yang merah. "Kalau Paman dengar aku menangis, dia pasti akan ngira kamu marahin aku lagi! Jadi, aku nggak boleh telepon sekarang!"Tiffany melemparkan ponselnya ke samping dan kembali bersembunyi di pelukan Sean, tubuhnya masih gemetaran. Namun, ponselnya mulai bergetar di atas tempat tidur. Kendra menelepon balik.Dering ponsel memenuhi kamar, membuat Tiffany yang bersandar di pelukan Sean merasa semakin cemas. Dia memandangnya dengan mata memelas. "Aku nggak berani jawab ...."Sean hanya bisa menggelengkan kepala dengan pasrah. Dengan gerakan santai, dia mengangkat ponsel itu dan menjawab panggilan tersebut."Paman.""Sean?" Suara Kendra terdengar dari ujung telepon, disertai dengan tawa kecil. "Kenapa Tiffany nelepon aku di waktu begini?""Dia mimpi
Ternyata, tangan Sean memang cukup cekatan.Meskipun Tiffany merasa agak sakit saat Sean menggosok tubuhnya. Namun setelah selesai mandi, tubuhnya terasa segar dan nyaman.Namun, tidak lama setelah itu, Tiffany mulai merengek dan memaksa Sean untuk menemaninya keluar berbelanja."Aku sudah janji sama Paman mau belikan oleh-oleh untuk Bibi dan yang lain," katanya sambil tengkurap di sofa. Kedua tangannya menggenggam lengan Sean yang sedang mengetik di laptop dan menggoyangkannya dengan manja."Sayang, kamu nggak tega lihat istrimu disebut suka ingkar janji, 'kan?"Sean tersenyum tipis, lalu melepaskan tangannya dari genggaman Tiffany dan mengusap kepalanya. "Jangan coba-coba memanipulasiku. Aku dengar jelas tadi, itu kamu sendiri yang menawarkan oleh-oleh."Tiffany terdiam. "Meskipun aku yang menawarkan, aku sudah telanjur janji. Masa mau ditarik lagi?"Dengan nada memelas, Tiffany kembali menggenggam lengan Sean, menggoyangkannya lagi. "Sayang ....""Sayang ... sayang ... sayang ...."
Tiffany terpaku menatap video di ponsel Brandon, lalu menyeka ujung matanya yang basah. Wanita itu menarik napas dalam-dalam. "Bisa nggak kamu kirimkan video ini ke aku?""Tentu saja!" Brandon mengangguk dengan cepat, lalu langsung mengirimkan video itu ke e-mail Tiffany."Ngomong-ngomong, Dok Tiff, setelah melihat semua yang sudah dilakukan Kak Sean untukmu, kamu nggak merasa terharu?"Tiffany menerima file video itu dan mengangguk pelan. "Tentu saja aku terharu.""Kalau begitu, apakah kalian akan berdamai?" Brandon masih menatap Tiffany dengan ekspresi penuh harapan. "Kalau kamu merasa terharu, bukankah itu berarti hatimu sudah nggak terlalu menolaknya lagi?"Brandon menatap Tiffany dengan serius. "Kak Sean benar-benar tulus sama kamu, Dok Tiff.""Waktu makan siang tadi, dia menunjukkan video ini ke aku dan menceritakan banyak hal tentang perjalanan panjangnya mencarimu selama bertahun-tahun. Waktu itu, aku tiba-tiba menyadari betapa jauhnya perbedaan antara aku dan dia.""Aku bilang
Mendengar hal itu, Julie melirik Tiffany. "Kalau aku nggak bilang, kamu sendiri nggak kepikiran?"Tiffany menatapnya sejenak, lalu menggeleng pelan. Sebenarnya, dalam hatinya, dia sudah memiliki keputusannya sendiri mengenai Sean. Bahkan tanpa Julie mengatakannya sekalipun, dia tetap bisa mempertimbangkannya.Namun, bagaimanapun juga, masa lalunya dengan Sean masih menjadi luka yang belum sembuh. Dia tidak bisa merelakan masalah itu begitu saja. Kata-kata Julie sebenarnya memberikan dorongan, sekaligus alasan baginya untuk tidak terlalu keras pada dirinya sendiri.Ternyata, bukan hanya dia yang berpikir seperti ini. Orang-orang di sekitarnya juga mendukungnya."Kamu ini ...." Julie mengusap kepala Tiffany dengan lembut. "Bi Nancy sudah lama meninggal. Relakanlah hal-hal yang seharusnya dilepaskan. Dia nggak pernah memilih untuk terlahir dari keluarga seperti itu, dengan ayah seperti itu.""Sama seperti dulu, waktu kamu nggak percaya bahwa pamanmu bisa membakar rumah dan membunuh orang,
"Sudah kubilang Sean bukan orang seperti itu."Di dalam kantor, Julie menuangkan secangkir teh untuk Tiffany sambil menggeleng pelan. "Brandon itu memang selalu di luar dugaan. Percaya sama dia lebih baik percaya sama anjing kampung di luar sana."Tiffany terkulai lesu di atas meja kerja. "Aku benar-benar salah paham sama Sean." Dia menutup matanya dan bayangan pria itu di depan hotel kembali terlintas dalam pikirannya. Sean tampak begitu kesepian dan begitu menyedihkan.Sean tidak melakukan apa pun yang membahayakan pasiennya. Namun, Tiffany malah menuduhnya macam-macam.Tiffany menghela napas panjang, lalu menutupi wajahnya dengan tangan. "Lalu, aku harus bagaimana?"Sean pasti menganggapnya keterlaluan, menganggapnya tidak masuk akal, dan terlalu keras kepala. Semua ini gara-gara Brandon!"Kenapa nggak minta maaf saja?"Julie duduk di hadapannya sembari menyeruput kopi dan membalik halaman majalah. "Kalau nggak, mau gimana lagi?""Dia datang jauh-jauh untuk mendekatimu. Ini baru har
Mungkin sejak lima tahun lalu, saat Sean memilih Sanny dan meninggalkannya, Tiffany sudah tidak berani lagi memercayainya ....Julie menghela napas, lalu mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Tiffany. "Tunggu saja sampai Brandon sadar, nanti kita akan tahu semuanya."Tiffany mengangguk.Dua wanita itu menunggu di luar ruang gawat darurat selama lebih dari setengah jam. Setelah setengah jam berlalu, pintu ruang gawat darurat akhirnya terbuka. Seorang perawat mendorong ranjang Brandon menuju kamar perawatan.Dokter yang menangani Brandon keluar dan menepuk bahu Tiffany. "Pasien ingin ketemu kamu."Tiffany segera berdiri dan melangkah cepat menuju kamar perawatan.Di dalam kamar, Brandon yang wajahnya masih pucat bersandar di ujung ranjang. Matanya berkaca-kaca saat menatap Tiffany. "Dokter Tiffany ...."Melihat pria dewasa menangis seperti ini, Tiffany merasa tidak tega. Dia menggigit bibirnya, lalu melangkah mendekat dan menyerahkan selembar tisu kepadanya. "Aku di sini."Brandon ter
Setelah berkata demikian, wanita itu langsung melepaskan tangan Sean dan berlari menuju kamar tempat Brandon berada. Sean tetap berdiri di tempatnya dan matanya menyipit tajam.Tak lama kemudian, ambulans rumah sakit pun tiba. Tiffany bersama staf hotel mengangkat Brandon ke atas tandu dan ikut pergi bersama ambulans.Saat hendak naik ke ambulans di luar hotel, dia melihat Sean berdiri di pintu masuk hotel dan memandangnya dengan tatapan suram. Wanita itu menggertakkan giginya dan langsung menutup pintu ambulans.Sean ... tidak pantas!Jelas-jelas hubungan mereka sudah berbeda dari lima tahun lalu. Meskipun Sean ingin mendekatinya kembali, itu tetap membutuhkan waktu. Sekarang hubungan mereka masih terasa asing, tetapi Sean sudah berani melakukan hal seperti itu terhadap orang yang mendekatinya.Selain itu, Brandon adalah seorang pasien!Tadi Brandon sudah memberi tahu Sean bahwa jantungnya bermasalah. Namun, Sean tetap saja bertarung dengan Brandon hingga membuatnya pingsan.Setelah l
"Pertama, aku nggak enak membicarakan masa lalu di antara kami di depannya secara langsung. Aku takut itu akan membangkitkan kenangan menyakitkan baginya.""Kedua, Dokter Tiffany masih belum kenyang. Nggak mungkin kita mengganggunya bahkan saat dia sedang makan, 'kan?"Brandon berpikir sejenak dan merasa itu masuk akal. Dia pun bangkit dan berucap, "Dokter Tiffany, silakan lanjut makan. Kami akan keluar sebentar untuk mengobrol."Tiffany bahkan belum sempat bereaksi. Kedua pria itu sudah bangkit dan turun dengan lift bersama.Tiffany termangu sesaat. Kemudian, dia berdiri untuk mengejar mereka. Namun, setelah mengambil dua langkah, akhirnya dia berhenti.Sudahlah. Terserah mereka mau melakukan apa. Lagi pula, dia ingin menjauh dari kedua pria ini. Jadi, kalau mereka pergi bersama, itu justru lebih baik.Dengan tenang, Tiffany melanjutkan makannya. Sesudah selesai, dia bahkan membayar tagihan di restoran.Sepuluh menit kemudian, saat turun ke lobi hotel, dia mendengar suara panik dari m
Restoran di Grand Oriental, restoran bintang lima, sunyi senyap.Demi mengundang Tiffany dan Sean makan, Brandon meminta manajer hotel untuk mengosongkan seluruh restoran. Di dalam restoran yang luas itu, hanya ada tiga orang, yaitu Brandon, Tiffany, dan Sean.Di sebuah meja persegi panjang, ketiganya duduk dalam posisi yang aneh. Tiffany duduk di satu sisi, sementara Brandon dan Sean duduk di sisi lainnya.Dari sudut pandang mereka berdua, Tiffany seperti sedang berhadapan langsung dengan masing-masing dari mereka.Tak lama setelah mereka duduk, pelayan mulai menyajikan semua hidangan. Sean duduk di kursi yang empuk, tersenyum tipis sambil menatap meja makan di depannya.Jelas sekali, Brandon benar-benar telah berusaha keras untuk Tiffany. Jika tidak, bagaimana mungkin seluruh meja dipenuhi makanan yang sesuai dengan selera Tiffany?Memikirkan hal ini, Sean mengangkat alisnya sedikit, lalu menatap Tiffany sambil bertanya kepada Brandon dengan suara datar, "Semua ini makanan favorit Ti
Brandon mengernyit, menatap Tiffany dengan curiga. "Jadi, kalian berdua di dalam itu ...."Tiffany hanya merasa kepalanya semakin pusing. Dia menarik napas dalam-dalam. "Barusan mantan suamiku sakit, aku hanya merawatnya."Brandon memiliki banyak koneksi di rumah sakit. Tiffany tidak ingin semua orang di rumah sakit mengetahui hubungan serta perkembangan antara dirinya dan Sean.Jadi, dia tersenyum tipis ke arah Brandon. "Kamu juga tahu, dokter harus memiliki hati yang penuh belas kasih.""Dia memang mantan suamiku, tapi saat dia sakit dan butuh perawatan, aku nggak mungkin tinggal diam."Brandon langsung menatap Tiffany dengan mata berbinar. "Dokter memang seperti yang aku bayangkan, benar-benar malaikat kecil yang baik hati!"Tiffany terdiam untuk sesaat. Kemudian, dia berdeham pelan. "Bukannya kamu bilang ingin aku memeriksamu? Kemarilah ...."Brandon langsung berlari kecil ke arah Tiffany. "Maaf sudah merepotkanmu."Tiffany berdeham dua kali. "Duduk dulu, aku akan memeriksamu ...."
Usai berbicara, Tiffany mengambil jasnya dan keluar dari kamar.Di luar, Brandon menatapnya dengan penuh kekaguman. "Dokter, sudah setengah bulan kita nggak bertemu, kamu tetap secantik seperti biasanya."Tiffany mengerutkan alisnya, lalu meliriknya sekilas dengan ekspresi datar. "Cari tempat duduk saja. Sebenarnya jantungmu sudah nggak ada masalah lagi. Tapi kalau kamu masih merasa khawatir, aku akan melakukan pemeriksaan sederhana.""Baik! Baik!" Brandon menatapnya dengan terkagum-kagum. "Aku akan pesan kamar sekarang ...."Tiffany langsung mengernyit. "Kita cuma berdua, jangan pesan kamar."Setelah berkata demikian, Tiffany melirik ke arah area duduk di kejauhan yang biasanya digunakan untuk menikmati pemandangan dari atas. "Kita duduk di sana saja."Brandon menggigit bibir dan bergumam, "Justru aku suka kalau cuma berdua denganmu ...."Tiffany mengambil barang-barangnya, lalu berjalan ke tempat duduk itu. Sementara itu, Brandon tampak sedikit enggan, tetapi tetapi mengikuti dari be