“Hampir 3 tahun kami menikah, Mi. Tapi Dewi gak pernah mencintaiku.” Air mata Aksa kembali terjatuh. Sekarang, ia sudah tak merasa gengsi menangis di hadapan ibunya. Nyatanya, hatinya memang tak sekuat itu. Dia hanya tak menyangka, jika ketulusannya selama ini dibalas dengan pengkhianatan oleh orang yang dicintainya. Lagian, kenapa harus orang-orang tulus yang selalu disakiti dan dikhianati? Tidakkah ada kebahagiaan untuk mereka yang tulus? Perlahan, Bianca menggeser posisinya, dan membawa putra semata wayangnya itu ke dalam pelukannya. Mengusap-usap punggungnya sekadar untuk menenangkan. “Mami gak tau harus berbuat apa untuk membantumu, Sayang. Tapi, Mami tidak akan memaksa atau mencampuri keputusan yang akan kamu ambil nantinya,” ujar Bianca seraya menepuk-nepuk bahu Aksa. “Mami dari dulu sudah punya feeling gak baik tentang Dewi kan?” tanya Aksa curiga setelah melepas pelukan dari ibunya dan menatapnya lurus. Melalui manik mata wanita kesayangannya itu, ia menc
Dengan raut sedih dan kecewa berat, Aksa memilih pulang ke rumah. Baru saja, ia hampir punya titik terang keberadaan Ocha. Kalaupun, tadi Lala hanya sendirian, dia akan mendesak wanita itu untuk memberitahukan keberadaan Ocha. Tapi, sepertinya semesta belum merestuinya bertemu dengan anak dan mantan istrinya. Bayangkan saja, hanya perkara lampu merah, sepele tapi membuatnya kehilangan jejak. Setelah memarkirkan mobil di garasi, dengan langkah gontainya, ia masuk ke rumah orang tuanya dengan wajah lesu.“Assalamualaikum,” ucapnya, tapi tak ada yang menyahut. Dia pun berjalan pelan, mencari keberadaan ibunya.Ternyata, wanita tua itu sedang berada di dalam kamarnya.Terbukti, karena terdengar suara dari sana.Aksa pun mengintip melalui pintu yang memang terbuka sedikit. Ibunya tampak melakukan video call dengan seseorang sambil menghadap ke dekat dinding kaca kamarnya. “Alhamdulillah, jadi
“Mami tau di mana Ocha tinggal sekarang?”Tatapan Aksa pada ibunya sangat dalam dan penuh harap.Dalam hatinya, berharap jawaban yang didengar nanti akan memuaskan hatinya. Namun, detik berikutnya, Bianca menggeleng pelan membuat wajah Aksa mendadak lesu. “Mami sudah tanya, tapi Ocha gak mau mengatakannya, Nak,” ungkap Bianca. Terdengar sebuah tarikan napas berat dari Aksa. Ia sangat kecewa.Ocha benar-benar menutup kesempatannya untuk bertemu dengan putranya. Pria tampan itu beralih duduk di sebelah ibunya. Meletakkan siku di atas paha seraya memegang dahinya bak sedang berpikir.Beberapa saat kemudian, ia pun mengangkat wajah dengan tatapan lurus ke depan. “Ini salahku, Mi. Kalau aku bisa tegas pada Dewi waktu itu, gak plin-plan dalam mengambil keputusan, dan bisa adil terhadap istri-istriku, mungkin Ocha gak akan merasa diabaikan dan aku masih bisa bertemu anakku,” terang Aksa seraya menelan ludahnya yang
Ocha bengong sejenak. Terkejut, juga tak menyangka kalau Dewi yang terlihat tenang dan tulus bisa-bisanya bermain api dengan mantan kekasihnya di belakang sang suami? Apakah sekarang, memang lagi zaman mencintai mantan kekasih? Tapi, kenapa harus mencintai mantan di saat sudah menikah? Memangnya sesusah itu mencintai suami sendiri? “Jangan-jangan yang kemarin kita lihat di pantai, itu Mbak Dewi bareng mantannya?” tanya Ocha penasaran. Lala mengangguk. “Ya, namanya Denis. Banyak foto mereka berseliweran di sosmed, katanya mereka emang udah pacaran semenjak SMA. Berpisah, saat Dewi menikah dengan Aksa karena dijodohkan. Sementara, Denis hingga saat ini masih sendiri.” “Hanya saja, Aksa belum klarifikasi kebenarannya.” “Berarti mereka belum pasti bercerai kalau begitu,” kata Ocha sembari menyerahkan ponsel milik Lala. “Udah jelas, Dewi sudah membenarkan.” Hening beberapa saat. Ocha menunduk, berpikir sebelum akhirnya berujar pelan, “Memang kalau perselingkuhan, udah ga
Hari demi hari pun kian berganti, Ocha benar-benar memaksimalkan perannya sebagai ibu sekaligus ayah untuk putranya. Kala menatap bayi mungilnya yang baru saja selesai ia mandikan, membuat Ocha merasa tak tega meninggalkan bayi sekecil itu untuk kembali bekerja.Namun, apa boleh dikata karena keadaan tak punya pilihan untuknya. “Sayang, maafin Ibu, ya. Mulai lusa harus ninggalin kamu bekerja. Ibu jadi sedih, tapi apa yang Ibu lakuin juga untuk masa depannya Aqil.” Ocha berbicara seolah-olah bayinya mengerti. Tak berselang lama, Karina--wanita paruh baya yang masih tampak cantik alami itu datang dan membawa rantang berisi makanan untuk Ocha. Seperti biasa, Karin langsung ke rumah Ocha yang memang tak dikunci dan menghampiri wanita itu di kamarnya. “Nak, itu Tante bawa makanan buat kamu. Dimakan dulu, kamu belum sarapan, kan?” tanyanya bernada tebakan. Ocha tersenyum, lantas menggeleng. “Belum, Tante. Ngurusin Aqil dulu.”
Pagi-pagi sekali, Karin sudah datang ke kontrakan Ocha sesuai janjinya untuk menjaga bayi mungil yang masih berusia sebulan lebih itu. Menurut Karin, kasihan dengan si bayi jika Ocha yang harus membawanya ke rumah. Cuaca di pagi hari masih terlalu dingin.Untungnya, dari kontrakan dan rumah Karin memang terbilang dekat, bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja beberapa meter.“Kamu dijagain Nenek Karin dulu ya, Sayang. Jangan rewel! Ibu harus kerja ... cari uang, biar bisa beliin susunya Aqil. Ya?” tutur Ocha sambil mencium bayinya berulang kali.Ia benar-benar tak tega meninggalkan bayinya, tapi juga tidak punya pilihan lain. Sekitar pukul 7 lebih 10 menit, dengan langkah yang sangat berat, Ocha pun beranjak dari tempat tidur. Napasnya berat terdengar diembuskan berulang kali.Begitu keluar rumah, ia dibuat bingung dan terkejut dengan keberadaan Yaya yang berdiri di teras rumahnya. “Ya, lu ngapain di sini? G
Ocha pun memijat keningnya. Ia mendadak pusing memikirkan nasibnya. Entah ini bisa dianggap ujian atau apa? Tapi, ia sungguh berat menjalankannya. Pelan, ia mengambil ponsel dari saku blazernya untuk menghubungi Lala. Dia akan mencoba meminta bantuan pada gadis itu berharap bisa dibantu agar bagaimana tugasnya menemui presdir Harmoni Gastronomi dialihkan ke rekan-rekannya yang lain. Tak lama, Lala pun menjawab panggilannya. “Ada apa?” tanyanya. “Lu di mana? Gue butuh bantuan lu.” “Gue di ruangan. Lu ke sini aja.” “Oke, tungguin!” Dengan cepat, Ocha pun menuju ruangan Lala. Hingga tiba di sana, ia masuk dengan raut cemberutnya. “Kenapa muka lu bentukannya bonyok kek gitu? Abis kena tipu undian dapat uang tapi kudu bayar biaya admin lu?” tanya Lala tertawa meledek. “Ih! Jangan bercanda” ketus Ocha memanyunkan bibirnya.
Aksa menghela napas panjang. Mencoba berpikir positif. Dalam diam, ia menyakinkan dirinya kalau Ocha tidak mungkin tega meninggalkan anaknya begitu saja.Aksa mengingat, dulu saja dirinya sakit dan yang rela merawatnya adalah Ocha, padahal saat itu seharusnya Dewi yang merawat. Apalagi, seorang anak. Ibunya benar, Ocha tidaklah setega itu. Pasti, dia sengaja menitipkan anaknya pada orang kepercayaannya. Entah pada siapa? Aksa, jadi semakin merasa tak enak hati karena tidak bisa bertanggung jawab penuh pada mereka berdua.Lagi dan lagi, dia menyesali diri karena tak tegas pada Dewi waktu itu sehingga timbul kesalahpahaman antara dirinya dan Ocha.Namun, tak ada gunanya menyesal sekarang. Dia hanya harus berbicara empat mata dengan Ocha untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. “Jadi ... saya menjelaskan langsung pada intinya saja, ya, Pak Aksa,” kata Ocha memecahkan keheningan, menatap Aksa sebentar.
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok