Share

Penasaran

Penulis: Ayu Rahayu
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Mendengar suara mesin mobil yang berhenti di depan halaman rumah, ibuku keluar untuk melihat siapa yang datang.

“Oh, Nak Badrun,” kata ibu.

“Iya Bu,” jawab suamiku sambil menenteng beberapa kantong plastik.

“Rin, Rin, suamimu pulang,” teriak ibu dari depan rumah.

Aku pun bergegas keluar menyambut kedatangan suamiku.

“Kok mendadak mas pulangnya malam-malam, enggak kasih kabar dulu,” kataku sambil mencium punggung tangannya.

“Iya aku mau memberi kejutan untukmu, setelah kamu memberi kabar kehamilanmu melalui telepon kemarin aku segera pulang dan sengaja tidak memberi tahumu,” jawab suamiku sambil menyodorkan beberapa kantong plastik yang berisi oleh-oleh. Aku menerimanya dan membawanya masuk.

“Mas mandi dulu ya, aku siapkan makanan untukmu, Mas pasti lapar di perjalanan tadi.

“Iya Rin, aku mandi, rasanya gerah dan lengket tubuhku, tolong ambilkan handuk dan siapkan bajuku, aku akan  langsung ke kamar mandi.”

“Iya Mas,” aku pergi ke kamar mengambilkan handuk dan baju untuk suamiku.

Saat aku di kamar ibu menyusulku dan berkata.

“Rin, suamimu mau digorengkan telur atau yang lain.

“Enggak usah, Bu, itu tadi oleh-olehnya ada martabak telur dan ayam goreng, ibu panasi saja sayurnya.

“Oh ya, kalau begitu aku panasi sayurnya dulu.

Ibu pergi meninggalkanku ke dapur.

Setelah selesai mandi, kami pun bersiap untuk makan bersama.

“Adik-adikmu mana, ajak makan sekalian!

“Ratih sedang mengaji di rumah mbak Iin, kalau Lasmi main ke rumah temannya.

“Ya sudah, ayo kita makan,” kata ibu sambil menyiapkan piring.” Kami pun makan bersama.

Usai makan suamiku masuk ke kamar, sedangkan aku sibuk membantu ibu membereskan meja makan.

“Enggak usah Rin, kamu temani suami kamu saja sana, biar ibu yang membereskan.”

“Iya Bu,” kataku sambil meletakan kembali piring-piring di meja. Lalu aku berjalan masuk ke kamar.

“Rin sini Rin, suruh suamiku sambil menepuk kasur memberiku isyarat agar aku duduk di sampingnya.

“Gimana dengan kehamilanmu?” tanya suamiku sambil mengelus-ngelus perutku.

“Alhamdulillah baik-baik saja Enggak ada keluhan apa pun,” kataku sambil bermanja-manja.” Mas rencananya di rumah mau berapa hari?” kalau bisa, aku mohon kali ini di rumah lebih lama, aku kan lagi hamil muda, butuh perhatian dan kehadiran kamu, Mas.

“Aku belum tahu, soalnya kadang aku dibutuhkan di lapangan setiap saat, yang penting akan ku usahakan untuk pulang sesering mungkin.” Kenapa kamu kangen aku ya?” kata suamiku sambil mencium keningku dan memelukku.

Di saat kami bermesraan.

Kriiing ... kriiiing ....”

Terdengar dering telepon suamiku yang ada di atas meja. Suamiku beranjak melihat siapa yang menelepon, begitu tahu siapa yang menelepon suamiku tampak gugup. Dia segera keluar kamar dan terdengar pintu depan di buka.

“Kenapa mengangkat teleponnya harus keluar kamar tidak seperti biasanya, siapa yang menelepon,” batinku.

Tak berapa lama suamiku masuk ke kamar lagi dan berbaring di sampingku.

“Siapa tadi yang menelepon, Mas?” tanyaku penasaran.

“Em ... itu, itu, temanku, jawab suamiku tampak grogi.” Sudahlah, ayo tidur, ajak suamiku lalu memelukku dan membisikkan,” aku menginginkanmu malam ini. Mendengar bisikan suamiku di telingaku, rasa penasaranku teralihkan. Kami pun melewati malam ini dengan memadu kasih. Pagi-pagi ketika terbangun aku tidak menemukan suamiku di sampingku.

“Loh, di mana suamiku, kok enggak ada, tumben dia bangun lebih awal,” batinku.

Aku beranjak bangun dan mencarinya tak kutemukan keberadaan suamiku.

“Bu, tahu mas Badrun enggak?” tanyaku pada ibu.

“Oh, tadi pagi dia pamit, katanya mau beli bubur untuk sarapan kamu,” kata Ibu.

Mendengar jawaban ibu aku merasa lega dan aku pun bergegas mandi.

“Bu, bu, ini gula pasirnya,” kata Lasmi sambil memberikan bungkusan plastik pada ibu.

“Loh, kamu dari mana Las?” tanyaku ketika aku keluar dari kamar mandi dan melihat Lasmi menyerahkan bungkusan plastik pada ibu.

“Dari warung bu Titik, tadi disuruh ibu beli gula pasir.

“Ya Rin, aku menyuruh Lasmi membeli gula pasir untuk membuatkan teh manis untuk suamimu, ibu tidak tahu kalau gula pasir di dapur habis,” kata ibu sambil menerima bungkusan plastik dari Lasmi.

“Oh, ya mbak, mas Badrun tadi mau ke mana?” saya melihat dia, tapi dia tidak melihat aku karena lagi serius menelepon,  sampai-sampai aku lewat di belakangnya dia tidak tahu,” kata Lasmi.

“paling masalah bisnisnya,” jawab ibu.

“Ya mungkin, tapi aku dengar samar-samar membicarakan,  tentang anak kita, anak kita gitu,” kata Lasmi.

“Ah, sudahlah kamu itu anak kecil tahu apa,” kata ibu sambil memandangiku. Aku hanya terdiam mendengar pembicaraan Lasmi dan ibuku.

“Rin, Rin, ini aku belikan bubur untuk sarapan.” Pembicaraan kami terhenti ketika mendengar suara suamiku memanggil, aku pun segera menghampirinya.

“Ini Rin,” kata suamiku, sambil menyerahkan beberapa bungkusan.

“Apa ini mas?”

“Ini bubur ayam, untuk sarapan kita semua, tadi aku pagi-pagi membeli bubur untuk sarapan kita, maaf tadi enggak pamit karena kamu masih tidur pulas, jadi aku takut kalau mengganggu tidurmu,” kata suamiku.

“Terima kasih, Mas! Sebenarnya ibu juga lagi masak untuk sarapan kita, tapi enggak apa-apa, sebentar aku ambilkan piring dulu.”

Aku mengambil piring dan sendok sambil memanggil adik-adiku.

“Lasmi, Ratih, ayo sarapan dulu ini ada bubur ayam,” seruku.

Mendengar panggilanku adik-adiku datang menghampiriku.

“Mana kak?” hmmm, baunya enak sekali,” kata Ratih adikku yang paling kecil.

Aku memberikan bungkusan bubur ayam pada Ratih dan Lasmi.

“Ini, ayo kita makan di sini bersama-sama selagi masih hangat,” kataku.

“Enggak kak, kami makan di dalam saja,” kata Lasmi sambil menggandeng adikku Ratih, mereka tidak mau makan bersama di meja makan  mungkin mereka tidak ingin mengganggu kebersamaanku dengan suamiku. Sementara ibuku masih sibuk di dapur menyelesaikan masakannya.

“Rin,” panggil suamiku saat kami sedang menikmati bubur ayam.

“Ada apa, Mas?”

“Mungkin siang nanti atau agak kesorean aku akan pergi lagi, aku ada urusan.

“Apakah tidak bisa di tunda urusannya dua atau tiga hari lagi?” aku lagi hamil muda loh, Mas, butuh kamu di sampingku.

“Mau bagaimana lagi, ini semua aku lakukan juga demi kamu dan calon anak kita nanti.

“Ya, sudahlah enggak apa-apa, usahakan sering-sering pulang ya!

Sebenarnya aku merasa berat untuk menjalani kehidupan rumah tangga seperti ini, di saat pasangan baru sedang hamil muda suaminya selalu siap siaga, aku malah sering di tinggal pergi, tapi bagaimanapun juga kehidupan ini memang yang harus aku jalani. Aku juga belum sepenuhnya kenal sosok suamiku yang sebenarnya.

“Rin, kok malah jadi melamun? ” melamuni apa sih,” tanya suamiku.

“Ah, enggak apa-apa kok, Mas.

"Ya sudah, kalau mas mau istirahat di kamar, aku mau membereskan ini dulu dan membatu ibu di dapur.

Bab terkait

  • Dilema Arini   Kebersamaan

    Kehidupanku berjalan seperti biasa, hari-hari kulalui lebih banyak aku jalani sendiri bersama ibu dan Lasmi dan Ratih. Suamiku tidak selalu hadir menemani masa kehamilanku, dia pulang tidak tentu sebulan sekali bahkan kadang dua bulan sekali. Dia sibuk dengan urusan pekerjaannya. Aku berusaha mengerti dan menerimanya.Kini usia kehamilanku sudah menginjak delapan bulan, menurut perkiraan satu bulan lagi aku akan melahirkan. Aku duduk melamun di dalam kamar sambil menunggu Kedatangan suamiku. Hari ini suamiku mengatakan akan pulang, dia berjanji besok siang akan mengantarku periksa dan membeli baju dan perlengkapan bayi.Deru suara mesin mobil membuyarkan lamunanku. Aku bangun dari rebahanku, untuk melihat siapa yang datang. Saat akan berjalan adikku Lasmi mengatakan kalau suamiku sudah pulang.“Mbak, itu suami kamu sudah pulang,” kata Lasmi.Aku berjalan ke luar kamar menyambut kedatangan suamiku. Kulihat suamiku tampak letih. Aku mengha

  • Dilema Arini   Kelahiran

    Aku memikirkan suamiku yang nomornya tidak aktif, padahal hari perkiraan lahir tinggal satu hari lagi, aku ingin memberi tahunya kalau anaknya akan lahir. “Aduh, perutku rasanya mules, apa aku akan melahirkan sekarang, ya, tapi perkiraan lahirnya menurut dokter Hana besok tanggal dua puluh” batinku. Ibu masuk ke kamarku dan melihat keadaanku yang meringis kesakitan. “Kamu itu kenapa, Rin?” tanya ibuku. “Perutku mules, Bu,” jawabku. “Apa jangan-jangan kamu akan melahirkan, bukankah tanggal dua puluh besok perkiraannya, Rin!” bisa jadi maju, Rin,” kata ibuku. “Aku tidak tahu, Bu, mungkin saja,” kataku. “Ya sudah, ayo kita ke klinik sekarang, aku akan menyuruh Lasmi mengantarkanmu nanti ibu menyusul,” kata ibu. Ibu memanggil-manggil Lasmi. “Lasmi ... Lasmi ...!” “Iya, Bu, ada apa?” jawab Lasmi. “Ini antar kakakmu Arini ke klinik sekarang, kayaknya mau kelahiran.” “Oh, ya, ayo kak,” kat

  • Dilema Arini   Minta tolong om Hadi

    Aku semakin gelisah, keberadaan suamiku belum ada titik terang, padahal dia seharusnya tahu kalau aku sekarang sudah melahirkan.“Apa mas Badrun, kenapa-napa ya,” batinku.Pikiranku terus melayang-layang.“Semoga dia di beri keselamatan dan tidak terjadi apa-apa,” doaku dalam hati.Hari ini ibuku berencana menemui adik iparnya yaitu om Hadi, dia sengaja tidak memberi tahuku.“Mau ke mana, Bu?”“Ini mau ke pasar, ada sesuatu yang ingin ibu beli, kamu mau titip apa?” jawab ibuku.“Enggak, Bu, Ibu pergi ke pasar sama siapa?” kataku.“Sama Lasmi,” kata ibuku.Ibu kemudian berangkat, sampai di perjalanan meminta Lasmi untuk mengganti arah.“Belok kanan, ya, Las! Pinta ibu.“Loh kok belok kanan, Bu, katanya mau ke pasar,” kata Lasmi.“Sudah Kamu nurut saja kata ibu!“Iya, Bu,” kata Lasmi.

  • Dilema Arini   Terkuak

    Om Hadi datang ke rumahku di pagi hari ketika aku selesai memandikan anakku yang bernama Arsy, mengetahui kedatangan om Hadi ibu segera menyambutnya dan mempersilahkan masuk.“Mbak, hari ini aku jadi mencari keberadaan suami Arini, foto copi ktpnya mana?” kata om Hadi.“Ya, sebentar aku ambilkan,” kata ibu sambil bergegas masuk ke kamar mengambil foto copi ktp suamiku.Aku keluar dari kamar ikut menemui dan menyalami om Hadi.“Kamu jangan berharap terlalu banyak, aku akan berusaha semampuku,” kata om Hadi.“Ya, Om, terima kasih, telah mau meluangkan waktu untuk membantuku,” kataku.“Ini foto copi ktpnya,” kata ibu sambil menyerahkan foto copi suamiku pada om Hadi.Setelah menerima foto copi ktp suamiku, om Hadi kemudian mengamatinya. Tak berapa lama om Hadi berkata.“O, kalau alamat ini ada di luar kota, aku bisa memakan waktu seharian penuh perjalanan pula

  • Dilema Arini   Dilema

    Merasa urusannya selesai tidak ada yang perlu di bahas lagi dan penuh rasa amarah di dalam dada om Hadi pamit. Setelah berpamitan pada pak Badrun suamiku dan pak RT, om Hadi pun pergi meninggalkan rumah suamiku dengan perasaan kecewa dan campur aduk. Dalam perjalanan pulang om Hadi memikirkan bagaimana cara menyampaikan hal ini kepadaku. “Kasihan Arini, bagaimana dia kalau tahu semua tentang hal ini, bagaimana pula caraku untuk menyampaikan pada Arini. Kalau aku tutup-tutupi hal ini, berarti dia sama juga dibohongi suaminya. Tapi kalau aku sampaikan takutnya ada apa-apa dengan Arini kasihan anaknya. Arini pasti amat sangat terpukul bila menerima kenyataan ini. Bagaimanapun juga ini akan kusampaikan pada Arini,” batin om Hadi sambil menginjak pedal gas untuk menambah laju kecepatan mobilnya. Menjelang sore om Hadi sudah sampai di rumahku. Ibu merasa lega ketika melihat mobil om Hadi masuk ke dalam halaman rumahku. Memang ibu semenjak kepergian om Hadi, u

  • Dilema Arini   Alasan suami Haryati

    Bab 16 Hati seorang istri tak akan ada yang rela jika suami yang di cintainya membagi cintanya dengan wanita lain. Apalagi pernikahan yang dibangun bertahun-tahun mesti hancur seketika karena adanya pihak ketiga. Haryarti merasa terpukul mengetahui suaminya Badrun ternyata telah menikah lagi, tanpa sepengetahuannya dengan seorang wanita yang hampir seusia anak sulungnya dari suaminya. “Tega sekali kamu, Mas!” teriak Haryati. Badrun hanya diam menunduk dan berkata dalam hati. “Semua rencana yang telah kususun berantakan, aku tidak mengira kalau keluarga Arini akan mencari dan menemukanku di sini, seharusnya dulu waktu aku memalsukan dokumen pernikahan seharusnya alamatnya kuganti juga bukan statusku saja, selama ini aku kira keluarga Arini keluarga yang lugu dan mudah dibohongi sehingga saat aku menghilang mereka tidak akan mencariku, semuanya sudah terlanjur sekarang aku harus cari alasan agar istriku menerima pernikahanku dengan A

  • Dilema Arini   Syarat Arini

    Anakku adalah alasanku untuk tersenyum, tertawa bahkan menangis. Dia adalah sumber kebahagiaanku, kekuatanku sekaligus kefrustrasianku. Dia yang membuat jantungku berdenyut bahkan dia adalah orang yang bisa membuat hatiku bersedih dan terluka. Tapi tanpa anakku, aku enggak akan bisa jadi diri aku yang sekarang ini, anakku adalah anugerah terindah yang tuhan berikan padaku. Arini melamun, pandangannya terus menatap anaknya. Kriing ... kriiing ... kriiing! Lamunannya buyar dikagetkan dengan suara dering telepon yang terus berbunyi, saat melihat yang telepon ternyata suaminya, Arini enggan untuk mengangkatnya. Arini merasa sakit hati karena merasa di bohongi suaminya Badrun. Sore hari ketika Arini dan keluarganya saat berkumpul melihat televisi, terdengar deru mobil masuk di halaman rumah mereka. “Seperti ada suara mobil berhenti di halaman rumah, siapa itu, Bu?” kata Arini. “Sebentar ibu lihat,” kata ibunya sambil berdiri dan berjalan ke

  • Dilema Arini   Penolakan

    Di tengah kebimbangan hati Arini dia pun akhirnya memutuskan ke kamar untuk menyusui Arsy. Di lihatnya Arsy sedang di gendong oleh suaminya dan berusaha untuk menenangkannya. “Bawa sini Arsy biar aku susui,” kata Arini sambil mengambil Arsy dari gendongan suaminya. “Kamu masih marah padaku?” tanya suami Arini. Arini diam tidak menjawab perkataan suaminya. “Maafkan aku, aku membohongimu, kan, untuk menolong kedua orang tuamu, kalau aku tidak lakukan itu kamu pasti tidak mau untuk nikah denganku,” kata suami Arini. Arini tetap terdiam dan masih menyusui Arsy dengan posisi memiringkan tubuhnya menghadap tembok membelakangi suaminya. Setelah Beberapa saat menyusui, tiba-tiba terasa pundaknya ada yang memijit-mijit ternyata suaminya, yang sudah tidur di belakangnya sambil memijit- mijit bahunya. Arini yang masih merasa marah berusaha melepaskan tangan suaminya yang berada di pundaknya. “Apaan, sih, Risih! Kata Arini jengkel.

Bab terbaru

  • Dilema Arini   Mendapat kontrakan

    Lasmi dengan langkah cepat menuju kamar kakaknya. “Kak aku pergi dulu, ya! “Ya, hati-hati. Ingat jangan terlambat pulang nanti kalau mas Badrun melihatmu lagi pulang dengan seorang laki-laki!” Lasmi menganggukkan kepala dan bergegas keluar. “Maaf menunggu! “Enggak, ayo naik. Kita mau kemana sekarang? “Ke toko mesin jahit, Mas! “Iya, maksudku ke toko mana? “Aku tidak tahu daerah sini. Aku ikut saja sama mas Ridwan.” “Oke, kita berangkat sekarang! Pake helmnya dulu dan jangan lupa pegangan erat-erat.” Lasmi tersenyum mendengar kata-kata Ridwan, mereka saling berpandangan. “Sudah puas memandangku?” tanya Ridwan. Lasmi tertunduk tersipu malu mendengar kata-kata Ridwan. Ridwan melajukan motornya menyibak kemacetan kota. Tak berapa lama mereka tiba di sebuah toko peralatan menjahit yang sangat lengkap. Setelah memarkirkan motornya, Ridwan dan Lasmi berjalan masuk.

  • Dilema Arini   Rencana Arini

    Malamnya Lasmi tidak bisa memejamkan matanya, tubuhnya terus miring ke kanan dan miring ke kiri. Lasmi bingung harus bagaimana mengatakan yang sebenarnya pada kakaknya atau malah merahasiakan dengan apa yang dilihatnya kemarin siang. “Jika aku tidak mengatakan dan merahasiakan apa yang aku lihat tadi siang berarti aku mendukung perselingkuhan mas Badrun. “Sebaiknya besok aku katakan yang sebenarnya pada kakak” batin Lasmi. Keesokan harinya karena hari libur Lasmi tidak segera bangun masih bermalas-malasan di kamar. Arini membangunkan adiknya karena Lasmi tak kunjung keluar dari kamar. “Lasmi bangun sudah siang!” kata Arini melongok di pintu kamar. “Iya, Kak,” jawab Lasmi. Mendengar jawaban Lasmi sudah bangun Arini pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Sedangkan Lasmi turun dari tempat tidur, membersihkan muka dan berjalan ke dapur menyusul kakaknya di dapur untuk membantunya. “Kak ada yang mau aku bicarakan,” kata La

  • Dilema Arini   Kontrak pertama Lasmi

    Hari ini Lasmi merasa cemas dan berdebar-debar hatinya karena akan bertemu klien yang akan menawarinya kerjasama menandatangani perjanjian kontrak. Dia terus mondar-mandir menunggu kedatangan Ridwan. Sesekali pandangannya melihat ke arah depan rumah. “Duduk dulu Lasmi! Dari tadi kakak lihat kamu terus mondar-mandir apa enggak lelah.” Lasmi melihat ke arah kakaknya. “Aku takut nanti melakukan kesalahan, Kak. Arini tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar perkataan adiknya. “Kak, apa kakak ikut saja untuk mendampingiku tanda tangan nanti?” “Apa sih yang kamu takutkan? Bukankah Ridwan nanti mendampingimu? Bukankah dia yang lebih berpengalaman?” “Iya, tapi kalau ada kakak mungkin aku akan lebih tenang.” “Belajarlah untuk mandiri! Kakak tidak bisa selalu ada di sampingmu,” ucap Arini. Terdengar klakson kendaraan di depan rumah. Lasmi beranjak dari tempat duduknya dan melihat keluar. “Itu R

  • Dilema Arini   Kemarahan Badrun

    Badrun terus menghujani pertanyaan-pertanyaan pada Arini. “Siapa laki-laki yang mengantarkan Lasmi? Berarti seperti ini setiap hari kamu membiarkan laki-laki lain masuk ke rumah selagi aku tidak ada?” kata Badrun marah. “Ya ampun, Mas! Itu yang kamu maksud? Dia itu teman kursus Lasmi. Selama ini Lasmi belajar jahit di tempat kursus karena aku belum bisa membelikan mesin jahit,” jawab Arini. “Tapi bukan berarti kamu membolehkan laki-laki lain keluar masuk rumah ini,” kata Badrun. “Dia itu tidak masuk rumah hanya di halaman rumah saja mengantar dan menjemput Lasmi. Kalau Mas tidak menginginkan hal itu Mas bisa membelikan Lasmi mesin jahit.” “Apa membelikan mesin jahit? Kamu itu tahu diri kalau kamu minta-minta, sekarang proyekku kalah terus,” kata Badrun. “Bukan tidak tahu diri, tapi mas Badrun yang memulai kan tadi. Sudah dua bulan mas Badrun tidak memberiku uang bulanan aku juga diam tidak menuntut.” “Aku enggak mau tahu!

  • Dilema Arini   Akibat Lasmi terlambat pulang

    Di malam hari Arini tidak bisa tidur dia terus membolak-balikkan tubuhnya ingatannya tertuju pada perkataan adiknya Lasmi, Arini mengerti walaupun Lasmi berkata tidak memaksa untuk membeli mesin jahit. Tetapi sebenarnya dia tahu betul watak adiknya yang sebenarnya menginginkan mesin jahit sendiri. Arini memikirkan bagaimana cara mengabulkan keinginan Lasmi. Dia sebenarnya bisa membelikan dengan uang tabungannya, tapi mengingat suaminya yang akhir-akhir ini tidak tentu memberikan nafkah. Kalaupun suaminya memberi jumlahnya tidak seperti dulu waktu awal menikah. Membuatnya bimbang atau ragu untuk membelikan dengan uang ditabungannya. “Aku sebenarnya kawatir membiarkan Lasmi sering pulang terlambat apalagi dia bersama lelaki yang baru dikenalnya tiga Minggu,” batin Arini. Angan-angan Arini teringat dengan Wahyu. “Apa mungkin aku minta tolong Wahyu lagi ya? Sedangkan aku sekarang bukan siapa-siapanya dia lagi. Aku sekarang suda

  • Dilema Arini   Gambar desain Lasmi

    “Aku pulang, Kak! Lasmi berjalan masuk ke dalam rumah. “Kak-kak! Panggil Lasmi kembali karena kakaknya tidak menjawab. Lasmi melongok ke dalam kamar kakaknya. “Ssssst! Sebentar Arsy lagi tidur,” jawab Arini beranjak dari tempat tidur dan keluar kamar menghampiri Lasmi. “Ada apa sih, Lasmi?” Tanya Arini. “Enggak ada apa-apa! Tadi aku panggil-panggil kok kakak enggak menjawab. Aku kira tadi kakak enggak ada di rumah,” jawab Lasmi yang kemudian duduk di kursi. “Lasmi aku mau menanyakan sesuatu,” kata Arini yang mendekati adiknya dan duduk di sampingnya. Lasmi hanya diam dia memandang wajah kakaknya dan sudah tahu ke mana arah pertanyaan kakaknya. “Siapa teman kamu yang menjemput dan mengantarkanmu pulang tadi? Kamu kan belum ada sebulan di sini tapi kamu kok sudah punya teman cowok, siapa dia?” tanya Arini. “Itu, kak. Kakak ingat kan dengan orang yang ditempat kursusan waktu kita mendaftar yang namanya Ridwan,” kata

  • Dilema Arini   Teman dekat Lasmi

    Tiga Minggu telah berlalu sejak kejadian Arsy dibawa pak Rudi bersama istrinya. Selama itu juga hubungan Arini dan suaminya Badrun tidak kunjung membaik. Arini melayani suaminya ketika pulang hanya menjalankan kewajibannya sebagai istri. Hal itu Karana suaminya kalau pulang hanya di waktu sore terkadang malam hari sehingga waktu untuk memberikan perhatian pada Arini dan Arsy kurang dan jika pagi hari sudah pergi lagi. Arini juga tidak pernah menanyakan tentang pekerjaan suaminya, Arini merasa suaminya Badrun tertutup jarang berbicara dengan aktivitasnya sehari-hari di luar rumah. Arini menyadari kalau dirinya hannyalah istri kedua dan berusaha memaklumi kalau waktunya Badrun lebih banyak untuk istri pertamanya. Di mana rumah tangga mereka awalnya dibangun atas dasar cinta. Sedangkan pernikahan Badrun dengan dirinya tidak dibangun dengan dasar cinta tapi atas dasar kesepakatan orang tuanya. Hari-hari Arini diliputi rasa kesepian, Arsy

  • Dilema Arini   Arsy kembali

    “Bukankah yang aku lakukan adalah yang selama ini kamu inginkan?” tanya Haryati mencibir. “Apa yang aku inginkan? Aku semakin enggak ngerti maksudmu,” tanya Badrun balik. “Bukankah kamu hanya menginginkan anak laki-laki dan tidak menginginkan istri lagi? Sekarang aku mengambil Arsy yang akan aku asuh. Aku melakukan ini untukmu,” jawab Haryati dengan suara bergetar. Badrun tak menyangka kalau Haryati akan berkata seperti itu. Badrun terdiam tidak tahu apa yang harus dia katakan. Haryati menggunakan perkataannya Badrun dahulu untuk alasan mengambil Arsy. Haryati membalikkan perkataan suaminya dahulu yang diucapkannya yang menginginkan anak laki-laki dan digunakannya untuk alasan menikah lagi. “Tapi tak perlu kau rampas Arsy dari ibunya!” kata Badrun setelah beberapa saat terdiam. “Kalau aku mengambil Arsy dari Arini sudah adilkan bagiku. Seperti Arini merampas dirimu dariku! Bahkan waktumu sekarang kamu habiskan lebih banyak

  • Dilema Arini   Masih mencari Arsy

    Arini dan Lasmi mengikuti petunjuk dari Bu Dani. Tak berapa mereka akhirnya menemukan rumah yang ciri-cirinya disebutkan oleh Bu Dani. “Berhenti Lasmi! Sepertinya rumah ini,” kata Arini ketika melihat rumah bercat putih di sebelah kanan jalan. “Iya Mbak, kelihatanya memang rumah ini. Karena di sekitar sini hanya rumah ini yang bercat putih,” kata Lasmi menoleh ke kanan dan ke kiri begitu menghentikan laju motornya di depan rumah bercat putih. “Ayo kita turun, Kak! Ajak Lasmi. “Ya, Ayo,” jawab Arini. Merekapun turun dari motor dan mencoba membuka pintu pagar. “Kak, pintu pagarnya terkunci berarti pak Rudi enggak ada di rumah,” kata Lasmi. Arini yang melihat pintu pagar rumah pak Rudi terkunci mulai gelisah dan panik. “Aduh gimana ini, Lasmi!” kata Arini yang hampir menangis. “Tenang dulu, Kak! Kakak bawa hp enggak. Coba telepon pak Rudi mungkin pak Rudi berada di rumah kita. Siapa tahu dia lagi nganta

DMCA.com Protection Status