“Rin, ini diminum dulu obatnya! Kata suamiku. Sambil menyodorkan obat penurun panas dan segelas air.
“Nanti saja Mas, aku masih mual.”
“Ayolah nanti malah tambah parah loh!”
Aku terima obat dan segelas air yang di berikan suamiku kepadaku. Aku merasakan tubuhku demam, pusing dan mual. Aku tidak bisa bangun karena pusing dan mual yang kurasakan suamiku begitu sabar dan telaten merawatku. Aku terbayang kejadian waktu tenggelam kemarin. Suamiku dengan sigap menolongku. Entahlah setelah peristiwa itu membuat diriku serasa nyaman berada di dekatnya.
“Aku keluar dulu ya, Rin?”
“Mau ke mana mas?” ini kan masih pagi.
“Aku mau membelikanmu bubur, untuk sarapanmu!”
“Enggak usahlah Mas, ibu nanti memasak!
Suamiku tindak mengindahkan perkataanku dia bergegas keluar. Sebenarnya tempat penjual bubur dari rumahku tidak jauh, tapi aku tidak mau merepotkan suamiku.
“Suami Kamu, mau ke mana Rin,” tanya ibuku.
“Mau beli bubur, Bu,” jawabku.
“Suami Kamu itu sayang banget sama kamu lho Rin, perhatian, cobalah buka hatimu untuk menerimanya, kasihan dia, sudah lama menunggu dirimu siap.
“Arini, sedang berusaha, Bu! Aku sudah mulai merasa nyaman dengan berada di dekatnya.
“Syukurlah, Ibu hanya menasihatimu tidak memaksamu, semua itu Kamu yang menjalani, lakukanlah sesuai kata hatimu.
Tak seberapa lama datanglah suamiku dengan membawa kantong plastik yang berisi beberapa bungkusan bubur dan lauknya.
“Membeli bungkusan bubur sebanyak itu, untuk siapa?” kalau enggak ke makan kan mubazir,” kata ibu.
“ini bubur aku belikan untuk Ibu, adik-adik dan Arini, ayo mari kita sarapan dengan bubur, Bu!” biar hangat.
Setelah mengambil satu bungkus bubur suamiku mengulurkan tangannya dan menyerahkan kantong plastik berisi bubur ke arah ibu.
“Arini kamu makan ya, Mas suapi?”
“Enggak usah Mas, aku makan sendiri saja,” jawabku.
“Ayolah Mas suapi, biar romantis kayak di sinetron-sinetron. Suamiku langsung menyuapi aku tanpa menunggu persetujuanku. Mendapat perlakuannya yang begitu perhatian menambah rasa simpatiku padanya. Walaupun umurnya berada jauh di atasku tapi dia tahu bagaimana memperlakukanku.
Melihat kedekatanku dengan suamiku, ibu tersenyum lalu meninggalkanku berdua dengan suamiku di kamar. Setelah kepergian ibu, suamiku duduk disampingku menyandarkan punggungnya di sisi ranjang. Dia menceritakan kehidupannya dan perjuangannya sampai mencapai keberhasilan dalam hidupnya. Aku mendengarkan dan menyimaknya.
Suamiku semakin menggeser tempat duduknya, lebih mendekat ke sampingku.
"Rin, ucap suamiku sambil memelukku. Ku rasakan debaran jantungku semakin cepat berdetak. Akupun memejamkan mata dan berkata lirih.
"Aku pasrah mas, kau bebas melakukan apapun padaku, aku milikmu, mas.
Aku merasakan sesuatu yang belum pernah aku alami.
"Terima kasih ya Rin, kata suamiku sambil mengecup keningku. Ku lihat suamiku yang bermandikan keringat berbaring di sampingku dengan mata terpejam.
Aku merasa malu pada diriku sendiri, yang awalnya menolak kini malah menerimanya dengan dengan pasrah.
Setelah kejadian itu suamiku semakin sayang kepadaku, semua perhatian ia curahkan kepadaku. Hari-hariku dipenuhi kebahagiaan. Dia memanjakanku memenuhi segala keinginanku.
“Rin, hari ini aku akan melakukan perjalanan bisnis, kamu baik- baik di rumah ya, jaga kesehatan. Pesan suamiku.
"Kok mendadak, mas?" Tanyaku.
"Iya, soalnya aku dapat telepon dari rekan bisnisku yang bernama Hari, katanya barang datang di pelabuhan tidak bisa diambil kalau tidak aku sendiri yang menandatangani dokumen itu.
"Oh, ya udah kalau begitu, hati-hati di jalan ya,mas.
Setelah kepergian suamiku, aku merasakan kesepian, aku merindukan kehadirannya, padahal suamiku baru pergi saja.
“Ah, rasa apa ini. Membuatku benar-benar tidak seperti biasanya, entahlah. Hari-hari ku lalui dengan penantian. Kalau dulu aku tidak pernah mengharap kedatangannya, aku selalu berdoa agar dia suamiku tidak usah pulang saja tapi sekarang aku mengharap kehadirannya.
“Ada apa, Rin ibu lihat akhir-akhir ini kamu kok banyak melamun. Ibu sepertinya mulai melihat kegundahanku.
“Ah, tidak ada apa-apa, Bu! Aku menjawab pertanyaan ibu sekenanya saja padahal hatiku sangat merindukan suamiku. Apakah aku benar-benar mulai mencintai suamiku, apakah ini yang dikatakan cinta seperti remaja lainya. Aku mencoba mencari kesibukan dengan ikut membantu ibu membereskan rumah, berkebun dan mencari kesibukan lainya untuk menghilangkan rasa jenuhku.
Seminggu sudah suamiku belum pulang katanya belum selesai urusan bisnisnya, membuat rinduku semakin menggebu. Aku merasa malu sendiri jika mengingat masa lalu. Dulu aku menolak kehadiran suamiku tapi sekarang aku malah tidak bisa berlama-lama jauh darinya.
KRIIING
Suara dering telepon berbunyi, kulihat ternyata dari suamiku, aku senang sekali, aku langsung mengangkatnya.
“Hallo, assalamualaikum! Kapan pulang, mas?” sudah lupa rumah ya? Cepat pulang! Aku kangen,” ucapku pada suamiku, tanpa memberi dia kesempatan untuk bicara.
“Walaikumsallam, tumben ceria sekali, padahal biasanya enggak banyak omong. Kata suamiku heran mendengar sambutanku di telepon.
“Eh, iya mas, aku tidak sadar dengan apa yang aku lakukan, karena saking senangnya hatiku mendapat telepon dari suamiku, selama ini aku tidak telepon duluan karena aku merasa gengsi dan malu karena dulu aku menolaknya. Sekarang aku setelah merasa nyaman dan bisa menerima dia jadi berubah tingkahku.
“Kapan pulang, Mas?” tanyaku pada suamiku.
“Kenapa sudah kangen ya?” kangen sama apanya ayo? Canda suamiku.
“Ya kangen orangnyalah, Mas! Aku berbicara manja pada suamiku. “Mas pulang kapan?” serius nih, jangan bercanda terus.” Nanti kalau pulang aku masakan yang enak-enak deh! Rayuku pada suamiku, yang ku rindukan kepulangannya.
“Mungkin dua hari lagi aku pulang, mau dibawain oleh-oleh apa?” suamiku menawari oleh-oleh untukku.
“Enggak usahlah mas, yang penting mas pulang dengan selamat,” jawabku.
“Ya sudah kalau begitu mas tutup dulu ya teleponnya.
“iya mas, hati-hati di sana!”
Hatiku senang sekali mendapat telepon dari suamiku. Ibuku terus memperhatikan tingkahku.
“Rin, akhir-akhir ini, ibu lihat kamu lebih berseri-seri, sudah tidak murung lagi.” Bila kamu merasa bahagia, ibu sebagai orang tua ikut merasa senang. Apa kamu sudah bisa menerima suami kamu,” tanya ibuku.
“Alhamdulillah, sudah Bu, aku sudah bisa menerimanya dan aku juga sudah mulai mencintainya Bu! Tadi suamiku juga baru telepon. Kami sudah tidak canggung lagi, aku bercerita kepada ibu tentang perasaanku kepada suamiku. Ibuku menyimak dengan seksama apa yang aku ceritakan. Sebagai seorang anak aku bertekat untuk membahagiakan ibu.
“Kalau kamu sudah bisa menerimanya, jadilah seorang istri yang baik, menjaga suamimu, dan mengarahkan suamimu jika melakukan hal-hal yang tidak baik. Ibu doakan semoga rumah tangga kamu langgeng menjadi keluarga yang berbahagia.
“Amin, Bu, aku juga bertekat untuk menjadi istri yang setia menemaninya dalam suka dan duka sampai ajal, doakan aku ya bu, semoga di beri kesabaran dan keikhlasan dalam mendampingi suamiku yang berbeda usia.
"Doa ibu selalu menyertaimu."
Tiga bulan telah berlalu sejak aku bisa menerima pak Badrun secara sepenuhnya sebagai suamiku, aku sudah mulai terbiasa menerima kehadiran suamiku yang jarang pulang karena mengurusi bisnisnya yang sering pindah-pindah kota, hal itu dikarenakan suamiku sering mendapatkan tender proyek di berbagai kota. Pagi-pagi seperti biasa ibuku sibuk di dapur mempersiapkan sarapan buat aku dan adik-adikku. “Rin ayo sarapan dulu! Ibu sudah siapkan makanan di meja.” “Iya, Bu, Lasmi dan Ratih mana? suda sarapan belum, tanyaku. “Nanti kalau mereka lapar dan mencium bau masakan ibu juga akan menyusul sendiri,” jawab ibu sambil mengambilkan piring untuk diriku. “Masak apa, Bu?” “Ini masak sayur kesukaanmu, Rin, ibu lihat kamu kok pucat tidak seperti biasanya. “Tidak tahu, rasanya tubuhku enggak enak, paling-paling masuk angin biasa. Saat aku akan makan dan mencium bau masakan, aku merasakan tiba-tiba perutku mual. “Huek ... hueek
Mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan halaman rumah, ibuku keluar untuk melihat siapa yang datang.“Oh, Nak Badrun,” kata ibu.“Iya Bu,” jawab suamiku sambil menenteng beberapa kantong plastik.“Rin, Rin, suamimu pulang,” teriak ibu dari depan rumah.Aku pun bergegas keluar menyambut kedatangan suamiku.“Kok mendadak mas pulangnya malam-malam, enggak kasih kabar dulu,” kataku sambil mencium punggung tangannya.“Iya aku mau memberi kejutan untukmu, setelah kamu memberi kabar kehamilanmu melalui telepon kemarin aku segera pulang dan sengaja tidak memberi tahumu,” jawab suamiku sambil menyodorkan beberapa kantong plastik yang berisi oleh-oleh. Aku menerimanya dan membawanya masuk.“Mas mandi dulu ya, aku siapkan makanan untukmu, Mas pasti lapar di perjalanan tadi.“Iya Rin, aku mandi, rasanya gerah dan lengket tubuhku, tolong ambilkan handuk dan s
Kehidupanku berjalan seperti biasa, hari-hari kulalui lebih banyak aku jalani sendiri bersama ibu dan Lasmi dan Ratih. Suamiku tidak selalu hadir menemani masa kehamilanku, dia pulang tidak tentu sebulan sekali bahkan kadang dua bulan sekali. Dia sibuk dengan urusan pekerjaannya. Aku berusaha mengerti dan menerimanya.Kini usia kehamilanku sudah menginjak delapan bulan, menurut perkiraan satu bulan lagi aku akan melahirkan. Aku duduk melamun di dalam kamar sambil menunggu Kedatangan suamiku. Hari ini suamiku mengatakan akan pulang, dia berjanji besok siang akan mengantarku periksa dan membeli baju dan perlengkapan bayi.Deru suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Aku bangun dari rebahanku, untuk melihat siapa yang datang. Saat akan berjalan adikku Lasmi mengatakan kalau suamiku sudah pulang.“Mbak, itu suami kamu sudah pulang,” kata Lasmi.Aku berjalan ke luar kamar menyambut kedatangan suamiku. Kulihat suamiku tampak letih. Aku mengha
Aku memikirkan suamiku yang nomornya tidak aktif, padahal hari perkiraan lahir tinggal satu hari lagi, aku ingin memberi tahunya kalau anaknya akan lahir. “Aduh, perutku rasanya mules, apa aku akan melahirkan sekarang, ya, tapi perkiraan lahirnya menurut dokter Hana besok tanggal dua puluh” batinku. Ibu masuk ke kamarku dan melihat keadaanku yang meringis kesakitan. “Kamu itu kenapa, Rin?” tanya ibuku. “Perutku mules, Bu,” jawabku. “Apa jangan-jangan kamu akan melahirkan, bukankah tanggal dua puluh besok perkiraannya, Rin!” bisa jadi maju, Rin,” kata ibuku. “Aku tidak tahu, Bu, mungkin saja,” kataku. “Ya sudah, ayo kita ke klinik sekarang, aku akan menyuruh Lasmi mengantarkanmu nanti ibu menyusul,” kata ibu. Ibu memanggil-manggil Lasmi. “Lasmi ... Lasmi ...!” “Iya, Bu, ada apa?” jawab Lasmi. “Ini antar kakakmu Arini ke klinik sekarang, kayaknya mau kelahiran.” “Oh, ya, ayo kak,” kat
Aku semakin gelisah, keberadaan suamiku belum ada titik terang, padahal dia seharusnya tahu kalau aku sekarang sudah melahirkan.“Apa mas Badrun, kenapa-napa ya,” batinku.Pikiranku terus melayang-layang.“Semoga dia di beri keselamatan dan tidak terjadi apa-apa,” doaku dalam hati.Hari ini ibuku berencana menemui adik iparnya yaitu om Hadi, dia sengaja tidak memberi tahuku.“Mau ke mana, Bu?”“Ini mau ke pasar, ada sesuatu yang ingin ibu beli, kamu mau titip apa?” jawab ibuku.“Enggak, Bu, Ibu pergi ke pasar sama siapa?” kataku.“Sama Lasmi,” kata ibuku.Ibu kemudian berangkat, sampai di perjalanan meminta Lasmi untuk mengganti arah.“Belok kanan, ya, Las! Pinta ibu.“Loh kok belok kanan, Bu, katanya mau ke pasar,” kata Lasmi.“Sudah Kamu nurut saja kata ibu!“Iya, Bu,” kata Lasmi.
Om Hadi datang ke rumahku di pagi hari ketika aku selesai memandikan anakku yang bernama Arsy, mengetahui kedatangan om Hadi ibu segera menyambutnya dan mempersilahkan masuk.“Mbak, hari ini aku jadi mencari keberadaan suami Arini, foto copi ktpnya mana?” kata om Hadi.“Ya, sebentar aku ambilkan,” kata ibu sambil bergegas masuk ke kamar mengambil foto copi ktp suamiku.Aku keluar dari kamar ikut menemui dan menyalami om Hadi.“Kamu jangan berharap terlalu banyak, aku akan berusaha semampuku,” kata om Hadi.“Ya, Om, terima kasih, telah mau meluangkan waktu untuk membantuku,” kataku.“Ini foto copi ktpnya,” kata ibu sambil menyerahkan foto copi suamiku pada om Hadi.Setelah menerima foto copi ktp suamiku, om Hadi kemudian mengamatinya. Tak berapa lama om Hadi berkata.“O, kalau alamat ini ada di luar kota, aku bisa memakan waktu seharian penuh perjalanan pula
Merasa urusannya selesai tidak ada yang perlu di bahas lagi dan penuh rasa amarah di dalam dada om Hadi pamit. Setelah berpamitan pada pak Badrun suamiku dan pak RT, om Hadi pun pergi meninggalkan rumah suamiku dengan perasaan kecewa dan campur aduk. Dalam perjalanan pulang om Hadi memikirkan bagaimana cara menyampaikan hal ini kepadaku. “Kasihan Arini, bagaimana dia kalau tahu semua tentang hal ini, bagaimana pula caraku untuk menyampaikan pada Arini. Kalau aku tutup-tutupi hal ini, berarti dia sama juga dibohongi suaminya. Tapi kalau aku sampaikan takutnya ada apa-apa dengan Arini kasihan anaknya. Arini pasti amat sangat terpukul bila menerima kenyataan ini. Bagaimanapun juga ini akan kusampaikan pada Arini,” batin om Hadi sambil menginjak pedal gas untuk menambah laju kecepatan mobilnya. Menjelang sore om Hadi sudah sampai di rumahku. Ibu merasa lega ketika melihat mobil om Hadi masuk ke dalam halaman rumahku. Memang ibu semenjak kepergian om Hadi, u
Bab 16 Hati seorang istri tak akan ada yang rela jika suami yang di cintainya membagi cintanya dengan wanita lain. Apalagi pernikahan yang dibangun bertahun-tahun mesti hancur seketika karena adanya pihak ketiga. Haryarti merasa terpukul mengetahui suaminya Badrun ternyata telah menikah lagi, tanpa sepengetahuannya dengan seorang wanita yang hampir seusia anak sulungnya dari suaminya. “Tega sekali kamu, Mas!” teriak Haryati. Badrun hanya diam menunduk dan berkata dalam hati. “Semua rencana yang telah kususun berantakan, aku tidak mengira kalau keluarga Arini akan mencari dan menemukanku di sini, seharusnya dulu waktu aku memalsukan dokumen pernikahan seharusnya alamatnya kuganti juga bukan statusku saja, selama ini aku kira keluarga Arini keluarga yang lugu dan mudah dibohongi sehingga saat aku menghilang mereka tidak akan mencariku, semuanya sudah terlanjur sekarang aku harus cari alasan agar istriku menerima pernikahanku dengan A
Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.
Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La
Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R
Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!
Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda
“Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata
Tiga Minggu telah berlalu sejak kejadian Arsy dibawa pak Rudi bersama istrinya. Selama itu juga hubungan Arini dan suaminya Badrun tidak kunjung membaik. Arini melayani suaminya ketika pulang hanya menjalankan kewajibannya sebagai istri. Hal itu Karana suaminya kalau pulang hanya di waktu sore terkadang malam hari sehingga waktu untuk memberikan perhatian pada Arini dan Arsy kurang dan jika pagi hari sudah pergi lagi. Arini juga tidak pernah menanyakan tentang pekerjaan suaminya, Arini merasa suaminya Badrun tertutup jarang berbicara dengan aktivitasnya sehari-hari di luar rumah. Arini menyadari kalau dirinya hannyalah istri kedua dan berusaha memaklumi kalau waktunya Badrun lebih banyak untuk istri pertamanya. Di mana rumah tangga mereka awalnya dibangun atas dasar cinta. Sedangkan pernikahan Badrun dengan dirinya tidak dibangun dengan dasar cinta tapi atas dasar kesepakatan orang tuanya. Hari-hari Arini diliputi rasa kesepian, Arsy
“Bukankah yang aku lakukan adalah yang selama ini kamu inginkan?” tanya Haryati mencibir. “Apa yang aku inginkan? Aku semakin enggak ngerti maksudmu,” tanya Badrun balik. “Bukankah kamu hanya menginginkan anak laki-laki dan tidak menginginkan istri lagi? Sekarang aku mengambil Arsy yang akan aku asuh. Aku melakukan ini untukmu,” jawab Haryati dengan suara bergetar. Badrun tak menyangka kalau Haryati akan berkata seperti itu. Badrun terdiam tidak tahu apa yang harus dia katakan. Haryati menggunakan perkataannya Badrun dahulu untuk alasan mengambil Arsy. Haryati membalikkan perkataan suaminya dahulu yang diucapkannya yang menginginkan anak laki-laki dan digunakannya untuk alasan menikah lagi. “Tapi tak perlu kau rampas Arsy dari ibunya!” kata Badrun setelah beberapa saat terdiam. “Kalau aku mengambil Arsy dari Arini sudah adilkan bagiku. Seperti Arini merampas dirimu dariku! Bahkan waktumu sekarang kamu habiskan lebih banyak
Arini dan Lasmi mengikuti petunjuk dari Bu Dani. Tak berapa mereka akhirnya menemukan rumah yang ciri-cirinya disebutkan oleh Bu Dani. “Berhenti Lasmi! Sepertinya rumah ini,” kata Arini ketika melihat rumah bercat putih di sebelah kanan jalan. “Iya Mbak, kelihatanya memang rumah ini. Karena di sekitar sini hanya rumah ini yang bercat putih,” kata Lasmi menoleh ke kanan dan ke kiri begitu menghentikan laju motornya di depan rumah bercat putih. “Ayo kita turun, Kak! Ajak Lasmi. “Ya, Ayo,” jawab Arini. Merekapun turun dari motor dan mencoba membuka pintu pagar. “Kak, pintu pagarnya terkunci berarti pak Rudi enggak ada di rumah,” kata Lasmi. Arini yang melihat pintu pagar rumah pak Rudi terkunci mulai gelisah dan panik. “Aduh gimana ini, Lasmi!” kata Arini yang hampir menangis. “Tenang dulu, Kak! Kakak bawa hp enggak. Coba telepon pak Rudi mungkin pak Rudi berada di rumah kita. Siapa tahu dia lagi nganta