“Dok, gimana keadaan putri saya?” tanya Paul begitu melihat dokter yang menangani Ocha keluar dari ruangan.
Jelas sekali, pria itu khawatir sakit Ocha akan parah. Selama ini, jarang-jarang Paul melihat putrinya terbaring lemah tak berdaya. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Pak. Pasien hanya demam biasa. Sekarang perubahan cuaca memang rentan membuat tubuh menjadi demam, flu, sampai pilek. Dan mungkin pasien habis hujan-hujanan juga. Setelah minum obat penurun demam, nanti demamnya akan turun, Pak. Hanya saja, untuk malam ini saya sarankan agar pasien dirawat inap agar kami lebih mudah mengontrol keadaannya.” “Baik, Dokter.” Setelah Ocha dipindahkan ke ruang rawat, Paul menyusulnya. Sementara, Nathan sudah pulang karena diminta sang Papa agar menemani Laras dan Fafa di rumah saja. Untuk Ocha, ia sendiri akan menjaganya. Melihat anak gadisnya terbaring lemah, Paul menghembuskan napas berat. Mendekatinya, lalu menyentuh dahinya. Demamnya memang sudah turun seperti kata dokter. Begitu pagi telah menyingsing, Ocha membuka mata pelan. Mengedarkan pandangan dan setelah kesadarannya terkumpul, bayangan hari kemarin mengacaukan isi kepalanya. Air mata Ocha lagi dan lagi meluruh membasahi pipinya. Sesak. Itu yang ia rasakan. Tak berselang lama, Paul yang sedari semalam tidur di sofa pun terbangun karena mendengar suara isak tangis. Hanya saja, gadis itu sigap menghapus pipinya serta mengalihkan pandangan ke arah lain untuk sesaat. “Ada apa, Nak?” tanya Paul sembari mengecek suhu tubuh Ocha. Namun, ia tak mendapatkan masalah seperti yang dipikirkan saat melihat sang anak menangis. “Panas kamu udah turun. Apa ada yang sakit?” Ocha masih mematung membuat Paul kian khawatir. “Ocha, ada apa? Bicara sama Papa.” Ocha tak langsung menjawab. Ia berusaha bangkit dari tidurnya terlebih dahulu, dibantu oleh Paul. Tak butuh waktu lama, gadis berambut panjang itu sudah beralih posisi menjadi duduk. Sebuah helaan napas berat dikeluarkan. Matanya yang sayu memindai wajah sang papa. “Aku anak siapa, Pa?” “Ya anak Papa,” jawab Paul sambil tertawa. “Kenapa masih tanya?” Ocha menyeringai masam. “Anak Papa, tapi bukan anaknya Ibu Laras, kan?” Kali ini, air mata Ocha masih bisa terbendung, tetapi sesak di dadanya sungguh tak tertahankan. Sementara Paul, bergeming di sisi ranjang. Jujur, ia sedikit terkejut dengan pertanyaan Ocha yang begitu tiba-tiba. Tiba-tiba, tangan lemah itu mencengkeram ujung baju sang Papa yang masih bungkam seribu bahasa. “Katakan, Pa? Kalau itu semua bohong! Aku anak kandungnya Ibu dan Ayah kan?” Tak ada jawaban. Paul menunduk dan sesekali menelan salivanya. “Katakan, Pa!” desak Ocha. “Itu semua benar. Kamu hanya kandung Papa, bukan anak kandungnya Laras.” Deg! Cengkeraman Ocha terlepas begitu saja. Namun, sesaat kemudian Ocha menangis histeris dan sekuat tenaga yang dipunya mendorong tubuh Paul hingga membuat pria berkacamata bening itu mundur beberapa langkah. Tak bisa dipungkiri, bahwa pria paruh baya itu pun ikut menitikkan air mata. “Ibu kandungmu meninggalkan Papa dan tak mau membawamu bersamanya.” Sesak, hanya itu yang Ocha rasakan. Entah apa yang salah sehingga ibu kandungnya tega meninggalkannya? “Sejahat-jahatnya beliau, dia tetap ibuku, Pa,” tutur Ocha di sela isak tangisnya. “25 tahun aku bersama Papa. Tapi, kenapa Papa gak pernah memberitahu kalau aku hanya anak tiri. Kenapa, Pa? Selama ini, aku selalu berharap mendapatkan kasih sayang, tap—” Ocha memilih tak melanjutkan kalimatnya. “Tapi apa, Nak?” Paul penasaran. Namun, Ocha berhasil mengalihkan perhatian sang papa dengan memintanya membelikan jus buah di kantin rumah sakit. Kini, dalam keheningan ruangan serba putih itu, Ocha duduk sendirian merasa hampa dan kekalutan. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” Pikirannya berkecamuk. Permintan Ibu tirinya dan juga Fafa terngiang-ngiang. Rasanya, dia ingin cuti. Namun, Ocha tahu pasti bahwa dia tak akan mendapat izin karena ada banyak pekerjaan menantinya karena audit akhir bulan. Terlebih, Ocha sepertinya harus mengobrol secara pribadi dengan atasannya terkait masalah pernikahan ini. Hanya saja, gadis itu tak tahu apakah keputusannya … tepat? *** “Ada lagi yang harus saya tanda tangani?” Mendengar ucapan Aska, Ocha langsung menggeleng. “Sudah tidak ada, Pak.” Pria tampan di depannya itu mengangguk. Namun berbeda dari biasanya, Ocha tidak langsung keluar. Sambil memainkan jarinya, sesekali menelan saliva dengan kepayahan, dia kembali membuka mulut, “Maaf, Pak Aksa. Boleh kita diskusi sebentar?” “Diskusi apa?” tanya Aksa bernada dingin. Pria itu tetap sibuk membolak-balikkan dokumen di atas meja. “Sebenarnya ini di luar pekerjaan, Pak,” jawab Ocha serius, “jadi saya harap dengan apa pun yang saya katakan nantinya Pak Aksa tidak tersinggung.” “Hm.” “Ini soal kita berdua, Pak,” kata Ocha menatap sang atasan. “Saya yakin tidak mungkin Bapak tidak tahu soal rencana perjodohan kita. Jujur saja, saya sebenarnya keberatan, mengingat status Bapak sudah memiliki istri.” Aksa menatap balik Ocha yang sama sekali tak diduganya akan mengatakan seperti itu. “Dengan kedudukan yang Bapak punya, saya tau Bapak bisa mendapatkan apa pun yang Bapak inginkan. Termasuk, memiliki 2 istri atau lebih sekalipun sampai batas maksimal yang diperbolehkan agama kita tanpa takut tidak bisa menafkahinya,” tutur Ocha menghela napas pelan, “tapi, sejujurnya saya takut menyakiti istri Bapak.” “Hanya saja, ketakutan saya gak ada gunanya karena saya gak akan pernah punya kesempatan untuk memilih.” “Maksudnya?” Aksa berusaha mencari tahu sesuatu di balik raut wajah Ocha yang datar. Gadis itu menggeleng. “Lupakan saja, Pak. Tujuan saya diskusi karena ada beberapa syarat yang sudah saya buat dan tandatangani sebelum menjadi istri kedua Bapak. Jika Pak Aksa setuju, silakan tanda tangan juga....” “Namun, jika tidak setuju, Bapak harus membantu saya menolak pernikahan ini pada keluarga kita.” Satu langkah, Ocha maju dan meletakkan secarik kertas A4 ke atas meja Aksa. Tanpa menunggu lama, Aksa meraih kertas tersebut dan mulai membacanya secara saksama. Dimulai dari judul.... [PERJANJIAN PERNIKAHAN] “Sebagaimana diketahui bahwa pernikahan antara Aksa Naufal Firdaus dan Qiana Zhafira Rosa bertujuan untuk mendapatkan keturunan, maka beberapa hal harus disepakati demi kenyamanan bersama....” “Satu, suami harus menceraikan istri setelah melahirkan.” Aksa sengaja membaca dengan suara yang bisa didengar oleh Ocha. “Dua, jika dalam rentang waktu 365 hari, istri tidak kunjung hamil, maka tetap harus mengambil jalan pintas (bercerai).” Hanya saja, setelah membaca bagian itu, Aksa menatap Ocha dengan alis tertaut. “1 tahun?”“Benar, Pak. Sekalipun hasil tes kesehatan saya tidak ada masalah, tapi tidak ada yang bisa menjamin ke depannya. Jadi, saya rasa waktu 1 tahun sudah cukup untuk tahu apakah saya bisa hamil anak Bapak atau tidak?” Hening, Aksa kembali menatap selembar kertas di tangannya. Melanjutkan membaca. “Tiga, status pernikahan akan tetap menjadi rahasia.” “Kenapa dirahasiakan?” tanya Aksa menatap Ocha, dingin. “Di kantor tidak ada larangan poligami dan menjalin hubungan, yang dilarang hanya perselingkuhan.” “Saya mengerti, Pak. Tapi....” “Kamu menganggap menjadi istri kedua sebagai aib?” Ocha tersenyum simpul. “Secara agama bukan, Pak. Tapi, secara sudut pandang objektif orang-orang tentu saja itu... aib.” Beralih bersandar pada kursi kebesarannya. Dari sana, Aksa memperhatikan Ocha dari ujung kaki hingga kepala, membuat gadis itu mendadak kikuk dan membisu. “Baik, saya setuju,” kata Aksa sambil membubuhkan tanda tangan di atas kertas tersebut. Dalam diam, Ocha meremas roknya.
“Hah?!” Karena kaget, Lala melongo, bola matanya nyaris keluar. Di sudut lain, Yaya yang tengah menyeruput minuman tak sengaja menyemburkannya. “Njir! Jorok banget sih lu, Ya!” sembur Lala. “Maaf. Terkejoud gue.” “Harusnya gak usah kaget gitu juga kali. Kan kalian sendiri yang selalu curiga kalau gue ini jangan-jangan cuma anak tiri karena diperlakukan gak lazim sama Ibu. Sekarang, terbukti kan? Gue emang anak tiri. Kalian benar, gue yang gak menyadari? Dan....” Ocha menatap sendu Lala dan Yaya bergantian. “Gue gak tau di mana Ibu kandung gue sekarang.” “Waktu itu kami bercanda, Cha.” Yaya melirih, menyesal. “Gue tau.” “Ocha.” Lala menatap Ocha penuh iba. “Gue gak bisa bayangin, seberat apa jadi lu?” “Jangan dibayangin. Dan jangan mengasihaniku. Gue baik-baik aja.” Hening, Lala mencoba memahami keadaan Ocha. Baik Lala dan Yaya, tahu persisi jika seorang Ocha memang tak suka dikasihani. Karena kapan dikasihani, ia tak akan bisa menahan air matanya. Lebih tepatnya,
“Mbak, saya minta maaf. Saya....” “Ngomongnya biasa aja, Ocha. Gak usah terlalu formal,” potong Dewi, “anggap saja kita Adik Kakak.” Ocha menatap Dewi sendu, penuh rasa bersalah. “Iya, Mbak. Tapi, serius... aku benar-benar minta maaf ke Mbak” “Kamu gak salah apa-apa, Ocha. Kenapa minta maaf segala?” “Mbak....” “Sudahlah. Ini sudah jadi takdir buat kita bertiga. Jalani saja penuh keikhlasan.” “Tapi, Mbak. Aku menyakitimu,” cicit Ocha. Dewi menggeleng sebagai respons. Senyumnya mengambang dengan tangan yang kemudian terulur menggenggam tangan Ocha. “Aku gak apa-apa, Ocha. Aku ikhlas. Sekarang pergilah bersiap, nanti Mas Aksa mencarimu. Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan menghubungi aku, ya.” Dengan sangat terpaksa, Ocha berlalu meninggalkan Dewi. Sesekali menoleh ke arah istri pertama suaminya yang terus tersenyum ke arahnya. Namun, saat hendak menaiki tangga menuju kamar, ia tak sengaja melihat ibu tirinya, Fafa, berada di dalam kamar yang terbuka sedikit bersama d
Netra Ocha melebar begitu menyadari kalau tangannya dengan lancang meraba wajah sang suami yang saat ini ternyata sedang menatapnya tanpa ekspresi. “Bapak ngapain?” tanya Ocha panik. Suaranya sedikit serak khas bangun tidur. “Kamu yang ngapain di atas tubuh saya?” “Hah?!” Ocha kaget, kelimpungan hendak menjauh. Namun, nahasnya karena saat berusaha berdiri kakinya tak sengaja tersangkut di antara kaki Aksa membuatnya kembali terjatuh menimpa tubuh pria itu. Dan apesnya lagi karena bibirnya mendarat sempurna di pipi Aksa. Detak jantung keduanya berpacu cepat dalam keheningan. Saling beradu pandang dengan isi pikiran masing-masing. Buru-buru Ocha memutus komunikasi mata itu dan bangkit dengan jantung yang hampir saja bertukar tempat dengan paru-paru. “Ma—maaf, Pak, gak sengaja,” ucapnya terbata. Salah tingkah, juga sedikit malu dengan insiden yang terjadi barusan. ‘Malam pertama macam apa yang sangat memalukan ini? Kenapa bisa-bisanya gue gak bisa ninggalin sifat cer
“Ck!” Aksa berdecak sebal, seringai sinis dari sudut bibirnya tersungging sejenak mendengar pengakuan Ocha. Meski perkataan wanita yang berada di bawah kungkungannya itu terdengar lugas dan begitu yakin, tapi Aksa tak langsung percaya begitu saja. Bisa saja kan, Ocha hanya menghindarinya saja untuk mengulur-ulur waktunya. Tatapan Aksa yang tajam gencar mengamati wajah cantik Ocha untuk sekadar mencari sepercik kebohongan di sana. Namun, tak ditemukannya hal itu. Justru, tatapan sendu Ocha begitu tenang, tak terbebani sedikit pun sehingga Aksa harus menarik napas pasrah dan sontak berguling ke samping. Suasana berubah hening, dan tak lama kemudian mereka tertidur dalam posisi yang saling membelakangi. Keduanya terbangun kembali saat Azan subuh berkumandang. Begitu pagi telah menyingsing, Ocha melipir ke dapur dengan maksud dan tujuan untuk memasak sarapan buat sang suami. Hanya saja, saat hendak mencuci beras, pergerakan tangannya mendadak berhenti. Ia termangu
BRAK! Spontan, Ocha menendang kaki Aksa membuat pria pemilik alis tebal itu mengangkat satu kaki sambil meringis pelan. “Apa maksudnya bawa-bawa ingus segala, hah?!” bentak Ocha. “Bercanda,” ucap Aksa cepat sebagai pembelaan dirinya. Dia tak menyangka Ocha akan se-brutal itu sampai menendangnya. Untungnya, taksi online yang dipesan untuk istrinya di apartemen tadi sudah datang karena tak ingin berangkat bersama. Segera dibukakan pintu bagian penumpang begitu mobil berhenti sempurna. Hanya saja, bukannya masuk mobil, Ocha tetap bergeming dengan tangan menyilang di depan dada. Tatapan tajamnya menghakimi Aksa yang seolah tak punya rasa bersalah sama sekali. Bukan apa-apa, tapi Ocha kini seakan mengingat kisah kelam masa lalunya yang jadi korban bully, dan pelaku adalah suaminya sendiri. “Kita ada meeting, kau lupa?” tanya Aksa geram. “Gak!” “Terus? mau tinggal di situ?” Detik berikutnya Aksa menarik lengan Ocha karena geram dengan tabiat wanita dengan sifat ngam
Sepulang dari kerja, Ocha duduk sendirian di ruang tamu, sibuk membaca novel dengan kaki di atas meja, kerap membalikkan halaman buku sambil sesekali menatap ke arah jendela. Suasana terasa hening dan sunyi. Dasarnya, Ocha menyukai sepi, tapi bukan berarti kesepian. Hanya saja, pendengarannya yang memang agak sensitif terhadap suara-suara, tiba-tiba terganggu oleh suara yang persis seseorang menekan PIN dari luar. Tit... tit... tit! Bilamana benar adanya, gerangan siapa yang berani menjadi penyusup di apartemen suaminya? Bukankah sistem pengamanan di apartemen itu cukup ketat? Seingat Ocha, Aksa juga pernah bilang kalau tidak ada yang tahu PIN apartemen itu selain mereka berdua. Ocha mulai was-was, takut ada seseorang yang sudah lama menguntitnya dan tahu kalau saat ini ia sedang sendirian di rumah, seperti halnya novel yang barusan dibaca. Kalau sudah begini, ingin rasanya dia menyamar jadi sister ghost alias Kuntilanak biar penyusupnya ketakutan sendiri. Tak la
Refleks, Aksa sontak menjauhkan badan dari Ocha karena sedikit malu tak bisa menahan diri untuk tidak menjerit tadinya. Hancurlah reputasinya di hadapan istri sekaligus sekretarisnya sebagai presiden direktur yang tegas terhadap hal kecil, tapi pada hewan kecil tak berbisa begitu saja takut. Bukan takut katanya, tapi lebih pada geli. Kekesalan Aksa semakin bertumbuh saat melihat kucing berwarna putih itu memasang wajah sok imut di ujung karpet sambil menatap dari kejauhan seolah menantang dirinya. Belum lagi ekor panjangnya yang bergoyang sana-sini. “Kenapa tiba-tiba ada kucing masuk ke sini? Lewat di mana dia?” cecarnya berusaha menetralkan jantung yang hampir terjengkang bertukar posisi dengan paru-paru. “Mas takut sama kucing?” tanya Ocha penasaran. Aksa sedikit salah tingkah. Bahkan, untuk menjawab saja gelagapan. Dalam hati, ia mencecar dirinya sendiri. ‘Sekalipun takut, jika dipertemukan dengan situasi seperti ini pun, aku gak boleh bilang takut.’ “Gak taku
“Aqil, sini dulu,” teriak Aksa sambil mencoba mengetuk pintu berkali-kali.Aqil kembali berlari menghampiri pintu dan menempelkan wajah kecilnya pada pintu kaca itu seolah-olah tak baru saja melakukan kesalahan.“Aqil denger suara Papa nggak, Nak?”Tak terdengar sahutan, tetapi bibir kecil Aqil terlihat bergerak menyebut kata “Papa”.Aksa berjongkok, memberikan kode pada sang putra agar membuka pintu. Hanya saja, Aqil tak melakukan apa pun. Hanya ada raut bingung nan menggemaskan di wajahnya itu. Sementara itu, Ocha berlalu ke ujung balkon, memandang ke bawah dengan gelisah. Bukan apa-apa, ia takut Aqil melakukan sesuatu yang membahayakan dirinya sendiri kalau sendirian terlalu lama di kamar. “Sus Wina! Sus Wina!” teriaknya, berharap suara lantangnya itu terdengar sampai ke bawah. Namun, suasana rumah yang sepi membuat panggilannya berlalu sia-sia tanpa jawaban.“Sus Wina, ke dekat kolam renang dulu, dong.” Ocha masih berusaha memanggil pengasuh Aqil itu. Aksa kini sudah berdiri di
Dua bulan kemudian. Aula pernikahan tampak meriah dihiasi bunga-bunga berwarna pastel yang menyemarakkan suasana di hari bahagia Nathan dan Lala. Tamu-tamu mulai berdatangan, menambah semarak momen istimewa yang sebentar lagi akan dimulai. Dengan memegang lengan sang suami, Ocha melangkah di sisi Aksa. Keduanya mengenakan busana berwarna biru tua yang senada. Ocha tampak anggun dalam balutan kebaya ber-bordir elegan, sementara Aksa mengenakan setelan jas yang rapi. Pada gendongan pria itu, ada Aqil yang mengenakan tuxedo mungil dan tampak menggemaskan. Anak itu menarik perhatian beberapa tamu yang tersenyum melihat betapa lucunya dia. Tak jauh dari Mereka, Yaya hadir bersama ibunya dengan balutan busana senada. Yaya sesekali melirik ke arah Aqil dan mengangkat tangan kecilnya untuk melambai yang dibalas senyum oleh bocah itu. Sementara itu, Laras dan Paul sudah duduk di tempat yang telah disediakan untuk keluarga dan para tamu undangan. Di belakang mereka, Fafa yang
Dahi Ocha mengerut begitu mobilnya memasuki gerbang dan melihat ada mobil yang jelas bukan mobil suaminya sedang parkir di halaman rumahnya.Setelah memarkirkan mobilnya di garasi, dia pun keluar dan tak berselang lama, Aksa juga sudah datang dan memarkirkan mobilnya di sebelah mobil Ocha.“Mobil siapa, Sayang?” tanya Aksa sambil berjalan mendekati istrinya.Ocha mengangkat bahu menandakan ketidaktahuannya. Dia meraih tangan sang suami dan menciumnya dengan takzim. Seperti biasa, ketika pergi dan pulang kerja tak melewatkan saling memberikan pelukan hangat. Aksa mencium singkat kening, pipi, dan bibir istrinya. “Bukannya tadi kamu bilang akan pulang jam 7 malam, kok cepat?” tanya Ocha dengan tatapan menyelidik. “Loh, emang gak senang suaminya pulang cepat?”“Bukan, tapi kamu bilang sendiri tadi, kan.”“Pekerjaan udah selesai masa enggak boleh pulang? Lagian kangen si bocil.”Ocha mencebik, pura-pura kesal. “Oh
Dewi bangkit dari duduknya, berdalih memegang tangan sang suami. Tatapannya memelas seakan-akan meminta pembelaan. “Mas ... tapi, aku benar-benar sudah meminta agar foto itu di-take down.”Sebuah helaan napas berat dikeluarkan Denis. Dia seraya menatap sang istri dengan tajam, rahangnya mengeras menahan amarah. “Kamu, tuh, sadar nggak sih, Wi? Kamu udah bikin hidup orang lain dalam masalah tau, nggak? Apa kamu pikir setelah ini, permintaan maaf saja itu sudah cukup untuk memperbaiki semua kesalahan kamu pada mereka?”“Wi, kesalahan kamu yang kemarin saja belum tentu mereka maafkan, terus sekarang bertambah lagi.” Denis beralih duduk di sofa dengan wajah semrawut. Sambil memegangi kepala, pusing dengan kelakuan sang istri yang makin menjadi. Sambil menghampiri suaminya, mata Dewi kini berkaca-kaca. “Mas, aku ....” Dia pun berlutut, di hadapan Denis. Namun, Napasnya tercekat, seakan-akan kehilangan kata-kata.“Aku nggak akan bisa melindungi kamu ka
Makin ke sini isu yang beredar itu makin rame diperbincangkan di media. Banyak yang meminta Aksa dan Ocha segera klarifikasi untuk meredam isu yang pembahasannya justru mulai melebar ke mana-mana.“Cari tahu siapa yang pertama kali menyebarkan dan laporkan ke saya secepatnya!” perintah Aksa dengan nada tegas melalui telepon.Di kantor, tim keamanannya sudah bekerja maksimal untuk menyelidiki sumber isu yang beredar sesuai dengan permintaannya. Sementara itu, Ocha duduk di sofa sambil memperhatikan Aksa yang berdiri di dekat dinding kaca rumah mereka. Sibuk untuk menyelesaikan masalah itu. Ocha sesekali mengawasi Aqil yang entah sedang melakukan apa? Intinya dapat kolong yang bisa menampung dirinya, pasti masuk di sana.Dalam pikiran Ocha juga ada banyak hal, termasuk tertuju satu nama yang bisa mungkin menjadi sumber gaduhnya netizen di media sosial. Hanya saja, dia tidak ingin suuzan. “Aku curiga Dewi yang melakukan ini, Saya
Di lain tempat pagi itu, Ocha dengan sabar terus mencoba menyuapi makan untuk putranya meskipun beberapa kali melepehkan bubur yang masuk ke mulutnya. Ocha menghela napas pelan sambil mengusap bibir Aqil yang belepotan. “Ayo, Sayang .... Makan yang banyak, ya. Biar Aqil sehat, nanti jadi anak pintar, ganteng kayak Papa kalau udah besar.” Hanya saja, bukannya membuka mulut, Aqil malah mengayunkan tangan, mencomot bubur dari sendok Ocha dan menempelkannya ke wajahnya sendiri. Seketika itu, bubur mengotori pipi mungilnya. “Ya ampun, anak gantengnya Ibu. Makanannya gak boleh dibuat mainan, ya, Sayang.” Di sebelahnya, Aksa memperhatikan sambil menahan tawa melihat tingkah lucu anaknya. Ia mengunyah sisa nasi gorengnya lalu menyelesaikan sarapannya. Sementara itu, Ocha meraih tisu dan mulai mengelap pipi Aqil yang kena bubur. “Coba sini Papa yang suapin Aqil, ya. Biar Ibu sarapan dulu aja.” Aksa mengajukan dirinya. Ocha menyerahkan sendok kecil itu pada Aksa, kemudian ia me
Laras melangkah pelan memasuki ruang ICU, tempat Fafa terbaring lemah dengan berbagai alat medis yang terpasang di tubuhnya. Suara mesin detak jantung yang terus berdenyut makin menambah suasana mencekam. Laras mendekati ranjang putrinya dengan langkah gontai lalu duduk di kursi di sampingnya. Wajah Fafa tampak pucat, mata terpejam seakan-akan enggan untuk terbuka. Dengan tangan gemetar, Laras menggenggam tangan Fafa yang terasa dingin. Air matanya mulai mengalir membasahi pipi. “Fafa ... maafkan Ibu, Nak,” ucapnya dengan suara bergetar. “Semua ini kesalahan Ibu. Seharusnya yang menanggung karma kesalahan Ibu di masa lalu adalah Ibu sendiri, bukan kamu.”Laras merasakan dadanya kian sesak. Air matanya juga makin deras berjatuhan. “Ibu juga minta maaf karena terlalu keras padamu, Nak. Maafkan Ibu yang terlalu menghakimi seolah-olah enggan menerima keadaan kamu,” imbuhnya dengan suara serak.“Ibu seakan lupa kalau dulu pernah berada di p
Senyum Yaya tak pernah berhenti terpancar dari bibirnya ketika ia berada dalam perjalanan pulang. Hari ini, ia merasa sangat bahagia. Pertama, berhasil mengajak Lily nge-date. Kedua, Lily sudah tak cuek lagi padanya. Dan, yang ketiga ... ia cukup lega telah mengungkapkan perasaannya pada Lily.Dia menyetir dengan kecepatan standar sesekali bersenandung ria sambil mengingat obrolannya dengan Lily beberapa saat lalu.“Ada apa, Mas Yaya?” tanya Lily pelan begitu melihat Yaya keluar dari mobilnyaYaya pintu menutup pintu mobil dan menghampiri Lily sedikit canggung. Tatapannya yang serius dan penuh makna menatap Lily yang justru memandangnya penuh tanya. Pria berjaket abu-abu itu merasa harus jujur terhadap perasaannya pada Lily. Entah seperti apa hasilnya nanti, setidaknya ia sudah berusaha jujur. “Ly, aku perlu mengatakan sesuatu padamu, tapi bingung harus mulai dari mana?” Dia berkata pelan sambil menggaruk tengkuk yang sebenarnya tak gat
Laras jatuh terduduk di kursi terdekat, air matanya sontak mengalir deras. “Koma?” Suaranya bergetar.“Dok, Kakak saya sedang hamil, apa kandungannya baik-baik saja?” tanya Ocha dengan raut cemas. Dia mengingat, tadi dia melihat ada darah yang juga merembes dari area selangkangan Fafa pasca kecelakaan.Sang dokter menarik napasnya lalu menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan kesedihan yang mendalam. “Benturan yang dialami pasien terlalu keras, Bu. Kami tidak bisa menyelamatkan janinnya.”Isakan Laras kembali terisak keras, nyaris histeris, tetapi Ocha buru-buru beralih menenangkannya. “Maaf, Dok. Kalau boleh tau, kira-kira Fafa akan koma sampai kapan?” Paul ikut bertanya. Hanya saja, kali ini dokter kembali menggeleng. “Kami belum bisa memastikan hal tersebut, Pak. Namun, kami akan terus memantau kondisinya selama 24 jam ke depan untuk melihat perkembangan lebih lanjut. Dan ....”“Bisa dipahami, ya, Pak, Bu?” Pertanyaan sang dok