“Hah?!”
Karena kaget, Lala melongo, bola matanya nyaris keluar. Di sudut lain, Yaya yang tengah menyeruput minuman tak sengaja menyemburkannya. “Njir! Jorok banget sih lu, Ya!” sembur Lala. “Maaf. Terkejoud gue.” “Harusnya gak usah kaget gitu juga kali. Kan kalian sendiri yang selalu curiga kalau gue ini jangan-jangan cuma anak tiri karena diperlakukan gak lazim sama Ibu. Sekarang, terbukti kan? Gue emang anak tiri. Kalian benar, gue yang gak menyadari? Dan....” Ocha menatap sendu Lala dan Yaya bergantian. “Gue gak tau di mana Ibu kandung gue sekarang.” “Waktu itu kami bercanda, Cha.” Yaya melirih, menyesal. “Gue tau.” “Ocha.” Lala menatap Ocha penuh iba. “Gue gak bisa bayangin, seberat apa jadi lu?” “Jangan dibayangin. Dan jangan mengasihaniku. Gue baik-baik aja.” Hening, Lala mencoba memahami keadaan Ocha. Baik Lala dan Yaya, tahu persisi jika seorang Ocha memang tak suka dikasihani. Karena kapan dikasihani, ia tak akan bisa menahan air matanya. Lebih tepatnya, dia selalu mengaku kuat. Nyatanya, hanya pura-pura kuat. “Jadi, lu mau ngejalanin pernikahan tanpa cinta?” tanya Lala. Bahu Ocha spontan terangkat. “Mau bagaimana lagi? Gue udah mengiyakan. Lagian gue utang budi sama Bu Bianca.” “Karena dia yang ngasih lu kerjaan jadi sekretarisnya Pak Aksa?” Ocha mengangguk. “Dia baik banget soalnya. Ya, walaupun gue cuma ngasih waktu 1 tahun buat Pak Aksa dalam pernikahan ini. Kalau gue gak hamil, kami bercerai.” “Kalau hamil?” Yaya menautkan alis. “Tunggu sampai bayi itu lahir. Terus pisah.” “Tumben otak lu encer. Tapi, jangan sampai lu jatuh cinta. Biar lu gak makan hati tiap hari. Jadi, istri kedua potensi makan hatinya lebih gede. Dan semisal benih-benih cinta muncul di antara kalian, bakalan berat kalau mau pisah.” “Gue ngerti!” “Emang lu udah siap bikin bayi?” Lala memicing. “Bukannya lu pernah bilang kalau takut nikah karena takut bikin bayi?” “Entah! Pokoknya hadapi aja! Nanti kalau takut, tinggal pura-pura pingsan aja,” kata Ocha dengan raut polosnya membuat teman-temannya tertawa. Hanya saja, ucapan tak semudah perkataan…. Kala mendengar Aksa mengucapkan ijab kabul di rumah orang tuanya, air mata Ocha meluruh. Diperhatikannya para tamu yang hadir. Tidak banyak. Hanya keluarga inti di masing-masing mempelai, juga termasuk Dewi--istri pertama Aksa. Anehnya, Ocha merasa Dewi yang seharusnya patah hati karena sang suami punya istri muda justru tampak biasa saja? Tapi, Ocha tak punya banyak waktu untuk memikirkan itu. Selesai ijab kabul, semua orang terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ocha juga disuruh ke kamar. Namun, dia memilih menuju ke taman samping dengan niat menenangkan diri lebih dulu. Sayangnya, langkah pendeknya harus terhenti saat melihat lelaki yang beberapa saat lalu menikahinya sedang bersama dengan istri pertamanya. Sang wanita duduk di kursi berbahan rotan, sementara Aksa berlutut sesekali mencium tangan wanitanya itu. “Maafkan aku, Sayang. Aku terpaksa melakukan ini semua hanya karena Mami.” “Gak apa-apa. Jalannya memang sudah seperti ini. Aku ikhlas jika harus berbagi perhatian dan kasih sayangmu dengan adik maduku.” Mendengarnya, Ocha meneguk ludah yang tercekat di lehernya dengan susah payah. ‘Hanya karena?’ Entah mengapa, hatinya sakit mendengar itu. Dia juga tidak menyangka istri pertama suaminya akan merespons sesantai itu. Seolah tak mempermasalahkan sang suami menikah lagi. Terbuat dari apa hatinya? Apakah ia sungguh ikhlas berbagi suami atau hanya pura-pura mengukir senyum padahal hatinya menangis pilu? Hal itu pun yang membuat Ocha semakin merasa bersalah. Betapa tak tega dirinya menyakiti hati sebaik Dewi. “Aku janji akan tetap sayang padamu. Jika sudah mendapatkan apa yang Mami minta, aku pasti akan membebaskan Ocha dariku dan kembali padamu seutuhnya.” Pernyataan pria itu seperti melukai harga diri Ocha, tetapi dia tak bisa marah dan tidak bisa menyalahkan siapa pun karena ia sendiri juga tahu kalau pernikahannya dengan Aksa terjadi demi mendapatkan keturunan. Toh, dalam surat perjanjian yang dibuatnya juga tercantum hal itu. Tangan putih milik Dewi terulur, membelai rahang tegas milik sang suami. “Jangan berkata seperti itu. Kamu harus adil pada kami. Mau bagaimanapun juga, Ocha sudah jadi istrimu dan kelak akan mengandung anakmu. Kamu harus bisa sayang dan cinta padanya.” Tak ada respons dari Aksa setelahnya, tetapi ia beralih memeluk Dewi. Tak berselang lama, Aksa berlalu ke dalam rumah. Namun, Dewi masih tinggal di sana. Kini, giliran Ocha yang menghampiri. Dengan perasaan tak menentu, langkahnya dipelankan karena sebenarnya takut Dewi akan sama seperti istri pertama di film dan novel-novel yang pernah dibacanya. Sewot dan nyinyir--bak ibu-ibu ngerumpi anak tetangga jika di hadapan madunya. “Mbak Dewi,” sapa Ocha sedikit menunduk kikuk. Wanita beranting bulat yang agaknya sebesar wadah foundation itu berdiri dan tersenyum ramah pada Ocha. “Loh, Ocha. Kenapa di sini? Bukannya siap-siap berangkat ke apartemen?” Ocha menarik napas panjang. “Mbak, saya…”“Mbak, saya minta maaf. Saya....” “Ngomongnya biasa aja, Ocha. Gak usah terlalu formal,” potong Dewi, “anggap saja kita Adik Kakak.” Ocha menatap Dewi sendu, penuh rasa bersalah. “Iya, Mbak. Tapi, serius... aku benar-benar minta maaf ke Mbak” “Kamu gak salah apa-apa, Ocha. Kenapa minta maaf segala?” “Mbak....” “Sudahlah. Ini sudah jadi takdir buat kita bertiga. Jalani saja penuh keikhlasan.” “Tapi, Mbak. Aku menyakitimu,” cicit Ocha. Dewi menggeleng sebagai respons. Senyumnya mengambang dengan tangan yang kemudian terulur menggenggam tangan Ocha. “Aku gak apa-apa, Ocha. Aku ikhlas. Sekarang pergilah bersiap, nanti Mas Aksa mencarimu. Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan menghubungi aku, ya.” Dengan sangat terpaksa, Ocha berlalu meninggalkan Dewi. Sesekali menoleh ke arah istri pertama suaminya yang terus tersenyum ke arahnya. Namun, saat hendak menaiki tangga menuju kamar, ia tak sengaja melihat ibu tirinya, Fafa, berada di dalam kamar yang terbuka sedikit bersama d
Netra Ocha melebar begitu menyadari kalau tangannya dengan lancang meraba wajah sang suami yang saat ini ternyata sedang menatapnya tanpa ekspresi. “Bapak ngapain?” tanya Ocha panik. Suaranya sedikit serak khas bangun tidur. “Kamu yang ngapain di atas tubuh saya?” “Hah?!” Ocha kaget, kelimpungan hendak menjauh. Namun, nahasnya karena saat berusaha berdiri kakinya tak sengaja tersangkut di antara kaki Aksa membuatnya kembali terjatuh menimpa tubuh pria itu. Dan apesnya lagi karena bibirnya mendarat sempurna di pipi Aksa. Detak jantung keduanya berpacu cepat dalam keheningan. Saling beradu pandang dengan isi pikiran masing-masing. Buru-buru Ocha memutus komunikasi mata itu dan bangkit dengan jantung yang hampir saja bertukar tempat dengan paru-paru. “Ma—maaf, Pak, gak sengaja,” ucapnya terbata. Salah tingkah, juga sedikit malu dengan insiden yang terjadi barusan. ‘Malam pertama macam apa yang sangat memalukan ini? Kenapa bisa-bisanya gue gak bisa ninggalin sifat cer
“Ck!” Aksa berdecak sebal, seringai sinis dari sudut bibirnya tersungging sejenak mendengar pengakuan Ocha. Meski perkataan wanita yang berada di bawah kungkungannya itu terdengar lugas dan begitu yakin, tapi Aksa tak langsung percaya begitu saja. Bisa saja kan, Ocha hanya menghindarinya saja untuk mengulur-ulur waktunya. Tatapan Aksa yang tajam gencar mengamati wajah cantik Ocha untuk sekadar mencari sepercik kebohongan di sana. Namun, tak ditemukannya hal itu. Justru, tatapan sendu Ocha begitu tenang, tak terbebani sedikit pun sehingga Aksa harus menarik napas pasrah dan sontak berguling ke samping. Suasana berubah hening, dan tak lama kemudian mereka tertidur dalam posisi yang saling membelakangi. Keduanya terbangun kembali saat Azan subuh berkumandang. Begitu pagi telah menyingsing, Ocha melipir ke dapur dengan maksud dan tujuan untuk memasak sarapan buat sang suami. Hanya saja, saat hendak mencuci beras, pergerakan tangannya mendadak berhenti. Ia termangu
BRAK! Spontan, Ocha menendang kaki Aksa membuat pria pemilik alis tebal itu mengangkat satu kaki sambil meringis pelan. “Apa maksudnya bawa-bawa ingus segala, hah?!” bentak Ocha. “Bercanda,” ucap Aksa cepat sebagai pembelaan dirinya. Dia tak menyangka Ocha akan se-brutal itu sampai menendangnya. Untungnya, taksi online yang dipesan untuk istrinya di apartemen tadi sudah datang karena tak ingin berangkat bersama. Segera dibukakan pintu bagian penumpang begitu mobil berhenti sempurna. Hanya saja, bukannya masuk mobil, Ocha tetap bergeming dengan tangan menyilang di depan dada. Tatapan tajamnya menghakimi Aksa yang seolah tak punya rasa bersalah sama sekali. Bukan apa-apa, tapi Ocha kini seakan mengingat kisah kelam masa lalunya yang jadi korban bully, dan pelaku adalah suaminya sendiri. “Kita ada meeting, kau lupa?” tanya Aksa geram. “Gak!” “Terus? mau tinggal di situ?” Detik berikutnya Aksa menarik lengan Ocha karena geram dengan tabiat wanita dengan sifat ngam
Sepulang dari kerja, Ocha duduk sendirian di ruang tamu, sibuk membaca novel dengan kaki di atas meja, kerap membalikkan halaman buku sambil sesekali menatap ke arah jendela. Suasana terasa hening dan sunyi. Dasarnya, Ocha menyukai sepi, tapi bukan berarti kesepian. Hanya saja, pendengarannya yang memang agak sensitif terhadap suara-suara, tiba-tiba terganggu oleh suara yang persis seseorang menekan PIN dari luar. Tit... tit... tit! Bilamana benar adanya, gerangan siapa yang berani menjadi penyusup di apartemen suaminya? Bukankah sistem pengamanan di apartemen itu cukup ketat? Seingat Ocha, Aksa juga pernah bilang kalau tidak ada yang tahu PIN apartemen itu selain mereka berdua. Ocha mulai was-was, takut ada seseorang yang sudah lama menguntitnya dan tahu kalau saat ini ia sedang sendirian di rumah, seperti halnya novel yang barusan dibaca. Kalau sudah begini, ingin rasanya dia menyamar jadi sister ghost alias Kuntilanak biar penyusupnya ketakutan sendiri. Tak la
Refleks, Aksa sontak menjauhkan badan dari Ocha karena sedikit malu tak bisa menahan diri untuk tidak menjerit tadinya. Hancurlah reputasinya di hadapan istri sekaligus sekretarisnya sebagai presiden direktur yang tegas terhadap hal kecil, tapi pada hewan kecil tak berbisa begitu saja takut. Bukan takut katanya, tapi lebih pada geli. Kekesalan Aksa semakin bertumbuh saat melihat kucing berwarna putih itu memasang wajah sok imut di ujung karpet sambil menatap dari kejauhan seolah menantang dirinya. Belum lagi ekor panjangnya yang bergoyang sana-sini. “Kenapa tiba-tiba ada kucing masuk ke sini? Lewat di mana dia?” cecarnya berusaha menetralkan jantung yang hampir terjengkang bertukar posisi dengan paru-paru. “Mas takut sama kucing?” tanya Ocha penasaran. Aksa sedikit salah tingkah. Bahkan, untuk menjawab saja gelagapan. Dalam hati, ia mencecar dirinya sendiri. ‘Sekalipun takut, jika dipertemukan dengan situasi seperti ini pun, aku gak boleh bilang takut.’ “Gak taku
Ocha membuang napas berat, lantas menghentakkan kaki ke lantai sebelum akhirnya berlalu ke kamar. Dikeluarkannya koper dari lemari dengan kasar, bahkan bibirnya tak berhenti mengerucut saking kesalnya pada Aksa yang terkesan seenaknya. Bukan apa-apa, tapi pria itu memberinya informasi terlalu mendadak. Padahal, bisa dari kemarin-kemarin dibicarakan. Ini baru diminta ikut bersamanya saat satu kakinya sudah berada di luar pintu. Belum lagi, Ocha tak memesan tiket dan hotel untuk dirinya sendiri karena dipikir tidak akan ikut. ‘Maunya apa sih tuh si suami?’ kesal Ocha, tapi hanya dalam hati. Tiba di Makassar. Di lobby hotel, wanita muda yang sengaja membiarkan rambutnya tergerai indah itu menghampiri meja resepsionis dengan raut wajah datarnya untuk melakukan konfirmasi reservasi yang sudah dilakukan sebelumnya atas nama Aksa. Terlihat, Ocha menyerahkan beberapa dokumen terkait yang dibutuhkan untuk verifikasi identitas. Setelah semua selesai, termasuk pembayaran, bar
Entah karena terlalu fokus atau justru sudah setengah tidur sehingga Aksa tersentak mendengar Ocha yang tiba-tiba mengajaknya berbicara.Bahkan, ponsel yang ternyata tak dipegangnya dengan baik itu terjatuh dan tepat sekali menghantam hidung mancungnya. “Aduh!” keluhnya pelan sambil mengusap-usap hidung. Sementara itu, di sebelahnya, Ocha susah payah menutup mulut dengan tangan, menahan diri untuk tidak tertawa. “Kamu gak apa-apa, Mas?” tanya Ocha. Aksa pun menggeleng sebagai reaksi.Detik berikutnya, pria tampan itu beralih mengambil bantal dan meletakkan di balik punggungnya untuk dijadikan sandaran ketika duduk. “Kenapa nanyain soal Dewi?” tanya Aksa terkesan cuek.Dalam diam, Ocha meremas selimut. Sesekali menunduk berpikir. Entahlah! Dirinya juga bingung kenapa menanyakan hal itu setelah tak sengaja melihat Aksa bertukar pesan dengan Dewi?Spontan saja. “Gak apa-apa sih, M
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok