Bab 16
Hati seorang istri tak akan ada yang rela jika suami yang di cintainya membagi cintanya dengan wanita lain. Apalagi pernikahan yang dibangun bertahun-tahun mesti hancur seketika karena adanya pihak ketiga.
Haryarti merasa terpukul mengetahui suaminya Badrun ternyata telah menikah lagi, tanpa sepengetahuannya dengan seorang wanita yang hampir seusia anak sulungnya dari suaminya.
“Tega sekali kamu, Mas!” teriak Haryati.
Badrun hanya diam menunduk dan berkata dalam hati.
“Semua rencana yang telah kususun berantakan, aku tidak mengira kalau keluarga Arini akan mencari dan menemukanku di sini, seharusnya dulu waktu aku memalsukan dokumen pernikahan seharusnya alamatnya kuganti juga bukan statusku saja, selama ini aku kira keluarga Arini keluarga yang lugu dan mudah dibohongi sehingga saat aku menghilang mereka tidak akan mencariku, semuanya sudah terlanjur sekarang aku harus cari alasan agar istriku menerima pernikahanku dengan A
Anakku adalah alasanku untuk tersenyum, tertawa bahkan menangis. Dia adalah sumber kebahagiaanku, kekuatanku sekaligus kefrustrasianku. Dia yang membuat jantungku berdenyut bahkan dia adalah orang yang bisa membuat hatiku bersedih dan terluka. Tapi tanpa anakku, aku enggak akan bisa jadi diri aku yang sekarang ini, anakku adalah anugerah terindah yang tuhan berikan padaku. Arini melamun, pandangannya terus menatap anaknya. Kriing ... kriiing ... kriiing! Lamunannya buyar dikagetkan dengan suara dering telepon yang terus berbunyi, saat melihat yang telepon ternyata suaminya, Arini enggan untuk mengangkatnya. Arini merasa sakit hati karena merasa di bohongi suaminya Badrun. Sore hari ketika Arini dan keluarganya saat berkumpul melihat televisi, terdengar deru mobil masuk di halaman rumah mereka. “Seperti ada suara mobil berhenti di halaman rumah, siapa itu, Bu?” kata Arini. “Sebentar ibu lihat,” kata ibunya sambil berdiri dan berjalan ke
Di tengah kebimbangan hati Arini dia pun akhirnya memutuskan ke kamar untuk menyusui Arsy. Di lihatnya Arsy sedang di gendong oleh suaminya dan berusaha untuk menenangkannya. “Bawa sini Arsy biar aku susui,” kata Arini sambil mengambil Arsy dari gendongan suaminya. “Kamu masih marah padaku?” tanya suami Arini. Arini diam tidak menjawab perkataan suaminya. “Maafkan aku, aku membohongimu, kan, untuk menolong kedua orang tuamu, kalau aku tidak lakukan itu kamu pasti tidak mau untuk nikah denganku,” kata suami Arini. Arini tetap terdiam dan masih menyusui Arsy dengan posisi memiringkan tubuhnya menghadap tembok membelakangi suaminya. Setelah Beberapa saat menyusui, tiba-tiba terasa pundaknya ada yang memijit-mijit ternyata suaminya, yang sudah tidur di belakangnya sambil memijit- mijit bahunya. Arini yang masih merasa marah berusaha melepaskan tangan suaminya yang berada di pundaknya. “Apaan, sih, Risih! Kata Arini jengkel.
“Aku bertahan dengan pernikahanku bukan berarti aku lemah dan menyerah, justru aku bertahan karena aku kuat, aku bertahan demi anak-anak dan demi masa depan mereka. Aku tidak ingin jika terjadi perceraian anak-anakku akan menjadi korban dan menjadi pribadi yang tidak percaya diri, aku ingin akan selalu ada untuk mereka. Aku akan berusaha tegar menyambut kehidupanku ke depan,” kata Haryati dalam hati sambil duduk termenung berusaha untuk menguatkan diri sendiri. “Semoga suamiku di beri keselamatan di perjalanan,” batin Haryati. Menjelang sore Badrun sudah sampai di rumah Haryati istri pertamanya. Thok ... thok ... thok ....” mbok Rusmi mengetuk pintu kamar Haryati. “Bu, bapak sudah pulang,” kata mbok Rusmi. “Ya, aku akan keluar, tolong buatkan minum buat bapak dan siapkan air panas untuk mandi bapak,” kata Haryati. Haryati ke luar kamar dan berjalan menghampiri suaminya yang sedang duduk di ruang tamu. “Gimana, Mas?” tanya
“Semoga pindahanku menjadi awal yang baik bagi kehidupanku dan mas Badrun menepati janjinya untuk bertanggung jawab dan menyayangi kami sepenuh hati,” doa Arini dalam hati sambil meneruskan mengemasi barang- barangnya. Sebenarnya barang-barang yang di bawa Arini tidak banyak hanya beberapa Pakaian Arini dan Arsy anaknya, Badrun suaminya telah berpesan untuk tidak membawa barang-barang terlalu banyak, barang-barang keperluan rumah tangga nanti bisa untuk membeli di sana jadi Arini tidak terlalu ribet untuk dirinya pindahan. “Hanya ini, Rin, yang Kamu bawa?” tanya ibunya. “Ya, Bu,” jawab Arini. “Apa, Kamu tidak membawa piring, gelas dan lainya, untuk di gunakan di sana? “Enggak usah, Bu, mas Badrun bilang katanya semua peralatan rumah tangga beli di sana saja, agar tidak ribet nantinya,” jelas Arini. “Rin, sebenarnya ibu berat untuk melepasmu sendiri di sana tapi ini sudah merupakan keputusanmu dan demi kebahagiaanmu. “Aku minta
Keesokan harinya Arini sibuk mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya ke bagasi mobil, sementara Badrun mengendong Arsy anaknya. “Arini, barang-barangmu sudah kamu masukan ke bagasi mobil semua tidak ada yang ketinggalan, kan, sudah siap semua,” tanya ibunya. “Seingatku sudah semua, Bu,” jawab Arini. “Gimana, semuanya sudah siap?” tanya Badrun sambil menyerahkan Arsy pada Arini. “Sudah, Mas, mau berangkat sekarang?” “Arsy jangan rewel ya, Nak, kata Badrun sambil mencium kening anaknya. Ya sudah, kita berangkat sekarang.” “Ayo ibu masuk dulu, biar aku mengunci rumah,” kata Lasmi. Setelah Lasmi selesai mengunci pintu rumah lalu menyusul masuk ke mobil. Kemudian Badrun melajukan mobilnya. “Oh, ya, Mas, kemarin Mas bilang semua perabotan akan beli di sana semua, berarti rumahnya kosong belum ada perabotannya sama sekali?” tanya Arini di dalam mobil saat perjalanan. “Enggak kosong, kemarin aku sudah n
“Ya Allah, aku siap melewati hidup ini, terima kasih atas kesempatan hari ini, Engkau masih memberiku kesempatan untuk melihat dunia dan melihat orang-orang yang aku cintai, beri aku kekuatan untuk melewatinya, ya Allah, terus temani aku dalam setiap langkahku, lapangkan hatiku dalam menerima segala ketetapanmu, amiin,” kata Arini menutup doanya. Kini statusku adalah istri ke dua dari mas Badrun, aku akan mencoba menerima statusku ini walau ini bukan kemauanku tapi takdirlah yang mempertemukanku dengan mas Badrun yang sekarang berstatus suamiku,” batin Arini sambil melipat mukenanya setelah menjalankan sholat shubuh. Di pagi hari ibunya Arini bangun lebih awal saat subuh, dia langsung menuju ke dapur mencari ceret untuk memasak air. “Mana ya ceretnya, oh, itu dia, ternyata suami Arini sudah membelikannya,” batin ibunya Arini. Mendengar suara di dapur Arini bangun dari rebahannya, dia pun kemudian berjalan ke dapur untuk memeriksanya.
Arini turun dari mobil untuk membuka pintu tapi pintu rumahnya terkunci. Thok ... thok ... thok ....” “Lasmi, Buka pintu!” teriak Arini memanggil adiknya. “Ya, Kak, sebentar,” jawab Lasmi. “Kok di kunci kenapa? “Enggak apa-apa, Kak, hanya untuk jaga-jaga saja, aku kan sendirian di rumah,” jawab Lasmi. “Tuh, tolong bantuin Ratih bawa barang belanjaan dari mobil,” suruh Arini pada adiknya. “Ya, Kak,” kata Lasmi sambil berjalan ke arah mobil. Sedangkan Arini masuk ke kamar untuk menidurkan Arsy. Tak berselang lama suaminya menyusul ke kamar. “Rin, maaf aku mengajakmu pindah ke kontrakan, tidak langsung mengajakmu pindah ke rumah baru seperti yang kamu inginkan,” kata Badrun. “Tidak apa-apa, Mas,” jawab Arini. “Apakah kamu, merasa senang,” tanya Badrun. “Asalkan, Mas, selalu ada untukku aku senang walau di rumah kontrakan ini. Oh, ya, Mas, ibu dan adik-adikku besok mau pulang, kalau bisa aku
“Tidak pernah terpikirkan olehku untuk menjadi istri kedua, menjadi orang ketiga, bahkan menjadi perusak rumah tangga orang lain. Tapi keadaan membuatku harus menjadi seorang istri kedua. Namun selama ini aku terus mengalami konflik batin. Sejujurnya aku bukanlah seorang wanita yang jahat, yang tega merampas milik orang lain, tapi satu sisi aku juga membutuhkan mas Badrun, jujur aku mulai mencintainya.” Kadang aku sedih, karena aku jarang bertemu dengan mas Badrun, mungkin hanya sehari dalam seminggu aku bisa bersama mas Badrun dan aku mencoba untuk setia,” kata hati Arini. Kriing ... kriing ... kriiing ....” Terdengar dering telepon membuyarkan lamunan Arini yang sedang sendirian di rumah karena ibu dan adik-adiknya sudah pulang. Arini pun mengangkat telepon itu. “Hallo, ini dengan siapa?” tanya Arini saat menjawab telepon yang nomornya asing. “Hallo, dengan mbak Arini, ya, saya ibu Dani,” jawab ibu Dani. “Oh, ibu Dani, kirain siapa! Ada apa,
Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.
Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La
Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R
Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!
Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda
“Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata
Tiga Minggu telah berlalu sejak kejadian Arsy dibawa pak Rudi bersama istrinya. Selama itu juga hubungan Arini dan suaminya Badrun tidak kunjung membaik. Arini melayani suaminya ketika pulang hanya menjalankan kewajibannya sebagai istri. Hal itu Karana suaminya kalau pulang hanya di waktu sore terkadang malam hari sehingga waktu untuk memberikan perhatian pada Arini dan Arsy kurang dan jika pagi hari sudah pergi lagi. Arini juga tidak pernah menanyakan tentang pekerjaan suaminya, Arini merasa suaminya Badrun tertutup jarang berbicara dengan aktivitasnya sehari-hari di luar rumah. Arini menyadari kalau dirinya hannyalah istri kedua dan berusaha memaklumi kalau waktunya Badrun lebih banyak untuk istri pertamanya. Di mana rumah tangga mereka awalnya dibangun atas dasar cinta. Sedangkan pernikahan Badrun dengan dirinya tidak dibangun dengan dasar cinta tapi atas dasar kesepakatan orang tuanya. Hari-hari Arini diliputi rasa kesepian, Arsy
“Bukankah yang aku lakukan adalah yang selama ini kamu inginkan?” tanya Haryati mencibir. “Apa yang aku inginkan? Aku semakin enggak ngerti maksudmu,” tanya Badrun balik. “Bukankah kamu hanya menginginkan anak laki-laki dan tidak menginginkan istri lagi? Sekarang aku mengambil Arsy yang akan aku asuh. Aku melakukan ini untukmu,” jawab Haryati dengan suara bergetar. Badrun tak menyangka kalau Haryati akan berkata seperti itu. Badrun terdiam tidak tahu apa yang harus dia katakan. Haryati menggunakan perkataannya Badrun dahulu untuk alasan mengambil Arsy. Haryati membalikkan perkataan suaminya dahulu yang diucapkannya yang menginginkan anak laki-laki dan digunakannya untuk alasan menikah lagi. “Tapi tak perlu kau rampas Arsy dari ibunya!” kata Badrun setelah beberapa saat terdiam. “Kalau aku mengambil Arsy dari Arini sudah adilkan bagiku. Seperti Arini merampas dirimu dariku! Bahkan waktumu sekarang kamu habiskan lebih banyak
Arini dan Lasmi mengikuti petunjuk dari Bu Dani. Tak berapa mereka akhirnya menemukan rumah yang ciri-cirinya disebutkan oleh Bu Dani. “Berhenti Lasmi! Sepertinya rumah ini,” kata Arini ketika melihat rumah bercat putih di sebelah kanan jalan. “Iya Mbak, kelihatanya memang rumah ini. Karena di sekitar sini hanya rumah ini yang bercat putih,” kata Lasmi menoleh ke kanan dan ke kiri begitu menghentikan laju motornya di depan rumah bercat putih. “Ayo kita turun, Kak! Ajak Lasmi. “Ya, Ayo,” jawab Arini. Merekapun turun dari motor dan mencoba membuka pintu pagar. “Kak, pintu pagarnya terkunci berarti pak Rudi enggak ada di rumah,” kata Lasmi. Arini yang melihat pintu pagar rumah pak Rudi terkunci mulai gelisah dan panik. “Aduh gimana ini, Lasmi!” kata Arini yang hampir menangis. “Tenang dulu, Kak! Kakak bawa hp enggak. Coba telepon pak Rudi mungkin pak Rudi berada di rumah kita. Siapa tahu dia lagi nganta