Setelah dirawat beberapa hari pasca operasi, kini akhirnya Ocha sudah diizinkan pulang oleh dokter karena kondisi kesehatannya sudah mulai pulih dan tak ada ada komplikasi yang terjadi setelah operasi.
Setia didampingi Lala, Ocha berjalan perlahan di koridor rumah sakit dengan langkah pelan, tangannya sesekali memegang perut yang kini terasa kosong setelah melahirkan.Keduanya masuk ke unit perawatan intensif neonatal (NICU). Bunyi mesin monitor yang ritmis terdengar dan inkubator berderet, menjaga kehidupan kecil yang masih rapuh di dalamnya.“Bu Ocha ... bayinya di sini, Bu,” kata perawat itu ramah, mengarahkan Ocha pada salah satu inkubator di mana bayinya berada.“Bayinya masih butuh banyak perawatan, Bu. Tapi dia kuat, seperti ibunya,” ujar sang perawat.Ocha tersenyum tipis, sambil menatap ke dalam inkubator, melihat bayinya yang kecil.Tubuh mungil itu terlilit kabel dan monitor, dengan tabung kecil yang mengalirkan ok“Ya iyalah! Suruh siapa melahirkan bayi prematur?”Deg!Mata Ocha melebar tak menyangka ibunya akan mengeluarkannya kalimat yang seharusnya tak pernah terlontar dari mulut seorang wanita yang juga bergelar Ibu.Napas Ocha sedikit tersengal, ia memegang dadanya yang sesak, hingga air mata mulai berdesakan ingin keluar dari tempatnya.Tubuhnya yang memang masih lemah, nyaris kehilangan keseimbangan, tetapi Lala sigap menahannya.“Bu ... Ibu kenapa ngomong gitu?” tanya Nathan menatap tajam ibunya. “Faktanya begitu kan? Kalau gak prematur, ya gak mungkin dong masuk NICU segala,” sembur Laras sedikit pun tak merasa terbebani dengan perkataannya. Wanita tua itu memutar bola matanya, kesal. “Pantas aja Aksa menceraikan kamu, karena tau anaknya cacat.”Air mata Ocha akhirnya mengalir jua. Hatinya sakit, sangat sakit! Dia masih memegang dadanya sambil terisak tanpa melepaskan pegangannya yang sangat
Aksa bangkit dengan wajah kusutnya. Kini, ia bahkan terlihat bak tidak punya semangat hidup. Dia beralih mengambil ponsel yang tergeletak di lantai. Untungnya karena masih bisa menyala. Dia bisa saja membeli ponsel baru sesuka hati, tetapi tak bisa mengembalikan kenangan yang ada di ponselnya lamanya. Pria tinggi itu kemudian meninggalkan ruangan, sedikit membanting pintu saat menutupnya membuat dua sekretarisnya terlonjak kaget. Nadine menggeser kursinya, mendekat pada Lily, lalu berbisik, “Pak Aksa akhir-akhir ini kenapa, sih? Kayak punya beban pikiran yang berat banget gitu?” Lily mengangkat bahu tanda tak tahu. Sebenarnya, ia sudah merasakan perubahan sikap Aksa jauh sebelum hari ini. Bahkan, bisa dibilang saat Ocha keluar dari kantor. Padahal, yang membuat Ocha keluar, juga karena ia yang memecatnya sendiri. “Kadang-kadang ngubah jadwal seenaknya. Gue pusing gimana ngaturnya lagi coba? Emang dari dulu waktu sama sekretarisnya yang lama, dia juga gitu?” tany
Aksa masih berdiri mematung di depan pintu hingga Dewi kembali berbicara. “Iya, Sayang. Aku emang gak suka melihat Mas Aksa lebih perhatian sama Ocha. Aku takut Ocha merebutnya dariku. Dan, finally ... aku berhasil membuat mereka berpisah. Tapi, aku gak pernah berhasil mencintainya ....”“... tetap saja aku juga gak bisa membuang perasaanku ke kamu.”Hening sejenak.Di luar kamar, Aksa meradang penuh emosi mendengar kalimat-kalimat istrinya bagai bom yang sengaja disiapkan untuk membunuhnya. Amarah Aksa hendak meledak, tapi ia berusaha menahan diri. Karena ingin mendengarkan lebih banyak rahasia yang disimpan oleh istrinya selama ini. “Kita ketemu ya, di tempat biasa. Anak kita mau dielus-elus ayah kandungnya.”Aksa menggeleng kuat-kuat. Matanya melotot murka mendengar pengakuan Dewi. Ia tak pernah menyangka bila Dewi begitu tega berkhianat di belakangnya. Bahkan, anak yang dikira adalah anaknya, t
Dewi tak berani menjawab, ia menundukkan kepala dengan air mata yang mulai berjatuhan ke pipinya. Namun, Aksa tak merasa iba sama sekali. Sudah cukup, air mata palsu Dewi menipunya selama ini.Dengan sedikit kasar, Aksa menyeret Dewi keluar dari cafe.Tapi, langkahnya terhenti karena dicegat oleh Denis. “Aksa ... Aksa! Dengerin aku, ini bukan salah Dewi, tapi salahku. Tolong jangan kasar padanya, pukul aku saja jika kau mau, tapi jangan Dewi. Dia sedang hamil,” kata Denis dengan raut penuh permohonan. “Jangan ikut campur! Ini urusanku dengan Dewi!” bentak Aksa tetap menarik lengan Dewi dan memaksanya masuk ke mobil. Semua mata memandang mereka sambil menggeleng pelan dengan segala praduganya. Aksa membanting pintu mobil sedikit kasar dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah. Denis mematung menatap kepergian Dewi bersama amarah suaminya. Dia bingung harus berbuat apa? Sekalipun,
Pengakuan Dewi bagaikan bom yang membombardir seluruh penduduk tubuh Aksa. Dia benar-benar tak habis pikir, jika hampir 3 tahun menikah dengan Dewi, perhatian, kasih sayang, serta pengorbanannya sama sekali tak ada harganya di mata Dewi. “Terdengar sangat egois, tapi itulah faktanya, Mas. Aku gak mau tiba-tiba punya anak, sedangkan aku sendiri belum bisa mencintai kamu.” Dewi melanjutkan pengakuannya. “Kita menikah karena dijodohkan dan Mas Aksa juga tau kalau sebelum menikah, aku memiliki kekasih.” “Tapi, kamu bilang akan melupakannya dan menerima pernikahan kita, kan? Kamu mengatakannya padaku sebelum kita menikah,” sanggah Aksa cepat. Dewi kembali menunduk. Dia tak dapat mengelak karena yang dikatakan Aksa memang benar adanya. Akan tetapi, ia menerima Aksa pada saat itu karena terpaksa. Orang tuanya tak memberikan pilihan, bahkan tak akan diberikan hak waris sedikit pun jika menolak menikah dengan Aksa
Aksa bergeming, enggan untuk menanggapi perkataan Dewi. Sampai akhirnya Dewi kembali bersuara lirih, “Aku akan berusaha jadi istri yang baik buat kamu. Aku akan meninggalkan Denis, demi kamu,” kata Dewi di sela isak tangisnya, “asalkan kita gak bercerai, Mas. Aku gak mau! Aku memang belum cinta kamu, tapi aku nyaman sama kamu.”Tak ada rasa iba sedikit pun yang hadir di hati Aksa. Justru, ia mulai muak dengan segala pembelaan diri Dewi yang menurut Aksa sengaja diputar-putar agar dia tak terlihat bersalah. Perlahan, Aksa melepas tangan Dewi dari pinggangnya. Diakuinya kalau memang masih sangat mencintai Dewi, tetapi luka yang ditorehkan wanita itu padanya telanjur sangat dalam menyakitinya.Aksa yakin, bahwa perlahan rasa cintanya pada Dewi akan terkikis seiring dengan rasa sakit yang terus menggerogoti hati dan batinnya. Tanpa sepatah kata, Aksa berlalu ke mobil meninggalkan Dewi yang masih berdiri kaku di teras dengan raut
Suasana mendadak tegang. Bram tiba-tiba berdiri. Dadanya terlihat naik turun dengan raut wajah penuh emosi.Dia menggertakkan gigi, menatap nyalang pada Dewi. “Kenapa bisa kamu melakukan ini, Dewi? Kau tau? Perbuatanmu membuat keluarga harus menanggung malu!”Dewi masih tak menjawab. Hanya isakan tangisnya yang terdengar berulang. “Pa, Bu. Atas nama pribadi, juga keluargaku, aku minta maaf karena tidak bisa mempertahankan pernikahanku dengan Dewi. Kebohongan dan penghianatan yang dia lakukan sangat melukaiku dan tidak bisa aku terima,” kata Aksa tegas. Liana menghampiri Dewi dan menggenggam tangan putrinya itu. Paling tidak, hati kecilnya masih berharap bahwa apa yang dikatakan Aksa itu tidaklah benar. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanya Liana pelan. Dengan nada suara yang tersendat-sendat, Dewi pun menjawab, “Aku ... aku minta maaf, Bu. Aku melakukan ini karena kupikir ini jalan yang terbaik. Dari awa
“Aksa, bangun!” teriak Bianca sambil memukul-mukul lengan putranya yang tidur tengkurap dan sangat susah dibangunkan. Setelah beberapa kali dipukul sang ibu, Aksa baru menggeliat pelan sedang Bianca yang kini melipat tangan di depan dada sontak menggeleng melihat pria itu yang tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba pulang dalam keadaan mabuk dan langsung masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata. Entah ada apa dengannya? Namun, Bianca bisa menebak kalau Aksa sedang ada masalah serius. Dengan istrinya mungkin, karena tak biasanya Aksa mabuk-mabukan seperti ini. “Mi ...," ucap Aksa dengan suara khas bangun tidurnya. “Sudah pagi. Kamu gak salat subuh, kan?” tanya Bianca menyipitkan mata, mencari tahu. Tak ada jawaban, Aksa justru celingak-celinguk melihat situasi membuat Bianca bisa menarik kesimpulan. “Bodoh! Kamu pikir masalah bisa selesai dengan mabuk-mabukan sampai meninggalkan salat? Mami gak habis pikir sama kamu, Aksa!” bentak Bianca menggeleng sebelum akhirnya berl
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok