Ocha pun memijat keningnya. Ia mendadak pusing memikirkan nasibnya.
Entah ini bisa dianggap ujian atau apa? Tapi, ia sungguh berat menjalankannya. Pelan, ia mengambil ponsel dari saku blazernya untuk menghubungi Lala. Dia akan mencoba meminta bantuan pada gadis itu berharap bisa dibantu agar bagaimana tugasnya menemui presdir Harmoni Gastronomi dialihkan ke rekan-rekannya yang lain. Tak lama, Lala pun menjawab panggilannya. “Ada apa?” tanyanya. “Lu di mana? Gue butuh bantuan lu.” “Gue di ruangan. Lu ke sini aja.” “Oke, tungguin!” Dengan cepat, Ocha pun menuju ruangan Lala. Hingga tiba di sana, ia masuk dengan raut cemberutnya. “Kenapa muka lu bentukannya bonyok kek gitu? Abis kena tipu undian dapat uang tapi kudu bayar biaya admin lu?” tanya Lala tertawa meledek. “Ih! Jangan bercanda” ketus Ocha memanyunkan bibirnya.Aksa menghela napas panjang. Mencoba berpikir positif. Dalam diam, ia menyakinkan dirinya kalau Ocha tidak mungkin tega meninggalkan anaknya begitu saja.Aksa mengingat, dulu saja dirinya sakit dan yang rela merawatnya adalah Ocha, padahal saat itu seharusnya Dewi yang merawat. Apalagi, seorang anak. Ibunya benar, Ocha tidaklah setega itu. Pasti, dia sengaja menitipkan anaknya pada orang kepercayaannya. Entah pada siapa? Aksa, jadi semakin merasa tak enak hati karena tidak bisa bertanggung jawab penuh pada mereka berdua.Lagi dan lagi, dia menyesali diri karena tak tegas pada Dewi waktu itu sehingga timbul kesalahpahaman antara dirinya dan Ocha.Namun, tak ada gunanya menyesal sekarang. Dia hanya harus berbicara empat mata dengan Ocha untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya. “Jadi ... saya menjelaskan langsung pada intinya saja, ya, Pak Aksa,” kata Ocha memecahkan keheningan, menatap Aksa sebentar.
Ocha mengernyit bingung, menatap Aksa yang masih berdiri mematung tanpa kata.Ditatapnya Dita dengan raut penuh tanya, tetapi wanita berhijab itu hanya mengangkat bahu, juga tak tahu apa yang terjadi?Pelan, Aksa berjalan menghampiri mereka dan menatap Ocha penuh harap. “Bisa bicara sebentar?” tanyanya pelan. “Ada apa ya, Pak? Apa ada yang kurang jelas dari penjelasan saya tadi?” Ocha mencoba bersikap santai. Padahal, di dalam sana jantungnya mulai ribut.Aksa menggelengkan kepalanya pelan seraya menarik napas. “Di luar pekerjaan,” katanya pada akhirnya.Lagi dan lagi, Ocha menoleh pada Dita seolah menanyakan maksudnya. Namun, wanita itu justru tampak menahan senyumnya. Mundur selangkah dan langsung masuk ke mobil seakan memberikan kesempatan untuk Aksa dan Ocha berbicara.“Ada apa, Pak Aksa?” tanya Ocha menaikkan alisnya. “Itu ... saya ....”Ocha memicing, menunggu Aksa melanjutkan kalimat
Dua minggu kemudian. Di sebuah ballroom mewah, dihiasi dengan dekorasi elegan dan nuansa futuristik, beserta iringan musik lembut yang mengalun indah, menambah meriah acara peluncuran produk baru dari Infinite Allure. Banyak tamu-tamu dari berbagai kalangan yang hadir, dari petinggi perusahaan-perusahaan, hingga media yang berjejer, bersiap untuk meliput kegiatan. Tak terkecuali Aksa, yang juga malam ini datang karena sesuatu hal. Tidak bohong, dia ingin melihat Ocha. Syukur-syukur, bisa bertemu dan berbicara dengannya. Akhir-akhir ini, wanita itu rame sekali di kepalanya. Aksa sampai melupakan masalahnya dengan Dewi yang sampai sekarang masih santer diperbincangkan di sosial media. Dia tak melakukan klarifikasi seperti permintaan netizen. Toh, ia berpikir lama-lama beritanya akan tenggelam seperti hubungannya dengan Dewi yang tenggelam oleh air mata pengkhianatan. Aksa yang hendak duduk, tak sengaja men
“Apa lagi, sih?” Ocha mulai emosi. “Izinkan aku bertemu anakku.”Aksa menatap Ocha dengan serius. Sama sekali tak ingin melepaskan sedikit pun raut wajah mantan istrinya itu. “Kenapa aku harus mengizinkanmu?” tanya Ocha menatap lurus ke depan. Matanya mulai panas. Namun, ia tetap mencoba agar tak ada buliran bening yang keluar dari sana di hadapan pria bergelar ayah kandung putranya itu. “Dia anakku, Cha. Aku juga berhak untuk dekat padanya,” jawab Aksa apa adanya.Ocha menatap Aksa sebentar seraya tersenyum miris. Dengan sedikit kasar, Ocha melepaskan tangan dari cekalan Aksa. “Sekarang baru kamu bilang begitu? Selama ini ke mana aja? Saat aku mengandung, sampai melahirkan, kamu ke mana? Kamu bilang akan selalu ada buat kami, tapi apa?”“Kamu selalu mengutamakan anak kamu pada Mbak Dewi, dan ... mengabaikan kami,” kata Ocha pelan, tetapi penuh penekanan. Aksa menunduk, sesekali berusaha menelan l
“Nggak ada cinta-cintaan, malas banget!” sungut Ocha kesal. Bibirnya mengerucut sebal bak pantat ayam.Dirinya merasa sangat tidak mungkin jatuh cinta pada Aksa seperti yang Lala katakan.Justru, Ocha sakit hati dengan sikap pria itu. Selama bersamanya, hanya awal doang yang bahagia, bukan?Dan ketika hamil, pelan-pelan malah makan hati tiap harinya.Bukannya diberi perhatian lebih, justru diabaikan seolah-olah tidak ada artinya sama sekali.Ocha tahu, pernikahan mereka punya perjanjian hingga 365 hari saja.Namun, baru berlangsung beberapa bulan saja, tak bisa dipungkiri bahwa dirinya yang memang kekurangan kasih sayang justru membuatnya merasa nyaman dan bodohnya karena merasa dicintai, serta disayangi semenjak kehadiran Aksa dalam hidupnya.Hanya saja, ternyata perhatian, kepedulian, serta ketulusan Aksa padanya, cukuplah singkat. “Lagian, katanya bukan cinta, tapi ngapain sampai mepet-mepet segala ke tembok
Di dalam mobil, Aksa memandangi sebuah rumah sederhana di mana Ocha dan Lala baru saja masuk ke dalamnya. Suasana di sana terlihat tenang. Cahaya lampu dari dalam rumah menerangi hingga ke halaman depan. Perasaan bersalah, terus saja menggerayangi di dalam hati, menyelimuti jiwanya. Terlebih, sebelumnya juga sempat melihat Ocha yang baru menjemput putra mereka di malam yang dingin menusuk kulit. Tadinya, Aksa sudah akan pulang ke rumah, tetapi begitu berada di parkiran, dia tak sengaja melihat Ocha dan Lala yang juga terlihat akan pulang. Seketika itu, Aksa pun memutuskan diam-diam mengikuti mereka. Sekadar mencari tahu tempat tinggal mantan istrinya agar memudahkannya bertemu sang buah hati, nantinya. Kalau tidak inisiatif mengikuti mereka bak mata-mata, Aksa tidak akan tahu kalau Ocha menitipkan anaknya pada wanita yang sepertinya adalah ibunya Yaya. Sebenarnya, hati Aksa cukup sakit melihat mantan istrinya tersenyum pada pria lain. Terutama pria itu juga pernah m
“Huh ...!” “Please!” kata Aksa lagi, bahkan sebelum Ocha melanjutkan kalimatnya. Dan setelah banyak pertimbangan, Ocha pun akhirnya memutuskan. “Baiklah,” katanya singkat. Namun, berhasil membuat Aksa mengulas senyumnya karena bahagia dan terharu. Dia merasa, perjuangannya kali ini, diam-diam mengikuti mobil Lala tak sia-sia. Karena sekarang hasilnya telah dibayar kontan. Hati Ocha luluh dan ia akan segera bertemu dengan putranya. “Terima kasih,” lirih Aksa, kemudian bangkit tanpa melepas tautan tangannya pada Ocha hingga wanita itu yang berusaha menarik tangannya sendiri. Ocha membuka pintu dengan lebar. Memberi ruang mantan suaminya menemui anak mereka untuk yang pertama kalinya. “Masuklah. Tapi, kamu harus memelankan suara karena dia sudah tidur," pinta Ocha. Aksa pun mengangguk cepat. “Tentu.” Dia masuk dengan hati-hati, menatap sekeliling rumah yang tampak sederhana, tetapi ia merasa di dalamnya penuh dengan kehangatan. Seandainya, Ocha mengizinkannya ti
Ocha masih melongo. Berusaha mencerna perkataan Aksa. Bahkan, untuk berkedip saja kini ia kesusahan.Di dalam sana, jantungnya pun seakan ingin bertukar peran dengan paru-paru. Dia menatap Aksa dengan tajam. “Bercandamu gak lucu, Mas!” cibirnya. “Masa bercanda ngajak nikah-nikahan? Kamu pikir pernikahan itu mainan?”Aksa tersenyum tipis. Cepat, ia menjawab. “Apa raut wajahku terlihatbercanda?” tanyanya serius. Ocha kini tak menjawab. Sejatinya, ia memang tak menemukan raut bercanda di wajah Aksa. Namun, meskipun begitu, Ocha tak mau ambil hati. Takut kalau terlalu percaya, justru nyungsep ke lubang yang sama.Ocha menyeringai sinis, mengalihkan pandangan ke arah lain. “Jangan ngawur!” ketusnya. “Aku serius, Ocha.”Sebuah helaan napas dikeluarkan Ocha. “Mas! Lebih baik kamu pulang dulu sana, deh. Kayaknya kamu udah ngantuk!”Ocha berlalu lebih dulu, berdiri di depan pint
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok