Ocha terpaku dalam diam, sejenak berpikir sambil memicing penasaran mengamati bekas lipstik berbentuk bibir yang tampak mulai pudar itu.
Namun, dia dibuat terlonjak saat tiba-tiba sebuah lengan melingkar di perutnya. Dia menoleh sebentar, merasakan napas hangat suaminya sesekali meniup di lehernya. “Mas, ih ... lepasin! Kulit kamu dingin banget,” protes Ocha berusaha melepaskan diri, tetapi Aksa tak mengindahkan. Terus saja memeluk istrinya itu. “Maka dari itu aku cari kehangatan, soalnya dingin.” Nada suaranya serak. “Lagian, kamu liatin apa sih, hm?” tanya Aksa sambil mengecup pipi Ocha beberapa kali. “Liatin baju kamu ada bekas lipstik. Bekas bibir siapa itu?” tanya Ocha dengan nada mengintimidasi. Aksa melepas pelukan, lantas merebut bajunya dari tangan Ocha dan menyimpannya kembali di lemari. “Bekas bibir kamu,” katanya singkat. “Bibir akuOcha dan Aksa berjalan berdampingan menyusuri trotoar jalan dengan Aksa yang sesekali merangkul dan menarik sang istri masuk ke jaketnya yang besar.Maksudnya memberikan kehangatan di malam yang dingin ini. Keduanya baru saja keluar dari cafe menikmati makan malam romantis dan lanjut menghabiskan waktu berdua, jalan-jalan di taman layaknya sepasang muda-mudi yang sedang berkencan.Mumpung Aqil sedang di rumah dijaga oleh Oma dan juga Sus Wina, jadi mereka bisa bebas berkencan, walau acap kali Ocha merasa was-was, takut Aqil menangis, mencarinya. Sambil berjalan pelan di trotoar, tangan Aksa tiba-tiba melingkar di pinggang Ocha, menarik istrinya itu agar lebih dekat. “Sepertinya, kita harus lebih sering jalan-jalan berdua seperti ini. Soalnya sebelum kita nikah, hampir gak pernah jalan berdua. Itung-itung kan lagi pacaran.” Aksa berkata lembut di telinga Ocha.Ocha menanggapinya dengan kekehan kecil. “Kayak anak abege aja yang pacar-paca
Bam! Bam! Bam!Lala terlonjak dan sontak menjatuhkan ponsel saat seseorang terus menggedor pintu mobilnya. Semakin lama, semakin kencang.Salah seorang pria juga berdiri di depan mobil Lala dan memerintahkan agar segera keluar menggunakan kode jari tangan. Dengan napas yang mulai tak beraturan, Lala yang sebenarnya sangat takut, memberanikan diri untuk membuka pintu mobilnya dengan sedikit kasar. Dia keluar dan melangkah tegas, menatap tajam satu per satu pria yang berdiri bersisian dengan tangan yang dilipat di depan dada itu. “Apa yang kalian inginkan, hah?” tanya Lala berusaha bersikap biasa saja, meski tak bisa dipungkiri bahwa di wajahnya jelas gurat ketakutan yang tak dapat disembunyikan.“Apa kalian memang beraninya menghadang seorang wanita di tengah jalan sepi, pada malam hari seperti ini?” Lala menyeringai miris setelah sengaja mengejek secara halus. Tak ada yang menjawab, tapi salah satu di antar
Tanpa menunggu lagi, Nathan sontak mencengkram kerah baju Rizky dan memukul pria itu seolah sedang melampiaskan amarah yang sudah lama dipendamnya pasa pria itu.Namun, melihat Rizky kalah telak dari Nathan, teman-temannya tak tinggal diam, mereka lantas mengambil alih tugas Rizky menghajar Nathan.Sedang itu, Rizky beralih mengamankan Lala agar tak kabur. Karena tak kuat melawan 3 orang sekaligus, dipukul, ditendang berulang kali, Nathan akhirnya menyerah.“Nathan!” teriak Lala histeris, hampir menangis, tak tega melihat Nathan yang dianiaya karena menyelamatkan dirinya. Ada rasa ingin menolong, sehingga ia memberontak seperti kesetanan, menginjak kaki mantan kekasihnya yang sedari tadi mencengkram pergelangan tangannya, lalu berlari menghampiri Nathan.Lala berlutut, menyangga kepala Nathan dengan raut panik. “Nat, maafin gue. Gara-gara gue kamu jadi begini,” lirih Lala merasa bersalah.Air matanya berhasil lolos.
Nathan kini terbaring di ranjang rumah sakit, wajahnya terlihat babak belur dengan beberapa luka di sekitar pipi dan sudut bibirnya, bahkan jari tangannya ada yang keseleo. Sedang itu, Lala berdiri di samping ranjang, dia menunduk dengan air mata yang menggenang di pelupuk itu sesekali menatap iba dan merasa bersalah begitu melihat keadaan Nathan yang memprihatinkan. Namun, hingga kini, Lala masih bertanya-tanya, mengapa Nathan tadi tiba-tiba datang dan menolongnya sangat tepat waktu? Seandainya Nathan tak ada, entah apa yang akan terjadi padanya? Suasana hening di sana, ketika Nathan berusaha menyentuh tangan Lala yang saling meremas. “Lu baik-baik aja?” tanyanya melirih. Lala mengangguk pelan, tersenyum tipis dan menjawab dengan suara yang sangat pelan. “Gue baik-baik aja, Nat.” Nathan mengangguk, diam cukup lama, tapi tangannya masih menggenggam tangan Lala. “Gak usah khawatir, mereka gak akan ganggu kamu lagi,” kata Nathan menyakinkan. Di sebelah Lala, Ocha terse
Ocha dan Aksa baru saja tiba di rumah setelah pulang dari rumah rumah sakit, kemudian juga mengantar Lala pulang dan memastikan Lala aman hingga masuk ke apartemen. Begitu pintu depan dibuka, suara tangisan Aqil yang nyaring seolah langsung menyambut kedua orang tuanya.Ocha yang merasa cemas, pun mempercepat langkah menuju ruang tamu.Di sana, sudah ada Sus Wina yang mondar-mandir berusaha menenangkan Aqil yang terus-menerus rewel, sementara di sofa ada Bianca dengan raut wajah kesal, terlebih melihat anak dan menantunya baru pulang di jam setengah 11 malam.Begitu Ocha dan Aksa tiba di ruang tamu, Bianca sontak berdiri dan memarahi mereka. “Ke mana aja kalian? Mami izinin keluar jalan-jalan itu sebentar, bukan ngabisin waktu satu semester sampe lupa diri?!”“Jalan-jalan lama sekali, kayak anak ABG, gak ingat anak di rumah lagi rewel nyariin ibunya.” Suara Bianca terdengar tegas, sepasang mata itu menatap Aksa dan Ocha penuh amarah, wal
Paul menatap lurus ke depan, tapi beberapa saat menatap sang putra yang terlihat menunggunya kembali berbicara. Pria tua yang identik dengan kacamata itu mengambil napas pelan, sebelum akhirnya menjawab, “Selama ini, mantan istri Papa yakni ibu kandungnya Ocha seperti selalu menjaga jarak atau mungkin mengalihkan pembicaraan ketika Papa bertanya tentang Yaya.”“Dia selalu bilang, setelah bercerai, ia menikah lagi sehingga lahir dr. Yaya, tetapi Papa gak pernah melihat dia bersama suaminya. Bahkan ...,” kata Paul, “saat Ocha menikah, suaminya tak terlihat. Agak gak masuk akal menurut Papa kalau suaminya terlalu sibuk dan mengabaikan hari bersejarah putri dari istrinya. Walaupun hanya ayah sambung, seharusnya datang menyaksikan secara langsung.”Nathan hanya terdiam, sibuk mencerna sekaligus berpikir maksud perkataan papanya.Setelah beberapa saat papa dan anak itu terdiam. Nathan bertanya, “Maksud Papa ... Tante Karin menyembunyikan sesuatu dari P
Setelah menjemput Nathan dari rumah sakit, Lala mengemudikan mobilnya perlahan di sepanjang jalan perkotaan dengan suasana canggung. Lala menggerak-gerakkan jari telunjuknya pada setir mobil, sesekali mencuri kesempatan melirik Nathan yang berada di sebelahnya. Tak lama, akhirnya keheningan pun terpecah ketika Nathan mulai membuka pembicaraan. “Gue butuh udara segar sebelum pulang ke rumah. Kalau gue minta diantar ke suatu tempat dulu, boleh gak?” tanya Nathan pada Lala. Gadis itu terdiam sejenak, berpikir, sebelum menganggukkan kepalanya. “Mau ke mana?” “Lu ikuti aja arahan gue.” Lala tak menjawab lagi. Dia mulai melajukan mobil mengikuti arahan Nathan sehingga mereka memasuki kawasan tempat tinggi dengan pemandangan kota yang indah si sana. Lala menghentikan mobil di sebuah tempat parkir yang tak besar juga tak terlalu kecil, di mana sudah ada beberapa kendaraan juga di sana. Dia menoleh ke arah Nathan, yang duduk di kursi penumpang dengan kepala yang bersandar pada s
Lala memarkirkan mobilnya dengan hati-hati di depan rumah Nathan saat hari sudah gelap. Tadinya, dia mengajak Nathan untuk pulang lebih awal melihat kondisi Nathan yang masih butuh istirahat, tapi pria itu enggan sebelum menyaksikan matahari terbenam bersama orang yang diinginkan menjadi warna dalam hidupnya. Di sebelah Lala, Nathan terlihat duduk dengan senyum lebar yang sedari tadi menghiasai wajah tampannya itu. Ketika keduanya turun dari mobil, Laras dan Fafa terlihat sudah menunggu di depan pintu dengan raut yang sulit untuk ditebak. “Gue bantu ya.” Lala berujar pelan sambil memegang lengan Nathan dan membantunya jalan menuju teras rumah. “Ya ampun, kalian dari mana saja? Bikin khawatir baru pulang jam segini.” Laras mengeluarkan unek-uneknya, menyambut satu tangan Nathan untuk dipegangnya. “Dari jalan-jalan dulu, Bu,” jawab Nathan santai. Laras menghela napas pelan. “Ya sudah, gak apa-apa. Ibu hanya sedikit khawatir karena kamu bilang sudah berangkat dari rumah sa
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok