Seorang lelaki tengah menatap selembar poto, ia terus menatap dengan sorot mata yang sulit dijelaskan dan menggumamkan nama Riana. “Tapi, kenapa Kamu terlihat sangat kurus dan muram? Padahal dulu tubuhmu berisi dan sangat ceria, makanya itulah aku tidak bisa melupakanmu sampai sekarang.” Wira mengelus poto yang berisi dirinya dan Riana tengah berrpose bersama. Yah, lelaki itu adalah Wira, lelaki culun yang pernah menjadi teman dekat Riana sewaktu kuliah, hanya saja kedekatan mereka menjadi terhalang akibat kedatangan lelaki yang bernama Reynald. Lelaki yang selalu terucap disetiap mulut sang wanita, tampan dan pekerja keras kata-kata tersebut selalu Riana katakan kepada Wira saat mereka tengah bersama. Sayangnya Wira tidak pernah mengetahui nama dan rupa lelaki tersebut, setiap ingin melihat selalu saja ada halangan. “Apa kamu sudah bercerai?” Pertanyaan tersebut selalu memenuhi pikiran Wira sejak bertemu dengan Riana pertama kali, sayang dia tidak berani dan memilih berpura-pura ti
“Kamu kenapa sih? Tidak Wira, tidak kamu kok seperti tidak suka kalau aku memperlakukan wanita itu, padahal cantikan aku juga,” Reynald yang sadar telah melakukan kesalahan karena hampir saja ketahuan kalau dirinya mengenal Riana, ia segera menarik napas untuk meredakan amarah di dalam hati. Sebenarnya dia bingung kenapa ia sangat marah, seketika terpikir alasan yang tadi kalau dia tidak suka kalau ada orang lain memperlakukan kasar selain dirinya. “Lain kali jangan menumpahkan makanan yang dia bawa seperti itu, karena makanan itu milikku,” Reynald berkata dengan menahan amarah. “Astaga! Aku tidak tahu kalau makanan itu adalah milikmu, karena amarah tidak memikirkan apa pun.” Wulan menutup mulut, ia kemudian semakin mendekat kepada Reynald. “Sudahlah, tidak apa lagian Satpam sudah membawakan gantinya,” “Jangan seperti itu, aku akan meminta maaf karena menumpahkan makananmu dengan ....” Wulan duduk di pangkuan Reynald, dia bergelayut manja sambil menempelkan bibirnya dengan bibir
“Iya. Dia Ibu saya yang telah Anda larang untuk masuk ke dalam karena menganggapnya orang asing,” Wira mengingatkan kepada Wulan apa yang dia lakukan. “Saya hanya menegurnya saja, karena tidak tahu kalau dia adalah Ibu Bapak,” elak Wulan tidak mau kesalahan makin besar. “Kalau memang menegur, kenapa harus dengan nada tinggi kepada orang tua? Mana sok-sokan lagi menganggap diri sendiri adalah bos yang menggaji para pekerja di sini.” Desi bersedekap dada memandang Wulan dengan sinis. Wulan terdiam, ia bingung melakukan pembelaan seperti apa, otak tengah berpikir untuk menghadapi situasi yang menurutnya adalah darurat. “Kalau begitu saya tinggal minta maafkan? Jadi saya aya mohon kepada Ibu tolong maafkan saya, itu karena saya tidak mengetahui kalau Ibu adalah orang tua Pak Wira,” “Jadi Kamu minta maaf karena aku adalah orang tuanya Wira? Kalau semisalkan aku adalah orang lain, apa kamu akan meminta maaf?” Lagi, Wulan terdiam karena kalau orang tua yang berada di depannya ini bukanla
“Sialan banget mereka semua! Kenapa juga Aku bodoh banget main di sana.” Wulan merutuk kebodohan yang dia buat sendiri. Wulan memang melupakan CCTV itu, dia tidak mengingatnya karena terbawa nafsu bersama dengan Reynald. Saat dia melakukan bersama dengan Manajer itu, kebetulan Desi masuk ke dalam ruangan Wira untuk mengunjungi sang anak, sayang Desi malah melihat hal yang memalukan.“Duh, bagaimana ini? Pasti tidak akan bisa mendapatkan kerja lagi di lain,” Saat Wulan sedang meratapi nasibnya, di lain tempat Riana juga tengah berada di fase bimbang, ia bimbang lantaran ingin menerima tawaran sebagai sekertaris tetapi, di sisi lain dia merasa tidak pantas untuk mendapatkan posisi itu. Dia juga takut kalau ada banyak orang yang tidak suka akan diriya yang menerima posisi Sekertaris. “Riana, kenapa melamun?” Reynald bertanya membuat Riana tersentak dari lamunan. Yah, sekarang Riana berada di ruangan milik sang suami tengah mengantarkan kopi yang Reynald pesan. “Tidak apa,” “Sudah, ke
Wira yang terkejut melihat Riana tersedak refleks mengambilkan air botolan kepada wanita tersebut tetapi, kalah cepat dengan Riana sendiri membuat Wira menjadi tersadar apa yang telah ia lakukan sekarang. Tangan yang masih mengambang di udara segera dia turunkan, berpura-pura mengambil minuman untuk dirinya sendiri, sayangnya semua itu sudah dilihat oleh Darmo yang berada di sampingnya. “Hati-hati, Dek Riana,” kata Darmo. “Hehe maaf, Pak.” Riana menunduk menahan malu, ia lapar jadi tidak ingat kalau sedang makan bersama dengan bos. Darmo menanggapi dengan tersenyum kepada wanita yang masih muda di depannya itu, sesekali ia akan melirik ke arah sang tuan terlihat jelas kalau Wira tengah salah tingkah diperhatikan oleh dirinya. Setelah selesai makan, Riana pamit pergi untuk pulang ke rumah, di situlah kecanggungan terlihat antara Wira kepada Darmo. “Sebenarnya saya sudah suka dari dulu kepada Riana, hanya saja bertepuk sebelah tangan.” Wira menjelaskan setelah berada di dalam mobil,
“Diam, Serly! Kalau kamu bisa menghina saja lebih baik pulang!” bentak Reynald dengan suara menggelegar. Serly yang takut saat melihat wajah Reynald yang sangat merah, meringkuk mundur dan segera pamit pulang kepada Mayang dengan cara berbisik. Setelah kepergian wanita itu, Riana dan yang lainnya diam, tidak ada yang bersuara. “Kamu lihat sendirikan respon yang diberikan Serly? Bagaimana hinaan yang dia lontarkan kepadaku yang seorang Manajer beristrikan pekerja rendahan sepertimu? Kalau dia saja begitu, yang lainnya bagaimana?!” Reynald bersuara dengan napas yang memburu, ia sangat kesal sekali dengan Riana. “Tapi selama tidak ada yang tahu kalau aku adalah istrimu, itu tidak masalahkan? Bukankah Mas bilang seperti itu?” Riana berusaha mengingatkan perkataan Reynald, yah karena memang kalau dia berhenti bekerja akan sangat susah sekali kehidupannya. “Terserah kamu saja, awas sampai ketahuan kalau kamu adalah istriku, habis kamu!” ancam Reynald. Di dalam lubuk hati Riana dia tidak
“Halah, seperti Pak Wira mau saja sama Riana,” tiba-tiba Lia datang menimpali pembicaraan mereka berdua. “Ada demit datang, yuk kita pergi, Riana.” Kiki menarik tangan Riana untuk menjauh dari Lia. “Dari tubuh sampai wajah, jelas lebih menarik diriku dari pada kamu, Riana. Jadi jangan mimpi bisa dapati Pak Wira atau siapa pun yang ada di sini,” ejek Lia. “Buat apa aku mau memiliki pak Wira atau yang lain. Aku sudah mempunyai suami,” Riana tidak terima dengan tuduhan Lia. “Siapa tahukan kamu mau mencari suami pengganti karena suamimu miskin! Makanya kamu kerja di sini, kalau berkecukupan mana mungkin mau kerja capek-capek,” Plak, Riana mendaratkan tamparan di pipi mulus yang selalu Lia banggakan. “Kalau kamu tidak tahu apa-apa, lebih baik diam!” Lia terpaku diam, dia terkejut dengan apa yang dilakukan wanita di depannya ini, kejadian tadi menurut dia terlalu mendadak sehingga tidak bisa menangkis tanparan Riana. “Apa-apa’an kamu?” Lia bertanya sambil memegangi pipi yang memerah.
“Sejak kapan Ibu di sini?” Wira membuka matanya perlahan, terlihat masih mengantuk. “Bisa kamu jelaskan ini apa?” Desi menaruh ponsel yang memperlihatkan ada sepasang lelaki dan wanita yang tersenyum bahagia. “Dia Riana,” jawab Wira pelan. “Iya. Ibu tahu dia Riana, yang Ibu tanyakan ini kenapa gambar Riana menjadi wallpaper di ponselmu?” Desi menatap tajam kepada putranya itu. “apakah seperti yang Ibu pikirkan?” sambungnya. “Yah, Bu. Aku sudah lama mengenal Riana, aku dan dia satu kampus dulu dan juga aku memiliki perasaan kepadanya. Bahkan pernah mneyatakan cinta kepada Riana, hanya saja dia menolak karena sudah ada lelaki yang menjadi kekasihnya lebih dulu,” Wira menjelaskan panjang lebar kepada Desi, wajahnya pun terlihat murung mengingat penolakan Riana. “Kamu tahukan kalau ini salah, Wira? Riana sudah menikah, jadi tidak baik kalau Kmu memiliki perasaan kepada wanita yang sudah menikah!” “Aku hanya mencintainya, Bu. Lagi pula aku tidak akan memaksakan perasaanku kepadanya da