RUMAH KEDIAMAN KELUARGA NATALIA
Natalia pulang ke rumah dengan perasaan yang bercampur aduk, seharusnya hari ini dia masuk kerja, karena hari ini bukanlah hari libur tapi Natalia enggan karena badannya terasa sangat capek. Dia tidak peduli jika akan terkena marah oleh atasannya yang terkenal galak dan disiplin di restoran---tempat dia bekerja itu. Seharusnya Natalia saat ini khawatir atasannya akan memecatnya, lantas Natalia akan menjadi pengangguran karena sudah enam kali dia absen tidak masuk kerja tanpa alasan yang jelas. Tapi yang pasti, semalaman dia hampir tidak tidur akibat melayani hasrat Marlon yang menggebu-gebu. Agaknya dia akan sedikit demam, itu yang Natalia rasakan. Jari tangannya yang lentik, menyapu rambutnya yang menutupi sebagian wajah ayunya, karena angin berhembus kencang tatkala kakinya menapaki emperan rumah papanya. "Bagus ya, semalam gak pulang dan sekarang pulang sudah siang!" sapa seseorang, suara yang sangat Natalia kenal itu tengah menegurnya. Natalia tidak menyukai pemilik suara tersebut, sebab dia yang menyebabkan kedua orang tuanya bercerai. Meskipun begitu, Natalia membenci orang tersebut sewajarnya saja. Tidak mau terlalu ambil pusing. Natalia tidak terlalu membencinya itu semua karena kedua orang tuanya masih akur sampai saat ini, walaupun sudah bercerai dan tinggal terpisah. Coba saja jika kedua orang tuanya bermusuhan, maka Natalia akan sangat membenci wanita tersebut. Bahkan melihat mukanya saja, Natalia tidak akan sudi. Natalia memandang dengan tatapan tidak suka, terpaksa Natalia harus meladeni omongan orang yang tidak penting bagi Natalia itu. "Tante tidak usah bertingkah seolah Tante itu adalah mamaku! Selamanya Tante itu tidak akan pernah jadi mamaku! Karena mamaku cuma satu dan yang pasti itu bukan Tante!" sahut Natalia. Wanita paruh baya yang bernama Mariam itu melotot, tangannya memegang handel pintu dan tubuh bahenolnya memenuhi pintu yang hanya terbuka sedikit saja. Natalia akui bahwa ibu tirinya itu memang memiliki badan yang bagus. Meskipun umur sudah setengah abad tapi tubuhnya masih padat dan kulitnya kencang. Pantas saja dia menjadi orang ketiga dalam rumah tangga kedua orang tuanya. Lelaki manapun, pasti tidak akan mampu menahan lebih lama jika terus digodanya. Dan sialnya papa Natalia salah satu korbannya. Natalia yakin, saat ini papanya sudah pergi ke kantor dan di rumah hanya ada Mariam dan seorang pembantu yang umurnya sudah tidak muda lagi. Pembantu itu memang sudah ada sejak Natalia belum lahir. "Dasar anak durhaka, aku ini sudah sah menjadi istri papamu sejak 1 tahun lalu. Seharusnya kamu ingat itu dan aku berhak untuk mengaturmu!" balas Mariam meradang. Natalia sudah malas berbicara, dia hendak menerobos masuk ke dalam rumah dan tidak mau mempedulikan Mariam lagi, tapi secepat kilat Mariam menghentikannya. "Ekh, enak aja main masuk!" Mariam mendorong bahu Natalia sebelah. Karenanya, Natalia berhenti dan mengurungkan niatnya. Tubuhnya sedikit terhuyung, karena sangat capek. Untung saja tidak sampai jatuh. "Ada apalagi? Ini rumah papaku, aku mau masuk!" Mariam berkacak pinggang dan menatap Natalia dengan penuh kebencian. "Hebat ya kamu tidak masuk kerja! Berarti kamu udah ada uang, kan? Mana, kamu harus bayar uang sewa rumah ini jika kamu mau masuk untuk tidur, karena rumah ini sudah beralih menjadi namaku. Papamu sudah menyerahkannya padaku." Tercengang Natalia mendengar ucapan Mariam. Bibirnya yang sensual terbuka sedikit, permainan apalagi yang sedang Mariam perankan? Begitu pikir Natalia. "Gak mungkin," gumam Natalia pelan. Rumah yang sudah dibangun lama dengan keringat kedua orang tuanya, tempat Natalia dibesarkan dan mendapatkan kasih sayang selama ini harus jatuh ke tangan orang lain. Natalia sungguh sangat sedih bila itu memang benar-benar terjadi. "Kenapa? Kamu kaget? Gak percaya? Baiknya kamu tanya langsung sama papa kamu nanti kalau kamu masih tidak percaya," tantang Mariam. "Untung aja aku masih ada rasa cinta sama papa kamu, kalau enggak sudah ku usir dari kemarin-kemarin," lanjut Mariam. Hanya bisa terdiam saja, saat ini Natalia bisa saja percaya dengan omongan Mariam karena memang yang terjadi papa Natalia seperti terhipnotis oleh Mariam, apa pun selalu menurut padanya. Maka tak jarang Natalia terlibat cekcok dengan Mariam, papa Natalia selalu membela Mariam, meskipun itu bukan sepenuhnya salah Natalia. "Akh! Kelamaan!" Mariam merampas tas yang ada di tangan Natalia, Natalia tersadar dari lamunannya dan kini hendak merebut tas miliknya kembali tapi Mariam mempertahankannya. "Kamu harus membayarnya, biarkan aku ambil sendiri!" Mariam pun membuka tas Natalia dan langsung mencari dompet. Natalia hanya pasrah. "Arrrrggghhh!!!" teriak Mariam. Natalia memperhatikan Mariam, dia melihat Mariam merasa shock alias kaget. "Ap-apa? Kamu gila, ya? Kamu berlagak seperti orang kaya males-malesan kerja, tapi uang tidak ada?" Natalia mengambil semua uang yang berada di dompet Natalia lalu tas dan dompetnya di lempar ke arah Natalia. Refleks Natalia menangkapnya. Natalia memang sudah tidak memiliki uang, itu uang terakhir yang dia miliki dari hasil kerja Natalia. Untung saja Natalia memiliki kekasih yang royal, pagi tadi Marlon mentransfer uang 10 juta. Lumayan, itu setara gaji Natalia selama 5 bulan bekerja sebagai pelayan restoran. Biasanya dengan uang Marlon, Natalia bisa membelikan sesuatu pada mamanya dan memberikan uang untuk pegangan. Natalia memang dilahirkan dari keluarga yang lumayan kaya akan tetapi sejak perceraian yang terjadi pada kedua orang tuanya semua berubah drastis. Papa Natalia seperti tersihir oleh istri barunya, papa Natalia tidak seroyal dulu. Bahkan, Natalia harus berkerja untuk mamanya dan dirinya sendiri hidup. Terkadang papanya memberikan uang yang tidak seberapa, tapi kalau ketahuan Mariam selalu diminta lagi. Memang mama tiri yang pelit. Sedangkan mama kandung Natalia kini tinggal di sebuah rumah kontrakan yang sederhana, yang masih satu kota dengan mereka. "Ini hanya 300 ribu? Kamu gak niat kerja ya?" omel Mariam. Natalia rasa Mariam sudah mendapatkan apa yang dia mau, Natalia langsung masuk tanpa minat mendengarkan ocehan Mariam lebih lama lagi. "Eh, eh, eh. Dasar anak tidak sopan! Orang tua masih berbicara main pergi-pergi saja!" teriak Mariam. Natalia tidak peduli lagi dengan ocehan Mariam. Rasa-rasanya telinganya sudah kembali nyaman ketika dia memasuki kamarnya yang bercat biru laut itu. Natalia mengitari kamarnya yang terlihat selalu rapi, meskipun saat ini dirinya tinggal dengan papa dan juga mama tirinya tapi Natalia bersikap adil. Natalia selalu mengunjungi mamanya. Sebenarnya papa Natalia melarang keras Natalia untuk bekerja dan menyuruh Natalia melanjutkan kuliahnya tapi Natalia tidak mau. Lagipula Natalia tidak yakin bahwa papanya itu akan berhasil membiayai kuliah Natalia selama Mariam masih ada. Natalia ingin hidup senyamannya. Jika saja Natalia meneruskan kuliahnya, siapa yang akan menghidupi mamanya? "Jika memang benar rumah ini sudah beralih nama, papa benar-benar sudah keterlaluan. Aku harus tanya soal ini pada papa dan aku bersumpah, aku tidak mau lagi tinggal di sini dengan papa. Lebih baik aku ikut mama." Natalia melucuti semua pakaiannya dan dibiarkan berserakan di lantai. Lantas Natalia berjalan ke arah kamar mandi, berharap setelah dia berendam nanti penatnya akan hilang. *** KANTOR CV. ADI JAYA Marlon tertegun tatkala mendengar suara ketukan pintu ruangannya. "Masuk!" perintah Marlon. Daun pintu itu pun langsung terbuka dan Melly masuk membawakan pakaian yang Marlon minta. "Saya mau mengantarkan baju, Boss," ujar Melly. Marlon pun berdiri dan menerima pakaian tersebut. "Aku mau keluar sampai jam makan siang selesai. Kamu urus pertemuan dengan para kolega dari Malaysia nanti malam," lanjut Marlon. "Baik, Boss. Tapi bagaimana kalau boss besar datang ke kantor mencari Boss lagi?" tanya Melly. "Itu urusanku, baiknya kamu keluar dari ruangan ini sekarang!" perintah Marlon. Tanpa menunggu lagi, Melly langsung berbalik badan dan berjalan menuju pintu keluar. Marlon memperhatikan baju yang berada di tangannya. Warna baju itu sama persis seperti yang sering mendiang mamanya siapkan. "Aku harus segera pergi temui dia!" gumam Marlon.Hanya dalam waktu tidak lebih dari 10 menit, mobil mewah milik Marlon telah tiba di halaman rumah kediamannya yang berlantai dua dengan pilar depan yang menjulang tinggi, menambah kegagahan rumah bercat warna putih tersebut.Sejak tiga tahun terakhir itu, dia memang sudah menghabiskan hari-harinya untuk tinggal di rumah yang dia beli. Rumah itu khusus untuk tinggal dirinya bersama istrinya---Sarah.Meskipun begitu, Marlon lebih banyak hidup di luar. Marlon terpaksa menyebut rumahnya itu adalah rumah utama. Ya! Rumah yang dia tempati bersama Sarah. Karena tidak mungkin bagi Marlon harus tinggal bersama papanya di rumah tempat dia dibesarkan.Apalagi jika ada acara keluarga, rumah Marlon yang akan menjadi tempat utama. Padahal rumah itu tidak semewah mansion milik tuan Carlos. Orang tua Marlon dan Sarah memang sudah percaya penuh terhadap mereka, meskipun pernikahan mereka hanyalah sebuah permainan saja bagi mereka.Sandiwara pernikahan itu sudah membuat kesan yang mendalam bagi keluarg
Selepas kepergian kedua orang tua Sarah dan juga papa Marlon dari rumah mereka beberapa menit yang lalu, akhirnya keduanya hanya terus bisa berdiam diri di tempat mereka masing-masing.Mereka dengan pikirannya yang tidak menentu.Marlon tidak mencintai Sarah, begitu juga sebaliknya. Sarah sama sekali tidak tertarik dengan pria tampan yang berada di hadapannya itu. Apalagi Marlon amat dingin terhadapnya, sikapnya sudah tidak Sarah suka sejak awal pertemuan mereka.Hal itu sudah wajar karena keduanya sudah memiliki kekasih masing-masing. Meskipun begitu keduanya tidak membuka kartu satu sama lain di hadapan kedua orang tua mereka ataupun khalayak publik.Marlon tidak tahu siapa cowok Sarah dan begitu juga dengan Sarah yang tidak tahu menahu siapa cewek Marlon.Tanpa aba-aba keduanya memandang satu sama lain. Awal mulanya tatapan mereka memiliki sebuah arti walaupun itu tidak begitu jelas.Lama-kelamaan mereka jadi teringat akan keberadaan mereka di rumah tersebut karena sebuah perjodoha
Seperti yang pernah Sarah rasakan beberapa waktu lalu.Rasanya sama seperti ketika Sarah memergoki Evan sedang makan berdua dengan salah satu sahabat ceweknya di tempat favorit Evan, tentunya saat awal-awal hubungan keduanya dulu.Sarah sebenarnya merasa sangat cemburu dengan keberadaan sahabatnya itu, yang menurut keterangan Evan adalah sahabat kecilnya dan sampai sekarang mereka masih tetap bersama dan berteman baik.Sarah pun tahu diri, kemudian merasa dirinya tidak memiliki hak untuk memisahkan sepasang sahabat tersebut ataupun melarang Evan untuk berkomunikasi dengan sahabatnya itu.Sarah sempat khawatir hubungannya dengan Evan rusak dengan kehadiran orang ketiga yaitu orang yang disebut sahabat. Namun, sekarang Sarah sangat mempercayai Evan.Evan memang tidak sekaya Marlon, bisa dikatakan Evan hanyalah pemuda dari kalangan bawah, tetapi rasa cinta Sarah terhadap Evan tidak diukur dengan harta."Iya, Sayang. Aku tau kok, kamu yang sabar ya."Lagi-lagi Marlon terus berbicara mesra
Seperti yang pernah Marlon bilang sebelumnya pada Natalia, malam ini dirinya tidak bisa menemani Natalia, akan tetapi Marlon tidak tega dan tidak mampu juga mengabaikannya saat Natalia menelponnya dan merengek minta di temani. Ternyata Natalia hendak pergi dari rumah ibu tirinya. "Aku tidak bisa tinggal lebih lama lagi di sini, aku seperti orang asing. Apa kamu bisa temani aku untuk mencari kontrakan untuk sementara waktu, Sayang? Karena aku tidak mungkin tinggal bersama papa dan mama tiriku lagi," ujar Natalia beberapa jam yang lalu. "Kenapa kamu tidak tinggal di rumah mama kandung kamu saja, Sayang?" tanya Marlon. Bukankah selama ini Natalia juga sering menginap di rumah mama kandungnya? "Aku tidak ingin membuat mama kepikiran jika dia tau yang sebenarnya mengapa aku menetap di rumah mama. Tentu saja mama akan marah pada papa dan aku tidak mau mereka bertengkar," jawabnya terdengar sedih. "Baiklah, aku yakin keputusanmu sangat baik untuk ke depannya, aku akan ke sana." Mes
Tidak butuh waktu lama, tepat pukul 9 malam mobil yang dikendarai oleh Sarah dan Vita kini sudah terparkir rapi di salah satu halaman cafe yang sedang digandrungi di kalangan masyarakat saat ini. "Gimana menurutmu, Sar? Bagus banget 'kan cafenya?" Vita meminta pendapat Sarah, Vita sangat yakin jika Sarah juga menyukainya karena keduanya memiliki selera yang hampir sama. Dari dalam mobil Sarah dapat melihat dengan jelas bagian depan cafe yang terlihat sangat elegan, dindingnya dihiasi lampu-lampu kecil. Tidak begitu ramai akan tetapi terlihat begitu natural. Sarah memperhatikan dari dalam mobil sambil kepalanya manggut-manggut. "Ya, lumayan bagus," sahut Sarah. Sarah sudah mengunjungi puluhan tempat di berbagai negara, untuk hal-hal seperti itu tentu saja Sarah pandai menilai. Parkiran hampir penuh, mobil Sarah paling mewah di antara semua kendaraan yang ada karena kebanyakan orang yang berkunjung dari kalangan menengah ke bawah. Vita buru-buru keluar dari dalam mobil. Dia
Di meja nomor 18 "Gimana? Kamu suka gak makan di sini?" tanya Marlon yang tidak dapat mengalihkan pandangannya pada Natalia yang duduk di hadapannya. Mereka sudah tiba di cafe itu beberapa menit yang lalu, kini mereka juga tengah menikmati masakan cafe tersebut. "Ini sangat bagus, Sayang. Lebih bagus dari tempatku bekerja, padahal ini hanya cafe sedangkan tempatku bekerja itu restoran. Kamu memang pandai memilih," sahut Natalia jujur. "Tentu saja, aku tidak mungkin mengajakmu ke tempat yang tidak biasa karena bagiku kamu itu ratu. Ayo di habiskan makananmu," pinta Marlon. Natalia mengangguk senang. Mereka menyantap makanan mereka dengan sesekali mengobrol random. "Ehh, coba deh kamu rasakan makanan aku. Ini enak banget," kata Marlon menyodorkan steak yang sudah berada di dekat mulut Natalia. Natalia pun membuka mulutnya. "Hmmm." "Gimana?" tanya Marlon melihat wajah Natalia tampak menikmati makanan yang dikunyahnya. "Ini sungguh enak, Sayang," sahut Natalia. Mereka ber
"Ya. Aku memang cemburu!" ujar Sarah dengan mantap, hal itu membuat Marlon berhenti tertawa. Tidak menyangka sama sekali jika istrinya itu akan cemburu pada Natalia. "Apa maksudmu? Kita sudah sepakat untuk mengurus urusan kita masing-masing tanpa kita ikut campur urusan kita satu sama lain," ingat Marlon pada Sarah. Seperti tidak terima, tapi entah mengapa hati Marlon menghangat mendengar keterangan Sarah itu. Terlihat sangat jelas wajah Sarah yang menahan amarah. Namun, ada kesedihan juga di dalamnya. "Cemburu itu hakku, kenapa kamu mengaturnya?" tanya Sarah menantang. "Hak?" ulang Marlon tidak mengerti. Dia amat tidak menyangka sedikitpun jika Sarah sekarang berani mengungkapkan perasaannya itu pada Marlon. Sarah tahu jika dirinya saat ini seperti sebuah lelucon di mata Marlon. Bagaimana tidak? Dulu Sarah lah yang menginginkan kehidupan seperti yang terjadi sekarang tetapi kenyataannya, lambat laun Sarah diam-diam memperhatikan perhatian Marlon yang jauh berbeda dari sebel
Sarah tersenyum kecut, teramat begitu kecut. Bagaimana tidak, apa yang Marlon tebak itu benar adanya. Sarah memang menginginkan perpisahan tapi bukan waktu yang tepat untuk sekarang ini. "Kamu pikir enak ya jadi aku berada di posisi yang sekarang? Aku tau maunya kamu itu ke arah mana pada hubungan ini, aku pun sama. Tapi...." Ucapan Sarah berhenti. Marlon dan Sarah serempak menengok ke arah pintu, suara bel berbunyi. "Itu pasti dia datang, kamu lihat sana," pinta Marlon pada Sarah. Sarah agak melotot karena mendapatkan perintah dari Marlon. "Kamu menyuruhku? Sejak kapan kita saling suruh-menyuruh? Lagian sudah ada bi Sumi, iya kan?" tanya Sarah mengingatkan. Marlon menggelengkan kepalanya sendiri. "Kamu nurut saja, bukain pintu untuknya. Ini semua demi agar kita terlihat kompak dan baik-baik saja," ujar Marlon menjelaskan. Sarah telah salah sangka pada Marlon, apa yang Marlon bilang benar juga. 'Benar juga apa kata gerandong. Bukankah dengan begitu, kita akan terliha
Natalia duduk di salah satu gazebo yang berada di samping kantor, Natalia sungguh dibuat kagum dengan interior bangunan kantor di tempatnya bekerja tersebut. Sangat luas dan bagus, bahkan ada taman yang indah di sana.Sungguh lengkap.Beruntung di hari pertamanya kerja, Natalia bisa menikmati suasana kantor di tempat tersebut.Natalia membuka botol yang dibawanya dari pantry hasil pemberian Hendrik tadi dan meminumnya beberapa teguk. Rasanya sungguh segar, antara manis dan dingin membuat kerongkongannya terasa begitu melegakan.Natalia mengalihkan atensinya saat mendengar suara orang mengobrol. Rupanya ada beberapa karyawan yang baru saja melewati tempat dimana Natalia berada, kemungkinan mereka karyawan yang masuk shift siang. Ada juga yang hendak pulang membawa tasnya dengan wajah kuyu tapi sekaligus berseri-seri.Mereka mencuri pandang ke arah Natalia sebentar, tapi setelahnya mereka tidak peduli dan tampak beberapa dari mereka mengedikkan bahunya. Natalia yang melihat itu hanya bi
Deg! 'Apa yang terjadi?' tanya Sarah dalam hati. Sarah melihat mata Sarah sudah berkaca-kaca, rupanya ada yang Sarah terlewatkan di sini. Sarah mendekati ranjang tempat Tania berada."Apa yang kamu bicarakan, Tania?" tanya Sarah, tangannya terulur hendak menyentuh kepala Tania. Sarah ingin mengelus rambut adik kecilnya itu yang kini sudah sama-sama dewasa. Sarah masih ingat bagaimana dulu mereka melewati hari-hari bersama-sama dari kecil hingga akhirnya saat Sarah masuk kuliah harus berpisah dengan Tania karena Sarah harus melanjutkan studinya ke luar negeri. Begitupun juga dengan Tania. Saat Sarah sudah kembali ke tanah air karena telah menyelesaikan studinya dengan baik, hanya beberapa saat saja Sarah bertemu Tania. Tania bergantian harus terbang ke luar negeri untuk masuk kuliah, sedangkan saat itu Sarah langsung dijodohkan dengan Marlon. Semua itu sudah berlalu, 3 tahun yang lalu dan kini mereka sama-sama di tanah air bersama kedua orang tuanya. Tania menghindar saat Sarah h
"Ehh, Non Tania. Kenapa balik lagi? Kenapa gak gabung dengan tuan, nyonya dan non Sarah di taman belakang?" tanya bibi yang hampir bertabrakan dengan Tania, adik Sarah. Tanpa menjawab, Tania melewati pembantu yang menyapanya barusan. Wajahnya terlihat begitu kesal, pembantu itu hanya bisa diam tanpa berani membuka suara lagi. Dia sudah hafal dan memaklumi tabiat Tania yang kadang seperti anak kecil tapi terkadang juga cukup dewasa. Yang jelas masih labil. Sebenarnya dia tidak ingin ambil pusing dengan tingkah majikannya yang satu itu tapi tidak dengan menyembunyikan wajah kebingungannya. "Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa sepertinya non Tania begitu kesal setelah ana non Sarah?" monolog pembantu tersebut. Namun, setelah itu dia tidak lagi memikirkan sikap majikan kecilnya yang sebenarnya sudah berumur 22 tahun itu, dia pun meneruskan perjalanan membawa baki berisi minuman dan juga cemilan untuk dibawanya menuju taman belakang. "Maaf ... mengganggu waktunya sebentar, Tuan, Nyonya
"Natalia?" ulang Marlon sekali lagi. Melly mengangguk dengan pasti."Benar, Boss. OB yang biasa membersihkan ruangan ini sudah mengambil cuti untuk beberapa hari ke depan karena orang tuanya meninggal dan rumahnya di kampungnya, Boss," lapor Melly.Marlon mengangguk mengerti."Aku ingin OB laki-laki yang membersihkan ruangan ini, bukan OB baru yang kamu maksud itu. Bisa-bisa dia bikin kekacauan di ruanganku," ucap Marlon memberikan perintah."Tapi, Boss. Bukankah tak masalah meskipun anak baru tapi OB itu sangat cekatan bekerja. Bahkan hingga pagi ini dia sudah membersihkan lebih dari 10 ruangan dengan gesit dan tentunya sangat bersih, untuk itu kepala OB me___" Bantahan Melly terpotong tatkala Marlon membuka suara yang lagi-lagi membuat Melly heran."Apa? 10 ruangan?" Marlon melirik jam tangannya, padahal baru beberapa jam para karyawannya efektif masuk jam kerja.'Dia terlalu bersemangat untuk bekerja, aku jadi tidak tega,' batin Marlon."Iya benar. Ada apa, Boss?" Melly menampilka
Marlon merasa tidak berdaya setelah mendengar keterangan dari Natalia bahwa Natalia kini bekerja di perusahaannya sendiri.Dan terlebih lagi Natalia diterima bekerja menempati posisi rendah yaitu sebagai OB. Ini sungguh miris tetapi Marlon tidak bisa bertindak apapun saat ini.Tidak mungkin Marlon akan mengatakan pada Natalia bahwa perusahaan Adi Jaya adalah perusahaan miliknya, itu akan membuat dia shock. Masih mending jika Natalia percaya lalu memaafkannya karena selama ini telah berbohong sebagai orang biasa tetapi bagaimana jika Natalia justru berbalik membencinya?Lagi pula hanya Natalia wanita satu-satunya yang mau menerima kekurangan Marlon sebagai orang biasa. Karena memang sebelumnya Marlon pernah beberapa kali dekat dengan wanita sebagai orang biasa, tapi pandangan wanita-wanita tersebut seakan jijik. Wajah tampan Marlon seperti sia-sia saja karena dompetnya kosong.Marlon berniat akan mengangkat posisi Natalia, dari OB agar menjadi lebih baik nantinya. Hanya saja dia memerl
Sekitar pukul 02.00 dini hari, Natalia membuka matanya. Dia pun berjalan ke arah kamar mandi karena kebelet ingin buang air kecil.Natalia tetap berjalan dengan anggun meskipun tubuhnya masih polos karena tidak ada sehelai benang pun yang melekat di tubuhnya. Hanya beberapa menit saja, dia pun keluar kamar mandi dengan wajahnya yang masih mengantuk walaupun dia sudah mencuci mukanya.Dilihatnya Marlon masih tertidur dengan dengkurannya yang halus dan hanya memakai selimut hingga sebatas pinggangnya.Natalia pun mendekati Marlon yang masih saja dengan setia memejamkan matanya sejak 1 jam yang lalu, seakan-akan tidak terusik dengan pandangan Natalia yang hanya beberapa sentimeter saja dari wajahnya. Bahkan mungkin nafas Natalia bisa menerpa wajah Marlon.Sebenarnya dalam hati Natalia merasa bersalah karena malam ini adalah malam yang sudah direncanakan oleh Natalia. Natalia sengaja mencampurkan obat perangsang dan juga sengaja melenyapkan pengaman yang biasa Marlon pakai. Tentu saja den
Malam hari, Marlon benar-benar menemui Natalia di apartemennya. Sebelum ke apartemen, Marlon menyempatkan diri mampir untuk membeli sesuatu, Marlon memutus membeli satu box coklat dan juga buket bunga mawar.Natalia merupakan wanita pada umumnya, dia menyukai cokelat dan juga bunga.Mana mungkin Marlon apel dengan tangan hampa.Setidaknya Marlon akan membawakan sesuatu untuk Marlon, walaupun berkali-kali Natalia mengatakan tidak perlu. Rasanya ada yang kurang jika Marlon benar-benar tidak membawa apapun untuk Natalia, terlebih lagi uang Marlon banyak.Ting tongSuara bel mengalihkan atensi Natalia yang berada di dalam sedang asik menonton film drama Korea kesukaannya. Dia memang pecinta drama Korea."Wah ... Itu pasti Marlon," gumam Natalia yang wajahnya semakin cerah. Natalia buru-buru membukakan pintu untuk Marlon."Sayaaang!" Seperti biasanya, Natalia langsung memeluk Marlon dengan erat. Tentu saja Marlon juga membalas pelukan Natalia tak kalah erat."Aku kira kamu tak akan ke sini
Marlon berdehem untuk menetralkan kegugupannya. "Halo, halo? Suaranya kurang jelas, Sayang." Marlon bak orang bodoh, malah pura-pura kehilangan sinyal. Handphone elit, sinyal sulit. Mungkin begitulah kiranya anak muda bilang. "Maaf, Sayang. Apa aku mengganggu kerjamu?" tanya Natalia, terdengar nadanya seperti merasa bersalah. "Ti-tidak, ini masih jam makan siang makanya aku masih istirahat dan bisa menjawab teleponmu," jawab Marlon yang sepenuhnya tidak berbohong. Matanya melirik makanan di atas meja yang di pesankan oleh Melly tadi sebelum pergi. Masih banyak dan hanya sedikit saja yang masuk ke dalam mulut Marlon, sebagian masih utuh tak tersentuh. Marlon memilih mengerjakan pekerjaannya terlebih dahulu karena ingin segera bersantai setelahnya, akhirnya Marlon tidak menghabiskan makanannya. Dia pun merasa rindu dengan Natalia. Kemungkinan nanti malam Marlon akan berkunjung ke apartemannya yang kini dihuni oleh Natalia. "Ohh syukurlah. Kamu sudah makan siang? Boleh aku v
Kini Natalia sudah berada tepat di depan mall. Setelah membayar ongkos taksi, Natalia segera masuk dengan penuh percaya diri. Meskipun dia sudah menanyakan perihal lowongan pekerjaan yang kemungkinan tersedia di salah satu stand di mall tersebut kepada satpam di depan tadi, dan sayangnya sang satpam mengatakan jika satpam itu belum memiliki informasi tapi Natalia tetap masuk untuk mencari tahu sendiri. Natalia berfikir mustahil jika satpam di depan pintu masuk mall tersebut memiliki informasi secara lengkap mengenai semuan stand di mall sebesar itu yang membutuhkan karyawan baru. Natalia mencari toilet terlebih dahulu untuk memastikan penampilannya. Dia akan merapikan yang perlu dirapikan, walaupun Natalia sudah rapi dan penampilannya menarik seperti biasanya akan tetapi dia tetap ingin mengeceknya karena di sana dia merasa bebas bercermin dengan kaca yang besar. Tidak lucu 'kan jika dirinya mau numpang bercermin di stand pakaian di mall tersebut? Apalagi dia tadi sempat berlar