“Gak mau, Mbak!”
“Ocha, ayolah. Apa susahnya, sih?” “Mbak, Pak Aksa itu sudah menikah. Aku gak mungkin merusak rumah tangga mereka!” “Kamu hanya perlu menikah dan melahirkan anak untuk Pak Aksa, Ocha. Setelah melahirkan, kamu bisa bercerai dengannya. Mamanya Pak Aksa yang jamin semuanya. Jadi–” Brak! Mendengar ucapan sang kakak, gadis berkuncir satu itu berdiri setelah menggebrak meja “Pernikahan bukan mainan, Mbak! Lagian, aku bukan mesin pencetak anak,” tegas Ocha cepat. Dia sungguh tak habis pikir dengan pikiran sang kakak. Bagaimana bisa wanita di depannya ini bisa sesantai itu meminta Ocha menikah dengan sosok Aksa yang tidak lain adalah bosnya sendiri di kantor? Jelas-jelas, semua tahu bahwa pria tampan itu beristri. Apakah kakaknya ini tak ada hati sebagai sesama perempuan? “Gak ada yang mempermainkan pernikahan, Cha. Pak Aksa hanya ingin punya keturunan, tetapi istrinya gak bisa memberikannya.” Ocha menggelengkan kepalanya. “Mereka baru menikah 2 tahun, Mbak. Banyak kok pasangan yang baru punya keturunan di usia pernikahan ke 5, bahkan 10 tahun.” “Gak bisa, Ocha. Istrinya Pak Aksa mandul.” “Mereka orang kaya, Mbak. Sekarang medis juga udah canggih, apa sih yang gak bisa diusahain? Program bayi tabung, misalnya. Lagian, gak adil sekali kalau di setiap pernikahan yang belum dikaruniai keturunan, solusinya menikah lagi. Kenyataannya itu bukan solusi, tapi masalah.” Fafa–sang kakak–seketika melotot marah. Terlihat sekali dia geram dengan penolakan yang Ocha layangkan. “Ocha, hidupmu akan terjamin setelah menikah dengan Pak Aksa! Kamu kok ngeyel banget, sih?” Ocha menatap sang kakak tak percaya. “Kalau begitu, kenapa gak Mbak Fafa saja yang menikah dengannya? Umur Mbak juga jauh lebih matang untuk menikah daripada aku.” “Jadi istri kedua gak pernah jadi bagian dari rencana hidupku, Cha.” Deg! “Apa bedanya denganku, Mbak?! Aku juga gak pernah punya pikiran untuk menjadi istri kedua. Mbak pikir–” “Jelas kalian berbeda, Ocha!” Sang Ibu tiba-tiba datang dan menginterupsi percakapan kedua kakak beradik itu. “Kau hanyalah anak tiri di keluarga ini, Tidak seperti Fafa,” ucap wanita tua itu kembali, begitu kejam. Mata Ocha lantas membelalak. Jiwanya terguncang mendengar ucapan sang ibu. “Bu, jangan bercanda. Aku–” Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Ocha. “Siapa yang bercanda?” bentak sang Ibu. Tanpa basa-basi, wanita itu langsung menyeretnya hingga ke kamar. Bugh! Sang ibu mendorong Ocha hingga tubuhnya tertabrak sudut ranjang. Air mata kini sudah mengalir di wajah Ocha, tetapi tetap tak menyentuh hati wanita tua itu. “Selama ini, aku muak melihatmu. Kamu ingat kan kalau aku gak suka ada penolakan?” tanyanya yang diangguki Ocha. “Maka dari itu, kamu gak seharusnya menolak menikah dengan Pak Aksa.” “Bu… maafkan aku. Aku pasti akan menerima siapa pun pria yang Ibu bawa untuk menjadi suamiku. Tetapi kenapa harus Pak Aksa yang punya istri? Aku gak mau, Bu. Aku gak mau merusak kebahagiaan orang lain.” Suara Ocha bergetar, memohon. “Begitu? Mau jadi anak durhaka kamu? Hah?!” Ocha terhenyak. “Bu—bukan begitu maksudku, Bu. Tapi–” Bola matanya yang sudah basah menatap seolah meminta sedikit pembelaan pada Fafa yang saat ini berdiri di depan pintu. Ocha berharap setidaknya Fafa mengingat bahwa dirinya pernah dihukum ibunya membersihkan loteng sampai kamar mandi hanya karena menolak permintaan kakaknya itu untuk menemui seorang pria yang seharusnya ditemui. Tapi, sepertinya mustahil. Fafa hanya berdiri di pihak sang ibu sambil menyilangkan tangan di depan dada. “Hahaha…. Sudah cukup menurut, katamu?!” geram sang ibu, “Seharusnya kamu sadar, siapa kamu dalam keluarga ini?! Kamu sudah kami rawat, makan, pendidikan, sudah kami penuhi. Tapi, kamu mau jadi anak pembangkang seperti ini?” Dijambaknya kencang rambut Ocha lalu menyeret gadis malang itu ke kamar mandi. “Dasar anak gak tahu terima kasih!” umpat sang ibu kembali. Dia pun mendorong Ocha, menabrakkan tubuh kurus itu ke tembok berkali-kali di bawah shower yang mengalir. “Ampun, Bu... sakit!” erang Ocha menangis histeris. Namun, tak dihiraukan wanita tua itu. “Anak tidak tahu diri sepertimu, pantas merasakannya!” bentaknya lagi. Jujur, Ocha sudah pasrah. Terlebih kala kegelapan mulai melingkupi pandangannya. Mengira dirinya akan dipukul kembali, Fafa tiba-tiba bersuara. “Sudah, Bu. Nanti dia mati. Akan sangat merepotkan mengurusnya nanti.” Sang Ibu benar-benar menghentikan gerakannya dan menjauh dari Ocha. Namun begitu sampai di pintu kamar mandi, sang Ibu menghentikan langkahnya sebentar, sebelum berkata, “Nikahi Pak Aksa kalau kamu mengerti balas budi. Kalau tidak, pergi dari rumah ini. Terserah mau ke mana, mau jadi gelandangan di luar sana, pengemis, jalang–terserah…! Aku tak peduli asalkan jangan pernah kembali ke rumah ini karena aku tidak sudi melihat pembangkang sepertimu!” “Bu... ” “Jangan panggil aku Ibu. Aku bukan Ibumu!” Deg! Penegasan itu membuat jiwa Ocha terguncang hebat. Sampai Laras dan Fafa berlalu, gadis itu masih termangu dalam bimbang. Ia menangis kencang. Bersandar ke tembok hingga menekuk kedua kakinya. Lalu, menyembunyikan wajah di antara lutut sambil merenungi nasib yang tak bisa disangkal. Bahkan, gadis itu kini seolah tak peduli lagi pada dinginnya air yang terus mengguyur tubuhnya. Apakah ini alasan ibu dan kakaknya begitu kejam padanya selama ini? Tapi, apakah dirinya layak diperlakukan seperti itu hanya karena anak tiri? Sungguh, dia berharap sang ayah ada di sini untuk membelanya. Sayangnya, dia kini ragu meminta tolong pada pria itu…. Dua puluh lima tahun hidup Ocha … sekarang terasa seperti sebuah kebohongan saja. *** “Mbak Ocha, bangun!” Merasakan bahunya ditepuk-tepuk oleh seseorang membuat Ocha bergerak pelan. Namun, tubuhnya otomatis kembali meringkuk di bawah selimut seakan mencari sebuah ketenangan dan kehangatan. Seluruh tubuhnya begitu lemah. Belum lagi dengan suhu tubuh yang panas, tetapi yang ia rasakan justru dingin. “Ditungguin Papa dan Ibu untuk makan malam, Mbak.” Suara Nathan--anak paling bungsu di rumah itu bagai angin lalu di telinga Ocha. Hanya deheman singkat yang diberikan sebagai respons. Ocha tak sadar kalau sekarang hari sudah gelap gulita. Tadinya, setelah membersihkan diri dan mengumpulkan segala kekuatan untuk bangkit dari kamar mandi, hari masih siang. Ternyata, ia terlelap di waktu yang cukup panjang setelah raga dan hatinya mendapatkan tekanan bertubi-tubi. “Duluan aja, Nathan. Mbak bisa nanti.” Nada suaranya sangat lemah. “Mbak... Mbak kenapa?” Nathan panik. Tak biasanya Ocha seperti itu. Pelan, pria muda itu menyentuh pipi Ocha, lalu pindah ke dahi. “Astaga, Mbak Ocha sakit. Tubuhmu panas banget, Mbak.” “Papa!” teriak Nathan. Ia sambil berlari ke arah pintu kamar Ocha. “Papa, Bu... Mbak Ocha demam tinggi!” Pernyataan Nathan sukses membuat orang tua dan juga sang kakak yang berada di meja makan terkesiap. Kepala keluarga rumah itu sontak berdiri. Tampak jelas raut cemas di wajahnya. Paul bahkan langsung berlari menuju kamar sang putri. Sungguh berbeda dengan anak dan ibu di sebelahnya yang tetap bergeming di tempat. Hanya saja, raut Fafa juga tampak tak nyaman. “Gawat, Bu! Kayaknya Ocha demam karena kedinginan gara-gara di kamar mandi tadi,” bisik Fafa. Keduanya jelas tahu jelas kalau tubuh Ocha sangat sensitif terhadap suhu dingin. “Dasarnya, si Ocha saja yang lemah. Ayo kita lihat, jangan sampai anak gak tahu diuntung itu mengadu pada Papa tentang perbuatan kita padanya,” balas sang Ibu sok tenang. Hanya saja, dia sedikit ketakutan kala melihat Paul sedikit berlari dengan membopong tubuh Ocha yang tak sadarkan diri dari kamar. “Nathan, setir mobil ke rumah sakit sekarang!”“Dok, gimana keadaan putri saya?” tanya Paul begitu melihat dokter yang menangani Ocha keluar dari ruangan. Jelas sekali, pria itu khawatir sakit Ocha akan parah. Selama ini, jarang-jarang Paul melihat putrinya terbaring lemah tak berdaya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak. Pasien hanya demam biasa. Sekarang perubahan cuaca memang rentan membuat tubuh menjadi demam, flu, sampai pilek. Dan mungkin pasien habis hujan-hujanan juga. Setelah minum obat penurun demam, nanti demamnya akan turun, Pak. Hanya saja, untuk malam ini saya sarankan agar pasien dirawat inap agar kami lebih mudah mengontrol keadaannya.” “Baik, Dokter.” Setelah Ocha dipindahkan ke ruang rawat, Paul menyusulnya. Sementara, Nathan sudah pulang karena diminta sang Papa agar menemani Laras dan Fafa di rumah saja. Untuk Ocha, ia sendiri akan menjaganya. Melihat anak gadisnya terbaring lemah, Paul menghembuskan napas berat. Mendekatinya, lalu menyentuh dahinya. Demamnya memang sudah turun seperti ka
“Benar, Pak. Sekalipun hasil tes kesehatan saya tidak ada masalah, tapi tidak ada yang bisa menjamin ke depannya. Jadi, saya rasa waktu 1 tahun sudah cukup untuk tahu apakah saya bisa hamil anak Bapak atau tidak?” Hening, Aksa kembali menatap selembar kertas di tangannya. Melanjutkan membaca. “Tiga, status pernikahan akan tetap menjadi rahasia.” “Kenapa dirahasiakan?” tanya Aksa menatap Ocha, dingin. “Di kantor tidak ada larangan poligami dan menjalin hubungan, yang dilarang hanya perselingkuhan.” “Saya mengerti, Pak. Tapi....” “Kamu menganggap menjadi istri kedua sebagai aib?” Ocha tersenyum simpul. “Secara agama bukan, Pak. Tapi, secara sudut pandang objektif orang-orang tentu saja itu... aib.” Beralih bersandar pada kursi kebesarannya. Dari sana, Aksa memperhatikan Ocha dari ujung kaki hingga kepala, membuat gadis itu mendadak kikuk dan membisu. “Baik, saya setuju,” kata Aksa sambil membubuhkan tanda tangan di atas kertas tersebut. Dalam diam, Ocha meremas roknya.
“Hah?!” Karena kaget, Lala melongo, bola matanya nyaris keluar. Di sudut lain, Yaya yang tengah menyeruput minuman tak sengaja menyemburkannya. “Njir! Jorok banget sih lu, Ya!” sembur Lala. “Maaf. Terkejoud gue.” “Harusnya gak usah kaget gitu juga kali. Kan kalian sendiri yang selalu curiga kalau gue ini jangan-jangan cuma anak tiri karena diperlakukan gak lazim sama Ibu. Sekarang, terbukti kan? Gue emang anak tiri. Kalian benar, gue yang gak menyadari? Dan....” Ocha menatap sendu Lala dan Yaya bergantian. “Gue gak tau di mana Ibu kandung gue sekarang.” “Waktu itu kami bercanda, Cha.” Yaya melirih, menyesal. “Gue tau.” “Ocha.” Lala menatap Ocha penuh iba. “Gue gak bisa bayangin, seberat apa jadi lu?” “Jangan dibayangin. Dan jangan mengasihaniku. Gue baik-baik aja.” Hening, Lala mencoba memahami keadaan Ocha. Baik Lala dan Yaya, tahu persisi jika seorang Ocha memang tak suka dikasihani. Karena kapan dikasihani, ia tak akan bisa menahan air matanya. Lebih tepatnya,
“Mbak, saya minta maaf. Saya....” “Ngomongnya biasa aja, Ocha. Gak usah terlalu formal,” potong Dewi, “anggap saja kita Adik Kakak.” Ocha menatap Dewi sendu, penuh rasa bersalah. “Iya, Mbak. Tapi, serius... aku benar-benar minta maaf ke Mbak” “Kamu gak salah apa-apa, Ocha. Kenapa minta maaf segala?” “Mbak....” “Sudahlah. Ini sudah jadi takdir buat kita bertiga. Jalani saja penuh keikhlasan.” “Tapi, Mbak. Aku menyakitimu,” cicit Ocha. Dewi menggeleng sebagai respons. Senyumnya mengambang dengan tangan yang kemudian terulur menggenggam tangan Ocha. “Aku gak apa-apa, Ocha. Aku ikhlas. Sekarang pergilah bersiap, nanti Mas Aksa mencarimu. Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan menghubungi aku, ya.” Dengan sangat terpaksa, Ocha berlalu meninggalkan Dewi. Sesekali menoleh ke arah istri pertama suaminya yang terus tersenyum ke arahnya. Namun, saat hendak menaiki tangga menuju kamar, ia tak sengaja melihat ibu tirinya, Fafa, berada di dalam kamar yang terbuka sedikit bersama d
Netra Ocha melebar begitu menyadari kalau tangannya dengan lancang meraba wajah sang suami yang saat ini ternyata sedang menatapnya tanpa ekspresi. “Bapak ngapain?” tanya Ocha panik. Suaranya sedikit serak khas bangun tidur. “Kamu yang ngapain di atas tubuh saya?” “Hah?!” Ocha kaget, kelimpungan hendak menjauh. Namun, nahasnya karena saat berusaha berdiri kakinya tak sengaja tersangkut di antara kaki Aksa membuatnya kembali terjatuh menimpa tubuh pria itu. Dan apesnya lagi karena bibirnya mendarat sempurna di pipi Aksa. Detak jantung keduanya berpacu cepat dalam keheningan. Saling beradu pandang dengan isi pikiran masing-masing. Buru-buru Ocha memutus komunikasi mata itu dan bangkit dengan jantung yang hampir saja bertukar tempat dengan paru-paru. “Ma—maaf, Pak, gak sengaja,” ucapnya terbata. Salah tingkah, juga sedikit malu dengan insiden yang terjadi barusan. ‘Malam pertama macam apa yang sangat memalukan ini? Kenapa bisa-bisanya gue gak bisa ninggalin sifat cer
“Ck!” Aksa berdecak sebal, seringai sinis dari sudut bibirnya tersungging sejenak mendengar pengakuan Ocha. Meski perkataan wanita yang berada di bawah kungkungannya itu terdengar lugas dan begitu yakin, tapi Aksa tak langsung percaya begitu saja. Bisa saja kan, Ocha hanya menghindarinya saja untuk mengulur-ulur waktunya. Tatapan Aksa yang tajam gencar mengamati wajah cantik Ocha untuk sekadar mencari sepercik kebohongan di sana. Namun, tak ditemukannya hal itu. Justru, tatapan sendu Ocha begitu tenang, tak terbebani sedikit pun sehingga Aksa harus menarik napas pasrah dan sontak berguling ke samping. Suasana berubah hening, dan tak lama kemudian mereka tertidur dalam posisi yang saling membelakangi. Keduanya terbangun kembali saat Azan subuh berkumandang. Begitu pagi telah menyingsing, Ocha melipir ke dapur dengan maksud dan tujuan untuk memasak sarapan buat sang suami. Hanya saja, saat hendak mencuci beras, pergerakan tangannya mendadak berhenti. Ia termangu
BRAK! Spontan, Ocha menendang kaki Aksa membuat pria pemilik alis tebal itu mengangkat satu kaki sambil meringis pelan. “Apa maksudnya bawa-bawa ingus segala, hah?!” bentak Ocha. “Bercanda,” ucap Aksa cepat sebagai pembelaan dirinya. Dia tak menyangka Ocha akan se-brutal itu sampai menendangnya. Untungnya, taksi online yang dipesan untuk istrinya di apartemen tadi sudah datang karena tak ingin berangkat bersama. Segera dibukakan pintu bagian penumpang begitu mobil berhenti sempurna. Hanya saja, bukannya masuk mobil, Ocha tetap bergeming dengan tangan menyilang di depan dada. Tatapan tajamnya menghakimi Aksa yang seolah tak punya rasa bersalah sama sekali. Bukan apa-apa, tapi Ocha kini seakan mengingat kisah kelam masa lalunya yang jadi korban bully, dan pelaku adalah suaminya sendiri. “Kita ada meeting, kau lupa?” tanya Aksa geram. “Gak!” “Terus? mau tinggal di situ?” Detik berikutnya Aksa menarik lengan Ocha karena geram dengan tabiat wanita dengan sifat ngam
Sepulang dari kerja, Ocha duduk sendirian di ruang tamu, sibuk membaca novel dengan kaki di atas meja, kerap membalikkan halaman buku sambil sesekali menatap ke arah jendela. Suasana terasa hening dan sunyi. Dasarnya, Ocha menyukai sepi, tapi bukan berarti kesepian. Hanya saja, pendengarannya yang memang agak sensitif terhadap suara-suara, tiba-tiba terganggu oleh suara yang persis seseorang menekan PIN dari luar. Tit... tit... tit! Bilamana benar adanya, gerangan siapa yang berani menjadi penyusup di apartemen suaminya? Bukankah sistem pengamanan di apartemen itu cukup ketat? Seingat Ocha, Aksa juga pernah bilang kalau tidak ada yang tahu PIN apartemen itu selain mereka berdua. Ocha mulai was-was, takut ada seseorang yang sudah lama menguntitnya dan tahu kalau saat ini ia sedang sendirian di rumah, seperti halnya novel yang barusan dibaca. Kalau sudah begini, ingin rasanya dia menyamar jadi sister ghost alias Kuntilanak biar penyusupnya ketakutan sendiri. Tak la
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok