“Halah, seperti Pak Wira mau saja sama Riana,” tiba-tiba Lia datang menimpali pembicaraan mereka berdua. “Ada demit datang, yuk kita pergi, Riana.” Kiki menarik tangan Riana untuk menjauh dari Lia. “Dari tubuh sampai wajah, jelas lebih menarik diriku dari pada kamu, Riana. Jadi jangan mimpi bisa dapati Pak Wira atau siapa pun yang ada di sini,” ejek Lia. “Buat apa aku mau memiliki pak Wira atau yang lain. Aku sudah mempunyai suami,” Riana tidak terima dengan tuduhan Lia. “Siapa tahukan kamu mau mencari suami pengganti karena suamimu miskin! Makanya kamu kerja di sini, kalau berkecukupan mana mungkin mau kerja capek-capek,” Plak, Riana mendaratkan tamparan di pipi mulus yang selalu Lia banggakan. “Kalau kamu tidak tahu apa-apa, lebih baik diam!” Lia terpaku diam, dia terkejut dengan apa yang dilakukan wanita di depannya ini, kejadian tadi menurut dia terlalu mendadak sehingga tidak bisa menangkis tanparan Riana. “Apa-apa’an kamu?” Lia bertanya sambil memegangi pipi yang memerah.
“Sejak kapan Ibu di sini?” Wira membuka matanya perlahan, terlihat masih mengantuk. “Bisa kamu jelaskan ini apa?” Desi menaruh ponsel yang memperlihatkan ada sepasang lelaki dan wanita yang tersenyum bahagia. “Dia Riana,” jawab Wira pelan. “Iya. Ibu tahu dia Riana, yang Ibu tanyakan ini kenapa gambar Riana menjadi wallpaper di ponselmu?” Desi menatap tajam kepada putranya itu. “apakah seperti yang Ibu pikirkan?” sambungnya. “Yah, Bu. Aku sudah lama mengenal Riana, aku dan dia satu kampus dulu dan juga aku memiliki perasaan kepadanya. Bahkan pernah mneyatakan cinta kepada Riana, hanya saja dia menolak karena sudah ada lelaki yang menjadi kekasihnya lebih dulu,” Wira menjelaskan panjang lebar kepada Desi, wajahnya pun terlihat murung mengingat penolakan Riana. “Kamu tahukan kalau ini salah, Wira? Riana sudah menikah, jadi tidak baik kalau Kmu memiliki perasaan kepada wanita yang sudah menikah!” “Aku hanya mencintainya, Bu. Lagi pula aku tidak akan memaksakan perasaanku kepadanya da
Wira mendengar keributan saat berjalan melewati ruangan Reynald, pas sekali pintunya terbuka jadi dia bisa melihat jelas apa yang terjadi. Reynald yang melihat Wira menjadi kesal, kedua tangannya bahkan mengepal erat hanya saja sang bos tidak bisa melihat lantaran tertutup meja. “Saya tadi memanggil Riana tapi, malah wanita ini yang datang, awalnya saya tidak mau menyuruh dia hanya saja dia terus memaksa dan saya pun dengan terpaksa meminta dia untuk membuatkan kopi jangan terlalu manis. Yang datang malah kopi yang sangat manis, saya kan sangat tidak suka dengan kopi yang sangat manis, jadi bukankah wajar kalau saya marah?” “Lalu kenapa Anda malah ingin menyuruh Riana?” Wira bertanya dengan raut wajah bingung sekaligus tidak suka sekali kalau Riana menjadi kelelahan akibat sering disuruh. Reynald menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung memikirkan jawaban apa yang cocok untuk dikatakan. “Em, itu karena dia sangat pas membuatkan saya kopi!” jawab Reynald cepat. “Ehem!” Wira mal
Riana menarik napas dalam, lalu ia hembuskan secara kasar. “Bukankah kamu sendiri yang tidak ingin memiliki anak? Lalu kenapa kamu berkata seakan aku lah yang tidak memberikanmu anak?” pertanyaan yang keluar dari mulut Riana, membuat hatinya teriris perih. Dia sudah beberapa kali merengek menginginkan anak kepada sang suami tetapi, lelaki itu selalu berkata nanti, nanti dan nanti. Lalu sekarang Reynald malah berkata kalau Riana tidak bisa memberikan anak kepadanya? Sunguh, kalau seorang lelaki yang tidak menginginkan wanitanya lagi maka akan ada seribu alasan untuk mengatakan kalau sang wanita tidak baik atau cocok untuknya. “Berhubung hari ini kamu sudah gajian, jadi sekarang kamu bisa mencari rumah kontrakan untuk dirimu sendiri,” perkataan Reynald membuat Riana menjadi bingung. “Maksud kamu apa?” Riana menatap Reynald meminta penjelasan. “Maksud Reynald itu, kemasi semua barang kamu yang ada di rumah ini lalu pergi dari sini. Gitu aja masa tidak tahu sih!” ketus Diandra, ia amat
Wira yang melihat Riana di samping sang ibu bergegas bersembunyi di belakang sofa, sebenarnya ia selalu memakai pakaian lengkap di rumah. Hanya saja dia habis mandi dari kamar mandi luar lantaran air panas tidak keluar dari sana, lalu sehabis mandi ia merasa lapar teringat ada buah berserta cemilan di ruang tamu. “Mama kira kamu tidak pulang hari ini, jadi bawa Riana kemari untuk menginap,” “Riana akan menginap di sini?” Wira menatap tidak percaya. “Iya,” jawab Desi singkat, ia tidak enak menceritakan kepada Wira masalah Riana saat di depan orangnya sendiri. “Kalau Bapak keberatan, saya akan mencari tempat lain untuk menginap.” Riana menunduk, ia merasa malu menatap Wira yang masih bertelanjang dada. Padahal lelaki itu sudah bersembunyi di belakang sofa, tetap saja Riana malu dan menjadi salah tingkah lantaran melihat roti sobek Wira. “Kan tante bilang bahaya bagi seorang wanita malam-malam di luar, Wira tidak akan masalah kalau kamu menginap atau malah tinggal di sini. Toh dia j
“Sudah. Kamu temanin tante di sini, jangan ke mana-mana.” Pinta Desi sambil menggenggam tangan Riana. Riana yang melihatnya menjadi tidak tega, ia terpaksa menganggukkan kepala tanda setuju sehingga membuat Desi tersenyum senang. Wira yang berada di balik tembok juga merasakan hal yang sama, saking senangnya ia tidak sengaja berteriak membuat kedua wanita tersebut menoleh kepada dirinya. “Halo, iya. Saya akan segera ke sana.” Wira pura-pura tengah menerima panggilan dari seseorang. “Ma, Aku pamit berangkat kerja dulu, ada meeting penting di kantor,” pamit Wira kepada Desi. “Bukannya sekarang Minggu?” Riana menatap heran sang bos, makanya itu tanpa sadar dia bertanya yang membuat Desi dan Wira malu. “Dia memang selalu kerja, Riana, tidak peduli itu hari Minggu. Bahkan kemarin juga Sabtu kan? Nah, dia tetap bekerja, hanya saja karena perusahaan lain memberikan libur Sabtu dan Minggu, ia pun terpaksa melakukannya karena tidak mau membuat karyawan mereka kelelahan,” jelas Desi. Memang
“Memang mau ke mana, Tante?” Riana bertanya dengan raut bingung. “Jalan-jalan saja, tante bosan di rumah,” sahut Desi. Desi tidak ingin mengatakan kalau dia sedang kesal dengan mertua Riana, toh buat apa juga kalau wanita tersebu tahu, tidak ada hubungan apa pun dengannya dan juga nanti Riana malah sakit hati mendengar ceritanya. “Aku ganti pakaian dulu sebentar, ya, Tante,” “Iya, akan tante tunggu di sini,” Riana masuk ke dalam kamar yang ia tempati, membuka tas dan mulai memilih pakaian apa yang layak dipakai untuk pergi bersama Desi. “Pakaian yang mana, ya?” Dia bermonolog seorang diri sambil terus memandangi isi tasnya. Memang Riana tidak ada kepikiran untuk menaruh semua pakaiannya di dalam lemari, ia tidak ada niat untuk terus menumpang di sini. Kalau ada kesempatan akan pergi mencari rumah untuk di tempati, itulah yang dia pikirkan. Riana keluar dengan menggunakan warna merah muda, lengkap dengan hijabnya dan tidak lupa menggunakan tas kecil murah. “Maaf, Tante, Aku belum
“Siapa yang cantik, Wir?” pertanyaan Desi membuat Wira gelagapan, ia tidak sadar kalau berbicara dengan mulutnya bukan di dalam hati. Desi tertawa pelan melihat respon yang diberikan sang putra, ia sebenarnya tahu kalau Wira memuji Riana yang terlihat cantik, tetapi dia hanya ingin bermaksud menggoda lelaki tersebut. “Riana kah? Nah benar kan kata tante, Wira saja berkata kalau kamu cantik,” “Tidak.” Wira menggelengkan kepala pelan, gugup itulah yang dia rasakan. “Jadi memang aneh, ya?” Riana terlihat murung sekarang. Memang sedari tadi dia tidak terlihat nyaman memakai pakaian yang dipilihkan oleh Desi, walau masih menggunakan hijab tetap ia tidak terbiasa menggunakan pakaian masa kini. Lantaran terbiasa menggunakan gamis atau rok panjang, jadi sedikit risih baginya menggunakan pakaian muslimah moderen. “Tidak, cantik kok!” jawab Wira cepat, wajahnya langsung memerah karena malu. “Terima kasih,” Kedua insan itu menjadi terlihat canggung membuat Desi menarik napas kasar, dia me