Suamiku pak Badrun menelepon mengabarkan, hari ini dia akan pulang. Dan di sini akan lama karena ada urusan bisnis di kota ini. lambat laun aku mulai menerima kehadiran suamiku. Suamiku selalu bersikap lembut dan penuh kesabaran kepadaku. Biasanya dia pulang sampai rumah pukul lima sore. Ibuku sibuk di dapur memasak untuk di hidangkan nanti kalau suamiku pulang.
“Rin, ini masakan sudah siap, nanti kalau suami Kamu pulang, tinggal memanasi saja.”
“Ya Bu! Jawabku.
Ibu datang menghampiriku dan mengajaku berbicara.
“Rin, apakah Kamu sudah bisa menerima, pak Badrun?
Aku terdiam menanyakan pada hatiku, lalu mendesah.
“Entahlah, Bu!
“Cobalah untuk menerimanya, agar hatimu tidak terlalu tersiksa, pak Badrun itu juga baik serta bertanggung jawab.
Aku memikirkan kata-kata ibu, yang ku rasa benar perkataannya. Suamiku pak Badrun selalu membahagiakanku, tidak menuntut dan memaksakan apa pun padaku.
“tin ... tiin ...!”
Terdengar klakson mobil, itu kebiasaan suamiku jika pulang selalu membunyikan klakson untuk memberi tanda.
“Assalamualaikum!”
Suamiku masuk ke rumah, aku keluar kamar dan menyambutnya.
“Wa’alaikumsallam!”
Ku raih tangannya dan ku cium punggung tangannya, ku lihat wajahnya tampak lelah.
“Mau mandi dulu apa, biar segar tubuhnya?”
“Ya, tolong ambilkan baju ganti ya, Rin!
Aku berjalan masuk ke kamar untuk mengambilkan baju ganti suamiku, lalu kuserahkan padanya.
“Ini Mas, baju gantinya,” ucapku
Setelah menerima baju ganti, suamiku langsung bergegas mandi. Usai mandi suamiku duduk santai di ruang keluarga sambil menonton televisi. Aku lihat suamiku sedang berbincang-bincang dengan adik-adiku, mereka tampak akrab tidak ada kecanggungan sama sekali. Tidak seperti diriku yang merasa masih asing, apa aku terlalu menutup diri?
“Arini sini!” melamun saja,”
Aku tersentak dari lamunanku mendengar suara panggilan dari pak Badrun suamiku. Mendengar panggilannya aku berjalan mendekatinya.
“Ayolah duduk sini! Jangan terlalu tegang.”
Aku mengikuti perintah suamiku untuk duduk di sampingnya. Sedangkan adik-adikku, Lasmi dan Ratih duduk di karpet.
“Rin, bagaimana kalau besok kita sekeluarga berlibur?” mumpung aku lagi bebas tak ada kerjaan.”
“Iya Kak, saya mau,” adikku serentak menjawab.
“Kita tanya dulu pada ibu, mau apa tidak,” jawabku.
Tiba-tiba ibu sudah berada di belakang kami dan langsung menjawab.
“Iya, aku mau! Sekali-kali kita refresing cari udara segar, berlibur tidak di rumah terus.”
“Ibu ingin berlibur ke mana?” tanya suamiku.
“Kalau bisa ya, yang dekat-dekat saja, biar tidak terlalu capek di perjalanan.”
“Bagaimana kalau di pantai saja, Bu?” selain dekat pemandangannya juga indah dan Kita bisa mandi di sana,” jawab lasmi.
“Ibu sih, setuju-setuju saja, bagaimana, Arini?”
“Jika Ibu dan adik-adik suka, aku ikut saja.”
Karena semua anggota keluarga setuju aku tidak bisa menolak, aku juga ingin membuat ibu dan adik-adiku bersenang-senang. Pagi menjelang, usai sholat subuh, kami bersiap memasak untuk sarapan dan bekal di perjalanan. Suamiku juga sudah mandi dan berpakaian rapi. Sedangkan adik-adikku, Lasmi dan Ratih belum siap.
“Ratih! Lasmi! Ayo cepat, keburu siang!”
Kami berencana berangkat pagi, agar tidak terjebak macet.
“Iya Kak, Kami sudah siap,” jawab adik-adikku kompak.
“Ibu mana, Kak?”
“itu lagi nyiapin bekal untuk di perjalanan kita nanti.”
Setelah semua siap, aku menanyakan kepada suamiku apakah bisa berangkat sekarang.
“Apakah bisa berangkat sekarang, Mas?”
“Kalau sudah siap, berangkat sekarang juga nggak apa-apa,ayo!
Kami bersama naik mobil, aku dan suamiku duduk di depan, sedangkan ibu, Lasmi dan Ratih duduk di jok tengah. Tak lupa sebelum berangkat kami berdoa dulu, meminta perlindungan agar selamat di perjalanan nanti.
Di perjalanan suamiku banyak bercerita, membuat suasana tidak canggung, apalagi adiku Lasmi sering membuat cerita-cerita lucu hingga membuat gelak tawa dan mencairkan suasana. Tak terasa kami sudah sampai di tujuan, setelah mengambil tempat parkir, kami semua turun. Untuk menuju ke lokasi pantai kami harus berjalan lumayan jauh, kami beriringan berjalan menuju ke pantai. Sepanjang perjalanan menuju lokasi pantai, suamiku menggandeng tanganku dengan mesra. Awalnya aku risih, tapi tak berselang lama jadi biasa.
Sesampai di pantai kami melihat bentangan air laut yang sangat luas dan indah, dengan kilauannya yang berwarna biru, sangat menyejukkan mata. Mengingatkan kita pada kebesaran-Nya.
“Apakah Kamu menyukainya, Arini?” tanya suamiku.
“Ya, terima kasih untuk semua ini,” ucapku
Lasmi dan Ratih menarik tanganku dan mengajaku ke pinggir laut.
“Ayo kak!” kita nikmati hari ini, dengan bersenang-senang mandi air laut.
Gelak tawa adik-adikku membuat aku senang bisa membahagiakan mereka. Aku menengok ke arah ibu, ku lihat ibuku duduk di tikar bersama suamiku mereka seperti berbincang-bincang dan sesekali ibuku tersenyum. Melihat ibu tampak senang, aku berlari menyusul adik-adikku bermain air laut dan deburan ombak. Kami mandi air laut, bersenda gurau, saling siram- siraman air laut. Aku merasakan angin laut menghempas-hempaskan tubuh ku, seakan ikut menghempaskan beban berat yang selama ini menghimpit dadaku, terasa hilang. Aku menikmati situasi ini, aku benar-benar merasakan bahagia. Baru aku merasakan beban hatiku seringan ini.
Samar-samar kudengar banyak teriakan-teriakan ditujukan padaku, lalu kubuka mataku, ternyata ada gulungan besar menerjangku, seketika tubuhku ikut terseret ke tengah. Kepanikanku membuatku tidak bisa menguasai diri, aku berteriak minta tolong.
“Tolong ... tolong ... tolong!”
Di saat aku timbul tenggelam dan pandanganku mulai kabur, sesosok bayangan berenang mendekatiku dan mendekapku dari belakang sambil berkata.
“Tenang jangan panik, aku sudah mendekapmu,” terdengar suara yang tak asing di telingaku ternyata dia suamiku. Aku pun pasrah saat dia mendekap dan menarik tubuhku ke tepi pantai. Perasaan nyaman dan hangat mengalir ke sekujur tubuhku. Entah rasa apa ini, membuat ada rasa nyaman aku dekat dengan suamiku.
Ibu dan adik-adikku terlihat kawatir dengan keadaanku.
“Bagaimana kamu tidak apa-apa kan, Rin?” tanya Ibu.
“Tidak apa-apa, Bu, hanya syok saja.”
“Syukurlah, bagaimana tadi ceritanya, kok sampai bisa terseret ombak, Kamu?”
“Entahlah, mungkin karena aku melamun dan gulungan ombaknya datang secara tiba-tiba, hingga aku kehilangan keseimbangan.
Aku masih syok dan terdiam, mengingat kejadian tadi yang aku alami.
“Kamu benar tidak apa-apa, Rin?” tanya suamiku.
“Benar aku tidak apa-apa, Mas!
Aku menatap wajahnya, baru kali ini aku berani menatap wajah suamiku begitu lama dan kutemukan keteduhan di sana.
“Mas, terima kasih!
“Sudahlah, itu memang tanggung jawabku, untuk melindungimu.”
Suamiku memapahku untuk berdiri, menuntunku ke kamar mandi.
“Mandi dan bersihkanlah tubuhmu dulu! Setelah bersih kita pulang.”
Aku menurut apa yang di katakan suamiku.
Usai membersihkan diri, aku melihat ibu, Lasmi, Ratih dan suamiku sudah bersiap pulang, mereka menungguku dengan sabar. Aku berjalan menghampiri mereka.
“Sebelum kita pulang, mari kita makan dulu ya, kalian pasti lapar?
Aku hanya menganggukkan kepala.
“Iya kak, kami merasa lapar, Kak Badrun tahu saja keinginan kami,” kata Lasmi
“Iya donk,” jawab suamiku
Kami semua tertawa.
“Rin, ini diminum dulu obatnya! Kata suamiku. Sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air.“Nanti saja Mas, aku masih mual.”“Ayolah nanti malah tambah parah loh!”Aku terima obat dan segelas air yang di berikan suamiku kepadaku. Aku merasakan tubuhku demam, pusing dan mual. Aku tidak bisa bangun karena pusing dan mual yang kurasakan suamiku begitu sabar dan telaten merawatku. Aku terbayang kejadian waktu tenggelam kemarin. Suamiku dengan sigap menolongku. Entahlah setelah peristiwa itu membuat diriku serasa nyaman berada di dekatnya.“Aku keluar dulu ya, Rin?”“Mau ke mana mas?” ini kan masih pagi.“Aku mau membelikanmu bubur, untuk sarapanmu!”“Enggak usahlah Mas, ibu nanti memasak!Suamiku tindak mengindahkan perkataanku dia bergegas keluar. Sebenarnya tempat penjual bubur dari rumahku tidak jauh, tapi aku tidak mau merepotkan suamiku.
Tiga bulan telah berlalu sejak aku bisa menerima pak Badrun secara sepenuhnya sebagai suamiku, aku sudah mulai terbiasa menerima kehadiran suamiku yang jarang pulang karena mengurusi bisnisnya yang sering pindah-pindah kota, hal itu dikarenakan suamiku sering mendapatkan tender proyek di berbagai kota. Pagi-pagi seperti biasa ibuku sibuk di dapur mempersiapkan sarapan buat aku dan adik-adikku. “Rin ayo sarapan dulu! Ibu sudah siapkan makanan di meja.” “Iya, Bu, Lasmi dan Ratih mana? suda sarapan belum, tanyaku. “Nanti kalau mereka lapar dan mencium bau masakan ibu juga akan menyusul sendiri,” jawab ibu sambil mengambilkan piring untuk diriku. “Masak apa, Bu?” “Ini masak sayur kesukaanmu, Rin, ibu lihat kamu kok pucat tidak seperti biasanya. “Tidak tahu, rasanya tubuhku enggak enak, paling-paling masuk angin biasa. Saat aku akan makan dan mencium bau masakan, aku merasakan tiba-tiba perutku mual. “Huek ... hueek
Mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan halaman rumah, ibuku keluar untuk melihat siapa yang datang.“Oh, Nak Badrun,” kata ibu.“Iya Bu,” jawab suamiku sambil menenteng beberapa kantong plastik.“Rin, Rin, suamimu pulang,” teriak ibu dari depan rumah.Aku pun bergegas keluar menyambut kedatangan suamiku.“Kok mendadak mas pulangnya malam-malam, enggak kasih kabar dulu,” kataku sambil mencium punggung tangannya.“Iya aku mau memberi kejutan untukmu, setelah kamu memberi kabar kehamilanmu melalui telepon kemarin aku segera pulang dan sengaja tidak memberi tahumu,” jawab suamiku sambil menyodorkan beberapa kantong plastik yang berisi oleh-oleh. Aku menerimanya dan membawanya masuk.“Mas mandi dulu ya, aku siapkan makanan untukmu, Mas pasti lapar di perjalanan tadi.“Iya Rin, aku mandi, rasanya gerah dan lengket tubuhku, tolong ambilkan handuk dan s
Kehidupanku berjalan seperti biasa, hari-hari kulalui lebih banyak aku jalani sendiri bersama ibu dan Lasmi dan Ratih. Suamiku tidak selalu hadir menemani masa kehamilanku, dia pulang tidak tentu sebulan sekali bahkan kadang dua bulan sekali. Dia sibuk dengan urusan pekerjaannya. Aku berusaha mengerti dan menerimanya.Kini usia kehamilanku sudah menginjak delapan bulan, menurut perkiraan satu bulan lagi aku akan melahirkan. Aku duduk melamun di dalam kamar sambil menunggu Kedatangan suamiku. Hari ini suamiku mengatakan akan pulang, dia berjanji besok siang akan mengantarku periksa dan membeli baju dan perlengkapan bayi.Deru suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Aku bangun dari rebahanku, untuk melihat siapa yang datang. Saat akan berjalan adikku Lasmi mengatakan kalau suamiku sudah pulang.“Mbak, itu suami kamu sudah pulang,” kata Lasmi.Aku berjalan ke luar kamar menyambut kedatangan suamiku. Kulihat suamiku tampak letih. Aku mengha
Aku memikirkan suamiku yang nomornya tidak aktif, padahal hari perkiraan lahir tinggal satu hari lagi, aku ingin memberi tahunya kalau anaknya akan lahir. “Aduh, perutku rasanya mules, apa aku akan melahirkan sekarang, ya, tapi perkiraan lahirnya menurut dokter Hana besok tanggal dua puluh” batinku. Ibu masuk ke kamarku dan melihat keadaanku yang meringis kesakitan. “Kamu itu kenapa, Rin?” tanya ibuku. “Perutku mules, Bu,” jawabku. “Apa jangan-jangan kamu akan melahirkan, bukankah tanggal dua puluh besok perkiraannya, Rin!” bisa jadi maju, Rin,” kata ibuku. “Aku tidak tahu, Bu, mungkin saja,” kataku. “Ya sudah, ayo kita ke klinik sekarang, aku akan menyuruh Lasmi mengantarkanmu nanti ibu menyusul,” kata ibu. Ibu memanggil-manggil Lasmi. “Lasmi ... Lasmi ...!” “Iya, Bu, ada apa?” jawab Lasmi. “Ini antar kakakmu Arini ke klinik sekarang, kayaknya mau kelahiran.” “Oh, ya, ayo kak,” kat
Aku semakin gelisah, keberadaan suamiku belum ada titik terang, padahal dia seharusnya tahu kalau aku sekarang sudah melahirkan.“Apa mas Badrun, kenapa-napa ya,” batinku.Pikiranku terus melayang-layang.“Semoga dia di beri keselamatan dan tidak terjadi apa-apa,” doaku dalam hati.Hari ini ibuku berencana menemui adik iparnya yaitu om Hadi, dia sengaja tidak memberi tahuku.“Mau ke mana, Bu?”“Ini mau ke pasar, ada sesuatu yang ingin ibu beli, kamu mau titip apa?” jawab ibuku.“Enggak, Bu, Ibu pergi ke pasar sama siapa?” kataku.“Sama Lasmi,” kata ibuku.Ibu kemudian berangkat, sampai di perjalanan meminta Lasmi untuk mengganti arah.“Belok kanan, ya, Las! Pinta ibu.“Loh kok belok kanan, Bu, katanya mau ke pasar,” kata Lasmi.“Sudah Kamu nurut saja kata ibu!“Iya, Bu,” kata Lasmi.
Om Hadi datang ke rumahku di pagi hari ketika aku selesai memandikan anakku yang bernama Arsy, mengetahui kedatangan om Hadi ibu segera menyambutnya dan mempersilahkan masuk.“Mbak, hari ini aku jadi mencari keberadaan suami Arini, foto copi ktpnya mana?” kata om Hadi.“Ya, sebentar aku ambilkan,” kata ibu sambil bergegas masuk ke kamar mengambil foto copi ktp suamiku.Aku keluar dari kamar ikut menemui dan menyalami om Hadi.“Kamu jangan berharap terlalu banyak, aku akan berusaha semampuku,” kata om Hadi.“Ya, Om, terima kasih, telah mau meluangkan waktu untuk membantuku,” kataku.“Ini foto copi ktpnya,” kata ibu sambil menyerahkan foto copi suamiku pada om Hadi.Setelah menerima foto copi ktp suamiku, om Hadi kemudian mengamatinya. Tak berapa lama om Hadi berkata.“O, kalau alamat ini ada di luar kota, aku bisa memakan waktu seharian penuh perjalanan pula
Merasa urusannya selesai tidak ada yang perlu di bahas lagi dan penuh rasa amarah di dalam dada om Hadi pamit. Setelah berpamitan pada pak Badrun suamiku dan pak RT, om Hadi pun pergi meninggalkan rumah suamiku dengan perasaan kecewa dan campur aduk. Dalam perjalanan pulang om Hadi memikirkan bagaimana cara menyampaikan hal ini kepadaku. “Kasihan Arini, bagaimana dia kalau tahu semua tentang hal ini, bagaimana pula caraku untuk menyampaikan pada Arini. Kalau aku tutup-tutupi hal ini, berarti dia sama juga dibohongi suaminya. Tapi kalau aku sampaikan takutnya ada apa-apa dengan Arini kasihan anaknya. Arini pasti amat sangat terpukul bila menerima kenyataan ini. Bagaimanapun juga ini akan kusampaikan pada Arini,” batin om Hadi sambil menginjak pedal gas untuk menambah laju kecepatan mobilnya. Menjelang sore om Hadi sudah sampai di rumahku. Ibu merasa lega ketika melihat mobil om Hadi masuk ke dalam halaman rumahku. Memang ibu semenjak kepergian om Hadi, u
Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.
Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La
Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R
Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!
Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda
“Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata
Tiga Minggu telah berlalu sejak kejadian Arsy dibawa pak Rudi bersama istrinya. Selama itu juga hubungan Arini dan suaminya Badrun tidak kunjung membaik. Arini melayani suaminya ketika pulang hanya menjalankan kewajibannya sebagai istri. Hal itu Karana suaminya kalau pulang hanya di waktu sore terkadang malam hari sehingga waktu untuk memberikan perhatian pada Arini dan Arsy kurang dan jika pagi hari sudah pergi lagi. Arini juga tidak pernah menanyakan tentang pekerjaan suaminya, Arini merasa suaminya Badrun tertutup jarang berbicara dengan aktivitasnya sehari-hari di luar rumah. Arini menyadari kalau dirinya hannyalah istri kedua dan berusaha memaklumi kalau waktunya Badrun lebih banyak untuk istri pertamanya. Di mana rumah tangga mereka awalnya dibangun atas dasar cinta. Sedangkan pernikahan Badrun dengan dirinya tidak dibangun dengan dasar cinta tapi atas dasar kesepakatan orang tuanya. Hari-hari Arini diliputi rasa kesepian, Arsy
“Bukankah yang aku lakukan adalah yang selama ini kamu inginkan?” tanya Haryati mencibir. “Apa yang aku inginkan? Aku semakin enggak ngerti maksudmu,” tanya Badrun balik. “Bukankah kamu hanya menginginkan anak laki-laki dan tidak menginginkan istri lagi? Sekarang aku mengambil Arsy yang akan aku asuh. Aku melakukan ini untukmu,” jawab Haryati dengan suara bergetar. Badrun tak menyangka kalau Haryati akan berkata seperti itu. Badrun terdiam tidak tahu apa yang harus dia katakan. Haryati menggunakan perkataannya Badrun dahulu untuk alasan mengambil Arsy. Haryati membalikkan perkataan suaminya dahulu yang diucapkannya yang menginginkan anak laki-laki dan digunakannya untuk alasan menikah lagi. “Tapi tak perlu kau rampas Arsy dari ibunya!” kata Badrun setelah beberapa saat terdiam. “Kalau aku mengambil Arsy dari Arini sudah adilkan bagiku. Seperti Arini merampas dirimu dariku! Bahkan waktumu sekarang kamu habiskan lebih banyak
Arini dan Lasmi mengikuti petunjuk dari Bu Dani. Tak berapa mereka akhirnya menemukan rumah yang ciri-cirinya disebutkan oleh Bu Dani. “Berhenti Lasmi! Sepertinya rumah ini,” kata Arini ketika melihat rumah bercat putih di sebelah kanan jalan. “Iya Mbak, kelihatanya memang rumah ini. Karena di sekitar sini hanya rumah ini yang bercat putih,” kata Lasmi menoleh ke kanan dan ke kiri begitu menghentikan laju motornya di depan rumah bercat putih. “Ayo kita turun, Kak! Ajak Lasmi. “Ya, Ayo,” jawab Arini. Merekapun turun dari motor dan mencoba membuka pintu pagar. “Kak, pintu pagarnya terkunci berarti pak Rudi enggak ada di rumah,” kata Lasmi. Arini yang melihat pintu pagar rumah pak Rudi terkunci mulai gelisah dan panik. “Aduh gimana ini, Lasmi!” kata Arini yang hampir menangis. “Tenang dulu, Kak! Kakak bawa hp enggak. Coba telepon pak Rudi mungkin pak Rudi berada di rumah kita. Siapa tahu dia lagi nganta