Tiga bulan telah berlalu sejak aku bisa menerima pak Badrun secara sepenuhnya sebagai suamiku, aku sudah mulai terbiasa menerima kehadiran suamiku yang jarang pulang karena mengurusi bisnisnya yang sering pindah-pindah kota, hal itu dikarenakan suamiku sering mendapatkan tender proyek di berbagai kota.
Pagi-pagi seperti biasa ibuku sibuk di dapur mempersiapkan sarapan buat aku dan adik-adikku.
“Rin ayo sarapan dulu! Ibu sudah siapkan makanan di meja.”
“Iya, Bu, Lasmi dan Ratih mana? suda sarapan belum, tanyaku.
“Nanti kalau mereka lapar dan mencium bau masakan ibu juga akan menyusul sendiri,” jawab ibu sambil mengambilkan piring untuk diriku.
“Masak apa, Bu?”
“Ini masak sayur kesukaanmu, Rin, ibu lihat kamu kok pucat tidak seperti biasanya.
“Tidak tahu, rasanya tubuhku enggak enak, paling-paling masuk angin biasa.
Saat aku akan makan dan mencium bau masakan, aku merasakan tiba-tiba perutku mual.
“Huek ... hueek ... hueeek ...!”
Tiba-tiba saja perutku terasa mules dan mual, aku segera berlari ke kamar mandi untuk mengeluarkan rasa mualku. Ibu mengikutiku dan memijiti leherku.
“Kamu kenapa, Rin?” tanya ibuku.
“Enggak tahu, Bu, rasanya tubuhku lemes semua dan kepalaku pusing.”
Ibu menuntunku masuk ke kamar, sesampainya di kamar aku rebahkan tubuhku di kasur, sedangkan ibuku duduk di sampingku.
“Apa, jangan-jangan kamu hamil, Rin?” tanya ibuku.
“Tidak tahu, Bu!
“Kamu terakhir haid kapan?”
“kira-kira dua bulanan, Bu,” jawabku sambil mengingat-ingat jadwal haidku.
“ Bagaimana kalau nanti sore kita ke klinik, untuk memeriksakan kamu, siapa tahu kamu hamil, ibu yang akan mengantarkanmu.” Kalau benar kamu hamil, ibu senang sekali akan memiliki cucu. Aku hanya terdiam menganggukkan kepalaku.
Aku lihat ibu wajahnya berseri-seri, membayangkan akan menimang cucu pertamanya.
“Kamu makan dulu ya, Rin?” ibu ambilkan makanan, kalau kamu benar hamil kasihan anak dalam kandunganmu.
“Nanti saja, Bu, aku masih mual dan belum selera makan, nanti aku akan ambil sendiri saja.”
Sore harinya ibuku sudah bersiap dan menyuruhku untuk bersiap-siap. Aku pun bersiap dan mengeluarkan sepeda motorku dari garasi.
“Ayo, Bu, berangkat sekarang?” tanyaku pada ibu.
“Iya ayo!
Kami pun berangkat. Setelah perjalanan selama lima belas menit, sampailah kami ke klinik kandungan.
Kami berjalan memasuki klinik, di sana ku lihat sudah banyak antrean.
“Rin ambil nomor antrean dulu sana!”
Aku mengikuti perintah ibu, ini adalah pengalaman pertamaku datang ke klinik kandungan.
“Sebelah mana, Bu?” tanyaku
Ibuku menunjuk ke arah meja seorang perawat yang duduk di pojok sebelah kanan. Aku berjalan ke arah yang di tunjuk ibu dan mendaftarkan diri.
“Mbak, saya mau daftar, periksa pada dokter Hana,” kataku.
“Ya, atas nama siapa?” tanya perawat kepadaku. Sambil menulis.”
“Atas nama Arini. Kemudian perawat itu memberi nomor antrean.
“Ini nomor antreannya, silakan di tunggu, nanti tunggu panggilan.
Mendapat nomor antrean, aku berjalan menghampiri ibu mencari tempat duduk dan tunggu panggilan atas namaku.
“Nomor berapa, Rin?
“Ini nomor dua puluh, Bu, sambil aku tunjukan nomorku pada ibu.
Setelah menunggu beberapa lama akhirnya nomorku di panggil juga.
“Arini Wulandari!” panggil seorang perawat.
Aku berdiri berjalan masuk ke ruang pemeriksaan, ibuku mengikutiku dari belakang.
“Apa keluhannya, mbak?” tanya dokter.
“Kepala saya pusing dan mual,” jawabku.
“Silakan berbaring saya periksa! Sambil memeriksa dokter bertanya.
“Mbak terakhir menstruasi kapan?”
“Kayaknya terakhir menstruasi bulan kemarin.
“Coba di test pack dulu ya,” kata dokter.
“Ya bu dokter,” jawabku.
Setelah di test pack ternyata hasilnya aku positif hamil. Saat dinyatakan aku hamil ibuku merasa senang. Setelah menerima resep, ibu menebus obat, aku di suruh menunggu di tempat parkir.
Saat sampai di tempat parkir, tiba-tiba ada yang memanggilku.
“Arini! Arini!
Kemudian aku menengok ke arah suara itu.
“Wahyu!”
“Ke mana saja kamu, Rin? Enggak ada kabar sama sekali, aku telepon tidak nyambung dan tidak aktif,” kata wahyu.
“Iya pas kelulusan hpku di jual bapaku,” jawabku.
“Oh, gitu, kirain kamu menghindariku.”
“Enggaklah,”
“Kamu ngantar siapa kesini?” tanya Wahyu.
“Aku sendiri yang periksa, Yu! Jawabku.
“Periksa! Kamu memang sudah menikah?”
“Iya aku sudah menikah, Yu,” jawab ku, sambil memperhatikan ekspresi wajah Wahyu yang tampak kecewa dan kaget ketika mendengar jawabanku kalau aku sudah menikah.
“Sudah menikah?” tanya wahyu berusaha meyakinkan jawabanku.
“Iya, maafkan aku, yu! Suatu ketika nanti akan aku ceritakan semuanya.
Aku dan Wahyu dulu merupakan teman sekelas, kami sama-sama saling memendam rasa, walau tidak saling mengungkapkan tapi kami bisa merasakan dari sikap kami masing-masing. Setelah kelulusan, kami tidak pernah komunikasi dan bertemu lagi.
“Ayo Rin, kita pulang,” ajak ibuku.
Tiba-tiba ibu sudah berdiri di belakangku.
“Ya sudah aku pulang dulu ya, Yu?
“i ... iya Rin! Wahyu memandang kepergianku dengan penuh rasa kecewa dan helaan nafas yang berat.
“Siapa dia Rin?” tanya ibuku.
“Teman sekolah dulu, Bu,” ayo kita pulang, lalu ku lajukan sepeda motorku.
Sesampainya di rumah aku langsung mengabari suamiku tentang kehamilanku.
“Hallo, mas sibuk tidak?” tanyaku pada suamiku lewat panggilan telepon.
“Ya, hallo! Ada apa Rin?” jawab suamiku.
“Mas, aku tadi habis periksa ke klinik, coba tebak!
“Apa?”
“Aku hamil mas,” kataku.
“Apa hamil!”
“Iya hamil, tadi aku periksa, awalnya aku tidak tahu, kepalaku rasanya pusing dan mual, aku lalu periksa ke klinik sama ibu dan hasilnya aku hamil, mas!”
Suamiku tampak terdiam mendengar ceritaku.
“Mas, mas!” kok diam saja?
“Iya, ya sudah jaga kesehatan aku sedang sibuk.
Aku merasa suamiku tidak begitu senang mendengar kabar kehamilanku tanggapannya datar saja.
“Ya sudahlah mungkin dia sibuk.” Pikirku.
Ibu menanyakan kepadaku kalau aku sudah memberi kabar suamiku tentang kehamilanku.
“Sudah kamu beritahu suamimu, tentang kabar kehamilanmu, Rin?” tanya ibuku.
“Sudah Bu,” jawabku.
“Rin, ibu senang sekali membayangkan akan menimang cucu pertama darimu.”
Aku tersenyum melihat kebahagiaan ibu.
Terlintas bayangan Wahyu di masa lalu, saat masih di bangku sekolah SMA, wahyu sangat perhatian padaku. Walaupun dia tidak mengutarakan hatinya, tapi sikapnya padaku penuh perhatian dan dia pernah mengatakan padaku, kelak kalau dia sukses akulah orang pertama yang akan dicarinya.
“Kenapa aku malah memikirkan Wahyu? aku kan sudah menjadi milik orang lain apalagi saat ini aku juga sudah mengandung.”
“Chie ... chie ... chiee, yang mau jadi ibu,” kata Lasmi yang menggodaku dan membuyarkan lamunanku.
“Apaan sih kamu, Las, lagian kamu juga akan jadi tante,” kataku menanggapi candaan adikku Lasmi.
“Senang anak cewek atau cowok mbak?”
“Cowok-cewek sama saja yang penting sehat dan berbakti kepada orang tua.
“Lasmi, jangan kamu goda kakakmu, biar dia istirahat dulu.”
Terdengar suara ibu.
Mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan halaman rumah, ibuku keluar untuk melihat siapa yang datang.“Oh, Nak Badrun,” kata ibu.“Iya Bu,” jawab suamiku sambil menenteng beberapa kantong plastik.“Rin, Rin, suamimu pulang,” teriak ibu dari depan rumah.Aku pun bergegas keluar menyambut kedatangan suamiku.“Kok mendadak mas pulangnya malam-malam, enggak kasih kabar dulu,” kataku sambil mencium punggung tangannya.“Iya aku mau memberi kejutan untukmu, setelah kamu memberi kabar kehamilanmu melalui telepon kemarin aku segera pulang dan sengaja tidak memberi tahumu,” jawab suamiku sambil menyodorkan beberapa kantong plastik yang berisi oleh-oleh. Aku menerimanya dan membawanya masuk.“Mas mandi dulu ya, aku siapkan makanan untukmu, Mas pasti lapar di perjalanan tadi.“Iya Rin, aku mandi, rasanya gerah dan lengket tubuhku, tolong ambilkan handuk dan s
Kehidupanku berjalan seperti biasa, hari-hari kulalui lebih banyak aku jalani sendiri bersama ibu dan Lasmi dan Ratih. Suamiku tidak selalu hadir menemani masa kehamilanku, dia pulang tidak tentu sebulan sekali bahkan kadang dua bulan sekali. Dia sibuk dengan urusan pekerjaannya. Aku berusaha mengerti dan menerimanya.Kini usia kehamilanku sudah menginjak delapan bulan, menurut perkiraan satu bulan lagi aku akan melahirkan. Aku duduk melamun di dalam kamar sambil menunggu Kedatangan suamiku. Hari ini suamiku mengatakan akan pulang, dia berjanji besok siang akan mengantarku periksa dan membeli baju dan perlengkapan bayi.Deru suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Aku bangun dari rebahanku, untuk melihat siapa yang datang. Saat akan berjalan adikku Lasmi mengatakan kalau suamiku sudah pulang.“Mbak, itu suami kamu sudah pulang,” kata Lasmi.Aku berjalan ke luar kamar menyambut kedatangan suamiku. Kulihat suamiku tampak letih. Aku mengha
Aku memikirkan suamiku yang nomornya tidak aktif, padahal hari perkiraan lahir tinggal satu hari lagi, aku ingin memberi tahunya kalau anaknya akan lahir. “Aduh, perutku rasanya mules, apa aku akan melahirkan sekarang, ya, tapi perkiraan lahirnya menurut dokter Hana besok tanggal dua puluh” batinku. Ibu masuk ke kamarku dan melihat keadaanku yang meringis kesakitan. “Kamu itu kenapa, Rin?” tanya ibuku. “Perutku mules, Bu,” jawabku. “Apa jangan-jangan kamu akan melahirkan, bukankah tanggal dua puluh besok perkiraannya, Rin!” bisa jadi maju, Rin,” kata ibuku. “Aku tidak tahu, Bu, mungkin saja,” kataku. “Ya sudah, ayo kita ke klinik sekarang, aku akan menyuruh Lasmi mengantarkanmu nanti ibu menyusul,” kata ibu. Ibu memanggil-manggil Lasmi. “Lasmi ... Lasmi ...!” “Iya, Bu, ada apa?” jawab Lasmi. “Ini antar kakakmu Arini ke klinik sekarang, kayaknya mau kelahiran.” “Oh, ya, ayo kak,” kat
Aku semakin gelisah, keberadaan suamiku belum ada titik terang, padahal dia seharusnya tahu kalau aku sekarang sudah melahirkan.“Apa mas Badrun, kenapa-napa ya,” batinku.Pikiranku terus melayang-layang.“Semoga dia di beri keselamatan dan tidak terjadi apa-apa,” doaku dalam hati.Hari ini ibuku berencana menemui adik iparnya yaitu om Hadi, dia sengaja tidak memberi tahuku.“Mau ke mana, Bu?”“Ini mau ke pasar, ada sesuatu yang ingin ibu beli, kamu mau titip apa?” jawab ibuku.“Enggak, Bu, Ibu pergi ke pasar sama siapa?” kataku.“Sama Lasmi,” kata ibuku.Ibu kemudian berangkat, sampai di perjalanan meminta Lasmi untuk mengganti arah.“Belok kanan, ya, Las! Pinta ibu.“Loh kok belok kanan, Bu, katanya mau ke pasar,” kata Lasmi.“Sudah Kamu nurut saja kata ibu!“Iya, Bu,” kata Lasmi.
Om Hadi datang ke rumahku di pagi hari ketika aku selesai memandikan anakku yang bernama Arsy, mengetahui kedatangan om Hadi ibu segera menyambutnya dan mempersilahkan masuk.“Mbak, hari ini aku jadi mencari keberadaan suami Arini, foto copi ktpnya mana?” kata om Hadi.“Ya, sebentar aku ambilkan,” kata ibu sambil bergegas masuk ke kamar mengambil foto copi ktp suamiku.Aku keluar dari kamar ikut menemui dan menyalami om Hadi.“Kamu jangan berharap terlalu banyak, aku akan berusaha semampuku,” kata om Hadi.“Ya, Om, terima kasih, telah mau meluangkan waktu untuk membantuku,” kataku.“Ini foto copi ktpnya,” kata ibu sambil menyerahkan foto copi suamiku pada om Hadi.Setelah menerima foto copi ktp suamiku, om Hadi kemudian mengamatinya. Tak berapa lama om Hadi berkata.“O, kalau alamat ini ada di luar kota, aku bisa memakan waktu seharian penuh perjalanan pula
Merasa urusannya selesai tidak ada yang perlu di bahas lagi dan penuh rasa amarah di dalam dada om Hadi pamit. Setelah berpamitan pada pak Badrun suamiku dan pak RT, om Hadi pun pergi meninggalkan rumah suamiku dengan perasaan kecewa dan campur aduk. Dalam perjalanan pulang om Hadi memikirkan bagaimana cara menyampaikan hal ini kepadaku. “Kasihan Arini, bagaimana dia kalau tahu semua tentang hal ini, bagaimana pula caraku untuk menyampaikan pada Arini. Kalau aku tutup-tutupi hal ini, berarti dia sama juga dibohongi suaminya. Tapi kalau aku sampaikan takutnya ada apa-apa dengan Arini kasihan anaknya. Arini pasti amat sangat terpukul bila menerima kenyataan ini. Bagaimanapun juga ini akan kusampaikan pada Arini,” batin om Hadi sambil menginjak pedal gas untuk menambah laju kecepatan mobilnya. Menjelang sore om Hadi sudah sampai di rumahku. Ibu merasa lega ketika melihat mobil om Hadi masuk ke dalam halaman rumahku. Memang ibu semenjak kepergian om Hadi, u
Bab 16 Hati seorang istri tak akan ada yang rela jika suami yang di cintainya membagi cintanya dengan wanita lain. Apalagi pernikahan yang dibangun bertahun-tahun mesti hancur seketika karena adanya pihak ketiga. Haryarti merasa terpukul mengetahui suaminya Badrun ternyata telah menikah lagi, tanpa sepengetahuannya dengan seorang wanita yang hampir seusia anak sulungnya dari suaminya. “Tega sekali kamu, Mas!” teriak Haryati. Badrun hanya diam menunduk dan berkata dalam hati. “Semua rencana yang telah kususun berantakan, aku tidak mengira kalau keluarga Arini akan mencari dan menemukanku di sini, seharusnya dulu waktu aku memalsukan dokumen pernikahan seharusnya alamatnya kuganti juga bukan statusku saja, selama ini aku kira keluarga Arini keluarga yang lugu dan mudah dibohongi sehingga saat aku menghilang mereka tidak akan mencariku, semuanya sudah terlanjur sekarang aku harus cari alasan agar istriku menerima pernikahanku dengan A
Anakku adalah alasanku untuk tersenyum, tertawa bahkan menangis. Dia adalah sumber kebahagiaanku, kekuatanku sekaligus kefrustrasianku. Dia yang membuat jantungku berdenyut bahkan dia adalah orang yang bisa membuat hatiku bersedih dan terluka. Tapi tanpa anakku, aku enggak akan bisa jadi diri aku yang sekarang ini, anakku adalah anugerah terindah yang tuhan berikan padaku. Arini melamun, pandangannya terus menatap anaknya. Kriing ... kriiing ... kriiing! Lamunannya buyar dikagetkan dengan suara dering telepon yang terus berbunyi, saat melihat yang telepon ternyata suaminya, Arini enggan untuk mengangkatnya. Arini merasa sakit hati karena merasa di bohongi suaminya Badrun. Sore hari ketika Arini dan keluarganya saat berkumpul melihat televisi, terdengar deru mobil masuk di halaman rumah mereka. “Seperti ada suara mobil berhenti di halaman rumah, siapa itu, Bu?” kata Arini. “Sebentar ibu lihat,” kata ibunya sambil berdiri dan berjalan ke
Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.
Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La
Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R
Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!
Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda
“Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata
Tiga Minggu telah berlalu sejak kejadian Arsy dibawa pak Rudi bersama istrinya. Selama itu juga hubungan Arini dan suaminya Badrun tidak kunjung membaik. Arini melayani suaminya ketika pulang hanya menjalankan kewajibannya sebagai istri. Hal itu Karana suaminya kalau pulang hanya di waktu sore terkadang malam hari sehingga waktu untuk memberikan perhatian pada Arini dan Arsy kurang dan jika pagi hari sudah pergi lagi. Arini juga tidak pernah menanyakan tentang pekerjaan suaminya, Arini merasa suaminya Badrun tertutup jarang berbicara dengan aktivitasnya sehari-hari di luar rumah. Arini menyadari kalau dirinya hannyalah istri kedua dan berusaha memaklumi kalau waktunya Badrun lebih banyak untuk istri pertamanya. Di mana rumah tangga mereka awalnya dibangun atas dasar cinta. Sedangkan pernikahan Badrun dengan dirinya tidak dibangun dengan dasar cinta tapi atas dasar kesepakatan orang tuanya. Hari-hari Arini diliputi rasa kesepian, Arsy
“Bukankah yang aku lakukan adalah yang selama ini kamu inginkan?” tanya Haryati mencibir. “Apa yang aku inginkan? Aku semakin enggak ngerti maksudmu,” tanya Badrun balik. “Bukankah kamu hanya menginginkan anak laki-laki dan tidak menginginkan istri lagi? Sekarang aku mengambil Arsy yang akan aku asuh. Aku melakukan ini untukmu,” jawab Haryati dengan suara bergetar. Badrun tak menyangka kalau Haryati akan berkata seperti itu. Badrun terdiam tidak tahu apa yang harus dia katakan. Haryati menggunakan perkataannya Badrun dahulu untuk alasan mengambil Arsy. Haryati membalikkan perkataan suaminya dahulu yang diucapkannya yang menginginkan anak laki-laki dan digunakannya untuk alasan menikah lagi. “Tapi tak perlu kau rampas Arsy dari ibunya!” kata Badrun setelah beberapa saat terdiam. “Kalau aku mengambil Arsy dari Arini sudah adilkan bagiku. Seperti Arini merampas dirimu dariku! Bahkan waktumu sekarang kamu habiskan lebih banyak
Arini dan Lasmi mengikuti petunjuk dari Bu Dani. Tak berapa mereka akhirnya menemukan rumah yang ciri-cirinya disebutkan oleh Bu Dani. “Berhenti Lasmi! Sepertinya rumah ini,” kata Arini ketika melihat rumah bercat putih di sebelah kanan jalan. “Iya Mbak, kelihatanya memang rumah ini. Karena di sekitar sini hanya rumah ini yang bercat putih,” kata Lasmi menoleh ke kanan dan ke kiri begitu menghentikan laju motornya di depan rumah bercat putih. “Ayo kita turun, Kak! Ajak Lasmi. “Ya, Ayo,” jawab Arini. Merekapun turun dari motor dan mencoba membuka pintu pagar. “Kak, pintu pagarnya terkunci berarti pak Rudi enggak ada di rumah,” kata Lasmi. Arini yang melihat pintu pagar rumah pak Rudi terkunci mulai gelisah dan panik. “Aduh gimana ini, Lasmi!” kata Arini yang hampir menangis. “Tenang dulu, Kak! Kakak bawa hp enggak. Coba telepon pak Rudi mungkin pak Rudi berada di rumah kita. Siapa tahu dia lagi nganta