Tiffany yang memang sudah merasa malu, wajahnya makin memerah dan panas saat mendengar Sean memanggilnya dengan suara yang begitu memikat. Dia pun menundukkan kepala dengan malu-malu dan berkata dengan suara yang lembut, "Sayang ....""Hm ...."Sean mengernyitkan alis, lalu menyerahkan handuk pada Tiffany. "Kamu pergi memperbaikinya di kamar mandi."Tiffany langsung tertegun sejenak. Melihat ekspresi Sean yang agak aneh, dia langsung merasa ada yang tidak beres. Dia pun menatap Sean dengan ragu dan bertanya, "Sayang, kamu nggak ... membuatku terlihat sangat jelek, 'kan?"Sean menggelengkan kepalanya. "Nggak jelek."Bagi Sean, Tiffany adalah bidadarinya. Seperti apa pun penampilan Tiffany, dia tidak merasa Tiffany jelek.Tiffany mengambil handuk itu dan masuk ke kamar mandi. "Argh! Sean!"Mendengar suara Tiffany yang histeris dari kamar mandi, Sean berdeham pelan dan membuka pintu kamar. "Coba tanyakan apa ada pelayan di rumah Keluarga Japardi yang ahli dalam merias wajah."...."Kamu s
Tiffany langsung tertegun sejenak saat ditanya tentang ibunya. Dia menatap Bronson dengan ekspresi bingung, "Kamu bertanya ... tentang ibuku?"Sean menerima cangkir teh yang dihidangkan pelayan, lalu tersenyum pada Bronson. "Pak Bronson, istriku ini yatim piatu. Dia dibesarkan oleh paman dan bibinya sejak kecil, dia nggak punya orang tua."Bronson langsung tertegun dan ekspresinya terlihat canggung. "Kalau begitu ... maaf, aku sudah terlalu lancang."Mendengar perkataan Bronson, Derek pun mengamati Tiffany dari atas ke bawah sambil mengelus janggutnya. "Hm. Memang sangat mirip."Tatapan dari kedua pria itu membuat Tiffany merasa tidak nyaman, tetapi dia hanya bisa menundukkan kepala dan tidak berani berbicara.Sean menganggukkan kepalanya sedikit dan tersenyum. "Apa yang Pak Derek katakan, aku nggak terlalu paham.""Nggak apa-apa. Haha."Derek tersenyum dan berkata, "Istrimu sangat mirip dengan seseorang yang pernah ada di Keluarga Japardi, jadi Bronson baru lancang menanyakan tentang
"Bagaimana pendapat Pak Bronson tentang dirinya?" tanya Sean.Mendengar perkataan itu, tatapan Bronson langsung menjadi tajam.Namun, Derek yang berada di samping Bronson hanya tersenyum ramah. "Jangan emosi."Setelah mengatakan itu, Derek tersenyum pada Sean. "Aku yang meminta Cathy untuk mengundangmu menghadiri pesta ulang tahun Bronson kali ini. Sebenarnya masalah ini juga bukannya nggak ada jalan keluarnya. Beberapa hari lagi, kami akan mengumumkan sebuah rahasia Keluarga Japardi yang sudah kami simpan selama bertahun-tahun di pesta ulang tahun Bronson.""Siapa pun yang bisa membantu kami memecahkan rahasia ini, berarti sudah sangat membantu Keluarga Japardi. Kami akan memberikan hak istimewa pada orang itu untuk memerintah Keluarga Japardi melakukan satu hal yang kami mampu."Derek yang rambutnya sudah memutih semua itu mengelus janggutnya dan tersenyum pada Tiffany dan Sean, lalu melanjutkan, "Keluarga Japardi punya prinsip sendiri, uang dan relasi nggak bisa membuat kami melangg
Setelah mendengar penjelasan Sean, Tiffany baru mengerti dia sudah terjebak dalam permainan Derek. Dia cemberut dan mengeluh, "Para pebisnis ini terlalu licik."Tiffany menggesekkan kepalanya ke pelukan Sean dengan ekspresi sedih. "Sayang, apa tadi aku salah bicara?"Sikap Tiffany yang manja membuat Sean menggelengkan kepala dengan tak berdaya. Dia pun mengangkat tangannya dan mengelus kepala Tiffany dengan lembut. "Ini juga bukan salahmu. Meskipun kamu nggak bicara, arti dari perkataan Derek pun tetap sama. Bedanya hanya ada yang mengiakan atau nggak saja."Tiffany cemberut karena hatinya masih terasa tidak nyaman. "Kalau begitu, kelak aku nggak akan sembarangan bicara lagi. Orang-orang kaya ini terlalu menakutkan."Sean tersenyum dan mencium bibir Tiffany yang lembut. "Aku juga orang kaya, apa aku menakutkan?"Saat mengatakan itu, tatapan mata Sean makin menggoda dan berbahaya. Tiffany yang ketakutan melihat tatapannya seperti itu segera bangkit dari pelukannya dan melangkah mundur s
Tiffany memutuskan untuk tinggal bersama Sean dan tidak akan berpisah selamanya.....Saat menggandeng tangan Tiffany dan membawanya ke restoran Keluarga Japardi, Sean melihat restoran itu sudah penuh dengan orang. Kelihatan jelas, Keluarga Japardi mengundang banyak tokoh terkenal dari dunia bisnis dan politik dari seluruh dunia pada ulang tahun Bronson kali ini. Semua orang yang hadir adalah orang terkemuka di kota mereka masing-masing.Pelayan memandu Sean dan Tiffany menuju tempat duduk yang tertera dengan nama mereka.Sean memiliki bisnis besar di dunia barat, sehingga dia langsung diajak orang di sebelah kirinya untuk memulai perbincangan bisnis begitu dia duduk.Tiffany duduk dengan tenang dan mengamati sekelilingnya, berusaha untuk tidak mengganggu Sean membicarakan bisnis. Di sebelah kirinya adalah Sean, sedangkan di sebelah kanannya adalah seorang pria yang mengenakan jas hitam dengan garis emas.Pria itu menoleh dan tersenyum pada Tiffany. "Wah. Kelinci putih, apa kabar?"Tif
Merasa kepala pria asing bersentuhan dengan kepalanya, jantung Tiffany langsung berdebar dan wajahnya menjadi pucat. Tangannya yang sedang memegang ponsel pun mulai bergetar karena panik. Dia segera menggeser kepalanya, tetapi malah salah arah karena terlalu terburu-buru. Kepalanya malah membentur kepala Xavier dengan keras.Xavier memegang kepalanya dan merintih kesakitan. "Kelinci putih, aku cuma lihat percakapanmu dengan temanmu, apa perlu membalas dendam begitu?"Suara Xavier lumayan keras sampai hampir semua orang di meja panjang itu melihat ke arah mereka. Orang-orang di sekitar mereka mulai berkomentar."Dia itu tuan muda dari Keluarga Lohan di Kota Zimbab, Xavier. Dia itu playboy yang terkenal.""Siapa itu yang di sampingnya? Pacar barunya?""Tapi, penampilannya terlalu kampungan. Wajah bulat dan mata bulat, kelihatan seperti kutu buku. Apa tuan muda Keluarga Lohan punya selera seperti ini?""Hahahahaha!"Semua orang langsung tertawa terbahak-bahak.Jayla yang duduk di samping
Jayla cemberut, lalu kembali memelototi Tiffany dengan marah. "Aku pasti akan membalas dendam ini. Nggak pernah ada orang yang berani berdebat denganku."Xavier mengelus kepala Jayla. "Bibi Nancy benar-benar sudah terlalu memanjakanmu."....Setelah semua orang menunggu di restoran sekitar sepuluh menit, Derek akhirnya duduk di kursi utama dengan dibantu oleh Bronson."Maaf sudah membuat kalian menunggu lama. Sebenarnya, banyak anak muda sekarang yang belum makan malam di waktu ini. Tapi, tubuhku yang sudah tua ini nggak seperti dulu lagi, jadi harus makan dan beristirahat lebih awal. Maaf merepotkan kalian," kata Derek.Xavier tersenyum dan berkata, "Nggak merepotkan. Kita harusnya ikut belajar cara hidup orang tua. Sekarang kita berada di rumah Keluarga Japardi, tentu saja harus menyesuaikan diri dan mempelajari kebiasaan baik dari Keluarga Japardi."Kata-kata Xavier ini membuat Derek merasa sangat senang. Dia melambaikan tangannya. "Baiklah kalau begitu. Aku nggak akan banyak bicara
Keterampilan memasak koki Keluarga Japardi sangat hebat. Setiap hidangannya bahkan lebih lezat dari masakan koki di Restoran Imperial milik Mark.Usai makan malam, seorang pelayan bertanya menu apa yang paling disukai Tiffany. Gadis itu bertopang dagu di meja dan memandangi piring-piring kosong di sana. Dia membayangkan hidangan yang disantapnya tadi, ragu-ragu untuk menjawab.Akhirnya, Tiffany mendongak dan menjawab pelayan dengan ekspresi memelas, "Anu ... apa aku boleh jawab kalau aku menyukai beberapa hidangan hari ini, lalu yang lain besok, dan sisanya lusa?"Pelayan itu mengerucutkan bibirnya dan membalas dengan canggung, "Sepertinya ... nggak bisa."Sean duduk di kursinya dan memandangi wajah dilema gadis itu. Senyuman di wajahnya tidak kunjung lenyap.Akhirnya, pria itu memberikan solusi dengan berkata sambil tersenyum tipis, "Katakan saja pada tuanmu kalau Tiffany menyukai semua hidangan malam ini.""Tapi ...." Pelayan itu ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Baiklah.
Kepala Lena langsung terpelintir ke samping karena tamparan itu. Dia menjilat darahnya yang amis dan manis di sudut bibirnya, lalu menatap Miska yang menamparnya dengan tatapan yang dingin. "Kamu pikir kamu ini siapa?"Miska menatap Lena dengan dingin dan berkata, "Aku ini tunangan pria yang di dalam. Karena kamu, tunanganku baru jadi seperti sekarang. Kalau terjadi apa-apa padanya, aku nggak akan memaafkanmu."Setelah menatap Miska dengan tatapan menyindir selama beberapa saat, Lena tertawa. "Kamu adalah tunangannya pria itu? Kalau begitu, kamu benar-benar kasihan. Kalau kamu nggak bilang, aku akan mengira kamu ini adiknya Tiffany. Kemungkinan besar, pria itu bersamamu karena menganggapmu sebagai pengganti Tiffany, 'kan?"Setelah mengatakan itu, Lena melanjutkan sambil menggelengkan kepala dan ekspresinya terlihat kasihan. "Sayang sekali. Meskipun sudah ada kamu yang sebagai pengganti, hatinya tetap nggak bisa melupakan Tiffany. Kalau nggak, dia juga nggak akan menabrak truk itu demi
"Aku Miska, panggil aku Miska saja." Gadis itu meremas tali ranselnya dan bertanya dengan cemas, "Katanya dia mau datang duluan untuk kasih kamu kejutan. Kenapa tiba-tiba kecelakaan?"Tiffany memejamkan matanya, tidak tahu harus menjelaskan dari mana untuk sesaat. Namun, dia tetap menatap gadis itu dan berkata, "Miska, kamu ... harus menyiapkan mentalmu. Cedera Xavier kelihatannya cukup parah."Miska tertegun, baru menyadari betapa serius situasinya. Mata bulatnya yang hitam sontak menjadi suram. "Dia ... dia nggak apa-apa, 'kan? Kami baru saja ... tunangan."Kalau saja Miska tidak menyebut itu, mungkin Tiffany bisa menahan diri. Namun, begitu kalimat itu dilontarkan, rasa sakit langsung menyayat hatinya.Semua ini salahnya. Karena kebaikannya sendiri, dia memberi celah bagi kakak beradik itu untuk menyakitinya.Seandainya hari itu dia berbicara terus terang kepada Sean soal kejadian tiga tahun lalu, seandainya dia membongkar kebohongan Vivi, mungkin Xavier yang jauh-jauh datang untuk
Di belakang mereka mulai terdengar teriakan, ada yang mulai menelepon polisi. Suara sirene mobil patroli dan ambulans pun terdengar bersahut-sahutan.Tiffany terdiam dalam pelukan Sean, matanya masih tertutup oleh telapak tangan pria itu. Dia seperti boneka yang kehilangan jiwanya, bersandar lemas di dadanya."Xavier ... dia baik-baik saja, 'kan?""Dia akan baik-baik saja." Sean memeluknya erat. "Dia sudah dibawa ambulans untuk mendapatkan pertolongan. Kita ke sana ya.""Ya ...." Tiffany masih bersandar di pelukannya, suaranya lirih. "Sean, kamu yakin nggak salah lihat? Dia bilang besok baru sampai dan bawa tunangannya ke sini .... Gimana mungkin .... Nggak mungkin. Dia seharusnya masih di luar negeri sekarang ...."Nada suaranya pilu.Sean memeluknya lebih erat. "Mungkin dia mau kasih kejutan untukmu." Suara berat Sean terdengar serak. "Tadi dia telepon aku, tanya kamu di mana.""Aku bilang kamu di lembaga penelitian. Setelah itu, dia langsung matiin telepon. Sepertinya dia datang leb
"Tiff ... kamu benaran cuma butuh dua hari untuk menyelesaikan makalah serumit ini?"Di dalam kantor Risyad, Tiffany tersenyum sambil menatapnya. "Ini semua berkat bimbingan Pak Risyad yang luar biasa. Aku tahu kamu sangat menghargaiku, jadi aku nggak berani menyepelekan tugasku. Makanya, aku buru-buru menyelesaikannya."Risyad yang memakai kacamata tebal itu pun memancarkan kebanggaan dan kekaguman. "Anak muda memang luar biasa! Penuh semangat, penuh energi, dan punya kemampuan!"Saking semangatnya, Risyad menahan Tiffany untuk mengobrol. Sampai akhirnya ada yang mengetuk pintu dari luar, barulah Tiffany bisa terbebas dari pembicaraan panjang Risyad yang sangat antusias.Saat Tiffany keluar dari lembaga penelitian, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Matahari masih bersinar, tetapi cahayanya terasa lembut.Saat berdiri di depan gerbang lembaga penelitian, Tiffany meregangkan badan sambil menarik napas lega. Beban besar di hatinya akhirnya terangkat.Beberapa hari ke depan, tugasnya
Xavier dan tunangannya dijadwalkan tiba di Kota Aven tiga hari lagi. Agar punya waktu untuk menemani tunangan Xavier jalan-jalan di Kota Aven, Tiffany sampai mengambil cuti beberapa hari dari lembaga penelitian.Untungnya, pihak lembaga cukup pengertian. Meskipun Tiffany baru bekerja di sana, setiap kali dia meminta cuti, atasan selalu menyetujui tanpa banyak tanya."Tapi, Tiff ...." Suara Risyad terdengar dari seberang telepon, diiringi batuk kecil. "Aku ingat kamu janji, selama beberapa hari ini di rumah, kamu bakal menyelesaikan jurnal penelitianmu, 'kan?"Tiffany buru-buru mengangguk. "Tenang saja, Pak! Sebelum masa cuti habis, aku pasti akan kirim jurnal penelitianku ke lembaga! Aku nggak pernah ingkar janji kok!"Suaranya yang tegas dan meyakinkan membuat Risyad tertawa. "Oke, jangan sampai kamu ingkar janji ya!"Setelah mengobrol sebentar, Tiffany langsung merengek manja pada Sean untuk mengantarnya pulang agar bisa segera menulis jurnal.Meskipun mengatakan akan menyelesaikanny
Begitu selesai bicara, Xavier langsung mengakhiri panggilan.Di sisi lain, Tiffany masih memegang ponsel dengan perasaan yang menggebu-gebu. Xavier akhirnya menemukan cinta sejatinya! Bagi Tiffany, ini benar-benar adalah kabar bahagia!Selama lima tahun terakhir, Xavier selalu ada di sampingnya, menjaga janji yang pernah dia ucapkan pada mendiang ibunya. Tiffany bahkan sempat khawatir, apakah Xavier akan selamanya membujang demi merawatnya?Dia bahkan pernah berpikir, kalau dia akhirnya balikan dengan Sean dan meninggalkan Xavier begitu saja, bukankah itu terlalu kejam?Apalagi selama lima tahun ini, perhatian Xavier padanya benar-benar tak ada duanya. Bahkan, Xavier tidak sebaik itu terhadap adik kandungnya sendiri, Jayla.Tiffany benar-benar tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Xavier. Kini, karena Xavier sudah menemukan cinta sejatinya, dia akhirnya merasa lega.Tak lama kemudian, Sean kembali ke mobil. Tiffany yang kini sudah tidak mengantuk, bersandar di kursi sambil terse
Tak lama kemudian, mobil sampai di taman kanak-kanak.Meskipun Sean sudah sangat berhati-hati, suara gaduh dari luar mobil saat parkir tetap saja membangunkan Tiffany dari tidurnya.Mata wanita itu masih terlihat mengantuk, tetapi tetap terlihat jernih dan indah. Dia menguap dan menoleh ke luar jendela. "Sudah sampai ya."Setelah itu, dia mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi segera dihentikan oleh Sean.Pria itu tersenyum tipis, tampak tak berdaya. "Kalau masih ngantuk, jangan turun dulu. Biar aku saja yang antar mereka masuk. Kamu tunggu di mobil saja."Tiffany menggigit bibirnya, secara refleks menoleh menatap dua anak kecil di sampingnya. "Tapi ....""Sudahlah." Arlo menghela napas panjang. "Mama yang bodoh, istirahat saja di mobil. Kami turun dulu.""Betul! Mama istirahat saja ya!" Arlene ikut mengangguk sambil tersenyum lebar.Akhirnya, Tiffany pun ditinggal sendiri di dalam mobil, sementara ketiganya orang itu turun bersama.Bersandar di jok kulit mobil, Tiffany ke
"Juga bakal jadi anak kecil yang gendut nanti," ucap Arlo yang mengikuti di belakang Sean dengan cemberut."Sembarangan! Arlene nggak bakal gendut!""Kamu bakal gendut!"Arlo menarik napas dalam-dalam. "Nggak masalah kalau Pak Sean antar kita ke sekolah setiap hari. Tapi, Mama juga harus ikut."Tiffany tertegun dan refleks bertanya, "Kenapa begitu?"Dia baru saja berpikir, kalau nanti anak-anak diantar Sean setiap hari, dia bisa bermalas-malasan di rumah dong ....Jujur saja, selama beberapa tahun ini, kecuali dalam kondisi khusus, semua urusan antar jemput anak-anak ke sekolah diurus oleh Tiffany sendiri. Itu cukup melelahkan.Sekarang dia akhirnya mendapat kesempatan untuk bermalas-malasan, tetapi anaknya malah tidak memberinya izin?"Buat menunjukkan kepemilikan." Arlo mencebik dan berkata dengan suara rendah, "Soalnya para ibu-ibu terus melihat Pak Sean kayak mau diterkam. Jadi, Mama harus selalu ikut. Kalau nggak, para guru juga bisa jadi gila."Tiffany tidak bisa berkata-kata. Ay
Tiffany keluar dari kamar Sean dengan pipi memerah. Di luar pintu, dua bocah kecil yang memakai setelan jas kecil dan gaun kecil sedang berdiri manis, dengan tas kecil di punggung mereka. Mereka bersandar di dinding koridor seperti dua murid SD yang sedang dihukum berdiri.Melihat Tiffany keluar, Arlo cemberut dan mengedipkan mata dengan nakal. "Mama ini nggak tahan godaan, cepat banget ditaklukkan."Wajah Tiffany langsung memerah.Arlene yang melihat itu buru-buru berlari ke depan Tiffany dan melindunginya. "Kakak nggak boleh bicara kayak gitu ke Mama ya! Mama itu kayak Arlene, suka sama pria ganteng!"Arlo memutar bola matanya dengan pasrah. "Kalian sama-sama bucin."Arlene membalas dengan percaya diri, "Hmph! Kata Guru, cewek yang bucin itu lebih disukai!"Suara polos kedua anak itu seketika membuat hati Tiffany hangat dan senang. Dia tersenyum tipis, lalu berjongkok sambil mengelus kepala Arlene. "Mana PR yang butuh tanda tangan Mama?"Arlene cemberut dan berjinjit mendekat ke teli