Entah karena terlalu fokus atau justru sudah setengah tidur sehingga Aksa tersentak mendengar Ocha yang tiba-tiba mengajaknya berbicara.Bahkan, ponsel yang ternyata tak dipegangnya dengan baik itu terjatuh dan tepat sekali menghantam hidung mancungnya. “Aduh!” keluhnya pelan sambil mengusap-usap hidung. Sementara itu, di sebelahnya, Ocha susah payah menutup mulut dengan tangan, menahan diri untuk tidak tertawa. “Kamu gak apa-apa, Mas?” tanya Ocha. Aksa pun menggeleng sebagai reaksi.Detik berikutnya, pria tampan itu beralih mengambil bantal dan meletakkan di balik punggungnya untuk dijadikan sandaran ketika duduk. “Kenapa nanyain soal Dewi?” tanya Aksa terkesan cuek.Dalam diam, Ocha meremas selimut. Sesekali menunduk berpikir. Entahlah! Dirinya juga bingung kenapa menanyakan hal itu setelah tak sengaja melihat Aksa bertukar pesan dengan Dewi?Spontan saja. “Gak apa-apa sih, M
Hari ke-2 di Makassar, Ocha masih setia mendampingi Aksa dalam perjalanan bisnisnya. Walaupun kali ini, masih merasa sedikit kesal perkara insiden subuh tadi di mana Aksa hanya pura-pura kesakitan, biar dapat perhatian. Ocha sangat tidak suka karena terkena jebakan betmen suaminya sendiri untuk ke sekian kali. Hanya saja, namanya tugas tak bisa ditinggalkan, walaupun ngambek sedang mendominasi perasaan. Kini, mereka berjalan beriringan menuju aula diadakannya workshop peningkatan keterampilan dan pengetahuan untuk karyawan. Acara sudah dimulai sejak pukul 8 tadi. Tetapi, Aksa dapat giliran membawakan materi di pukul 10 jadi mereka dapat menyesuaikan kehadiran. Kini, giliran Aksa yang membawakan materi, Ocha keluar dari ruangan hendak ke toilet. Namun, saat ingin kembali ke tempatnya seorang pria mendekati. “Kak, sekretarisnya Pak Aksa ya?” tanya pria itu. Ocha mengernyitkan kening, lantas balik bertanya. “Ya, benar. Ada yang bisa dibantu?” Pria berambut sedikit ikal it
Sepasang pengantin baru itu saling memeluk erat satu sama lain hingga pagi menyingsing, barangkali karena kelelahan akibat permainan panas mereka tadi malam. Ocha menggeliat pelan, lalu meraih ponselnya di atas nakas. Bersamaan dengan itu, matanya terbelalak kaget saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah 6. ‘Astaga!’ Ia berbalik dan membangunkan suaminya. Setelah itu, buru-buru bangun dan turun dari ranjang, hendak ke kamar mandi. Hanya saja, saat melangkah ia mendadak berhenti karena merasa ada yang aneh. Organ intinya di bawah sana terasa nyeri. Seketika itu, wanita yang baru menyerahkan hak kepemilikan pada suaminya tiba-tiba menunduk malu, membayangkan kejadian semalam. “Kenapa?” tanya Aksa yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik tak nyaman sang istri. Ocha menoleh ke arah sumber suara. Di kasur, Aksa masih tidur memeluk guling sambil tersenyum manis ke arahnya. “Bisa jalan gak? Mau aku gendong?” Pertanyaan Aksa seketika membuat bulu kuduk Ocha
Aksa yang tengah menikmati sarapan, sontak meletakkan sendoknya.Sedikit mengangkat wajah, kemudian menatap Ocha dengan serius. “Sehari aja, kok, kalau gak boleh 2 hari?” lanjut Ocha memandang Aksa penuh harap. “Kenapa tiba-tiba?”“Cuma gak enak badan aja sedikit, Mas. Tapi, kalau gak dibolehin, aku tetap usahakan ke kantor, gak apa-apa.”“Sakit?” Aksa memicing. Tatapannya yang tajam tak ingin melepaskan satu pun raut wajah sang istri. “Gak juga.”Demi memastikan, Aksa bergegas dari duduknya, lalu menghampiri Ocha. Dia kemudian mengangkat tangan dan menempelkannya ke dahi, pipi, hingga leher sang istri sekadar untuk memeriksa suhu tubuh Ocha. Normal.“Sakit kepala?”Ocha mendongak menatap sang suami yang berdiri di sampingnya, paling tidak dengan sedikit raut cemasnya. “Gak ada yang sakit, Mas. Sedikit lelah aja. Paling kalau sudah cukup istirahat, akan segar lagi.”Aksa
“Apa maksud Mami?” tanya Aksa, menatap Bianca yang sama sekali tidak diduganya akan mengatakan hal seperti itu. “Dewi pergi seperti itu juga kerja, Mi. Dia cari inspirasi buat desainnya. Kenapa Mami malah berpikiran yang gak-gak, sih?” Aksa terlihat marah, tapi nada suaranya tetap normal. Manalah mungkin, pria berusia nyaris 30 tahun itu berani meninggikan nada suara di hadapan wanita yang telah melahirkannya. “Bela saja terus!” cecar Bianca, “Mami gak akan ikut campur kalau suatu saat terjadi sesuatu dengan rumah tanggamu dengannya.”Mendengarnya, seketika Aksa menyeringai sinis. “Bukankah sekarang sudah terjadi sesuatu, Mi? Pernikahanku dengan Ocha itu sudah termasuk sesuatu yang kenapa-kenapa. Aku mengkhianati janjiku untuk setia pada Dewi.”“Mami gak akan pernah menyuruhmu menikahi wanita lain, seandainya Dewi bisa hamil!” tegas Bianca. “Ingat, Aksa. Kamu ini putra tunggal di keluarga kita. Kalau bukan anak-anakmu yang melanjutkan
Sekitar pukul 4 lebih, Ocha baru keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk sepanjang pahanya. Wanita yang melilitkan handuk di atas kepala itu menuju cermin. Mengambil hairdryer yang juga tersimpan di sana. Jika, orang lain memakai hairdryer untuk mengeringkan rambut. Beda cerita dengan Ocha yang justru menggunakan benda tersebut sebagai mic untuk bernyanyi. “Jangan, jangan samakan, aku dengan yang lain ... bibirku yang merah dan senyumku menawan.” Dengan pedenya bernyanyi, padahal suaranya seperti kenalpot rusak. Belum lagi sambil menggoyangkan pinggul ala goyang gergaji milik artis dangdut yang terkenal dengan suara khas serak-serak basahnya. Dia mungkin tidak tau, kalau tubuhnya itu super kaku jika bergoyang. Curiga waktu senam SKJ cari barisan paling belakang cuma buat gangguin yang di depannya. Ocha tak sadar kalau seseorang tengah berdiri mematung di ambang pintu kamar yang tak tertutup sambil mengamati setiap gerak geriknya. Aksa--pria tampan itu melongo, mu
“Dasar anak gak tau diri! Pergi sana!” umpat Laras. Ia menyeret gadis itu dengan kasar, tetapi lagi-lagi dihentikan oleh Nathan.“Bu, hentikan!” teriak Nathan sambil menarik Ocha sang kakak menjauh dari ibunya, “Kenapa sih Ibu jahat banget sama Mbak Ocha? Mbak Ocha salah apa sama Ibu?”“Kau juga sudah berani melawan Ibu sekarang, Nathan?!” bentak Laras menatap Nathan dengan tajam hingga mengacungkan jari telunjuk ke arah Ocha. “Pasti gara-gara dia kan yang mengotori otakmu!” Nathan menggeleng. Masih hendak berbicara mengeluarkan unek-uneknya, tetapi Ocha memegang tangannya dan menatap teduh sang adik sambil menggeleng meminta agar tak perlu dilanjutkan. Ocha tak mau, ibunya akan semakin marah pada Nathan jika anak itu terus-terusan membelanya. “Aku akan pergi, Bu....”“Bagus, silakan! Tidak ada yang berharap kamu di sini.”Sakit. Tapi, Ocha berusaha tersenyum tipis. Dia menelan ludah susa
Tak terasa, hari ke minggu hingga bulan berganti dengan cepat. Matahari untuk ke sekian kali terbenam di ufuk barat dan kini pagi kembali tiba dengan lembutnya, membawa kehangatan mentari pagi yang menyapu langit. Senyum manis dan tawa bahagia pun terpancar jelas dari wajah sepasang suami istri yang tengah berdiri di dekat jendela apartemen. Banyak hal yang telah mereka lewati dalam sebulan terakhir, setidaknya membuat hubungan keduanya menjadi lebih dekat. Terlebih sebuah kabar bahagia tengah menyelimuti. Aksa jelas tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejut dan bahagianya ketika sang istri memberikan hasil tes kehamilan garis dua padanya. “Ini benaran?” tanya Aksa menatap Ocha tak percaya. Matanya berkaca penuh rasa haru dan bangga. “Benar, Mas. Selamat, ya,” kata Ocha tersenyum. Tangannya terulur menyentuh lengan suaminya dengan sangat lembut. Spontan, Aksa memeluk Ocha er
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok